Belum kering ceceran darah tiga orang anggota Ahmadiyah yang tewas dihakimi ormas tertentu di Desa Umbulan, Cikeusik, Pandeglang – Banten, Nusantara kembali diguncang oleh tindakan anarkis yang serupa. Di Temanggung, Jawa Tengah, tiga buah rumah ibadah umat Kristiani diobrak-abrik setelah sekelompok masa merasa tidak puas dengan vonis 5 tahun penjara yang dijatuhkan hakim kepada Anthonius Richmord Bawengan yang dituduh melakukan penistaan agama. Apa yang salah dengan bangsa ini sehingga cenderung berbuat anarkis layaknya orang barbar?

Pembunuhan, intimidasi dan perusakan yang mengatasnamakan agama sudah kerap kali terjadi sejak negara ini berdiri. Lucunya, kasus seperti ini selalu menimpa masyarakat minoritas. Baik yang beragama minoritas ataupun yang merupakan aliran minoritas dalam agama tersebut. Sistem kepercayaan-kepercayaan minoritas ini selalu dianggap sesat oleh kaum mayoritas. Seperti contohnya Ahmadiyah, yang meskipun secara garis besar sama dengan Islam lainnya hanya saja berbeda dalam pemahaman nabi terakhir, harus menerima label sesat dari aliran Islam mayoritas. Demikian juga Nahdlatul Ulama (NU) pada Mei 2006 sebagaimana diberitakan dalam NU Online pernah dicap sesat karena melakukan ritual-ritual yang berbeda dengan Islam di Timur Tengah. Demikian juga dengan Hare Krishna, pengikut aliran kepercayaan Islam Telu di Lombok, Saksi Jehovah dan sebagainya yang juga pernah berlabel sesat. Sepertinya, sampai saat ini hanya pihak minoritaslah yang selalu mendapat label sesat dari mayoritas. Apakah pelabelan sesat hanya berdasaran suara mayoritas? Bisakah kita mendemokratisasi keyakinan individu seseorang berdasarkan suara terbanyak? Bukankah Undang-Undang Dasar Negara kita menjamin sepenuhnya kebebasan beragama dan menjalani ibadah sesuai dengan keyakinannya masing-masing?

Meski undang-undang sudah dengan sangat jelas menegaskan kebebasan beragama bagi setiap warga negaranya, namun tindakan intimidasi atas nama agama selalu saja terjadi. Apakah masyarakat kita yang terlalu barbar sehingga tidak mau tunduk pada undang-undang? Penganut aliran sesat tersebut melakukan ritual yang sifatnya kriminal? Ataukah pemerintah kita yang cenderung memihak dan tidak mau menerapkan undang-undang yang ada?

Jika seandainya suatu aliran dalam ajarannya melakukan ritual-ritual dan kegiatan yang bersinggungan dengan kriminalitas seperti melakukan pengorbanan manusia, eksploitasi seksual, membenci dan memusuhi orang lain dan sejenisnya yang sudah pasti bertentangan dengan undang-undang yang ada, maka sudah sewajarnya aliran tersebut harus dibekukan dan dibubarkan oleh aparat penegak hukum. Namun bagaimana jika sistem kepercayaan mereka pada dasarnya tidak bersinggungan dengan ranah kriminal, tetapi dalam beberapa hal berbeda dengan keyakinan mayoritas? Apakah mereka bisa dikatakan sesat dan harus dibubarkan? Bercermin pada kasus Ahmadiyah, sepertinya mereka yang duduk dalam aparat pemerintahan dan penegak hukum tidak bisa benar-benar menempatkan diri mereka sebagai aparat pelaksana ketentuan undang-undang yang menjamin kebebasan berkeyakinan. Mereka lebih memilih untuk menganggap diri mereka sebagai bagian dari kelompok mereka sendiri, yaitu dalam hal ini kelompok mayoritas. Sehingga tidaklah mengherankan jika kebijakan dan statement mereka bukanlah merupakan pengejawantahan undang-undang, tetapi memperlihatkan keberpihakan mereka kepada kelompoknya.

Coba kita perhatikan Surat Keputusan Bersama (SKB) 3 menteri yang pernah diterbitkan dalam upaya meredam kemelut Ahmadiyah. Salah satu butir dalam SKB tersebut menyatakan bahwa kaum Ahmadiyah tidak boleh melakukan penyebaran ajaran dan mengangkat anggota baru bagaimanapun caranya. Tetapi di sisi lain, sehari setelah kasus pemberhangusan warga Ahmadiyah di Cikeusik, saat media masa sedang hangat-hangatnya menyinggung masalah SKB 3 menteri tersebut, beberapa narasumber dengan terang-terangan mengatakan bahwa umat Muslim yang lain harus melakukan dakwah yang intensif untuk mengajak warga Ahmadiyah menjadi bagian dari aliran mayoritas. Di mana letak keadilan 3 menteri yang menelurkan SKB ini? Tidakkah mereka berpikir bahwa mereka telah melakukan diskriminasi terhadap Ahmadiyah? Bukan hanya mereka telah melanggar kebebasan berkeyakinan setiap warga negara, tetapi mereka juga telah berusaha membunuh  Ahmadiyah secara halus dengan siasat seperti mengadu seekor babi hutan tanpa taring dengan seekor anjing pemburu.

Praktek siasat busuk kaum mayoritas yang serupa juga terjadi pada agama-agama minoritas. Di satu sisi dengan sangat gencarnya mereka melakukan penyebaran agama melalui berbagai media masa. Tidak jarang metode penyebaran yang mereka lakukan tidaklah elegan karena berisinggungan langsung dengan agama yang lain. Mereka sangat aktif melakukan dakwah-dakwah ke pelosok-pelosok yang dianggap sebagai masyarakat yang masih kafir. Tetapi disaat ada pihak lain mencoba menyebarkan ajarannya ke komunitas mereka, mereka langsung mencak-mencak dengan mengatakan pihak yang menyebarkan agama ke komunitas mereka telah melanggar undang-undang penistaan agama dan harus diadili dengan seberat-beratnya.

Indonesia sungguh merupakan negara yang sangat aneh. Di satu sisi menyerukan kebebasan beragama, tetapi di sisi lain mengatur warga negaranya dalam beragama. Jika kita bercermin pada Amerika Serikat, meski negara mereka dibangun atas dasar ketuhanan sebagaimana dibuktikan pada tulisan “In God We Trust” di mata uang mereka, namun tetap saja mereka tidak pernah mencampuri urusan keyakinan personal masyarakatnya. Bahkan jika ada indikasi negara mengucurkan dana untuk tujuan keagamaan tertentu, maka tindakan itu bisa dianggap tindakan melanggar hukum. Negara benar-benar netral, sehingga meskipun penduduknya menjadi atheis, politeisme, monoteisme, pemuja leluhur atau mungkin pemuja tokoh komik tidak akan pernah dipermasalahkan dan tetap diayomi. Negara baru akan bertindak jika diindikasikan seseorang atau seseorang melakukan tindakan-tindakan yang berbau kriminal. Seperti kasus komunitas Mormon yang diindikasikan sebagai sebuah aliran poligami. Sejauh penganut Mormon ini melakukan keyakinannya tanpa melanggar hukum, pemerintah masih tetap membebaskannya. Tetapi di saat terjadi tindakan kriminal di mana banyak di antara mereka menikahi anak di bawah umur, memiliki banyak anak dan menelantarkan anak-anak mereka, barulah pemerintah turun tangan dengan membekukan aktivitas mereka.

Jika memang Indonesia menjunjung tinggi kebebasan beragama, maka saya rasa pemerintah harus berani mengambil beberapa langkah konkret seperti menghapuskan seluruh perundang-undangan yang membatasi ruang gerak kebebasan berkeyakinan dan beribadah, menghapuskan kolom agama di KTP, menghapuskan campur tangan pemerintah dalam pemberian sejumlah anggaran pendirian tempat ibadah, melakukan ibadah dan sejenisnya dan mungkin juga menghapuskan Departemen Agama dari jajaran kementrian.

Indonesia harus berani menerapkan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana secara merata tanpa memandang apapun keyakinan masyarakatnya. Jika terjadi penyerangan seperti kasus di Cikeusik sehingga mengakibatkan rusaknya properti seseorang atau bahkan hilangnya nyawa seseorang, maka adili kasus itu secara pidana. Bukan dengan cara melihat penyerang atau diserang sebagai pengikut aliran sesat atau lurus. Karena sesat dan lurusnya ajaran di sini hanya berdasarkan pendapat sepihak mayoritas.

Dalam banyak kasus, karena fundamentalis berlebih suatu kelompok, sering kali kolom agama di KTP dapat menghambat karir seseorang. Sebagai contoh kasus penerimaan PNS oleh beberapa oknum di beberapa daerah menyebabkan calon PNS yang dari pihak minoritas sangat sulit diterima. Meskipun pada akhirnya mereka masuk ke dalam suatu instansi, maka karir mereka kadang kala dihambat hanya karena mereka tidak beragama mayoritas. Bahkan seorang kepala daerah di salah satu propinsi didemo oleh sekelompok masyarakat karena diindikasikan menganut agama minoritas.

Baik disadari ataupun tidak disadari, pemerintah sebenarnya sudah sering melakukan pelanggaran hak asasi manusia melalui Departemen Agama. Anggaran Departemen Agama seolah-olah memang lebih difokuskan kepada kepentingan agama mayoritas, dan agama minoritas serta kepercayaan-kepercayaan  lokal tidak pernah tersentuh oleh anggaran tersebut. Karena tidak diakuinya beberapa jenis kepercayaan lokal, pemerintah juga sering kali mempersulit mereka dalam urusan birokrasi seperti membuat kartu keluarga, surat nikah, KTP dan akta kelahiran anak. Karena kesulitan ini, banyak di antara penganut keyakinan minoritas ini harus mencantumkan agama tertentu yang tidak dianutnya dalam kepengurusan birokrasi mereka.

Jika Indonesia benar-benar menjamin kebebasan beragama, mari kita cari formulasi kebebasan beragama yang tepat dan berani menumbangkan praktek-praktek busuk oknum penguasa fundamentalis yang hanya ingin mempertahankan dan meluaskan populasi pengikut agamanya melalui kekuasaan dan kekerasan. Demokrasi dalam politik mungkin bagus, tetapi pendemokrasian keyakinan seseorang yang bersifat individu sama sekali tidak bisa dibenarkan.

Om tat sat

Translate »