Pernahkan kita berpikir kenapa ajaran agama yang satu dengan yang lainnya bertentangan? Bahkan tidak jarang dalam satu kitab suci-pun terdapat pertentangan yang saling bertolak belakang. Jika memang Tuhan itu satu, kenapa semua ini bisa terjadi?

Sesuai dengan judul diatas, “Tow faces of God”, sering kali kita menemukan permasalahan dan pertentangan yang membuat kita bingung. Uniknya pertentangan itu muncul dari “karya” Tuhan sendiri. Sebagaimana yang akan saya bahas disini adalah masalah pertentangan-pertentangan dalam ajaran-ajaran kitab suci yang semua itu di klaim diciptakan dan diturunkan oleh Tuhan. Apakah Tuhan sedang bermain dadu dalam menurunkan ajarannya?

Terdapat banyak pertentangan yang dapat kita temukan jika kita membaca dengan teliti ayat demi ayat kitab suci dari agama-agama yang berbeda.

Sebuah contoh yang cukup menarik yang bisa kita bahas adalah masalah roh/jiwa yang saya temukan di Al-Qur’an dan dibandingkan dengan ajaran Bhagavad Gita. Dalam surat Al-Isra’ 85 disebutkan: Dan mereka bertanya kepadamu tentang Roh, katakanlah Roh itu termasuk urusan-Ku (amr-Tuhanku) dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit”. Tetapi dalam Bhagavad Gita Sri Krishna menjelaskan secara mendetail tentang sang roh / Atman ini dan hubungannya dengan sang pencipta, Tuhan Yang Maha Esa. “idam tu te guhyatamam pravaksyamy anasuyave jnanam vijnana-sahitam yaj jnatva moksyase ’subhat, wahai Arjuna yang baik hati, oleh karena engkau tidak pernah iri hati kepada-Ku, Aku akan menyampaikan pengetahuan dan keinsafan yang paling rahasia ini kepadamu. Dengan mengenal pengetahuan rahasia dan keinsyafan ini, engkau akan dibebaskan dari kesengsaraan kehidupan material(Bhagavad Gita 9.1)”. “Sarganam adir antas ca madhyam caivaham arjuna adhyatma-vidya vidyanam vadah pravadatam aham, Di antara segala ciptaan Aku adalah permulaan, akhir dan juga pertengahan, wahai Arjuna. Di antara segala ilmu pengetahuan, Aku adalah ilmu pengetahuan rohani tentang sang diri [roh/atman], dan di antara para ahli logika, Aku adalah kebenaran sebagai kesimpulan (Bhagavad Gita 10.32).

Demikian juga dalam masalah pahala yang di dalam Al-Qur’an merupakan sesuatu yang utama, tetapi dalam ajaran Veda Tuhan malahan menegaskan bahwa bertindak tanpa mengharapkan pahala adalah yang paling utama.

Dalam Surah Ali ‘Imran 179 disebutkan: “Allah sekali-kali tidak akan membiarkan orang-orang yang beriman dalam keadaan kamu sekarang ini, sehingga Dia menyisihkan yang buruk (munafik) dari yang baik (mukmin). Dan Allah sekali-kali tidak akan memperlihatkan kepada kamu hal-hal yang gaib, akan tetapi Allah memilih siapa yang dikehendaki-Nya di antara rasul-rasul-Nya. Karena itu berimanlah kepada Allah dan rasul-rasul-Nya; dan jika kamu beriman dan bertakwa, maka bagimu pahala yang besar”. Lebih lanjut dalam Surah Ali ‘Imran 199 disebutkan: “Dan sesungguhnya di antara ahli kitab ada orang yang beriman kepada Allah dan kepada apa yang diturunkan kepada kamu dan yang diturunkan kepada mereka sedang mereka berendah hati kepada Allah dan mereka tidak menukarkan ayat-ayat Allah dengan harga yang sedikit. Mereka memperoleh pahala di sisi Tuhan-nya. Sesungguhnya Allah amat cepat perhitungan-Nya”. Surah Ali “Imran 3.22, 3.57, 3.77, 3.115, 3.136 dan juga Al-Baqarah 2.62, 2.103, 2.112, 2.264 juga menagaskan bahwa setiap tindakan umat Tuhan di dasarkan pada perhitungan pahala dan dosa. Ironisnya, kenapa kitab suci Veda tepat menyebutkan sebaliknya?

Dalam Bhagavad Gita 2.39 disebutkan: “ eṣā te ‘bhihitā sāńkhye buddhir yoge tv imāḿ śṛṇu buddhyā yukto yayāpārtha karma-bandhaḿ prahāsyasi, Sampai sekarang, Aku sudah menguraikan tentang pengetahuan ini kepadamu melalui pelajaran analisis. Sekarang, dengarlah penjelasanku tentang hal ini menurut cara bekerja tanpa mengharapkan hasil atau pahala. Wahai putera prtha, bila engkau bertindak dengan pengetahuan seperti itu engkau dapat membebaskan diri dari ikatan pekerjaan”. “aphalākāńkṣibhir yajño vidhi-diṣṭo ya ijyate yaṣṭavyam eveti manaḥ samādhāya sa sāttvikaḥ, di antara korban-korban suci, korban suci yang dilakukan menurut kitab suci, karena kewajiban, oleh orang yang tidak mengharapkan pamrih, adalah korban suci dalam sifat kebaikan” (Bhagavad Gita 17.11). “dātavyam iti yad dānaḿ dīyate ‘nupakāriṇe deśe kāle ca pātre ca tad dānaḿsāttvikaḿ smṛtam, kedermawanan yang diberikan karena kewajiban, tanpa mengharapkan pamrih, pada waktu dan tempat yang tepat, kepada orang yang patut menerimanya dianggap bersifat kebaikan” (Bhagavad Gita 17.20). “niyataḿ sańga-rahitam arāga-dveṣataḥ kṛtam aphala-prepsunā karma yat tat sāttvikam ucyate, perbuatan yang teratur dan dilakukan tanpa ikatan, tanpa cinta kasih maupun rasa benci dan tanpa keinginan untuk memperoleh hasil atau pahala dikatakan perbuatan dalam sifat kebaikan” (Bhagavad Gita 18.23). “rāgīkarma-phala-prepsur lubdho hiḿsātmako ‘śuciḥ harṣa-śokānvitaḥ kartā rājasaḥ parikīrtitah ̣, pekerjaan yang terikat pada pekerjaan dan hasil atau pahala dari pekerjaan, yang ingin menikmati hasil-hasil itu, yang bersifat kelobaan, selalu iri, tidak suci dan digerakkan oleh rasa riang dan rasa sedih, dikatakan sebagai pekerjaan dalam sifat nafsu (Bhagavad Gita 18.27).

Apa sebenarnya yang melatarbelakangi perbedaan 180 drajat kedua ajaran agama yang berbeda ini? Apakah benar bahwa Allah orang Islam berbeda dengan Tuhannya orang Hindu sebagaimana di singgung oleh Karen Amstrong dalam bukunya “History of God”? Ataukah Tuhan semua mahluk hidup hanyalah satu tetapi bermuka dua, suka menipu dan suka berbohong? Atau mungkin salah satu dari kitab tersebut di atas tidak murni perintah Tuhan, tetapi hanya karangan manusia yang mengaku nabi atau orang suci?

Jika kita mengikuti alur logika yang pertama dimana kita menyebutkan bahwa Tuhan masing-masing agama berbeda, kita masih menemukan hambatan dimana 99 sifat-sifat Allah yang disampaikan dalam Asmaaa-ul-husnaa sama dengan sifat-sifat Tuhan Hindu yang disampaikan dalam Visnusahasranama. Mungkinkah kedudukan “Yang Maha…….” di duduki oleh dua atau lebih entitas (baca: Tuhan) yang berbeda?

Andaikan pilihan pertama kerasa kurang klop, lalu bisakah kita menyebutkan bahwa Tuhan bermuka dua dan tidak konsisten dalam menurunkan wahyunya? Ataukah dalam hal ini mengikuti alur berpikir umat muslim dimana Tuhan selalu merubah dan menyempurnakan kitab suci yang telah di wahyukannya? Kalau Tuhan disebut tidak konsisten, suka meng-edit dan menyempurnakan kitab suci yang telah di turunkannya, lalu di mana letak kemahatahuan dan kemahasempurnaan Tuhan? Apa benar Tuhan menyusun kitab suci seperti seorang mahasiswa menyusun thesis?

Ataukah kita harus menerima bahwa salah satu dari kitab tersebut bukanlah kitab suci,  atau mungkin ajaran suci tetapi sudah ditunggangi motif-motif pribadi dari penyusunnya? Pilihan yang menarik tetapi tidaklah bijak. Karena pandangan seperti ini sudah mengakibatkan banyak nyawa melayang dan permusuhan tiada henti hanya atas nama “membela Tuhan”.

Menurut Geo Wedengren (1995), yang dibenarkan oleh tradisi Muslim, suatu waktu, saat Nabi Muhammad mengalami Isra Miraj (naik ke planet-planet sorga), dan setelah memasuki lapis ke tujuh dari planet sorga, beliau menghadap singgasana Allah. Hal ini terjadi saat Nabi Muhammad menerima ilmu pengetahuan rohani dari Allah. Pengetahuan rohani yang diterima oleh Nabi Muhammad ini ada 3 jenis: 1) pengetahuan yang Allah perintahkan kepada Nabi Muhammad untuk disembunyikan; 2) pengetahuan yang Allah persilahkan kepada Nabi Muhammad apakah hendak diungkapkan atau disembunyikan; 3) pengetahuan yang Allah perintahkan kepada Nabi Muhammad untuk diajarkan kepada semua masyarakat Arab pada masa itu.

Jadi, apakah Tuhan memang menurunkan kitab suci sesuai dengan kontek tempat, waktu dan kondisi umatnya sebagaimana yang juga di tegaskan dalam Bhagavad Gita bab 17?

Translate »