Oleh Thomas Reuter

Dikutip dari Blog Adhiwus dengan sedikit modifikasi

Hampir selama 1000 tahun, kerajaan-kerajaan Hindu tumbuh subur di pulau Jawa. Kejayaan Hindu mulai menyurut sejak runtuhnya kerajaan-kerajaan Hindu Nusantara akibat datangnya Islam pada abad ke 15. Hampir selama 500 tahun Hindu di Indonesia dapat dikatakan hampir punah, namun pada tahun 1970-an terjadi fenomena dimana Hindu tumbuh dengan pesatnya disaat Indonesia di landa kerisis politik dan ekonomi.

Risert etnografis yang dilakukan Thomas Reuter terhadap lima kelompok masyarakat pada beberapa daerah candi-candi Hindu besar di jawa diperolehlah telahan sejarah politik dan dinamika sosial yang mengarah kepada kesimpulan bangkitnya Hindu di Jawa.

Thomas Reuter  menyatakan ketertarikannya pada pulau Jawa setelah 10 tahun melakukan penelitian di Bali. Menurutnya, kebanyakan masyarakat Bali menganggap diri mereka sebagai keturunan kaum ningrat kerajaan Hindu Jawa Majapahit yang menaklukkan Bali di abad ke 14. Jumlah orang Bali yang bertirtayatra ke candi-candi Hindu di Jawa semakin bertambah. Bahkan tidak jarang orang Bali terlibat dalam pembangunan dan pelaksanaan upacara di candi/pura baru di Jawa.

Dalam  konteks sejarah dan politik, masih banyak orang Jawa mempertahankan kepercayaan warisan tradisi Hindu selama berabad-abad sambil juga memeluk Islam. Kepercayaan ini dikenal sebagai agama Jawa (kejawen) atau Islam Jawa (Islam abangan, nama yg dipakai Geertz 1960). Beberapa kelompok masyarakat terpencil masih tetap memeluk Hindu secara terbuka. Salah satu kelompok ini adalah masyarakat Hindu yang tinggal di dataran tinggi Tengger (Hefner 1985, 1990) di Jawa Timur. orang-orang ‘Hindu’ Jawa yang ditulis di laporan ini adalah mereka yang tadinya Muslim dan kemudian murtad untuk memeluk agama Hindu.

Laporan tahun 1999 yang tidak pernah diumumkan oleh Kantor Statistik Nasional Indonesia memperkirakan terdapat 100.000 orang Jawa yang secara resmi murtad atau ‘kembali lagi’ pindah dari Islam ke Hindu dalam waktu 20 tahun terakhir. Pada saat yang bersamaan, cabang organisasi Hindu (PHDI) Jawa Timur mengatakan bahwa umatnya bertambah sampai berjumlah 76.000 di tahun ini saja. Angka ini tidak sepenuhnya dapat dipercaya, dan tidak dapat pula menggambarkan besarnya kebangkitan agama Hindu di Jawa karena ini hanya berdasarkan nama agama yang tercantum di KTP dan hanya berdasarkan laporan agama resmi. Menurut pengamatan Thomas Reuter, banyak yang pindah agama tapi tidak melaporkan diri.

Meskipun demikian, perhitungan jumlah orang Hindu di Jawa ternyata lebih banyak daripada orang Hindu di Bali. Data yang dikumpulkan secara independen selama penelitiannya di Jawa Timur menunjukkan bahwa laju proses perpindahan agama melesat secara dramatis selama dan setelah jatuhnya Pemerintahan Rezim Suharto di tahun 1998.

Sebelum tahun 1962, agama Hindu tidak diakui secara nasional sehingga orang-orang Hindu tidak bisa mencantumkan agama mereka secara resmi. [1] Permohonan pengakuan Hindu sebagai agama resmi diajukan oleh organisasi agama dari Bali dan dikabulkan pada tahun 1962 demi kepentingan masyarakat Bali yang mayoritas adalah Hindu. Organisasi yang terbesar yakni Parisada Hindu Dharma Bali yang kemudian diubah menjadi PHD Indonesia (PHDI) di tahun 1964, berupaya untuk memperkenalkan Hindu secara nasional dan bukan hanya milik Bali saja (Ramstedt 1998).

Pada awal tahun 1970-an, orang-orang Toraja Sulawesi mengambil kesempatan ini dengan memeluk agama nenek moyang mereka yang banyak dipengaruhi oleh Hindu. Masyarakat Batak Karo dari Sumatra di tahun 1977 dan masyarakat Dayak Ngaju di Kalimantan di tahun 1980 juga melakukan hal yang sama (Bakker 1995).

Identitas agama menjadi masalah hidup-mati saat agama Hindu memperoleh status resminya, yakni di saat terjadinya kerusuhan anti komunis di tahun 1965-1966 (Beatty 1999). Orang-orang yang tidak dapat menyebutkan agamanya digolongkan sebagai orang atheis dan dituduh komunis. Terlepas alasan politis ini, kebanyakan orang menganut Hindu karena ingin mempertahankan agama nenek moyang dan bagi masyarakat di luar Jawa, Hindu merupakan pilihan terbaik dibandingkan Islam. Sebaliknya, kebanyakan orang Jawa tidaklah melihat Hindu sebagai agama pilihan di saat itu karena kurang adanya organisasi Hindu dan juga karena takut pembalasan organisasi-organisasi Islam besar seperti Nahdatul Ulama (NU). Anggota-anggota muda NU tidak hanya aktif membunuhi orang-orang komunis tapi juga unsur-unsur Jawa Kejawen atau anti Islam yang banyak dianut Partai Nasionalis Islam milik Sukarno selama tahap pertama pembunuhan masal di jaman itu (Hefner 1987). Demi keselamatan nyawanya, para pengikut Kejawen terpaksa mengumumkan diri mereka sebagai Islam.

Pada awal Orde Baru, Presiden Suharto tidak mengikuti paham agama apapun. Baru di tahun 1990-an, Suharto mulai mendekati organisasi-organisasi Islam. Awalnya Suharto adalah pembela aliran Kejawen yang gigih, tapi ia lalu mengajukan tawaran-tawaran kepada kelompok Islam di masa itu karena berkurangnya dukungan masyarakat dan militer terhadap rezimnya. Tindakannya yang paling jelas tampak pada dukungannya atas Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI), yang anggotanya secara terbuka menginginkan negara dan masyarakat Islam Indonesia (Hefner 1997).

Kekawatiran mulai tumbuh tatkala ICMI menjadi organisasi yang mendominasi birokrasi nasional dan melaksanakan program-program pendidikan Islam besar-besaran dan pembangunan mesjid-mesjid melalui Departemen Agama dan sekali lagi menyerang aliran dan penganut Kejawen. Pada waktu yang sama, terjadi pembunuhan-pembunuhan oleh ekstrimis Muslim atas orang-orang yang dituduh sebagai dukun yang melakukan pengobatan tradisional Kejawen. (Ingat serentetan kasus pembunuhan dukun santet oleh ‘ninja’ yang terjadi di desa-desa terpencil di Jawa?)

Pengalaman-pengalaman pahit dan penindasan membuat para penganut Kejawen takut dan juga benci. Dalam wawancara yang dilakukan di tahun 1999, orang-orang yang baru saja murtad dan memeluk Hindu di Jawa Tengah dan Timur mengaku bahwa mereka sebenarnya tidak keberatan dengan identitas Islam. Tapi mereka sakit hati saat harus meninggalkan tradisi Hindu Jawa dengan tidak lagi melakukan upacara-upacara tertentu yang sudah menjadi bagian hidup mereka. Untuk menyalurkan hasrat politik, banyak penganut Kejawen dan pemeluk baru agama Hindu yang menjadi anggota partai politik Megawati Sukarnoputri. Keterangan dari kelompok ini menyatakan bahwa kembalinya mereka kepada agama Majapahit (Hindu) merupakan kebanggaan nasional dan ini diwujudkan melalui pandangan politik baru yang penuh rasa percaya diri..

Dalam konteks sosial dan ekonomi, cirri-ciri umum yang tampak di masyarakat baru Hindu di Jawa adalah kecenderungan untuk berkumpul di pura-pura yang baru saja dibangun atau candi-candi kuno yang dinyatakan kembali sebagai tempat ibadah masyarakat Hindu. Satu dari pura-pura Hindu yang baru dibangun di Jawa Timur adalah, pura Mandaragiri Semeru Agung, di bukit dekat Gunung Semeru. Ketika pura ini selesai dibangun pada bulan Juli 1992 dengan bantuan keuangan Bali, hanya segelintir keluarga setempat secara resmi memeluk agama Hindu. Penelitian di bulan Desember 1999 menunjukkan masyarakat Hindu lokal berkembang menjadi lebih dari 5.000 keluarga.

Perpindahan agama besar-besaran yang sama juga terjadi di daerah sekitar pura Agung Blambangan yang merupakan pura baru yang dibangun di daerah sisa-sisa kerajaan Blambangan, pusat kekuatan politik Hindu terakhir di Jawa. Yang tidak kalah pentingnya adalah Candi Loka Moksa Jayabaya (di desa Menang dekat Kediri), di mana raja dan petinggi Hindu, Jayabaya, dipercaya mencapai moksa.

Gerakan Hindu lain yang juga mulai tampak terjadi di daerah sekitar pura Pucak Raung (di Jawa Timur) yang baru saja dibangun. Daerah ini disebut dalam sastra Bali sebagai tempat di mana Maharishi Markandeya, mengumpulkan pengikutnya untuk melakukan perjalanan ke Bali dan membawa agama Hindu ke Bali di abad 5 M.

Kebangkitan agama Hindu juga tampak di daerah Candi Hindu kuno di Trowulan dekat Mojokerto. Daerah ini dikenal sebagai ibukota kerajaan Hindu Majapahit. Gerakan Hindu setempat berusaha untuk mendapatkan ijin menggunakan candi yang baru saja digali sebagai tempat ibadah agama Hindu. Candi ini akan dipersembahkan bagi Gajah Mada, perdana menteri Majapahit yang berhasil mengembangkan kerajaan Hindu kecil itu sampai meliput wilayah dari Sabang sampai Merauke.

Meskipun terdapat lebih banyak pertentangan dari kelompok Islam di Jawa Tengah daripada di Jawa Timur, masyarakat Hindu ternyata juga berkembang di Jawa Tengah (Lyon 1980). Contohnya adalah di Klaten di dekat Candi Prambanan.

Selain itu candi-candi besar Hindu juga dapat mendatangkan kemakmuran baru bagi masyarakat setempat. Selain sumber penghasilan bagi pekerja pelebaran dan perbaikan candi itu sendiri, mengalirnya peziarah Bali yang terus menerus ke candi-candi nasional itu menciptakan industri baru bagi penduduk setempat. Di sepanjang jalan utama menuju Candi Semeru terdapat sederetan hotel dan took-toko yang menawarkan sesajen siap pakai, angkutan, dan makanan bagi para pendatang. Pada hari-hari raya besar, puluhan ribu peziarah akan datang setiap hari. Peziarah yang memberi sumbangan dana besar bagi candi besar itu juga ternyata menarik perhatian penduduk setempat. Kemakmuran ekonomi orang-orang Bali juga membuat penduduk setempat berpendapat bahwa budaya Hindu ternyata lebih banyak mendatangkan keberhasilan pariwisata internasional dibandingkan budaya Islam.

Pihak pendukung atau penentang Hindu biasanya menghubungkan bangkitnya agama Hindu secara tiba-tiba di Jawa dengan ramalan terkenal Sabdapalon dan Jayabaya. Dalam ramalan itu dinyatakan beberapa ciri dan bencana alam dahsyat, meskipun pengertian akan ramalan ini berbeda antara kedua pihak. Harapan terpenuhinya ramalan itu merupakan cermin ketidakpuasan yang semakin membesar atas Pemerintahan Suharto yang korup dan tangan besi di tahun 1990-an sampai berakhir di tahun 1998, yang diikuti dengan demonstrasi mahasiswa di berbagai kota di Jawa sejalan dengan krisis ekonomi Asia. Krisis politik dan ekonomi yang lebih besar yang terus berlangsung di Indonesia saat ini juga semakin menumbuhkan harapan itu.

Abdurahman Wahid, presiden Indonesia pertama yang terpilih secara demokratis, ternyata mengundang banyak kritik karena pada masanya terjadi pertentangan agama, pemberontakan di Aceh dan Papua Barat dan skandal korupsi di Pemerintahan.[2] Masyarakat luas menduga ketidakstabilan politik di bawah Pemerintahan Megawati Sukarnoputri (sejak tanggal 23 Juli 2001) akan terus berlangsung. Selain itu dikhawatirkan penindasan seperti yang terjadi di jaman Suharto akan terulang lagi. Menurut penentang dan pendukung gerakan baru agama Hindu, keadaan politik yang tak menentu saat ini sesuai dengan ramalan Sabdapalon dan Jayabaya.

Menurut legenda, Sabdapalon adalah pendeta dan penasehat Brawijaya V, raja terakhir kerajaan Hindu Majapahit. Dikisahkan pula bahwa Sabdapalon mengutuk rajanya yang meninggalkan agama Hindu untuk memeluk agama Islam di tahun 1478. Sabdapalon lalu berjanji untuk kembali setelah waktu 500 tahun berlalu di masa merajalelanya korupsi politik dan bencana-bencana alam besar, untuk mengenyahkan Islam dari pulau Jawa dan membangkitkan kembali agama dan masyarakat Hindu Jawa.

Beberapa tempat suci Hindu baru yang pertama dibangun di Jawa memang selesai dibangun sekitar tahun 1978, misalnya Pura Blambangan di daerah Banyuwangi. Sesuai dengan ramalan, Gunung Semeru meledak di waktu itu pula. Semua ini dianggap sebagai bukti tepatnya ramalan Sabdapalon. Pihak penentang Hindu dari agama Islam menerima prinsip ramalan itu, meskipun menafsirkannya secara berbeda. Beberapa kalangan Islam menganggap murtadin yang memeluk Hindu disebabkan karena kelemahan sesaat dalam masyarakat Islam itu sendiri, dengan menyalahkan sifat materialisme di dunia modern dan turunnya nilai-nilai Islami atau karena penerapan Islam yang tak murni melalui tata cara ibadat Kejawen (Soewarno 1981). Menurut pendapat mereka, ‘kembalinya Sabdapalon’ berarti ujian bagi Islam dan perlunya memurnikan dan membangkitkan kembali iman Islam.

Ramalan yang lain yang juga terkenal di seluruh Jawa dan Indonesia adalah ramalan Jayabaya. Buku tentang ramalan ini yang ditulis oleh Soesetro & Arief (1999) telah jadi best seller nasional. Ramalan Jayabaya juga seringkali didiskusikan di Koran-koran. Ramalan-ramalan kuno ini memang bagian dari percakapan dan diskusi sehari-hari dalam masyarakat Indonesia.

Tokoh legendaris Sri Mapanji Jayabaya berkuasa di kerajaan Kediri di Jawa Timur dari tahun 1135 sampai 1157 Masehi (Buchari 1968:19). Dia terkenal atas usahanya menyatukan kembali Jawa setelah pecah karena kematian raja sebelumnya, Airlangga. Jayabaya juga terkenal karena keadilan dan kemakmuran kerajaannya dan karena pengabdiannya bagi kesejahteraan rakyatnya. Jayabaya dikenal sebagai titisan dewa Wishnu dan dianggap sebagai ‘ratu adil’ yakni raja yang bijaksana yang muncul di jaman edan di akhir putaran tatasurya untuk menegakkan kembali keadilan sosial, keteraturan dan keseimbangan di dunia. Banyak yang percaya waktu datangnya sang ratu adil yang baru telah dekat (seperti yang disebutkan dalam ramalan itu, “jika kendaraan-kendaraan besi bergerak sendiri tanpa kuda-kuda dan kapal-kapal berlayar menembus langit“), dan ia akan datang untuk menyelamatkan dan menyatukan nusantara kembali setelah krisis hebat yang mengantarkan kepada awal jaman keemasan yang baru.

Orang-orang Hindu Jawa mengenang Sabdapalon dan Jayabaya dengan penuh kebanggaan karena mewakili jaman keemasan sebelum Islam. Kalangan Islam sendiri sebaliknya percaya bahwa Jayabaya itu sebetulnya adalah seorang Muslim dan Sabdapalon tidak mau masuk Islam karena saat itu dia berhadapan dengan bentuk Islam yang salah dan tidak murni lagi (Soewarno 1981). Meskipun begitu, para penelaah ramalan dari pihak Muslim dan Hindu setuju bahwa sekaranglah masa terjadinya bencana hebat. Mungkin dalam bentuk reformasi politik besar-besaran dan mungkin pula sebuah revolusi. Kedua belah pihak juga setuju bahwa sistem pemerintahan demokrasi yang murni hanya dapat terlaksana dengan adanya pemimpin yang bermoral sangat tinggi yang mencampurkan kesadaran demokrasi modern dengan karisma kepemimpinan tradisional.

Pengaruh ramalan Jayabaya tampak nyata pada diri masyarakat Indonesia dari berbagai kalangan dan ini tampak pula dengan kunjungan-kunjungan rahasia yang dilakukan Presiden Abdurahman Wahid (sekali sebelum dia dicalonkan untuk jadi presiden dan sekali lagi sebelum dia terpilih) sewaktu menjabat ketua NU ke candi keramat Raja Jayabaya di Bali, Pura Pucak Penulisan. [3] Setelah kunjungan pribadi malam hari di pura Hindu kuno ini, demikian menurut pengakuan pendeta-pendeta Hindu setempat, Gus Dur berbicara dengan mereka untuk waktu lama tentang ramalan-ramalan Jayabaya dan kedatangan kembali ratu adil.

Catatan Kaki:

[1] The other four state-recognized religions (agama) are Islam, Catholicism, Protestantism, and Buddhism (mainly Indonesians of Chinese ethnicity). Unrecognized religions are categorized by the state as minor ‘streams of belief’ (aliran kepercayaan) or are simply treated as a part of different local ‘customs and traditions’ (adat).

[2] As I am writing this, parliamentary procedures have been set into motion so as to impeach President Abdurahman Wahid on allegations of his involvement in corruption scandals.

[3] Pura Pucak Penulisan is still an important regional temple, and was a state temple of Balinese kings from the eighth century AD (Reuter 1998). Many statues of Balinese kings are still found in its inner sanctum, including one depicting Airlangga’s younger brother Anak Wungsu. Literary sources suggest that intimate ties of kinship connected the royal families of Bali with the dynasties of Eastern Javanese kingdoms, including Kediri. Jayabaya’s predecessor Airlannga, for example, was a Balinese prince.

Referensi:

  1. Adorno, T. W. 1978. ‘Freudian Theory and the Pattern of Fascist Propaganda‘. In A. Arato & E. Gebhardt (eds), The Essential Frankfurt School Reader. Oxford: Basil Blackwell.
  2. Bakker, F. 1995. Bali in the Indonesian State in the 1990s: The religious aspect. Paper presented at the Third International Bali Studies Workshop, 3-7 July 1995.
  3. Beatty, A. 1999. Varieties of Javanese Religion. Cambridge: Cambridge University Press.
  4. Buchari 1968. ‘Sri Maharaja Mapanji Garasakan’. Madjalah Ilmu-Ilmu Sastra Indonesia, 1968(4):1-26.
  5. Ellingsen, P. 1999. ‘Silence on Campus: How academics are being gagged as universities toe the corporate line‘. Melbourne: The Age Magazine, 11.12.1999:26-32.
  6. Fox, J. & Sathers, C. (eds) 1996. Origins, Ancestry and Alliance: Explorations in Austronesian Ethnography. Canberra: Department of Anthropology, Research School of Pacific and Asian Studies, Australian National University.
  7. Geertz, C. 1960. The Religion of Java. Chicago: The University of Chicago Press.
  8. Hefner, R. 1985. Hindu Javanese: Tengger Tradition and Islam. Princeton: Princeton University Press.
  9. Hefner, R. 1987. ‘The Political Economy of Islamic Conversion in Modern East Java‘. In W. Roff (ed.), Islam and the Political Economy of Meaning. London: Croom Helm.
  10. Hefner, R. 1990. The Political Economy of Mountain Java. Berkeley: University of California Press.
  11. Hefner, R. 1997. ‘Islamization and Democratization in Indonesia’. In R. Hefner & P. Horvatich (eds), Islam in an Era of Nation States: Politics and Religious Renewal in Muslim Southeast Asia. Honolulu: University of Hawaii Press.
  12. Kaplan, M. 1995. Neither Cargo nor Cult: Ritual Politics and the Colonial Imagination in Fiji. Durham (NC): Duke University Press.
  13. Lee, K. 1999. A Fragile Nation: The Indonesian Crisis. River Edge (N.J.): World Scientific.
  14. Lindstrom, L. 1993. Cargo Cult: Strange Stories of Desire from Melanesia and Beyond. Honolulu: University of Hawaii Press.
  15. Lyon, M. 1980. ‘The Hindu Revival in Java”. In J. Fox (ed.), Indonesia: The making of a Culture. Canberra: Research School of Pacific and Asian Studies, Australian National University.
  16. Ramstedt, M. 1998. ‘Negotiating Identity: ‘Hinduism’ in Modern Indonesia‘. Leiden: IIAS Newsletter, 17:50.
  17. Reuter, T. 1998. ‘The Banua of CandiPucak Penulisan: A Ritual Domain in the Highlands of Bali’. Review of Indonesian and Malaysian Affairs, 32 (1):55-109.
  18. Schwartz, H. 1987. ‘Millenarianism: An overview’. In M. Eliade (ed.), The Encyclopedia of Religion, Vol. 9:521-532. New York: MacMillan.
  19. Smelser, J. 1962. Theory of Collective Behavior. London: Routledge and Kegan Paul.
  20. Soesetro, D. & Arief, Z. 1999. Ramalan Jayabaya di Era Reformasi. Yogyakarta: Media Pressindo.
  21. Soewarna, M. 1981. Ramalan Jayabaya Versi Sabda Palon. Jakarta: P.T Yudha Gama.
  22. Stewart, K. & Harding, S. 1999. ‘Bad Endings: American Apocalypsis‘. Annual Review of Anthropology 28:285-310.
  23. Stewart, P.J. 2000. ‘Introduction: Latencies and realizations in millennial practices‘. Ethnohistory 47(1):3-27. [Special Issue on Millenarian Movements.]
  24. Timmer, J. 2000. ‘The return of the kingdom: Agama and the millennium among the Imyan of Irian Jaya, Indonesia’. . Ethnohistory 47(1):29-65.

Catatan:

Dr Thomas Reuteradalah peneliti di Queen Elizabeth II, University of Melbourne’s School pada program studi Antropologi, lingkungan dan geografi. Artikel yang memuat hasil penelitian beliau yang dipublikasi oleh Australian Journal of Anthropology dapat di baca di link ini.

Translate »