Menjelang bulan suci Ramadan, sangat gencar ditayangkan di TV mengenai bagaimana proses Islamisasi di Indonesia. Dalam berbagai program tayang tersebut dengan jelas diperlihatkan upaya propaganda penyebaran agama Islam kepada orang-orang non-muslim baik secara terselubung maupun tidak. Sering kali tayangan relegi seperti ini bersinggungan dengan ranah keyakinan agama lain.

Salah satu contohnya adalah pada tayangan salah satu program TV pada bulan Ramadan yang baru saja lewat. Dalam tayangan tersebut diceritakan seorang tokoh muslim keturuan bule sedang jalan-jalan di pantai Kuta, Bali. Pada saat dia sedang asyik-asyiknya menikmati indahnya suasana pantai Kuta, datanglah seorang pedagang makanan yang memaksa muslim bule tersebut membeli sejumlah makanan. Tentu saja diceritakan bahwa bule tersebut menolaknya karena dia sedang berpuasa. Tetapi tetap saja dikisahkan pedagang yang dengan jelas digambarkan sebagai orang Bali Hindu tetap mengejar-ngejar si bule agar tetap membeli makanan tersebut. Singkat cerita pada akhir cerita tersebut ditayangkan ayat-ayat Qur’an yang menyebutkan tercelanya orang-orang yang mengganggu mereka yang sedang berpuasa dan juga diikuti dengan sentilan terhadap orang-orang yang tidak berpuasa.

Lain lagi dengan kisah tayangan misteri di stasiun TV yang lain yang memperlihatan penampakan mahluk halus di sebuah komplek Pura di Bali. Pada akhir acara dimana pemangku (pemimpin agama setempat) menjelaskan bahwa mahluk halus tersebut adalah penjaga Pura dan perlu dihormati. Tetapi segera pada saat acara penutup pernyataan pemangku ini ditepis balik oleh pembawa acara utama dengan mengutip ayat-ayat Qur’an bahwa tindakan “menghormati” mahluk halus seperti itu adalah tindakan syirik yang harus dijauhi dari Islam dan juga diikuti dengan doa-doa agar mereka yang syirik ini bisa segera “diselamatkan”.

Dua contoh tayangan tersebut hanyalah segelintir dari ratusan atau mungkin ribuan gesekan antar keyakinan yang nyata-nyata dipublikasikan di media masa dalam upaya melakukan syiar agama. Apakah tindakan syiar agama ini diperbolehkan? Bukankah terdapat undang-undang yang menyatakan larangan untuk mengagamakan orang yang sudah beragama?

Sebelum kita membahas permasalahan yang menyangkut ranah hukum di Indonesia, mari kita coba bercermin pada masing-masing ajaran agama. Dalam Islam, syiar agama melalui media dakwah merupakan sesuatu yang penting. Karena itulah sangat banyak organisasi Islam didirikan untuk tujuan ini. Beberapa partai politik seperti PKS, PPP dan partai-partai kecil lainnya juga dibentuk untuk tujuan dakwah baik kepada mereka yang sudah masuk Islam maupun yang non-Muslim. Sementara itu Kristen dan Katolik juga jelas-jelas merupakan agama misi. Setiap orang Kristen atau Katolik diharapkan bisa menjadi agen “penyelamatan” bagi mereka yang “belum selamat”. Kenyataan ini dapat kita lihat dengan sangat jelas dari berbagai usaha misionaris masuk ke daerah-daerah terpencil untuk melakukan Kristenisasi. Pada jaman pengarungan samudra, Kristenisasi diperlihatkan dengan adanya istilah “Gospel”. Lalu bagaimana dengan Hindu? Apakah Hindu juga merupakan agama misi yang memperbolehkan syiar agama? Sebagian besar orang Hindu akan mengatakan; “Buat apa mengajarkan agama ke orang lain, agama adalah ranah pribadi dan hanya untuk diri kita sendiri. Berusaha mengajarkan kebaikan kepada orang lain tapi diri kita belum baik buat apa? Toh juga apa yang baik buat kita belum tentu baik buat orang lain. Jadi lebih baik menggali ke dalam diri sendiri”. Sebagian pernyataan ini memang ada benarnya, tetapi terdapat daerah abu-abu antara sikap rendah hati atau malahan rendah diri sebagian besar orang Hindu? Apakah mereka benar-benar rendah hati dan bisa bersikap bijak sehingga mampu mencapai kesempurnaan dengan menggali spiritualitas ke dalam ataukah sikap rendah diri karena tidak menguasai ajaran agama mereka sendiri?

Sebagai gambaran mengenai perlu tidaknya syiar agama di Hindu, saya menemukan perkacapan menarik dalam buku “Krishna Consciousness and Christianity” yang merupakan percakapan antara Pastur Alvin V.P. Hart dan Satyaraja Dasa Adhikari (Steven Rosen).

Pastur Alvin Van Pelt Hart merupakan seorang teolog Kristen terkenal dan telah menjadi Pastur Keuskupan sejak tahun 1949, ketika beliau menerima gelar Master of Divinity dari General Teological Seminary di New York. Pada pertengahan tahun 1950-an beliau diminta untuk menulis satu bab mengenai “Agama dan Rintangannya” (“Religion and the Handicapped”) untuk sebuah buku yang berjudul “The Handi-capped and Their Rehabilitation” yang diterbitkan oleh St. Louis, Thomas Publication, 1957. Saat ini karya beliau ini diakui sebagai kontribusi penting di bidangnya. Pastur Hart bertindak sebagai pastur khusus dan pengawas Clinical Pastoral Education di Rumah Sakit Bellevue dari tahun 1953 sampai 1966. Sejak saat itu hingga kini Pastur Hart masih menjabat posisi yang sama di Rumah Sakit St. Luke’s-Roosevelt.

Satyaraja Dasa Adhikari (Steven Rosen) merupakan pemeluk Hindu kelahiran barat dan salah satu murid yang sangat disegani dalam garis perguruan Srila Prabhupada. Beliau juga merupakan penulis lepas dan penulis beberapa buku, termasuk Food for The Spirit: Vegetarianism and World Religions (“Makanan Bagi Sang Roh: Vegetarian dan Agama-Agama Dunia,” New York, Bala Books, 1987), India’s Spiritual Renaissance: The Life and Times of Lord Chaitanya (“Kebangkitan Spiritual India: Detik-Detik Kehidupan Sri Chaitanya,” New York, FOLK Books, 1988), Archeology and the Vaishnava Tradition: The Pre-Christian Root of Krishna Worship  (“Arkeologi dan Tradisi Vaisnava: Akar Pemujaan Kepada Krishna Di Era Pra-Kristen,” Calcuta, India, Firma KLM Ltd., 1989). Meskipun Satyaraja Dasa tidak dilahirkan di India, tulisan serta kesarjanaannya telah memberikannya reputasi sebagai juru bicara penting dalam komunitas keagamaan India. Sebagai seorang Vaisnava dari Amerika, beliau bertindak sebagai Kepala Bidang Hubungan Antar Agama untuk ISKCON New York.

Pada bab pertama buku “Krishna Consciousness and Christianity”, Pastur Alvin dan Satyaraja mendiskusikan ayat II Timotius 3.16-17 yang menyatakan “Segala tulisan yang diilhamkan Allah memang bermanfaat untuk mengajar…” yang memaksa Pastur Alvin membenarkan bahwa Veda sebagai kesusastraan Timur dan kesusastraan paling kuno di dunia juga memiliki kebenaran yang sama atau mungkin lebih yang sejalan dengan pemahamannya setelah membaca kitab Mormon. Lebih lanjut, sebagai seorang yang lahir di keluarga Kristen dan mengetahui betul isi Alkitab, Satyaraja menjelaskan dengan sangat elegan bahwa Alkitab dapat saja dikategorikan sebagai salah satu kitab pendukung dalam kesusastraan Veda atau yang diistilahkan sebagai Vedangga. Pernyataan Satyaraja ini dibenarkan oleh perbandingan ayat Alkitab dengan apa yang disampaikan dalam Bhagavad Gita. Yesus mengemukakan dengan jelas keterbatasan wahyu Kristen dengan mengatakan: “Kamu tidak percaya, waktu Aku berkata-kata dengan kamu tentang hal-hal duniawi, bagaimana kamu akan percaya kalau Aku berkata-kata dengan kamu tentang hal-hal surgawi? (Yohanes 3.12). “Masih banyak hal yang harus Ku katakan kepadamu, tetapi sekarang kamu belum dapat menanggungnya.” (Yohanes 16.12). Sementara itu hal yang berkebalikan disampaikan oleh Tuhan Yang Maha Esa Sri Krishna dalam Bhagavad Gita 7.2; “Sekarang Aku akan menjelaskan kepadamu pengetahuan ini secara lengkap, baik yang bersifat material maupun spiritual. Sekali hal ini diketahui, tidak ada lagi hal lain lebih lanjut untuk diketahui”.

Untuk lebih meyakini kenyataan ini, Pastur Alvin mengemukakan 2 perintah Yesus yang utama. Menurutnya, jika memang Veda yang dapat diibaratkan kamus besar yang berisi segala sesuatu, maka sudah seharusnya Veda juga memberikan pembenaran akan perintah Yesus yang tertuang dalam Alkitab. Perintah Yesus yang pertama dan utama adalah mencintai Tuhan dengan sepenuh hati, segenap jiwa, dan pikiran. Dan perintah penting yang kedua adalah mencintai sesama sebagaimana mencintai diri sendiri.

Untuk perintah Yesus yang pertama, Satyaraja menjelaskan bahwa inti sari dari seluruh pustaka Veda pada akhirnya adalah mencintai Tuhan dan menyerahkan diri sepenuhnya kepada Tuhan yang sangat sejalan dengan ajaran Bhakti Yoga sebagai puncak dari tangga Yoga.

Sedangkan untuk perintah Yesus yang kedua ternyata juga sejalan dengan ajaran Veda. Hal ini juga merupakan inti dari yang ingin saya sampaikan terkait dengan syiar agama Hindu. Satyaraja menjelaskan bahwa saat ini istilah mencintai Tuhan dan mencintai sesama sudah menjadi rancu. Setiap orang baik itu orang Kristen, maupun orang Hindu menganggap bahwa dengan mencintai sesama sama artinya dengan mencintai Tuhan. Sehingga tidak jarang orang Hindu mengatakan “Manava Seva Madhava Seva” yang artinya kurang lebih “melayani mahluk hidup lain sama dengan melayani Tuhan”. Pernyataan ini tidak keliru, tetapi juga tidak sepenuhnya benar. Saat ini sebagian besar orang terjebak dalam pelayanan secara material dengan mengindahkan bawa sebenarnya yang paling urgen untuk dilayani adalah sang roh/jiva yang sedang terperangkap dalam kubangan material. Orang sibuk memberikan makan kepada orang miskin, menyumbangkan pakaian, mendirikan rumah sakit dan pemberian pengobatan gratis dan berbagai upaya sosial lainnya, tetapi melupakan hal yang paling mendasar, yaitu menyuntikkan ajaran spiritual dan membangkitkan “kesadaran Tuhan” dalam diri mereka. Banyak organisasi keagamaan saat ini memberikan berbagai macam sumbangan material kepada warga miskin dengan harapan mereka akhirnya pindah agama. Tetapi apa gunanya merubah KTP seseorang, menjadikannya lebih makmur secara materil, pada akhirnya menuntut kesadaran mereka menyumbang materi jika mereka telah mampu ke organisasi keagamaan tersebut jika kesadaran spiritualnya untuk mengenal dan mencitai Tuhan tidak terbangkitkan? Jadi inti dari mencintai sesama yang sesungguhnya adalah memberikan mereka pergaulan dan mengajarkan mereka sehingga kesadarannya akan Tuhan bisa bangkit. Jika ajaran mencintai sesama ini adalah ajaran utama dalam Hindu, maka sudah sewajarnyalah setiap orang Hindu yang mengerti kitab suci Veda menjadi agen-agen syiar ajaran Veda untuk menuntun setiap orang sadar akan Tuhan. Jika anda masih mengatakan bahwa tidak penting mengajarkan kesadaran Tuhan kepada orang lain dan hanya meng-keep ajaran tersebut hanya untuk diri anda, itu artinya adalah adalah orang egois dan tidak menjalankan perintah “Manava Seva Madhava Seva” dengan tepat.

Jadi sampai di sini sudah sangat jelas bahwa semua agama di Indonesia pada dasarnya memiliki kewajiban syiar agama. Hanya saja selama ini istilah “syiar agama” diartikan secara sempit sebagai upaya merubah kolom agama dalam KTP seseorang tanpa benar-benar membantu mereka menjadi lebih baik dalam tataran spiritual. Agamapun cenderung diwarnai oleh unsur politik dan kekuasaan sehingga terdapat upaya-upaya melegalkan tindakan diskriminatif terhadap satu agama dengan agama yang lainnya lewat diterbitkannya berbagai macam peraturan perundang-undangan yang merugikan pihak-pihak tertentu.  Jika kita sebagai bangsa Indonesia berani mengatakan diri sebagai bangsa yang spiritualis, sudah saatnya undang-undang pelarangan syiar agama, aturan pendirian tempat ibadah dan aturan-aturan sejenis yang sifatnya tidak ubahnya seperti “membran selektif permiabel” yang menguntungkan satu pihak dan merugikan pihak minoritas dihapuskan. Bangsa Indonesia harus menyadari bahwasanya yang dikejar dalam kehidupan beragama bukan besar organisasi masanya, kedudukan politik dan taraf ekonominya semata, tetapi lebih jauh dari itu adalah upaya membangkitkan kesadaran akan Tuhan yang dalam istilah Srila Prabhupada disebut sebagai “Krishna Consciousness” atau kesadaran Krishna. Biarkan setiap orang melakukan syiar agama dan keyakinannya selama syiar yang dilakukan bertujuan untuk membangkitkan kesadaran Tuhan dalam masyarakat.

Bibliografi:

  1. Rosen, Steven J.; Van Pelt Hart, Alvin (1989), East-Kṛṣṇa Consciousness and Christianity: East-West Dialogues, Folk Books, ISBN 0961976314
  2. Wahid, KH. Abdurrahman (2009). Ilusi Negara Islam, Ekspansi Gerakan Islam Transnasional di Indonesia. Jakarta : The Wahid Institute.
Translate »