Hindu sebagai agama tertua memang memiliki karakteristik yang sangat berbeda dibandingkan dengan agama-agama lainnya, khususnya agama-agama Abrahamik. Jika mereka memiliki tokoh spesial yang mencirikan penerima wahyu dan pendiri agama mereka, maka Hindu memiliki sangat banyak tokoh penting dan penerima wahyu. Jika mereka memiliki satu set kitab suci yang bisa mereka miliki dan bawa dengan mudah, maka Hindu memiliki ratusan set kitab suci yang tidak mungkin dikumpulan dalam satu buah buku suci. Demikian juga dengan hari besar dan cara sembahyang atau beribadah mereka yang umumnya sama, maka di Hindu tidaklah demikian. Secara lahiriah cara sembahyang, berpakaian dan penyebutan nama Tuhan umat Hindu  di masing-masing daerah akan berbeda sehingga sering kali terkesan “membingungkan”. Dan yang tidak kalah pentingnya untuk dipahami baik oleh orang non Hindu dan orang Hindu sendiri adalah sistem filsafat yang terkandung dalam Veda. Dalam kumpulan kitab suci Veda terkandung berbagai macam filsafat dimana filsafat satu dengan yang lainnya seolah-olah bertentangan. Kita ambil contoh filsafat Vedanta, Carvaka, Buddha, Jaina, Mayavada dan Tantra yang kesemuanya ini adalah bagian dari kitab suci Veda. Vedanta mengajarkan kita akan aspek personalitas atau perwujudan Tuhan, tetapi Mayavada mengajarkan bahwa Tuhan tidaklah berwujud, yang disebut Brahman. Buddha sendiri menekankan bahwa tidak ada Jiva/Atman dan seolah-olah meniadakan eksistensi Tuhan. Demikian juga dengan Carvaka yang lebih menekankan pada tingkah laku yang baik dan cenderung atheis, sedangkan jaina menekankan pada paham Ahimsa (tidak membunuh) yang sangat ketat. Tantra sendiri memperlihatkan wajahnya yang sangat bertolak belakang dengan filsafat Vedanta dan terkesan ajaran penuh dengan mistik dan kekerasan. Lalu apakah itu artinya ajaran Veda bertentangan dan Tuhan tidak konsisten dalam mewahyukan Veda? Ataukah ajaran Veda sudah tidak murni lagi?

Sebagian besar pandangan keliru terhadap Hindu yang paling merusak muncul akibat ulah para Indologis dalam usahanya mengkristenisasi India pada masa penjajahan Inggris. Max Muller, Alexander Duff, William Carey, James Mill, William Jones, H.H. Wilson dan banyak lagi yang lainnya adalah merupakan kaum Indologis yang paling bertanggung jawab dalam usaha penghancuran terstruktur ajaran Veda. Mereka melakukan penterjemahan kitab suci Veda kedalam bahasa Inggris dan juga menanamkan sistem pemikiran dan pendidikan ala Barat di India. Mereka melakukan pendekatan dan memahami Veda sebagaimana cara mereka memahami Al-Kitab dan dengan pendekatan sains empiris yang sudah barang tentu sangat tidak cocok jika diterapkan untuk mentelaah Veda. Celakanya, terjemahan mereka yang sudah barang tentu ditunggangi motif khusus yang pada akhirnya paling banyak di baca dan di jadikan acuan dalam mempelajari Hindu oleh masyarakat dunia.

Seorang Indologis, Max Muller sudah mengakui kekeliruan dan rekayasa yang di sengaja terhadap terjemahan dan teori-teori yang berkaitan dengan ajaran Veda dalam surat-suratnya kepada istrinya di Oxford tanggal 9 Desember 1867, Max Muller menulis: “….Aku merasa yakin, sekalipun aku tidak akan hidup untuk melihatnya, bahwa edisiku dan terjemahan dari Veda ini akan pada akhirnya menceritakan secara luas tentang nasib India, dan atas pertumbuhan dari jutaan jiwa-jiwa di negeri ini. Ini adalah akar dari agama mereka, dan untuk menunjukkan kepada mereka apa akar itu, aku merasa yakin, bahwa satu-satunya cara untuk mencabut semua yang muncul dari padanya sejak 3000 tahun terakhir.” Dalam suratnya kepada Dean (Dekan) ST Paul’s (Dr Milman), Stanton House, Bournemouth (Inggris) 26 Feb 1867, Max Muller menulis : “Aku memiliki keyakinan yang kuat akan pertumbuhan agama Kristen di India. Tidak ada negeri yang sematang India untuk agama Kristen, namun kesulitannya juga tampak sangat besar.” Sementara itu dalam suratnya kepada Duke of Argyll, Oxford, 16 Desember 1868 Max Muller menulis : “Agama kuno India telah dikutuk untuk hancur, dan bila agama Kristen tidak melangkah masuk, kesalahan siapa ini?” Dan dalam “Physical Religion” ia menulis : “Ada bagian-bagian tertentu dari Bible yang saya percaya kebanyakan orang Kristen tidak akan sedih untuk mengabaikannya. Tapi ini tidak ada artinya bila dibandingkan dengan kisah-kisah absurd dan menjijikan yang terdapat dalam buku-suku Sanskrit yang disebut suci. Dalam hal ini sungguh benar bahwa tidak ada bandingannya kitab suci kita Perjanjian Baru, dengan Kitab-kitab suci dari Timur”.

Sayangnya, pengkajian Hindu secara ilmiah oleh para akademisi malahan lebih banyak menjadikan terjemahan Veda yang tidak valid ini sebagai acuan utama, sehingga tidaklah mengherankan jika teori-teori yang menyatakan siapa, kapan dan bagaimana Veda diwahyukan tidak bisa dipertanggungjawabkan. Yang lebih menyedihkannya lagi ternyata lembaga-lembaga pendidikan formal Hindu, terutama sekali di Indonesia juga menjadikan Veda terjemahan Indologis dan teori-teori turunannya sebagai acuan utama dalam menelurkan karya-karya tulis dan menelurkan intelektual-intelektual Hindu. Terjangkitnya para intelektual Hindu oleh virus ciptaan para Indologis yang pada akhirnya juga menular ke masyarakat Hindu lainnya akan menggerogoti dan melemahkan Hindu dari dalam.

Tidak seperti kaum Indologis, para penyebar agama Islam yang menjadikan Hindu sebagai target konversi lebih condong pada tindakan destruktif. Pada waktu penyerangan bangsa Mogul ke India, mereka banyak menghancurkan pustaka-pustaka Suci Veda, tempat-tempat suci dan membunuh para pemuka agama, tetapi tidak melakukan penggubahan dan penyebaran pustaka Veda sebagaimana yang dilakukan oleh kaum Indologis. Sehingga usaha penghancuran yang mereka lakukan hanya bersifat sesaat dan tidak menjadi bom waktu dalam perkembangan Hindu di dunia. Namun demikian, di Nusantara, para dakwah Islam sejak jaman wali songo dan bahkan sampai era modern ini ternyata juga melakukan pendekatan sebagaimana yang dilakukan oleh kaum indologis. Sunan Kali Jaga menggunakan media wayang dan melakukan penggubahan, pendistorsian dan penyisipan ajaran-ajaran Islam dalam epos sejarah Ramayana dan Mahabharata yang merupakan bagian dari kitab suci Veda. Penggubahan yang mereka lakukan menyebabkan seolah-olah cerita sejarah Ramayana dan Mahabharata hanya sebuah dongeng atau mitos yang memberi pesan moral. Penyebaran informasi palsu sehingga mengarahkan asumsi masyarakat bahwa Hindu adalah agama klenik dan pemuja setan dengan cara alih fungsi candi-candi dan tempat suci sebagai kuburan serta penggambaran para tokoh-tokoh jahat adalah mereka yang melakukan upacara ala Hindu, menggunakan pakaian-pakaian tertentu beserta atributnya sebagaimana yang sering dipropagandakan melalui sinetron-sinetron di media elektronik pada jaman sekarang ini juga mampu menggiring opini keliru masyarakat akan agama Hindu.

Kaum intelektual atheistik juga memberikan sumbangsih dalam pemahaman keliru terhadap Veda. Sekitar abad pertengahan di Eropa, terjadi perhelatan yang sangat sengit antara kaum agama dan kaum intelektual. Para agamawan sering kali juga merupakan pemegang kekuasaan dimana kebijakan-kebijakan yang mereka ambil dianggap sebagai sebuah perintah dari Tuhan. Di satu sisi muncul kaum-kaum intelektual yang mengedepankan logika dari pada dogma agama. Celakanya, hasil-hasil penelusuran logika mereka sering kali bertentangan dengan agama yang mereka anut. Puncak pertentangan kaum agama dan kaum intelektual yang paling terkenal dalam sejarah adalah pada saat gereja menjatuhkan hukuman yang memaksa Galileo Galilei kehilangan nyawanya. Galileo Galilei adalah seorang pencetus teori Heliosentris yang menentang teori Geosentris yang saat itu diyakini sebagai kebenaran mutlak oleh Gereja. Seiring dengan berjalannya waktu dan pembuktian kebenaran teori Heliosentris, yang menyatakan bahwa Bumi ini bulat dan Matahari berotasi pada sumbunya dan berevolusi terhadap Matahari yang disampaikan Galileo dan kekeliruan teori Geosentris yang menyatakan bahwa Bumi adalah pusat tata surya dan Matahari serta semua benda langit mengelilingi Bumi yang diyakini sebagai kebenaran mutlak oleh Gereja membuat mosi ketidakpercayaan masyarakat akan agamanya dan semakin memicu tumbuhnya kaum-kaum Atheis dan Materialis.

Atas dasar mosi tidak percaya kepada Gereja yang berimplikasi pada ketidakpercayaan akan adanya Tuhan menyebabkan lahirnya pola pemikiran baru yang mengedepankan rasionalitas dan mengesampingkan akan adanya Tuhan sebagai sang pencipta. Dasar pemikiran ini juga melahirkan teori-teori baru yang menyatakan bahwa alam semesta dan mahluk hidup tercipta secara kebetulan dan melalui proses evolusi yang sangat panjang sehingga menghasilkan kondisi kehidupan seperti saat ini. Sayangnya, untuk membenarkan teori mereka ini, tidak jarang para oknum ilmuan melakukan filter informasi dengan cara hanya memperhitungkan data penelitian yang mendukung hipotesis awal mereka dan membuang data-data yang bertentangan. Sehingga sering kali objektivitas hasil teori mereka tidak dapat dikatakan sebagai ilmu pengetahuan ilmiah.

Tentu saja mosi tidak percaya yang pada awalnya hanya ditujukan pada satu dogma agama dan menghasilkan dogma baru yang berusaha mengesampingkan Tuhan memberikan implikasi tidak langsung terhadap pemahaman ajaran Veda. Para oknum intelektual yang pikirannya telah terkungkung dalam teori evolusi Darwin tidak akan mampu mencerna ajaran Veda yang menyatakan bahwa Veda sudah diwahyukan 155,52 triliun tahun yang lalu karena menurut kerangka pemikiran Darwin, pada masa itu dunia ini masih dalam bentuk primordial soup dan belum ada kehidupan, sedangkan Homo Sapien dan Homo Nederland yang berbudaya dan menurunkan manusia modern saat ini baru muncul 500.000-200.000 tahun yang lalu. Dengan demikian semua informasi yang dijabarkan dalam Veda yang memaparkan sejarah umat manusia yang terjadi diluar mind frame teori mereka ditolak mentah-mentah dan implikasinya Veda hanya dianggap sebagai sebuah cerita mitologi atau dongeng.

Beruntungnya, ajaran Hindu dengan kitab sucinya Veda yang diturunkan secara suksesi dalam garis perguruan (parampara) sama sekali tidak tersentuh oleh para indologis, kaum dakwah dan mereka yang berpikir dengan cara pendekatan empiris murni. Para Acharya atau guru-guru kerohanian dari garis-garis perguruan (parampara) dengan sistem gurukula-nya inilah yang salah satunya menjamin keotentikan ajaran Veda.

Translate »