Senjata utama yang selalu dilontarkan oleh saudara Muslim untuk menyerang Kristen adalah pernyataan dalam Asbabun Nuzul surat Al Iklas 112:1­4: “Dia­lah Allah, Yang Maha Esa. Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada­Nya segala sesuatu. Dia tiada beranak dan tidak pula diperanakkan, dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia”. Senjata ini sangat efektif mengingat keyakinan dasar orang Kristen adalah mengakui Yesus sebagai satu-satunya anak Allah yang dikirim ke Bumi untuk menebus dosa umat manusia. Serangan mengenai Tuhan tidak beranak dan diperanakkan ini menimbulkan debat teologis dan bahkan perang fisik berkepanjangan diantara kedua agama yang sama-sama mengklaim diri sebagai agama Langit.

Namun belakangan ini ternyata tuduhan mengenai Tuhan beranak dan diperanakkan juga diarahkan untuk menyerang Sradha orang-orang Hindu. Pembenaran bahwa Tuhan bisa beranak dan diperanakkan baik oleh orang non Hindu dan orang Hindu yang tidak faham filosofi mengcounter kenyataan bahwa Avatara-Avatara Tuhan seperti Rama dan Krishna memiliki putra. Apakah benar konsep Veda menyatakan bahwa Tuhan beranak?

Untuk menjawab permasalahan ini, kita tidak bisa lepas dari konsep badan. Apakah kita adalah badan material ini ataukah sesuatu di balik badan ini? Kepercayaan agama-agama rumpun Semitik/Abrahamik yang mencap diri sebagai agama Langit, umumnya tidak bisa membedakan konsep badan dan diri kita yang sejati ini. Dalam sebuah diskusi dengan seorang rekan Kristen dan Islam, saya mendapat kesimpulan bahwa menurut mereka kita ini adalah badan ini ditambah dengan Ruh/jiwa yang ditiupkan oleh-Nya sehingga memungkinkan badan yang diciptakan dari tanah lihat oleh Tuhan ini bisa hidup. Tentunya faham ini sangat jauh berbeda dengan konsep ajaran Hindu yang menyatakan bahwa kita ini bukan badan material. Kita adalah sang Jiva/roh yang kekal abadi.

Veda menyatakan bahwa sang roh memiliki sifat-sifat yaitu; tak termusnahkan (avinasi), abadi (avyayam), kekal (nityam), tak terhancurkan (ana-sinah), tak terukur secara material (aprameyam), tak terlahirkan (ajah) permanen (sasvatah), ada sejak dahulu kala (puranah), tak terlukai senjata apapun (na cindanti çastrani), tak terbakar oleh api (na dahati pavakah), tak terbasahi oleh air (na kledayanti apah), tak terkeringkan oleh angin (na sosayati marutah), tidak bisa dipotong-potong/dipecah-pecah (acedyah), tidak bisa dibakar (adahyah), tidak larut kedalam air (akledyah), tidak terkeringkan (asosyah), bisa berada dimana (sarva-gatah), tidak pernah berobah (sthanuh), tak tergerakkan (acalah), selamanya sama (sanatanah),tak berwujud material (avyaktah) tak terpahami secara material (acintyah), tidak pernah berubah (avikaryah) dan tak bisa dibunuh (avadyah) (Bhagavad Gita 2.17-25). Dikatakan pula bahwa sang roh selamanya merupakan individu spiritual kekal abadi baik ketika berada di dunia fana maupun ketika berada di dunia rohani (perhatikan Bhagavad Gita 2.12 dan Bhagavad Gita 2.16), sehingga dengan demikian pada dasarnya kita sebagai roh tidak pernah beranak, malainkan yang beranak dan berkembang biak itu adalah badan kita ini. Pada saat badan material ini melakukan hubungan badan dan terjadi pembuahan, maka roh individu yang berbeda dari roh individu yang berada dalam badan material sang ayah dan sang ibu akan masuk ke dalam janin tersebut dan tumbuh menjadi individu yang terpisah dari kedua orang tuanya (perhatikan Bhagavata Purana 3.31.2- 4 dan 10). Secara fisik material antara anak dan orang tua ini memiliki hubungan yang erat. Sang anak mewarisi genetik dan ikatan kekerabatan, namun jika dipandang dari kedudukan dasar kita sebagai roh yang individu, maka pada dasarnya diri kita tidak ada hubungan apa-apa dengan kedua orang tua kita kecuali dalam kemiripan hasil perbuatan berdasarkan hukum karma yang membuat kita dipertemukan dalam satu keluarga yang sama.

Tuhan sebagai Roh yang utama dan absolut juga memiliki kualitas yang serupa dengan karakter roh mahluk hidup (jiva) sebagaimana sudah dikutip di atas, namun berbeda secara kuantitas. Tuhan Yang Maha Esa memiliki kehebatan dan kekuasaan yang tidak terbatas, namun sang roh tidak (Acintya Bhedaabheda tattva). Sang roh tetap hanya merupakan pelayan abadi dari Tuhan, jivera svarupa haya krsna nitya dasa, (CC Madhya-Lila 20.108). Ekale isvara krsna ara saba bhrtya, pengendali hanya satu yaitu Tuhan (Sri Krishna), semua yang lain adalah para pelayan-Nya (CC Adi-Lila 5.142). Melihat sifat-sifat Tuhan yang serupa dengan sifat-sifat sang roh, bukankah Tuhan juga sebenarnya tidak beranak?

Mungkin ada di antara kita akan mencoba mengutip cerita-cerita dalam Itihasa dan Purana yang mengatakan bahwa Sri Rama yang merupakan penjelmaan Tuhan telah memiliki anak yang bernama Kusa dan Lawa. Sri Krishna sendiri juga memiliki anak dari 1108 permaisurinya. Sri Vyasa Deva yang merupakan perwujudan Tuhan juga memiliki anak bernama Sukadeva Gosvami. Dalam kisah tersebut Tuhan juga muncul sebagai anak, tumbuh dan dididik sebagaimana halnya anak manusia. Apakah kisah tersebut tidak memperlihatkan bahwa Tuhan orang Hindu telah beranak dan diperanakkan?

Dalam kitab suci Veda ada istilah “lila” yang artinya adalah “permainan rohani”. Lila sendiri mengacu kepada suatu kegiatan Tuhan dan/atau roh-roh suci yang menjelma ke dunia ini dengan mengambil suatu wujud, melakukan suatu kegiatan seperti halnya suatu drama pertunjukan. Sebagaimana contoh lila yang dilakukan dalam penjelmaan Sri Krishna. Tuhan muncul sebagai anak dari Devaki dan diasuh seperti anak kecil oleh Ibu Yasoda. Pada dasarnya Krishna dengan badan spiritualnya yang kekal tidak muncul seperti halnya anak manusia. Beliau langsung muncul di hadapan Devaki dengan wujudnya sebagai Sri Narayana. Namun karena permintaan Devaki, Sri Krishna bersedia mengambil wujud seorang bayi. Mungkin dalam benak anda akan muncul pertanyaan; “Tuhan Maha Kuasa, kenapa Beliau mau diperintah oleh mahluk remeh seperti Devaki?”. Tuhan sangat menyayangi para penyembahnya yang memiliki cinta kasih bhakti murni. Karena Tuhan sangat menyayangi penyembahnya yang murni, dalam keadaan ini, Beliau tidak ubahnya seperti seorang ayah kepada anaknya. Sang anak sering kali memerintah ayahnya untuk merangkak seperti kuda dan sang anak naik ke punggung ayahnya dan memerintahkan ayahnya ke sana ke mari. Meski sang ayah lebih berkuasa, namun karena kasih sayangnya kepada anaknya maka ayah tersebut dengan senang hati mengikuti perintah sang anak. Demikian juga Tuhan Yang Maha Kuasa bersedia mengikuti keinginan penyembahnya, Devaki dan bertindak seolah-olah menjadi seorang anak.

Dalam lila-Nya, pada saat menjadi Raja di Dvaraka, Beliau juga memiliki 1108 permaisuri dan dari setiap permaisurinya memperoleh seorang anak. Apakah itu artinya Tuhan beranak? Seperti halnya kita sebagai Jiva/roh yang sejatinya tidak pernah beranak, Tuhan juga tidak pernah beranak. Roh-roh yang muncul dan menjelma sebagai anak-Nya adalah roh-roh individual yang sudah mencapai tingkatan pengabdian bhakti yang murni sehingga memiliki kualifikasi untuk bisa mendapatkan kasih sayang dan pergaulan pribadi langsung dari Tuhan. Pada akhir kisah Sri Krishna diceritakan bahwa untuk mengakhiri lila–Nya tersebut, semua keluarga kerajaan dan keturunannya harus memusnahkan badan materialnya dan kembali ke dunia rohani dengan melakukan perang saudara. Hal ini terjadi kerena mereka sebenarnya adalah roh-roh suci yang tidak mungkin dikalahkan dan dibunuh oleh mahluk hidup biasa yang masih diselimuti ego material. Roh-roh pengiring lila Sri Krishna tersebut pada dasarnya ditugaskan untuk turun dari dunia rohani oleh Sri Krishna, tidak seperti kita yang turun dan berada di dunia material ini karena kebodohan kita yang terlalu tebal diselimuti oleh Maya. Tuhan dan roh-roh suci yang menyertainya memperlihatkan sandiwara (lila) dengan tujuan memberikan pelajaran kepada kita agar kita bisa meniru dan mengambil hikmah dari kejadian tersebut.

Jadi pada dasarnya memang benar bahwasanya Tuhan tidak pernah beranak dan diperanakkan. Kitapun sebagai sang roh sebenarnya tidak pernah beranak dan diperanakkan. Yang beranak dan diperanakkan adalah badan material ini. Namun meskipun demikian Tuhan masih bersedia muncul ke alam material ini sebagai anak dan seolah-olah memiliki anak untuk memuaskan keinginan para penyembahnya yang murni, melindungi orang-orang saleh dan membinasahkan orang-orang jahat serta memberikan pelajaran rohani bagi generasi-generasi manusia berikutnya (Perhatikan Bhagavad Gita 4.7-8).

Translate »