Sejak hampir sepuluh tahun yang lalu para tokoh-tokoh di Bali selalu mendengung-dengungkan kata “Ajeg Bali”. Istilah ajeg Bali dicetuskan oleh seorang bos media masa Bali Post, dan Bali TV asal Lumajang, Tabanan. Ide awal didengungkannya istilah ajeg Bali ini adalah dari kekawatiran akan lenyap dan tergerusnya budaya Bali dari pulau Bali mengingat rongrongan budaya asing yang begitu kuat. Mereka sepenuhnya menyadari bahwa jika pemuka masyarakat Bali hanya berpangkutangan menyaksikan getolnya para misionaris dan kaum dakwah melebarkan sayapnya di pulau Bali, maka pulau Bali hanya akan tinggal kenangan. Namun, sudahkan usaha Ajeg Bali yang berlangsung hampir sepuluh tahun ini menunjukkan buahnya?

Seorang editor majalah News Week yang juga merupakan salah seorang keturunan keraton Solo, Surya Sasongko bercerita disela-sela kesibukannya mengurus Art Shop miliknya yang berlokasi tidak jauh dari alun-alun utara keraton Jogja. Beliau mengungkapkan keprihatinannya melihat kondisi Indonesia dan Bali saat ini. Beliau menceritakan tiga puluh tahunan yang lalu saat diajak ibu dan ayah tirinya ke Amerika Serikat, beliau masih melihat budaya Indonesia yang sangat menawan. Beliau melihat pulau Bali masih “cukup perawan”, indah dan masih layak menyandang predikat pulau Dewata. Namun apa yang terjadi saat beberapa tahun yang lalu ketika beliau kembali ke Indonesia? Katanya, Indonesia benar-benar berubah 180 drajat. Kota Solo dan Jogja yang dulunya dipenuhi dengan penduduk yang mengagungkan budaya jawa dan kearifan lokal telah berubah menjadi tidak ubahnya seperti negara Arab. Pulau Bali yang dulu masih asri, dihiasi dengan banyak pura, arsitektur Bali dan penduduknya yang ramah sekarang dihiasi dengan banyak bangunan-bangunan suci “tetangga”. Kota Denpasar yang dulunya hening dengan kidung dan geguritan lokalnya sekarang riuh dengan “irama import”. Penduduknya yang dulunya terkenal jujur dan ramah sekarang sudah menjadi acuh tak acuh. “Kemanakah Jogja, Solo dan Bali yang dulu saya kagumi?” Ujarnya. Tentunya bapak Surya Sasongko bukanlah satu-satunya orang yang merasakan fenomena ini, saya yakin anda semua yang sudah lama merantau keluar Bali atau Indonesia dan memandang secara flash back kondisi Indonesia dan Bali saat ini akan mengungkapkan hal yang serupa.

Lalu apa yang salah dengan ajeg Bali? Apakah program ajeg Bali terlambat mengatasi pengaruh negatif dari luar ataukah ajeg Bali memang tidak punya daya dan mandul?

Ada sangat banyak tokoh-tokoh Bali yang tanpa pambrih berusaha keras memperjuangkan kelestarian pulau Bali, tetapi ternyata usaha-usaha mereka tetap seperti jalan ditempat. Karena itu pastilah ada yang salah dengan slogan ajeg Bali yang senantiasa kita dengung-dengungkan selama ini.

Pada dasarnya Bali masih ada sampai saat ini hanya karena beruntung. Bali tetap ada lebih karena power dari luar, bukan karena inner power yang masyarakat Bali miliki. Sebagaimana surat berupa lontar bertanggal 1935 yang disampaikan raja Kelungkung selaku wakil raja-raja Bali kepada orang-orang Portugis di Malaka dimana dia menyatakan “Saya senang sekali jika mulai sekarang kita bersahabat dan orang datang ke pelabuhan ini untuk berdagang. Saya pun akan senang sekali jika imam-imam datang ke sini agar siapa saja yang menghendaki dapat memeluk agama Kristen”. Namun untungnya pada masa itu penjajahan kolonial Hindia Belanda menetapkan undang-undang yang melarang para misionaris melakukan kristenisasi di Bali sebagai mana yang tercantum dalam pasal 177. Andaikan saja Belanda tidak melindungi Bali pada waktu itu, maka sebagian besar masyarakat Bali sudah menjadi Kristen. Kenyataan ini dapat kita saksikan pada saat undang-undang pelarangan Kristenisasi dicabut dan para misionaris dengan leluasanya menyebarkan ajarannya di Bali dalam waktu singkat beberapa banjar di daerah Dalung menyatakan diri sebagai Kristen. Keberadaan mereka menjadi samar-samar setelah adanya program transmigrasi dimana sebagian dari mereka ikut terbawa dan menyebar ke luar Bali.

Dewasa ini, pertahanan budaya Bali yang terakhir hanyalah sistem adat hasil kerja keras Mpu Kuturan beberapa ratus tahun yang lalu. Masyarakat adat sering kali memberikan sangsi moral kepada penduduknya yang keluar dari adat. Namun apakah sistem adat ini masih relevan dengan kondisi Bali yang saat ini sudah dipenuhi oleh pendatang?

Saat ini sistem adat bahkan diindikasikan menjadi titik lemah dalam pelestarian Bali di beberapa daerah, terutama di daerah perkotaan karena adat hanya membebankan kewajiban secara parsial kepada orang-orang yang bermukim di daerahnya. Para pendatang sama sekali tidak terkena hak dan kewajiban dari adat, sehingga implikasinya, sering kali terjadi kecemburuan sosial bagi masyarakat asli dan merupakan celah lebar untuk keluar dari adat. Orang Bali tidak ubahnya hanya dijadikan sapi perah yang menelurkan berbagai seni budaya dan hanya dijadikan “objek pertunjukan” bukan sebagai subjek. Subjek penikmat dari semua itu hanyalah para investor asing. Oleh karena itu, beberapa masyarakat Bali intelek tetapi tidak dibekali dengan pemahaman agama yang baik sering kali berkata; “Buat apa mengikuti kewajiban adat yang sangat memberatkan kalau seandainya keluar dari adat dengan cara menjadi pemeluk agama lain tidak masalah sebagaimana halnya penduduk pendatang?”. Dengan kondisi ini, siapa yang akan kita salahkan?

Para misionaris yang memiliki pendanaan yang sangat besar saat ini sangat aktif bergerilia “menyelamatkan” masyarakat Bali. Sektor pendidikan dan ekonomi mereka sudah mencengkram Bali. Mereka lebih sering mempengaruhi masyarakat yang secara ekonomi terbelakang dan juga masyarakat yang merasa terbebani oleh adat. Bahkan kesulitan akan area pemakaman yang dulu pernah terjadi karena adat melarang penduduknya yang berada di luar adat dimakamkan di sana telah teratasi dengan penyediaan area pemakaman khusus bagi mereka yang keluar adat. Bagaimana tidak, walaupun secara hukum adat semua tanah yang terletak di wilayah adat adalah milik adat, namun apakah itu sejalan dengan hukum kepemilikan tanah di negara kita? Jadi wajar kita pura dan kuburan masyarakat Bali dibeli dan dijadikan “tempat ibadah dan kuburan lain”. Sementara itu untuk menyiasati kemelekatan masyarakat Bali pada aspek budaya yang dianggap unggul dan memiliki nilai jual keluar, para misionaris juga melakukan pendekatan budaya. Mereka melakukan promosi agama dengan memperlihatkan akulturasi dengan budaya Bali, mulai dari seni tari, musik sampai kepada tempat sembahyang yang “disamarkan” menyerupai “pura”, tetapi berlambang salib. Benar-benar kamuflase yang luar biasa yang siap mengecoh para masyarakat Bali yang “bodoh”.

Lalu bagaimana menyiasati masalah ini? Dapatkah masyarakat Bali tetap bertahan dengan keindahan adat istiadat, kesenian dan budayanya tanpa adanya Hindu di sana? Apakah dengan menggantikan sistem kepercayaan Hindu dengan agama lain seperti contohnya kepercayaan Kristen kedalam budaya Bali akan menyelamatkan Bali dari kehancuran?

Untuk mencoba membuat hipotesis akan hal ini, mari kita coba melihat sejarah Bali ke belakang. Apa dan bagaimana Bali di bangun serta apa yang menjadi daya jual Bali kepada masyarakat macanegara.

Terlepas dari kontroversi bagaimana sejarah Bali sebelum adanya hubungan pulau Bali dengan kerajaan-kerajaan dari jawa, tercatat bahwa pada masa pemerintahan Mpu Sendok (988 M) di Bali sudah berkembang ajaran Veda yang sangat kuat. Hampir semua cabang aliran Veda berkembang subur di pulau Bali. Tercatat bahwa ada sembilan paksa yang berbeda yang berkembang saat itu, yaitu : Siwa, Khala, Brahma, Wisnu, Bayu, Iswara, Bhairawa, Ghanapatya, dan Sogotha (Buddha). Bahkan jauh sebelum itu ternyata sudah terjadi hubungan yang sangat erat antara Bali dengan orang-orang dari berbagai belahan di dunia, termasuk India dan China yang dibuktikan dengan ditemukannya peninggalan-peninggalan lontar dari sekitar gunung Batu Karu, Tabanan. Lontar tersebut mengisahkan bahwa pulau Bali sudah menjadi tujuan dharma yatra dan pertapaan orang-orang suci sejak dahulu kala. Lontar tersebut juga memberikan informasi yang mengatakan bahwa di Bali sudah berkembang dua pedepokan spiritual dan oleh kanuragan yang disegani di seluruh penjuru dunia, yaitu perguruan Bulan Matahari dan perguruan Bulan Sabit. Hanya saja akibat permusuhan yang tidak berkesudahan akhirnya kedua perguruan ini berperang sampai titik penghabisan sehingga hampir tidak ada satupun dari mereka yang selamat. Namun dikatakan bahwa ternyata ada seorang murid Perguruan Bulan Sabit Cabang Seruling Dewata yang selamat dari perang tersebut walaupun dengan luka yang teramat parah. Murid inilah yang akhirnya melahirkan perguruan silat, tenaga dalam dan meditasi “Suling Dewata” sebagaimana yang bisa kita temukan di Batu Karu saat ini. Disana juga dikatakan bahwa ajaran Kung Fu Shaolin memiliki kaitan yang sangat erat dengan ilmu pencak silat tersebut.

Pada saat pemerintahan raja Udayana Warmadewa dan Ratu Gunapriya Dharmapatni, terjadi banyak kemelut di pulau Bali. Raja kesulitan dalam mengendalikan rakyatnya baik karena adanya banyak masab dan juga karena tingkah polah masyarakatnya. Untuk mengatasi kemelut tersebut, raja suami istri ini mengundang Sang Catur Sanak dari Panca Tirta (empat dari lima pandita bersaudara putra Mpu Lampita) di Jawa timur yang telah terkenal keahliannya dalam berbagai bidang kehidupan. Mereka adalah para Mpu yang datang secara bertahap, kemudian mendampingi pemerintahan raja dan ratu ini di Bali. Para Mpu ini antara lain Mpu Semeru, Mpu Ghana, Mpu Kuturan dan mpu Genijaya. Yang paling bungsu, Mpu Bharada tidak ikut ke Bali. Beliau tetap tinggal di Lemah Tulis, Pajarakan, Jawa Timur dan kemudian menjadi purohito kerajaan Daha pada masa pemerintahan Raja Sri Airlangga.

Kedatangan empat Mpu ini ke Bali membawa perubahan dan angin segar bagi pulau ini. Sebab empat Rohaniawan ini bukan saja ahli di bidang Agama, namun juga menguasai berbagai hal dan keahlian yang berkaitan dengan politik dan pemerintahan. Seorang yang menonjol dalam berbagai bidang keahlian diantara keempat pandita itu adalah Mpu Kuturan. Pada masa pemerintahan raja dan ratu ini, Mpu Kuturan selain diangkat menjadi Purohito di Kerajaan Bali, Mpu Tuturan juga memegang beberapa jabatan penting, yaitu sebagai Senapati Kerajaan yang bergelar Senapati Kuturan dan sebagai Ketua majelis Pakira-kira I Jro Makabehan yang beranggotakan seluruh senapati, Pandita Dangacarya dan Dangupadhyaya dimana majelis ini bertugas sebagai lembaga tinggi kerajaan yang berfungsi untuk memberikan nasehat dan pertimbangan kepada Raja, serta melakukan pembinaan di segala bidang, untuk menciptakan keamanan dan ketertiban di masyarakat.

Atas persetujuan Raja Udayana Warmadewa dan Ratu Gunapriya Dharmapatni, Mpu Kuturan mengadakan penelitian untuk mencari akar permasalahan yang sedang melanda kerajaan. Dari sini Mpu Kuturan banyak mendapat informasi, data, dan fakta yang sangat bermanfaat tuntuk mengatasi kemelut yang terjadi di masyarakat. Saat itu beliau menemukan kiat untuk mengatasi kemelut di masyarakat dan memandang perlu untuk melakukan perubahan di masyarakat. Akhirnya Mpu Kuturan melakukan Pesamuan Agung (rapat besar) dengan mengambil tempat di Bataanyar (kini Gianyar). Saat itu ada 1370 desa di seluruh Bali yang ikut dalam Pesamuan Agung ini. Pada saat pesamuan agung itu diundanglah tokoh-tokoh dari masing-masing kelompok dan masyrakat. Peserta Pesamuhan Agung tersebut telah siap dan telah membawa konsep dari masing-masing kelompok yang di ajukan dan dibicarakan dalam Pesamuan Agung tersebut. Kepada hadirin diberikan kebebasan dalam menyampaikan pendapat, pandangan, dan gagasan masing-masing. Semua pendapat dan pandangan ditampung oleh Mpu Kuturan selaku ketua Pesamuhan Agung. Mpu Kuturan juga menyampaikan pendapat dan pandangannya, bahwa perlu diadakan perubahan–perubahan serta mengatur kembali tatanan kehidupan masyarakat dengan suatu peraturan dengan berdasarkan situasi dan kondisi serta aspirasi dari masyarakat. Sidang menerima pandangan Mpu Kuturan dengan suara bulat. Akhirnya dalam Pesamuan Agung ini, diambil keputusan yang memuat beberapa jenis bidang, yaitu;

  1. Paham Tri Murti dijadikan dasar pemujaan pada Visnu, Brahma dan Siva karena dianggap dapat mencakup paham dan aliran kepercayaan yang berkembangan di Bali pada saat itu, terutama paham Sivaism dan Vaisnava yang merupakan paham terbesar saat itu.
  2. Diadakan perubahan terhadap organisasi kemasyarakatan, dengan wadah yang disebut Desa Pekraman, dan untuk menerapan paham Tri Murti tersebut, didirikan tiga pura yang disebut pura Khayangan Tiga, yaitu: (a)  pura bale agung atau pura desa sebagai tempat suci untuk memuliakan Dewa Brahma, yang bertugas sebagai pencipta alam material, (b) pura puseh sebagai tempat suci untuk memuliakan Sri Wisnu sebagai pemelihara alam semesta beserta isinya, (c)  pura dalem atau pura hulu setra sebagai tempat suci untuk memuliakan dewa Siva dan saktinya Dewi Durga selaku pengembali unsur panca maha butha/ pralina. (d) Disamping itu, didirikan juga tempat suci di sawah, yang disungsung oleh krama subak, kemudian dalam sejarah perkembangannya berubah nama jadi desa adat.
  3. Pada setiap rumah tangga di wajibkan mendirikan sebuah pelinggih berbentuk Rong Tiga (Rong Telu), sebagai tempat memuliakan dan memuja roh suci para leluhur dan Sang Hyang Widhi Wasa. Sebutan lain dari rong tiga adalah kemulan yang terdapat dalam setiap sanggah atau merajan.
  4. Semua tanah pekarangan dan tanah yang terletak di desa pakraman dan pura khayangan tiga adalah milik desa pakraman yang juga berarti milik kayangan tiga, oleh sebab itu, tanah-tanah ini tidak boleh dijual – belikan.

Jika kita perhatikan dalam hasil pesamuhan agung tersebut terlihat jelas bagaimana usaha Mpu Kuturan menyatukan masyarakat agar dapat bermasyarakat secara lebih kompak dalam berbagai lini kehidupan sosioreligius, dan hal inilah yang menjadi warisan tak ternilai bagi masyarakat Bali saat ini. Hal yang menarik disini, ternyata Mpu Kuturan tidak semata-mata ingin menyatukan berbagai aliran yang berbeda dan mewujudkan masyarakat yang harmonis secara material, tetapi juga mengembalikan kehidupan masyarakat Bali yang pada waktu itu dapat dikatakan kacau untuk kembali ke dalam ajaran Veda yang otentik. Hal ini ditunjukkan dengan adanya indikasi sebagai berikut:

  1. Penyembahan kepada para dewa dialihkan menjadi penyembahan kepada Tuhan Yang Esa yang disebut sebagai Sang Hyang Widhi Wasa (Widhi = Vidhi = Yang Maha Kuasa).
  2. Meskipun masyarakat diarahkan untuk bersembahyang bersama-sama dalam khayangan tiga (Pura Desa, Puseh dan Dalem), namun secara cerdas Mpu Kuturan telah membagi area desa pekraman kedalam tiga area, yaitu Utama Mandala dan Madya Mandala yang merupakan area pura Desa dan Pura Puseh dan Jaba mandala yang merupakan daerah pemukiman, pertanian, kuburan dan termasuk pura Dalem yang selalu terletak dekat dengan kuburan. Yang distanakan di Pura Puseh (utama mandala) adalah Sri Visnu Tuhan Yang Maha Esa yang merupakan original creator of all think. Dewa Brahma yang merupakan mahluk hidup pertama dan bertindak sebagai second creation diposisikan di pura desa/Bale Agung (madya mandala) dan Dewa Siva yang juga merupakan Tama Guna Avatara diposisikan dekat dengan kuburan. Konsep penempatan arena pemujaan ini sangat sesuai dengan sastra Veda (Tri Guna Avatara).
  3. Dalam tataran rumah tangga, dengan pembangunan tempat suci keluarga berupa rong tiga akhirnya mendorong setiap orang memuja Tuhan Yang Esa yang disebut Hyang Widhi.
  4. Padma Sana juga didirikan dengan menempatkan Kurma Avatara (penjelmaan Tuhan) sebagai dasar dan menempatkan Burung Garuda Visnu di bagian belakangnya.
  5. Semua mantra-mantra dalam upacara juga menggunakan kata “Om Tat Sat”, yang mengacu kepada Tuhan, Bhagavan. Sebagaimana dikatakan dalam Bhagavad Gita 17.23; “17.23 Sejak awal ciptaan, tiga kata om tat sat digunakan untuk menunjukkan kebenaran Mutlak yang paling utama. Tiga lambang tersebut digunakan oleh para brahmana sambil mengucapkan mantra-mantra veda dan pada waktu mengaturkan korban suci untuk memuaskan yang Mahakuasa”.
  6. Konsep Garuda Visnu Kencana juga menjadi maskot Bali yang paling utama.

Intinya, beberapa indikasi “terselubung” tersebut mengarahkan masyarakat Bali kembali ke ajaran Veda dan hal inilah yang menjadi pondasi dasar dalam budaya Bali. Lalu mungkinkah budaya Bali dipertahankan jika pondasi dasarnya, yaitu Veda tergerus dan hilang dari Bali dan digantikan dengan dasar agama yang lain?

Jika kita ingin membangun Bali dari awal dengan wajah yang berbeda yang sudah barang tentu tidak akan sama dengan Bali yang dibangun oleh Mpu Kuturan, maka tidaklah masalah menggantikan ajaran Veda dengan ajaran yang lain. Namun jika kita menginginkan Bali yang ajeg yang sebagaimana yang ada sekarang dan sebelumnya, maka tidak ada opsi lain kecuali kembali ke ajaran Veda. Pura kayangan tiga tidak akan bermakna jika dirubah menjadi tempat suci lain, malahan akan mengacaukan konsep Tri Mandala. Garuda Visnu Kencana yang mendunia tidak akan berarti apa-apa jika di “jidat”-nya harus dipahat lambang agama non Vedic. Padmasana akan kehilangan roh-nya jika lambang Tuhan yang disebut “Acintya” digantikan dengan salib. Seni tari dan lukisan yang didasarkan pada Hindu akan menjadi tanpa makna jika pondasi ajaran Hindu dihilangkan.

Jadi, jika anda adalah pemuda Bali atau orang yang masih menginginkan Bali terus ada, kembalilah ke ajaran Veda, gunakan Veda sebagai pondasi dalam melakukan berbagai hal di Bali. Membanggakan seni budaya dan keindahan Bali tanpa menjaga roh-nya, Veda hanyalah merupakan kebanggaan semu. Lalu bagaimana langkah kongkrit kembali ke ajaran Veda? Terapkan ajaran-ajaran dasar dari Veda. Segera hentikan segala tindakan yang menyimpang dari ajaran Veda seperti;

  1. Penyimpangan sistem Varna Asrama yang dijadikan sistem wangsa
  2. Lenyapkan prostitusi, tindakan asusia dan segala hal yang bersifat asurik
  3. Hentikan sambung ayam berkedok caru di pura-pura
  4. Jangan menjadikan “mekemit” sebagai alasan untuk melakukan perjudian “ceki” atau domino di tempat suci.
  5. Tegakkan desa pekraman dan sistem adat dengan benar. dll.

Intinya, mari kita bentengi Bali dari dalam dengan kembali ke basic, yaitu ke ajaran Veda yang otentik. Hilangkan kata-kata “nak mulo keto” (memang seperti itu) dari kamus kita, kembalikan sistem pendidikan gurukula (pasraman) dalam tatanan desa pakraman dan terapkan sistem Varnasrama dan Catur Asrama dengan tepat. Jika tidak, mari kita persiapkan hancurnya “Pulau Dewata” yang kita bangga-banggakan selama ini.

Translate »