Dalam Sanatana Dharma edisi-edisi sebelumnya, telah kita simak serangkaian prediksi kemunculan berbagai awatara Tuhan beserta misi yang diembannya masing-masing. Misi kemunculan Sang Buddha yang menolak kebenaran Weda dan memperkenalkan agama Buddha, juga kemunculan dan misi Adi Sankaracarya, penjelmaan Dewa Siwa. Meskipun ajaran Buddha Gautama dan ajaran Adi Sankaracarya tampaknya saling “menyalahkan” dan “mengalahkan”, tapi sebenarnya keduanya mengemban misi yang sama : mengembalikan kemurnian ajaran Weda yang telah banyak mengalami penyimpangan.
Buddha Gautama harus “berpura-pura” menolak dan menyalahkan Weda, karena orang mengatasnamakan Weda untuk membenarkan pembunuhan hewan besar-besaran dan penerapan sistem kasta yang sangat tidak manusiawi. Bertolak belakang dengan ajaran pokok Weda, Buddha Gautama mengajarkan bahwa roh itu tidak ada (anatman). Buddha Gautama juga tidak memberikan penjelasan apapun tentang keberadaan Tuhan, kebenaran tertinggi adalah kekosongan (sunyavada). Itu merupakan sebuah siasat. Dengan mengatakan tidak ada Tuhan, masyarakat pada waktu itu lalu memuja dan mengikuti Sang Buddha, yang tidak lain adalah penjelmaan Sri Wishnu sendiri.
Lalu, pemurnian ajaran Weda tahap berikutnya terjadi. Dewa Siwa menjelma menjadi Adi Sankaracarya (788 – 820 M) seorang brahmana dan ahli filsafat yang sangat hebat. Berkat kegiatan pengajaran Sankaracarya, ajaran Weda mulai berkembang kembali di India. Para penganut agama Buddha kembali beralih memeluk agama Hindu. Bahkan, agama Buddha yang tadinya berkembang pesat dibawah perlindungan Raja Asoka akhirnya surut pamornya di India Walaupun demikian, banyak ajaran Buddha Gautama yang diadaptasi dan dikompromikan dengan ajaran Weda oleh Sankaracarya.
Salah satunya adalah konsep tentang Tuhan. Kitab-kitab Upanisad dan kitab Vedanta mengajarkan bahwa Tuhan memiliki sifat impersonal dan sifat personal sekaligus. Artinya, Tuhan berwujud sekaligus tidak berwujud. Kalau kita telaah secara seksama, kitab Injil dan Al-Quran pun mengajarkan bahwa Tuhan memang memiliki wujud. Hanya saja, kedua kitab itu menyampaikannya secara samar-samar. Dalam Injil, misalnya, dinyatakan bahwa : “Tuhan menciptakan manusia menyerupai citra-Nya”. Jadi, kalau manusia dengan wujudnya yang sekarang adalah “pencitraan” atau gambaran Tuhan, bagaimana dengan Tuhan Sendiri? Aspek Tuhan yang ‘tidak berwujud’ dan ‘tidak bersifat’ seperti itu dalam bahasa Sanskerta disebut Brahman. Sedangkan sifat personal Tuhan, disebut Bhagavan. Agar mudah dipahami, kalau Brahman diibaratkan cahaya, maka Bhagavan adalah “sumber cahaya itu”. Pada siang hari yang cerah, kita hanya bisa melihat cahaya matahari yang menyilaukan, sedangkan bola matahari sendiri tidak tampak. Bulatan bola matahari yang besar itu tertutupi oleh cahaya yang menyilaukan. Begitu pula, Brahman adalah cahaya yang menyilaukan yang menutupi badan rohani Tuhan. Hal ini dibenarkan dalam Bhagavad-gita ( ).
Sebaliknya, Sankaracarya mengajarkan bahwa Brahman adalah aspek Tuhan yang tertinggi. Artinya, bahwa Tuhan itu ada, tapi tidak berwujud (nirvisesa), tidak bersifat (nirguna), dan tidak dapat dijelaskan dengan kata-kata (sunya) . Menurut Sankaracarya sosok-sosok seperti Krishna, Wishnu, Brahma, Siwa, Durga, Ganesha, dan dewa-dewa lainnya hanyalah merupakan “perwujudan” atau manifestasi dari Tuhan yang tidak berwujud itu. Inilah bentuk kompromi antara ajaran Buddha Gautama dan ajaran Weda. Bagi Buddha Gautama, tidak ada Tuhan, tidak ada Sang Pencipta. Sebaliknya, Weda mengajarkan bahwa ada Sang Pencipta, yang memiliki wujud rohani. Tentu saja, titik temu antara kedua ajaran yang bertolak belakang itu adalah Tuhan itu ada, tapi tidak berwujud. Dengan jalan tengah itu, Sankaracarya memang berhasil menjalankan misinya. Sebuah misi yang sesungguhnya diawali oleh Buddha Gautama sendiri sebagai awatara Wishnu.
Keberhasilan Sankaracarya memang pantas dicatat, pengaruhnya masih terasa hingga sekarang ini dalam filsafat Hindu. Kalau saat ini kita mengenal konsep penyatuan atman dengan Brahman, konsep Tat Tvam Asi, dan sebagainya, semua itu adalah ajaran dari Adi Sankaracarya. Bahkan, konsep Tri Murti, yaitu bahwa Brahma, Wisnu, dan Siwa adalah manifestasi dari Ida Sang Hyang Widhi Wasa yang tidak berwujud – adalah aplikasi ajaran Sankaracarya di Indonesia. Akan tetapi, kalau ditelaah kembali, maka ajaran Sankaracarya tersebut masih belum sepenuhnya sesuai dengan ajaran Weda seperti murninya. Mengapa demikian?
Karena sebenarnya dalam kitab-kitab Weda dinyatakan bahwa Tuhan itu Esa. Tuhan yang Esa itu dibantu oleh para dewa yang diciptakan oleh Tuhan Sendiri. Ibarat sebuah pemerintahan, Tuhan adalah seorang raja atau presiden, sedangkan para dewa adalah para mentri yang memimpin departemen tertentu. Para dewa sebenarnya sama dengan malaikat dalam istilah agama Kristen dan Islam. Ada malaikat Ridwan penjaga sorga, kita mengenal dewa Indra sebagai raja sorga. Ada Dewa Yama sebagai dewa kematian, ada malaikat Isroil sebagai malaikat pencabut nyawa. Jadi dewa bukanlah Tuhan seperti yang selama ini banyak disalahpahami bahkan oleh orang Hindu sendiri. Dalam kitab Bhagavata Purana atau Srimad Bhagavatam yang dijuluki sebagai ensiklopedi ilmu ketuhanan, diuraikan secara lengkap tentang identitas Tuhan, siapa itu Brahma, Wisnu, Siwa, dan dewa-dewa lainnya.. Kitab Bhagavata Purana telah disusun oleh Rsi Vyasa, penulis Weda, jauh hari sebelum masa Sankaracarya, bahkan sebelum Sang Buddha muncul. Akan tetapi, Sankaracarya mengabaikan semua kenyataan itu. Berbeda dengan Bhagavad-gita, Sankara memang sengaja tidak membuat ulasan apapun terhadap kitab Bhagavata Purana ini.
Tentu kita masih ingat bahwa Sankaracarya atau Sankara adalah penjelmaan Dewa Siwa yang bertugas untuk melanjutkan misi Wishnu yang telah menjelma sebagai Buddha. Siwa sendiri adalah pemuja Wishnu yang paling agung. Hal ini dinyatakan dalam Bhagavata Purana 12. Yang menyatakan sebagai berikut:

Karena itulah Sankara tidak menyusun ulasan apapun terhadap kitab Bhagavata Purana yang menguraikan identitas Sri Krishna sebagai Bhagavan atau Kepribadian Tuhan Yang Maha Esa. Sebagaimana kita ketahui, Sankara sendiri menyusun syair Bhaja Govindam yang sangat termasyur itu. Govinda adalah nama lain dari Sri Krishna.

Dalam perkembangannya, bermunculanlah acarya atau guru-guru yang mengoreksi ajaran-ajaran Sankaracarya. Diantaranya yang terkenal adalah Ramanujacarya dan Madhavacarya. Keduanya mengajarkan bhakti, yang menyatakan bahwa atman tidak pernah menyatu dengan brahman dalam arti yang sesungguhnya. Bhakti berarti pengabdian dan pelayanan kepada Tuhan dengan dilandasi oleh cinta kasih. Seorang bhakta tidak pernah mencita-citakan untuk menyatu dan menunggal dengan Tuhan. Yang menjadi keinginannya hanyalah mengabdi dan melayani Tuhan dengan cinta yang ikhlas. Cinta atau love dalam bahasa Inggeris adalah sesuatu yang melibatkan kegiatan menerima (take) sekaligus memberi (give). Jadi, love melibatkan take and give. Harus bertimbal balik, dan tidak satu arah. Kalau hanya menerima saja tanpa pernah memberi, itu namanya pemerasan, bukan cinta. Cinta atau bhakti mengisyaratkan adanya yang mencintai dan obyek yang dicintai. Dalam ajaran Weda, obyek tertinggi cinta bhakti adalah Tuhan Sendiri. Ilmu pengetahuan inilah yang disebut dengan bhakti yoga.

Banyak orang yang menganggap bahwa bhakti yoga adalah cara yang paling mudah dan remeh untuk mencapai kepada Tuhan. Karena itu banyak orang yang mengejek dan menganggap bahwa seorang bhakta adalah mereka yang kurang cerdas (kekurangan jnana) dan tidak mampu melakukan perbuatan (karma) yang lebih tinggi. Sesuai namanya, mereka menganggap bahwa Raja Yoga adalah yoga yang tertinggi. Tetapi, kalau benar bhakti adalah jalan termudah, mengapa orang tidak berbondong-bondong melakukannya? Mengapa memilih jalan yang sulit? Dalam Bhagavad-gita Sri Krishna menyatakan bahwa bhaktya mam abhijanaty. Seseorang dapat mengenal dan mencintai Tuhan hanya dengan bhakti. Dalam kenyataannya, bhakti sangat sulit dicapai. Seperti halnya kerja bhakti yang tidak memperoleh upah, bhakti yoga juga mensyaratkan agar orang tidak mengharapkan pamrih atau motif duniawi dalam menyembah Tuhan. Disinilah letak kesulitannya. Umumnya kita berdoa dan bersembahyang kepada Tuhan hanya ketika kita butuh sesuatu. Tuhan kita jadikan tempat pesan barang! Inginnya bahkan “pagi pesan sore kelar”. Serba instant! “Tuhan, berikan kami rejeki pada hari ini, berikan kami umur panjang,….jauhkan kami dari cobaan,…..lancarkanlah bisnis kami….lindungilah kami dari bahaya.” Padahal, semua itu tidak perlu disebut satu persatu, toh Tuhan Maha Tahu! Tak cukupkah hanya dengan berucap lirih “Tuhan, Kau tahu yang kumau!”

Jadi, bhakti tanpa mengharapkan pamrih kepada Tuhan adalah puncak seluruh ajaran Weda sesungguhnya. Ajaran inilah yang telah disimpangkan sedemikian jauh, sehingga dalam pelurusannya dibutuhkan kemunculan Buddha Gautama dan Adi Sankaracarya. Puncak pelurusan itu terjadi dengan kemunculan Sri Krishna Caitanya, atau yang dikenal juga sebagai Sri Caitanya Mahaprabhu pada abad ke-15 Masehi. Kemunculan Sri Caitanya beserta ajarannya ini tidak banyak diketahui secara luas, sampai akhirnya pada tahun 1965, A.C. Bhaktivedanta Swami Prabhupada memperkenalkan ajaran ini keseluruh dunia.

Dalam kitab-kitab Weda, terdapat sloka-sloka yang telah meramalkan kemunculan Sri Caitanya ini. Sri Caitanya adalah penjelmaan Sri Krishna pada jaman Kali. Dalam Mahabharata (Dhana-dharma, Vishnu Sahasranama Stotra) terdapat pernyataan yang meramalkan identitas Sri Caitanya Mahaprabhu.

Suvarna varno hemangovarangas candanangadi
Sannyasa-krc chamah santonistha-santi-parayanah

“Dalam kegiatanNya pada usia muda Beliau muncul sebagai orang yang berumah tangga yang berwajah kuning emas. Anggota-anggota badanNya tampan sekali. BadanNya diolesi dengan tapal terbuat dari kayu cendana. Warna badannya seperti emas cair. Dalam kegiatan berikutnya, Beliau menjadi sannyasi dan Beliau tenang sentosa. Beliaulah tempat kedamaian dan bhakti tertinggi, sebab beliau membuat terdiam orang yang bukan penyembah dan tidak mengakui bentuk pribadi Tuhan.”

Dalam vayu purana, disebutkan Sri Caitanya Mahaprabhu dilahirkan di Mayapur di kota Nadia, Benggala, India pada waktu magrib tanggal 23 bulan Phalguna tahun 1407 Sakabda, atau tanggal 18 Februari 1486. Pada saat Sri Caitanya dilahirkan, ada gerhana bulan. Sesuai dengan kebiasaan pada saat-saat seperti itu, para penduduk Nadia sedang mandi di sungai Bhagirati (Gangga) dengan mengucapkan “haribol” dengan suara keras-keras. Ayah Sri Caitanya bernama Jagannatha Misra adalah seorang brahmana miskin yang mengikuti ajaran Weda. Ibu Sri Caitanya bernama Sacidevi adalah wanita yang memiliki segala sifat yang baik. Sri Caitanya adalah anak yang tampan sekali, wajah dan anggota badannya berwarna kuning keemasan.

Translate »