Dalam Bhagavata Purana 11.5.32 disebutkan: “kṛṣṇa-varṇaḿ tviṣākṛṣṇaḿ sāńgopāńgāstra-pārṣadam yajñaiḥ sańkīrtana-prāyair yajanti hi su-medhasaḥ, Pada zaman Kali, orang cerdas bersama-sama memuji nama-nama suci Tuhan untuk menyembah penjelmaan Tuhan Yang Maha Esa yang senantiasa menyanyikan nama Krishna. Walaupun wajah Beliau tidak hitam, Beliau adalah Krishna Sendiri. Beliau diiringi oleh rekan-rekan, hamba-hamba, perlengkapan, dan teman-teman-Nya yang dekat”. Sloka ini adalah merupakan salah satu ramalan akan munculnya penjelmaan Tuhan sebagai seorang bhakta yang senantiasa mengagungkan nama suci Tuhan. Dijelaskan pula bahwa Beliau adalah Sri Krishna sendiri meskipun Beliau muncul dalam warna kulit yang tidak hitam. Lebih lanjut dijelaskan dalam Mahabharata (Dhana-dharma, Vishnu Sahasranama Stotra), “suvarna varno hemangovarangas candanangadi sannyasa-krc chamah santonistha-santi-parayanah, “Dalam kegiatan-Nya pada usia muda Beliau muncul sebagai orang yang berumah tangga yang berwajah kuning emas. Anggota-anggota badan-Nya tampan sekali. Badan-Nya diolesi dengan tapal terbuat dari kayu cendana. Warna badannya seperti emas cair. Dalam kegiatan berikutnya, Beliau menjadi sannyasi dan Beliau tenang sentosa. Beliaulah tempat kedamaian dan bhakti tertinggi, sebab beliau membuat terdiam orang yang bukan penyembah dan tidak mengakui bentuk pribadi Tuhan.” Penjelasan yang serupa juga disampaikan oleh Sri Krishna kepada Maha Esi Vyasa dalam Upa-Purana; “aham eva kvacid brahman sanyasramam asritah hari-bhaktim grahayami kalau papa hatan naran, “Wahai brahmana yang bijaksana, kadang-kadang Aku menjadi sanyasi (tingkat meninggalkan hal-hal duniawi) untuk memberi pelajaran kepada orang yang sudah jatuh pada zaman Kali agar mereka mulai berbhakti kepada Tuhan Yang Maha Esa.”

Sloka-sloka di atas adalah sebagian dari beberapa ramalan akan munculnya Avatara Tuhan dalam Kali-yuga ini. Sudahkah ramalan tersebut terjadi? Lalu kapan ramalan ini akan terwujud?

Menurut Bhagavad Gita 4.8 tujuan munculnya Avatara ke dunia material adalah untuk:

  1. Paritranaya sadhunam (melindungi orang-orang saleh).
  2. Vinasaya ca duskrtam (menghancurkan orang-orang jahat).
  3. Dharmasamsthapanarthaya (menegakkan prinsip-prinsip dharma di alam material).

Veda menjelaskan bahwa kemunculan Avatara pada jaman Kali pada umumnya adalah untuk menegakkan prinsip-prinsip dharma yang mulai disimpangkan. Mengingat manusia berwatak asurik pada jaman kali semakin banyak sehingga untuk melindungi dharma, para Avatara tidak melakukan jalan Vinasaya ca duskrtam tetapi lebih pada pendekatan Dharmasamsthapanarthaya. Hanya saja pada akhir Kali-yuga nanti disaat moral manusia sudah sangat merosot dan tidak bisa diajarkan prinsip-prinsip dharma, maka Avatara yang terakhir dalam satu kali siklus Yuga akan turun sebagai Kalki dan membinasahkan semua manusia berwatak asurik tersebut serta menandakan dimulainya Satya-yuga, jaman dimana Dharma benar-benar dijunjung tinggi.

Munculnya Avatara Emas tidak lepas dari dari kemunculan beberapa Avatara lainnya pada jaman Kali. Buddha Avatara adalah penjelmaan Tuhan yang pertama pada jaman Kali. Misi Avatara Buddha tertuang salah satunya dalam Bhagavata Purana 1.3.24; “tatah kalau sampravrtte sammohaya sura-dvisam buddho namnanjana-sutah kikatesu bhavisyati, kemudian pada masa awal kali-yuga, tuhan turun sebagai sang buddha, putra anjana, di propinsi gaya, dengan tujuan untuk menipu orang-orang yang tergolong asura (yang tidak mengindahkan prinsip-prinsip dharma), mereka yang memusuhi para sura (orang yang berjalan dalam jalan dharma). Beliau muncul sebagai Sidharta Gautama yang seolah-olah mengajarkan bahwa Tuhan itu tidak ada. Tindakan ini tidak lepas dari kondisi masyarakat pada waktu itu yang melakukan berbagai macam himsa karma (pembunuhan) dengan mengatasnamakan Veda, tetapi pada dasarnya tindakan tersebut dilakukan hanya untuk memenuhi kepuasan lidah dan perutnya semata. Para pemuka agama juga melakukan kegiatan Pravrtti Marga yang jauh menyimpang dari prinsip-prinsip Veda. Tentunya satu-satunya jalan termudah untuk mengarahkan masyarakat kembali ke arah dharma adalah dengan menolak otoritas Veda dan menyatakan bahwa Veda serta apa yang mereka lakukan yang dikatakan bersumber dari Veda adalah salah. Dengan perlindungan raja Ashoka, filsafat Buddhisme menyebar dengan cepat ke seleuruh negeri sehingga pada waktu itu penganut ajaran Veda seolah-olah musnah.

Misi pemurnian ajaran Veda setelah kemunculan Buddha dilanjutkan oleh Avatara berikutnya yang merupakan penjelmaan Dewa Siva, yaitu Adi Sankaracarya sebagaimana tertuang dalam Padma-Purana Uttara-Kanda 25.7; “mayavadam asac chastram pracchannam baudham ucyate mayaiva kalpitam devi kalau brahmana rupena, Wahai Devi istriku, pada jaman Kali saya akan lahir sebagai seorang brahmana dan menjelaskan Veda dengan pilsafat palsu mayavada yang mirip dengan filsafat Buddhisme”. Sankaracarya mengajarkan filsafat palsu mayavada. Filsafat mayavada adalah ditujukan untuk mengarahkan kembali penganut paham Buddhisme yang seolah-olah atheis agar kembali mengakui akan adanya Tuhan. Hanya saja Sankaracharya tidak langsung mengatakan bahwa Tuhan dalam aspeknya sebagai Bhagavan (pribadi), tetapi beliau menejelskan bahwa Tuhan itu ada, tetapi tidak berwujud yang disebut Nirguna Brahman. Dalam penjelmaannya yang sangat singkat (788-820 M), Sankaracharya melakukan perjalanan keliling India dan melakukan debat filsafat terbuka terhadap pengikut filsafat Budhisme. Dengan kecerdasannya, Sankaracharya berhasil mengembalikan masyarakat India kembali menjadi pemeluk Veda, meskipun dengan filsafat “palsu”-nya yang belum mencerminkan ajaran Veda.

Dalam perkembangannya, banyak lahir guru-guru kerohanian yang mengoreksi ajaran mayavada yang disampaikan oleh Sankaracharya. Mereka antara lain Ramanujacharya dan Madhavacharya. Terutama sekali mereka mengoreksi pernyataan Sankaryacharya yang menyatakan bahwa Atman akan menyatu dengan Tuhan saat mencapai Moksa. Mereka menyatakan bahwa filsafat penyatuan Atman dan brahman bertentangan dengan sloka Veda yang menyatakan “Atman Brahman Aikyam, Atman (jiva) dan Brahman (Tuhan) adalah kekal. Puncak misi penegaan prinsip-prinsip dharma pada jaman Kali. Masyarakat yang sudah melakukan prinsip-prinsip Veda terjadi pada saat kemunculan Tuhan sendiri sebagai Avatara Emas.

Kemunculan Avatara Emas terjadi di Mayapur di kota Nadia, Benggala, India pada waktu magrib tanggal 23 bulan Phalguna tahun 1407 Sakabda, atau tanggal 18 Februari 1486. Pada saat kemunculan-Nya, ada gerhana bulan. Sesuai dengan kebiasaan pada saat-saat seperti itu, para penduduk Nadia sedang mandi di sungai Bhagirati (Gangga) dengan mengucapkan “haribol” dengan suara keras-keras. Ayah-Nya bernama Jagannatha Misra adalah seorang brahmana miskin yang mengikuti ajaran Veda. Ibu-Nya bernama Sacidevi adalah wanita yang memiliki segala sifat yang baik. Beliau berwajah sangat tampan, wajah dan anggota badannya berwarna kuning keemasan. Benar-benar berbeda dengan warna kulit manusia pada umumnya. Beliaulah yang selanjutnya dikenal sebagai Sri Chaitanya Maha Prabhu. Menurut Jabir (1997) pada masa itu, kota Navadvipa merupakan kota yang menjadi pusat belajar yang menyaingi kota Benares, kota yang menjadi pusat terbesar bagi para pengikut Adi Sankaracarya. Kakek Sri Caitanya, Pandit Nilambara Cakravati, seorang ahli ilmu perbintangan yang terkenal, meramalkan bahwa Caitanya akan menjadi tokoh besar pada masanya. Cahaya badannya yang keemasan membuat Caitanya dikenal pula sebagai Gauranga. Dalam bahasa Sanskerta, “gaura” berarti emas, sedangkan “angga” artinya anggota badan. Dalam usia sepuluh tahun, Sri Caitanya telah menjadi seorang sarjana yang terpelajar dalam bidang logika, tata bahasa, ilmu berpidato, dan menguasai berbagai kitab suci. Karena itulah ia juga digelari sebagai Nimai Pandit. Disebut nimai karena beliau terlahir di bawah pohon nim (pohon nimbo). Kata pandit menunjukkan gelar bagi orang yang sangat terpelajar. Semua sarjana terpelajar kota Nadia mengakui kehebatan Sri Caitanya, yang menjadi semakin termasyur setelah ia berhasil mengalahkan Kesava Misra dari Kasmir, seorang pandit besar pada masa itu, dalam debat yang dilakukan dihadapan orang banyak.

Pada saat berusia 14-15 tahun, Sri Caitanya menikah dengan Laksmi devi, putra Vallabhacarya yang juga berasal dari Nadia. Namun, tidak lama kemudian Laksmidevi meninggal dunia akibat gigitan ular berbisa. Atas permintaan ibunya, Sri Caitanya menikah lagi dengan Visnupriya, putri Raja Pandita Sanatana Misra. Saat berusia 16 tahun, Sri Caitanya diterima sebagai murid oleh seorang guru kerohanian bernama Isvara Puri, seorang sanyasi Vaisnava. Setelah pulang dari Nadia, Nimai Pandit mengajarkan prinsip-prinsip keagamaan, dan sifat kerohanian menjadi begitu kuat dalam Dirinya. Tokoh-tokoh Vaisnava yang lebih tua menjadi heran melihat perubahan pada diri pemuda itu. Sebelumnya Nimai Pandit tidak lebih dari seorang naiyayika yang suka berdebat, seorang smarta yang suka berargumentasi dan seorang ahli pidato yang suka mencela. Sekarang Sri Caitanya hampir pingsan kalau beliau mendengar nama Krishna dan beliau bertindak seperti orang yang mempunyai semangat tinggi karena pengaruh perasaan rohani.

Sri Caitanya khususnya mengajarkan proses rohani dalam bentuk pengucapan nama- nama suci Tuhan. Ajaran Sri Caitanya sama dengan ajaran yang diberikan oleh Sri Kapila, pengemuka pertama ajaran Sankhya-yoga. Filsafat sankya yang dibenarkan menganjurkan agar seseorang semadi pada bentuk rohani Tuhan. Tidak mungkin kita bermeditasi pada kekosongan ataupun pada sesuatu yang tidak memiliki sifat pribadi. Sri Caitanya Mahaprabhu mengajarkan filsafat yang disebut dengan Acintya bedhaabedha-tattva. Menurut filsafat tersebut, Tuhan Yang Maha Esa sama dengan ciptaan-Nya dan pada waktu yang samaberbeda dari ciptaan itu. Contoh yang baik untuk memahami filsafat tersebut adalah sebagai berikut. Cahaya matahari dan bola matahari dapat dikatakan sebagai dua obyek yang sama namun sekaligus berbeda pada saat yang sama. Tidak ada cahaya matahari kalau tidak ada bola matahari sebagai sumbernya. Sebaliknya, bola matahari tidak akan bermanfaat kalau tidak memancarkan cahaya matahari. Sekarang, misalnya kita berada dalam suatu kamar yang diterangi cahaya matahari. Dapatkah kita mengatakan bahwa matahari berada dalam kamar kita, hanya karena adanya cahaya matahari dalam ruangan kita?

Matahari dan cahaya matahari sama sekaligus berbeda pada saat yang sama. Begitu pula Tuhan dan ciptaan-Nya. Menurut Veda, Tuhan memiliki tiga sifat utama yaitu sat, cit, dan ananda. Sat artinya kekal, Tuhan Maha Kekal. Cit artinya penuh pengetahuan (full of knowledge), Tuhan Maha Tahu, segala pengetahuan berasal dari Beliau. Ananda berarti penuh kebahagiaan (full of bliss), Tuhan adalah sumber kebahagiaan sejati. Karena itulah, orang menjadi bahagia bila ia merasa dekat dengan Tuhan. Tuhan memiliki ketiga sifat utama itu tanpa batas. Sebagai atman (roh) kita juga memiliki ketiga sifat tersebut. Kita kekal, roh tidak pernah mati, hanya menggantikan badan. Roh tidak pernah diciptakan, sebagaimana Tuhan juga tidak diciptakan. Kita juga penuh pengetahuan, namun saat ini kesadaran kita sedang tercemari karena kita terperangkap dalam badan jasmani. Kita juga selalu mendambakan kebahagiaan, karena pada dasarnya sifat kita adalah ananda. Jadi, pada dasarnya kita hanya sama dalam kualitas, namun berbeda jauh dalam kuantitas. Inilah yang dimaksud oleh Sri Caitanya dengan filsafat acintya bedhaabheda-tattva.

Sri Caitanya mengajarkan filsafat tersebut melalui cara memuji nama suci Tuhan. Beliau mengajarkan bahwa nama suci Tuhan merupakan penjelmaan Tuhan dalam bentuk suara. Oleh karena Tuhan Yang Maha Esa adalah keseluruhan yang mutlak, tidak ada perbedaan antara nama suci Tuhan dengan bentuk rohani Tuhan. Dengan mengucapkan nama suci Tuhan seseorang dapat mengadakan hubungan secara langsung dengan Tuhan Yang Maha Esa melalui getaran suara rohani. Selama seseorang mempraktekkan ucapan getaran suara tersebut, dia naik tingkat melalui tiga tahap perkembangan : yaitu tingkat ia masih melakukan kesalahan, tingkat kesalahan yang dilakukan dihilangkan, lalu tingkat rohani.

Pada tingkat seseorang masih melakukan kesalahan, barangkali ia menginginkan segala jenis kebahagiaan material, tetapi pada tingkat kedua ia menjadi bebas dari segala pengaruh material. Apabila seseorang sudah berada pada tingkat rohani, ia mencapai kedudukan yang paling didambakan oleh setiap orang – yaitu cinta bhakti yang murni kepada Tuhan Yang Maha Esa. Sri Caitanya mengajarkan bahwa inilah tingkat kesempurnaan tertinggi kehidupan manusia.

Sri Caitanya kemudian mengajarkan secara luas gerakan sankirtan kepada masyarakat luas. Sankirtan adalah pengucapan nama-nama suci Tuhan yang dilakukan secara beramai-ramai, dengan diiringi alat-alat musik tradisional. Sri Caitanya khususnya menganjurkan agar seseorang mengucapakan Maha Mantra Hare Krishna yang telah ditetapkan dalam kitab Kalisantarana Upanisad sebagai yuga dharma untuk jaman Kali Yuga. “Hare Krishna Hare Krishna Krishna Krishna Hare Hare Hare Rama Hare Rama Rama Rama Hare Hare”. Berangsur-angsur, penduduk Nadia mulai mengikuti apa yang dilakukan oleh Sri Caitanya. Mereka beramai-ramai menyanyikan nama-nama Krishna di jalan- jalan dikota Nadia dengan diiringi instrumen musik. Demikianlah, gerakan sankirtan Sri Caitanya mulai berkembang pesat, bahkan mulai menyebar ke daerah diluar Nadia.

Sri Caitanya mengajarkan bahwa orang hendaknya mengucapkan nama- nama suci Tuhan dan memuja Tuhan Yang Esa dan Maha Tunggal. Para brahmana kolot di kota Nadia dan sekitarnya yang terbiasa memuja banyak dewa merasa terganggu dan iri hati pada keberhasilan Sri Caitanya. Orang- orang Hindu ini kemudian mengadukan perbuatan Sri Caitanya itu kepada penguasa kota Navadvipa. Mereka menuduh Sri Caitanya telah merusak dan menghancurkan tradisi turun temurun yang dilakukan oleh para brahmana itu, yaitu pemujaan kepada banyak dewa, yang semuanya dianggap Tuhan.

Pada masa itu, kota Navadvipa dibawah penguasaan seorang muslim. Ketua pengadilan di kota itu dijabat oleh Chan Kazi, seorang pemeluk Islam yang taat. Sebagai seorang jaksa, ia merasa berkewajiban untuk menindaklanjuti laporan para brahmana itu. Bersama para pesuruhnya, ia lalu mendatangi para pengikut Sri Caitanya yang sedang melakukan sankirtan. Chan Kazi membubarkan orang-orang itu, dan memecahkan gendang serta mengancam agar orang-orang berhenti menyanyikan nama Krishna. Chan Kazi meminta agar Sri Caitanya berhenti melakukan kegiatannya yang aneh dan dianggap bertentangan dengan prinsip-prinsip agama Hindu. Kalau hal itu masih dilakukan, mereka akan ditangkap dan dijebloskan ke dalam penjara.

Mengetahui hal itu, Sri Caitanya lalu mengumpulkan ribuan orang pengikutnya dan mengajak mereka beramai- ramai mendatangi rumah Chan Kazi pada malam hari. Ribuan orang itu membawa obor dan mengepung rumah Chan Kazi sambil menyanyikan Maha Mantra Hare Krishna. Kazi menjadi ketakutan, lalu mengajak Sri Caitanya berdialog panjang lebar. Sri Caitanya, yang tidak lain adalah penjelmaan Sri Krishna sendiri, bahkan mengutip ayat-ayat Al-Quran dan digabungkan dengan sloka-sloka Veda untuk membuktikan bahwa apa yang dilakukan oleh Sri Caitanya tidak bertentangan dengan prinsip- prinsip kitab suci. Chan Kazi mengutip ayat Al-Quran untuk membenarkan pembunuhan sapi, namun Sri Caitanya mengutip lebih banyak ayat Al-Quran yang membuktikan bahwa pembunuhan sapi bahkan tidak dibenarkan dalam Al-Quran sendiri.

Karena Sri Caitanya mengajarkan agar orang bermeditasi pada bentuk pribadi Tuhan, Chan Kazi mengutip ayat-ayat Al-Quran yang menyatakan bahwa Allah tidak berwujud. Tapi Sri Caitanya mengutip lebih banyak ayat Al- Quran dan sloka-sloka Veda yang membenarkan bahwa Tuhan sesungguhnya memiliki wujud pribadi yang bersifat rohani. Hasil diskusi lengkap ini tercatat dalam kitab Sri Caitanya Caritamrta, biografi Sri Caitanya yang ditulis oleh Sri Krishna Kaviraja das. Secara terpisah, dialog tersebut telah dijadikan buku tersendiri oleh Airavata Dasa, seorang Hindu kelahiran muslim yang berasal dari Azarbaizan. Kedua buku tersebut adalah The Enlightmen of Chan Kazi (Pencerahan Chan Kazi). Buku lainnya adalah The Hidden Treasure of Al- Qur’an (Harta Karun Tersembunyi dalam Al- Qur’an) terbitan The Dhabir Khas Trust, In- dia, 1997, yang berisi dialog antara Sri Caitanya dengan pemimpin muslim lainnya yang bernama Abdullah Pathan.

Menjelang usainya diskusi itu, Chan Kazi dapat mengakui kebenaran ajaran Sri Caitanya bahwa Tuhan itu hanya satu, tiada duanya, namun memiliki berjuta-juta nama. Akhirnya, Sri Caitanya menyampaikan pengaruh Vaisnava ke dalam hati Chan Kazi dengan cara menyentuh badannya. Pada saat itu Kazi menangis dan mengakui bahwa ia telah merasakan pengaruh rohani yang kuat dan pengaruh itu telah menghilangkan keragu- raguannya dan menimbulkan rasa rohani di dalam hatinya yang memberikan kebahagiaan tertinggi baginya.

Pada akhirnya Chan Kazi mendukung gerakan sankirtan Sri Caitanya dan memerintahkan seluruh penduduk muslim di kota Navadvipa agar menghormati dan tidak melakukan gangguan apapun terhadap gerakan sankirtan Sri Caitanya. Perintah tersebut diikuti oleh penduduk kota Nadia turun temurun. Orang-orang menjadi kagum pada kekuatan spiritual Sri Caitanya, karena beliau mampu mengubah hati orang yang tadinya sangat memusuhi pengucapan nama-nama suci Krishna, kini justru sebaliknya, memberikan perlindungan terhadap kegiatan itu.

Setelah peristiwa itu, Sri Caitanya menarik hati ribuan orang, tanpa dibatasi status sosialnya dalam masyarakat, untuk mengikuti kegiatan rohani beliau. Ketika raja muslim Bengal, Nawab Hussein Shah Badahasah mendengar kehebatan pengaruh Sri Caitanya dalam menarik ribuan orang mengikuti ajarannya, ia menjadi sangat heran dan berkata :” Orang seperti itu, yang mampu menarik ribuan orang tanpa memberi imbalan apapun kepada mereka, pastilah utusan Tuhan. Saya dapat meyakini hal itu.” Nawab Hussein kemudian memerintahkan para jaksa “Jangan mengganggu Sri Caitanya dan kegiatannya hanya karena rasa iri. Biarkan beliau melakukan apapun yang dikehendakinya” (Jabir, 1997). Nawab Hussein dapat melihat bagaimana kekuatan Allah bertindak melalui diri Sri Caitanya, dan ia meyakini sifat-sifat rohani yang dimiliki oleh Beliau.

Sesudah kejadian itu, beberapa brahmana yang iri hatinya dan jahat ingin bertengkar dengan Sri Caitanya. Mereka mengumpulkan sejumlah orang untuk melawan Sri Caitanya. Sewajarnya beliau murah hati, walaupun tetap berpegang teguh pada prinsip-prinsipnya. Sri Caitanya menyatakan bahwa perasaan partai-partai sendiri dan pembentukan sekte-sekte merupakan dua hambatan utama untuk mencapai kemajuan rohani. Dan selama beliau masih tetap menjadi penduduk Nadia dan anggota keluarga tertentu, missi-Nya tidak akan memperoleh sukses yang lengkap. Pada usia 24 tahun, dengan ketabahan hati yang luar biasa, Sri Caitanya memutuskan untuk menjadi warga dunia dengan memutuskan hubungan dengan keluarga, golongan dan kepercayaan-Nya. Sri Caitanya memasuki tahap hidup sebagai sanyasin (tahap hidup meninggalkan hal-hal duniawi) di Katwa, dibawah bimbingan Kesava Bharati. Ibu dan istrinya menangis terisak-isak karena rindu, namun Sri Caitanya berjiwa pahlawan: walaupun beliau murah hati, namun beliau berpegang teguh pada prinsip-prinsipNya yang kuat. Sri Caitanya meninggalkan dunia kecil di rumahNya, untuk masuk dunia rohani Krishna yang tidak terhingga bersama masyarakat umum.

Banyak peristiwa ajaib yang dilakukan oleh Sri Caitanya. Banyak sanyasin dalam garis perguruan Sankaracarya yang berhasil dikalahkan dalam debat. Sankaracarya mengajarkan bahwa aspek Tuhan tertinggi adalah kekosongan atau Brahman, sedangkan Sri Caitanya menegaskan bahwa aspek tertinggi Tuhan adalah Tuhan yang memiliki sifat pribadi, berwujud rohani. Bahwa Brahman hanyalah cahaya yang menutupi badan rohani Tuhan. Wujud rohani Tuhan hanya mampu dilihat oleh mereka yang sudah meninggalkan keinginan duniawi, termasuk keinginan untuk menyatu dengan Brahman. Menurut Sri Caitanya, moksa atau pembebasan berarti bahwa kita akan kembali mendapat badan rohani yang cocok untuk masuk dan hidup dalam kerajaan Tuhan. Namun perlu dicatat bahwa kalau pun kita berhasil masuk kerajaan Tuhan, tidak berarti kita lantas berubah menjadi Tuhan, kita masih akan tetap menjadi pelayan kekal Beliau, dalam hubungan cinta kasih yang bertimbal balik. Disinilah kita akan memperoleh kembali sifat asli kita : sat, cit, ananda.

Selama seseorang masih memiliki keinginan untuk menjadi Tuhan, maka selama itu pula ia akan masih jatuh dalam perputaran lingkaran kelahiran dan kematian (samsara). Demikianlah, Sri Caitanya berhasil menyempurnakan misi pelurusan dan pemurnian ajaran Veda, yang dilakukan secara bertahap mulai dari Sang Buddha, dilanjutkan oleh Adi Sankaracarya, dan puncaknya oleh Sri Caitanya Mahaprabhu.

Dari uraian di atas, dapat kita buktikan bahwa ramalan tentang Sri Caitanya dalam Mahabharata tersebut sungguh-sungguh menjadi kenyataan. Banyak ayat lain yang meramalkan kemunculan Sri Caitanya dan misi beliau. Sri Caitanya meramalkan bahwa pengucapan nama-nama suci Krishna dalam bentuk Maha Mantra : Hare Krishna Hare Krishna Krishna Krishna Hare Hare/Hare Rama Hare Rama Rama Rama Hare Hare akan menyebar dan dikenal di seluruh pelosok desa dan kota di seluruh dunia. Bhakti Yoga akan menjadi yuga dharma atau dharma pada jaman Kali Yuga, serta akan mengalami masa keemasan selama 10.000 tahun mendatang.

Sri Caitanya hadir di dunia ini selama 48 tahun, dan beliau menghilang dari pandangan mata pada tahun 1534. Para murid Sri Caitanya menulis dan menyusun kitab-kitab yang berisi ajaran-ajaran bhakti kepada Sri Krishna sebagaimana yang diajarkan oleh Sri Caitanya. Semua ajaran itu di dasarkan pada ajaran Bhagavad-gita, Bhagavata Purana, dan kitab-kitab Upanisad lainnya yang memiliki nilai rohani yang sangat mendalam. Dua di antara murid terkemuka Sri Caitanya adalah Dhabira Khasa dan Sakara Malik, dua mentri kesayangan raja muslim Bengal yang bernama Nawab Hussein Shah yang mendukung dan melindungi kegiatan sankirtan Sri Caitanya tersebut. Kedua kakak beradik itu mundur dari jabatannya sebagai mentri, lalu menyerahkan diri kepada Sri Caitanya. Keduanya kemudian mendapat nama rohani Rupa Gosvami dan Sanatana Gosvami yang beserta empat gosvami lainnya melanjutkan misi Sri Caitanya dengan menyusun karya-karya rohani yang tak terhingga banyaknya. Mereka dikenal sebagai enam gosvami (sad gosvami).

Ajaran Sri Caitanya disebarluaskan dan dipertahankan kemurniannya melalui sistem parampara (garis perguruan rohani yang dibenarkan yang tidak pernah menyimpang sampai dengan jaman modern ini. Setelah selama beratus-ratus tahun menjadi teka-teki, akhirnya ramalan Sri Caitanya mulai menjadi kenyataan. Om Visnupada A.C. Bhaktivedanta Swami Prabhupada (1896 – 1977) mewujudkan misi Sri Caitanya tersebut, dengan menyebarkan ajaran Vaisnava atau Bhakti Yoga tersebut ke Amerika pada tahun 1965. Selama dua belas tahun pengajarannya, Srila Prabhupada, demikian beliau lebih dikenal, berhasil menarik ribuan orang dari seluruh dunia untuk mengikuti proses yang diajarkan oleh Sri Caitanya. Beliau menyusun kitab Bhagavad-gita As It Is (Bhagavad-gita Menurut Aslinya) menterjemahkan Bhagavata Purana, Sri Caitanya Caritamrta (biografi Sri Caitanya) dan menulis lebih dari 80 judul buku tentang ajaran Veda. Selama 12 tahun, Srila Prabhupada keliling dunia sebanyak 14 kali, dan pernah ke Indonesia pada tahun 1973.

Para sarjana sangat menghargai kesarjanaan dan kedalaman bhakti buku- buku karya Srila Prabhupada. Saat meninggal dunia pada 14 November 1977, Srila Prabhupada telah berhasil mendirikan 108 temple, ashram, dan kawasan pertanian organik di seluruh wilayah dunia. Sebuah prestasi yang oleh para sarjana Barat dianggap sangat laur biasa, yang belum pernah terjadi sebelumnya dalam sejarah. Dimana orang-orang Barat, yang tadinya sama sekali asing terhadap kebudayaan Veda, dalam waktu sangat singkat menerima dan mempraktekakkan ajaran bhakti yoga dengan keseriusan yang luar biasa dalam kehidupan sehari-hari mereka.

Karena menekankan proses spiritual dalam bentuk pengucapan secara berulang-ulang (japa) Maha Mantra Hare Krishna, maka gerakan sankirtan Sri Caitanya lebih dikenal secara luas di dunia sebagai Hare Krishna.

Pada tahun 2010 ini, perayaan kemunculan Avatara Emas, Chaitanya Maha Prabhu (Sri Gaura Purnima 524) telah diperingati oleh seluruh umat Hindu khususnya Vaisnava, pada hari Minggu, 28 Februari yang berpusat di tempat kemunculan Beliau di Mayapur. Sedangkan pada tahun 2011 mendatang, Sri Gaura Purnima 525 akan jatuh pada hari Sabtu, 19 Maret 2010. Para pengikut Beliau dari berbagai belahan dunia seperti Amerika, Eropa, Arab Saudi, Jepang, Cina, Afrika, Israel, Palestina selalu datang berkumpul dan berbaur setiap tahunnya dalam suka cita rohani menyambut detik-detik yang bersejarah tersebut. Disamping itu di setiap temple dan ashram Hare Krishna di seluruh dunia juga melakukan perayaan khusus untuk memperingati kemunculan Sri Chaitanya.

Sumber: Dikutip dengan perubahan dari Newsletter Narayana Smrti Ashram Edisi 10/Maret 2005 karya Suryanto, M.Pd.

Bahan bacaan lainnya:

  1. A.C. Bhaktivedanta Swami Prabhupada, Bhagavad-gita Menurut Aslinya. BBT International, USA.
  2. Bhakti-Yoga And Islam by Airavata-dasa, Published by Turkish Society for Philosophy And Social Science, Istambul 1996.
  3. Enlightenment Of Chand Kazi by Airavata-dasa, Published by Bhaktivedanta Institute Of Vedic Studies, Mayapur 1997.
Translate »