Oleh: Suryanto, M.Pd

Proses pelurusan kembali ajaran Veda yang telah disimpangkan dilakukan beberapa tahap oleh avatara-avatara yang muncul dan menjalankan misinya, sesuai tuntutan situasi dan keadaan. Setelah Buddha Gautama, muncullah Adi Sankaracarya, lalu disusul dengan kemunculan Sri Caitanya. Benarkah beliau avatara Sri Krishna?

Buddha Gautama harus “berpura-pura” menolak dan menyalahkan Veda, karena orang mengatasnamakan Veda untuk membenarkan pembunuhan hewan besar-besaran dan penerapan sistem kasta yang sangat tidak manusiawi. Bertolak belakang dengan ajaran pokok Veda, Buddha Gautama mengajarkan bahwa roh itu tidak ada (anatman). Buddha Gautama juga tidak memberikan penjelasan apapun tentang keberadaan Tuhan, dengan mengajarkan bahwa kebenaran tertinggi adalah kekosongan (sunyavada). Itu merupakan sebuah siasat. Dengan mengatakan tidak ada Tuhan, masyarakat pada waktu itu lalu memuja dan mengikuti Sang Buddha, yang tidak lain adalah penjelmaan Sri Visnu sendiri..

Lalu, pemurnian ajaran Veda tahap berikutnya terjadi. Dewa Siva menjelma menjadi Adi Sankaracarya (788 – 820 M) seorang brahmana dan ahli filsafat yang sangat hebat. Berkat kegiatan pengajaran Sankaracarya, ajaran Veda mulai berkembang kembali di India. Para penganut agama Buddha kembali beralih memeluk agama Hindu. Bahkan, agama Buddha yang tadinya berkembang pesat dibawah perlindungan Raja Asoka akhirnya surut pamornya di India Walaupun demikian, banyak ajaran Buddha Gautama yang diadaptasi dan dikompromikan dengan ajaran Veda oleh Sankaracarya.

Salah satunya adalah konsep tentang Tuhan. Kitab-kitab Upanisad dan kitab Vedanta mengajarkan bahwa Tuhan memiliki sifat impersonal dan sifat personal sekaligus. Artinya, Tuhan berwujud sekaligus tidak berwujud. Kalau kita telaah secara seksama, kitab Injil dan Al-Quran pun mengajarkan bahwa Tuhan memang memiliki wujud. Hanya saja, kedua kitab itu menyampaikannya secara samar-samar. Dalam Injil, misalnya, dinyatakan bahwa : “Tuhan menciptakan manusia menyerupai citra-Nya”. Jadi, kalau manusia dengan wujudnya yang sekarang adalah “pencitraan” atau gambaran Tuhan, bukankah itu berarti bentuk atau wujud Tuhan duluan ada,  Aspek Tuhan yang ‘tidak berwujud’ dan ‘tidak bersifat’ seperti itu dalam bahasa Sanskerta disebut Brahman.

Sedangkan sifat personal  Tuhan, disebut Bhagavan. Agar mudah dipahami, kalau Brahman diibaratkan cahaya, maka Bhagavan adalah “sumber cahaya itu”. Pada siang hari yang cerah, kita hanya bisa melihat cahaya matahari yang menyilaukan, sedangkan bola matahari sendiri tidak tampak. Bulatan bola matahari yang besar itu tertutupi oleh cahaya yang menyilaukan.  Begitu pula, Brahman adalah cahaya yang menyilaukan yang menutupi  badan rohani Tuhan. Hal ini dibenarkan dalam Bhagavad-gita ( 14.27 ), di mana Sri Krishna menyatakan:

brahmaëo hi pratiñöhäham

amåtasyävyayasya ca

çäçvatasya ca dharmasya

sukhasyaikäntikasya ca

Aku adalah sandaran Brahman yang tidak bersifat pribadi, yang bersifat kekal, tidak pernah mati, tidak dapat dimusnahkan, kedudukan dasar kebahagiaan yang paling tinggi.”

Sebaliknya, Sankaracarya mengajarkan bahwa Brahman adalah aspek Tuhan yang tertinggi. Artinya, bahwa  Tuhan itu ada,  tapi tidak berwujud (nirvisesa), tidak bersifat (nirguna), dan tidak dapat dijelaskan dengan kata-kata (sunya) . Menurut Sankaracarya sosok-sosok seperti  Krishna, Visnu, Brahma, Siva, Durga, Ganesha, dan dewa-dewa lainnya hanyalah merupakan “perwujudan” atau manifestasi dari Tuhan yang tidak berwujud itu. Inilah bentuk kompromi antara ajaran Buddha Gautama dan ajaran Veda.

Bagi Buddha Gautama, tidak ada Tuhan, tidak ada Sang Pencipta. Sebaliknya, Veda mengajarkan bahwa ada Sang Pencipta, yang memiliki wujud rohani. Tentu saja, titik temu antara kedua ajaran yang bertolak belakang itu adalah Tuhan itu ada, tapi tidak berwujud. Dengan jalan tengah itu, Sankaracarya memang berhasil menjalankan misinya. Sebuah misi yang sesungguhnya diawali oleh Buddha Gautama sendiri sebagai avatara Visnu.

Keberhasilan Sankaracarya memang pantas dicatat, pengaruhnya masih terasa hingga sekarang ini dalam filsafat Hindu. Kalau saat ini kita mengenal konsep penyatuan atman dengan Brahman, konsep Tat Tvam Asi, dan sebagainya, semua itu adalah ajaran  Sankaracarya. Bahkan, konsep Tri Murti, yaitu bahwa Brahma, Visnu, dan Siva adalah manifestasi dari Ida Sang Hyang Widhi Wasa yang tidak berwujud – adalah aplikasi ajaran Sankaracarya  di Indonesia. Akan tetapi, kalau ditelaah kembali, maka ajaran Sankaracarya tersebut masih belum sepenuhnya sesuai dengan ajaran Veda  seperti murninya. Mengapa demikian?

Karena sebenarnya dalam kitab-kitab Veda dinyatakan bahwa Tuhan itu Esa dan berwujud. Dalam menjalankan “roda pemerintahan alam semesta” Tuhan yang Esa itu dibantu oleh para dewa yang diciptakan oleh Tuhan Sendiri. Ibarat sebuah pemerintahan, Tuhan adalah seorang raja atau presiden, sedangkan para dewa adalah para mentri yang memimpin departemen tertentu. Para dewa sebenarnya sama dengan malaikat dalam istilah agama Kristen dan Islam. Ada malaikat Ridwan penjaga sorga, kita mengenal dewa Indra sebagai raja sorga. Ada Dewa Yama sebagai dewa kematian, ada malaikat Isroil sebagai malaikat pencabut nyawa.  Jadi  dewa bukanlah Tuhan seperti yang selama ini banyak disalahpahami bahkan oleh orang Hindu sendiri. Karena itulah Sankara tidak menyusun ulasan apapun terhadap kitab Bhagavata Purana yang menguraikan identitas Sri Krishna sebagai Bhagavan atau Kepribadian Tuhan Yang Maha Esa. Sebagaimana kita ketahui, Sankara sendiri menyusun syair Bhaja Govindam yang sangat termasyur itu. Govinda adalah nama lain dari Sri Krishna.

Dalam perkembangannya, bermunculanlah acarya atau guru-guru yang mengoreksi ajaran-ajaran Sankaracarya. Diantaranya yang terkenal adalah Ramanujacarya dan Madhavacarya. Keduanya mengajarkan bhakti, yang menyatakan bahwa atman tidak pernah menyatu dengan brahman dalam arti yang sesungguhnya. Bhakti berarti pengabdian dan pelayanan kepada Tuhan dengan dilandasi oleh cinta kasih. Seorang bhakta tidak pernah mencita-citakan untuk menyatu dan menunggal dengan Tuhan. Yang menjadi keinginannya hanyalah  mengabdi dan melayani Tuhan dengan cinta yang tanpa pamrih. Cinta adalah sesuatu yang melibatkan kegiatan menerima (take) sekaligus memberi (give). Jadi, love melibatkan take and give. Harus bertimbal balik, dan tidak satu arah. Kalau hanya menerima saja tanpa pernah memberi, itu namanya pemerasan, bukan cinta. Cinta atau bhakti mengisyaratkan adanyapihak  yang mencintai dan obyek yang dicintai. Dalam ajaran Veda, obyek tertinggi cinta bhakti adalah Tuhan Sendiri. Ilmu pengetahuan inilah yang disebut dengan bhakti yoga. Menurut Steven Rosen (1996), tradisi Vaisnava atau bhakti yoga inilah yang merupakan praktek keagamaan tertua yang diikuti oleh masyarakat India, sebelum terjadinya penyimpangan Veda.

Tradisi monotheis, atau pemujaan kepada Tuhan yang Esa melalui bhakti inilah inti ajaran Bhagavad-gita dan Bhagavata Purana, dimana kedua kitab tersebut telah ada sejak 5107 tahun yang lalu. Banyak orang yang menganggap bahwa bhakti yoga adalah cara yang paling mudah dan remeh untuk mencapai kepada Tuhan. Karena itu banyak orang yang mengejek dan menganggap bahwa seorang bhakta adalah mereka yang kurang cerdas (kekurangan jnana) dan tidak mampu melakukan perbuatan (karma) yang lebih tinggi. Sesuai namanya, mereka menganggap bahwa Raja Yoga (meditasi) adalah yoga yang tertinggi. Tetapi, kalau benar bhakti adalah jalan termudah, mengapa orang tidak berbondong-bondong melakukannya? Mengapa memilih jalan yang lebih sulit? Mengapa tidak menempuh jalan termudah dan termurah?

Jadi, bhakti tanpa mengharapkan pamrih kepada Tuhan adalah puncak seluruh ajaran Veda sesungguhnya. Ajaran inilah yang telah disimpangkan sedemikian jauh, sehingga dalam pelurusannya dibutuhkan kemunculan Buddha Gautama dan Adi Sankaracarya. Puncak pelurusan itu terjadi dengan kemunculan Sri Krishna Caitanya, atau yang dikenal juga sebagai Sri Caitanya Mahaprabhu pada abad ke-15 Masehi. Kemunculan Sri Caitanya beserta ajarannya ini tidak banyak diketahui secara luas, sampai akhirnya pada tahun 1965, A.C. Bhaktivedanta Swami Prabhupada memperkenalkan ajaran ini keseluruh dunia.

Dalam kitab-kitab Veda, terdapat sloka-sloka yang telah meramalkan kemunculan Sri Caitanya ini. Sri Caitanya adalah penjelmaan Sri Krishna pada jaman Kali. Dalam Mahabharata (Dhana-dharma, Vishnu Sahasranama Stotra) terdapat pernyataan yang  meramalkan identitas Sri Caitanya Mahaprabhu.

suvarna varno hemangovarangas candanangadi

sannyasa-krc chamah santonistha-santi-parayanah

 

Dalam kegiatanNya pada usia muda  Beliau muncul sebagai orang yang berumah tangga yang berwajah kuning emas. Anggota-anggota badanNya tampan sekali. BadanNya diolesi dengan tapal terbuat dari kayu cendana. Warna badannya seperti emas cair. Dalam kegiatan berikutnya, Beliau menjadi sannyasi dan Beliau tenang sentosa. Beliaulah tempat kedamaian dan bhakti tertinggi, sebab beliau membuat terdiam orang yang bukan penyembah dan tidak mengakui bentuk pribadi Tuhan.” Mahabharata (Dhana-dharma, Vishnu Sahasranama Stotra)

Bagaimana kenyataannya? Apakah ramalan tersebut terpenuhi? Marilah kita simak riwayat hidup Sri Caitanya dan ajaran yang beliau sampaikan.

Sri Caitanya Mahaprabhu dilahirkan di Mayapur di kota Nadia, Benggala, India pada waktu magrib tanggal 23 bulan Phalguna tahun 1407 Sakabda, atau tanggal 18 Februari 1486. Pada saat Sri Caitanya dilahirkan, ada gerhana bulan. Sesuai dengan kebiasaan pada saat-saat seperti itu, para penduduk Nadia sedang mandi di sungai Bhagirati (Gangga) dengan mengucapkan “haribol” dengan suara keras-keras.  Ayah Sri Caitanya bernama Jagannatha Misra adalah seorang brahmana miskin yang mengikuti ajaran Veda. Ibu Sri Caitanya bernama Sacidevi adalah wanita yang memiliki segala sifat yang baik.  Sri Caitanya berwajah sangat tampan, wajah dan anggota badannya berwarna kuning keemasan. Menurut Jabir (1997) pada masa itu, kota Navadvipa merupakan kota yang menjadi pusat belajar yang menyaingi kota Benares, kota yang menjadi pusat terbesar bagi para pengikut Adi Sankaracarya. Kakek Sri Caitanya, Pandit Nilambara Cakravati, seorang ahli ilmu perbintangan yang terkenal, meramalkan bahwa Caitanya akan menjadi tokoh besar pada masanya. Cahaya badannya yang keemasan membuat Caitanya dikenal pula sebagai Gauranga. Dalam bahasa Sanskerta, “gaura” berarti emas, sedangkan “angga” artinya anggota badan. Dalam usia sepuluh tahun, Sri Caitanya telah menjadi seorang sarjana yang terpelajar dalam bidang logika, tata bahasa, ilmu berpidato, dan menguasai berbagai kitab suci. Karena itulah ia juga digelari sebagai Nimai Pandit. Disebut nimai karena beliau terlahir di bawah pohon nim (pohon nimbo). Kata pandit menunjukkan gelar bagi orang yang sangat terpelajar. Semua sarjana terpelajar kota Nadia mengakui kehebatan Sri Caitanya, yang menjadi semakin termasyur setelah ia berhasil mengalahkan Kesava Misra dari Kasmir, seorang pandit besar pada masa itu, dalam debat yang dilakukan dihadapan orang banyak.

Pada saat berusia 14 atau 15 tahun, Sri Caitanya menikah dengan Laksmi devi, putra Vallabhacarya yang juga berasal dari Nadia. Namun, tidak lama kemudian Laksmidevi meninggal dunia akibat gigitan ular berbisa.  Atas permintaan ibunya, Sri Caitanya menikah lagi dengan Visnupriya, putri Raja Pandita Sanatana Misra.  Saat berusia 16 tahun, Sri Caitanya diterima sebagai murid oleh seorang guru kerohanian bernama Isvara Puri, seorang sanyasi Vaisnava. Setelah pulang dari Nadia, Nimai Pandit mengajarkan prinsip-prinsip keagamaan, dan sifat kerohanian menjadi begitu kuat dalam Dirinya. Tokoh-tokoh Vaisnava yang lebih tua menjadi heran melihat perubahan pada diri pemuda itu. Sebelumnya Nimai Pandit tidak lebih dari seorang naiyayika yang suka berdebat, seorang smarta yang suka berargumentasi dan seorang ahli pidato yang suka mencela.  Sekarang Sri Caitanya hampir pingsan kalau  beliau mendengar nama Krishna dan beliau bertindak seperti orang yang mempunyai semangat tinggi karena pengaruh perasaan rohani.

Sri Caitanya khususnya mengajarkan proses rohani dalam bentuk pengucapan nama-nama suci Tuhan. Ajaran Sri Caitanya sama dengan ajaran yang diberikan oleh Sri Kapila, pengemuka pertama ajaran Sankhya-yoga. Filsafat sankya yang dibenarkan menganjurkan agar seseorang semadi pada bentuk rohani Tuhan. Tidak mungkin kita bermeditasi pada kekosongan ataupun pada sesuatu yang tidak memiliki sifat pribadi. Sri Caitanya Mahaprabhu mengajarkan filsafat yang disebut dengan Acintya bedhaabedha-tattva. Menurut filsafat tersebut, Tuhan Yang Maha Esa sama dengan ciptaan-Nya dan pada waktu yang samaberbeda dari ciptaan itu. Contoh yang baik untuk memahami filsafat tersebut adalah sebagai berikut. Cahaya matahari dan bola matahari dapat dikatakan sebagai dua obyek yang sama namun sekaligus berbeda pada saat yang sama. Tidak ada cahaya matahari kalau tidak ada bola matahari sebagai sumbernya. Sebaliknya, bola matahari tidak akan bermanfaat kalau tidak  memancarkan cahaya matahari. Sekarang, misalnya kita berada dalam suatu kamar yang diterangi cahaya matahari. Dapatkah kita mengatakan bahwa matahari berada dalam kamar kita, hanya karena adanya cahaya matahari dalam ruangan kita? Tentu saja tidak!

Jadi, matahari dan cahaya matahari sama sekaligus berbeda pada saat yang sama.

Begitu pula Tuhan dan ciptaan-Nya. Menurut Veda, Tuhan memiliki tiga sifat utama yaitu sat, cit, dan ananda. Sat artinya kekal, Tuhan Maha Kekal. Cit artinya penuh pengetahuan (full of knowledge), Tuhan Maha Tahu, segala pengetahuan berasal dari Beliau. Ananda berarti penuh kebahagiaan (full of bliss), Tuhan adalah sumber kebahagiaan sejati. Karena itulah, orang menjadi bahagia bila ia merasa dekat dengan Tuhan. Tuhan memiliki ketiga sifat utama itu tanpa batas.

Sebagai atman (roh) kita juga memiliki ketiga sifat tersebut. Kita kekal, roh tidak pernah mati, hanya menggantikan badan. Roh tidak pernah diciptakan, sebagaimana Tuhan juga tidak diciptakan. Kita juga penuh pengetahuan, namun saat ini kesadaran kita sedang tercemari karena kita terperangkap dalam badan jasmani. Kita juga selalu mendambakan kebahagiaan, karena pada dasarnya sifat kita adalah ananda. Bagaimana memahami hal ini dalam pengalaman nyata sehari-hari?  Mudah sekali. Berdirinya rumah sakit, menunjukkan bahwa kita ingin terus hidup, mencari kekekalan. Berdirinya sekolah, perguruan tinggi, laboratorium, perpustakaan dll adalah untuk memenuhi kebutuhan kita akan hausnya pengetahuan. Kita selalu mengejar-ngejar kesenangan duniawi, karena kita ingin bahagia. Itulah cermin ketiga sifat itu, sat, cit, dan ananda.

Jadi, ketiga sifat itu sama-sama dimiliki oleh Tuhan dan oleh ciptaan-Nya. Namun, makhluk hidup hanya memiliki dalam jumlah kecil sifat-sifat tersebut, sedangkan Tuhan memilikinya tanpabatas.

Jadi, pada dasarnya kita hanya sama dalam kualitas, namun berbeda jauh dalam kuantitas. Inilah yang dimaksud oleh Sri Caitanya dengan filsafat    acintya bedhaabheda-tattva.

Sri Caitanya mengajarkan filsafat tersebut melalui cara memuji nama suci Tuhan. Beliau mengajarkan bahwa nama suci Tuhan merupakan penjelmaan Tuhan dalam bentuk suara. Oleh karena Tuhan Yang Maha Esa adalah keseluruhan yang mutlak, tidak ada perbedaan antara nama suci Tuhan dengan bentuk rohani Tuhan. Dengan mengucapkan nama suci Tuhan seseorang dapat mengadakan hubungan secara langsung dengan Tuhan Yang Maha Esa melalui getaran suara rohani. Selama seseorang mempraktekkan ucapan getaran suara tersebut, dia naik tingkat melalui tiga tahap perkembangan : yaitu tingkat ia masih melakukan kesalahan, tingkat kesalahan yang dilakukan dihilangkan, lalu tingkat rohani.

Pada tingkat seseorang masih melakukan kesalahan, barangkali ia menginginkan segala jenis kebahagiaan material, tetapi pada tingkat kedua ia menjadi bebas dari segala pengaruh material. Apabila seseorang sudah berada pada tingkat rohani, ia mencapai kedudukan yang paling didambakan oleh setiap orang – yaitu cinta bhakti yang murni kepada Tuhan Yang Maha Esa.  Sri Caitanya mengajarkan bahwa inilah tingkat kesempurnaan tertinggi kehidupan manusia.

Sri Caitanya kemudian mengajarkan secara luas gerakan sankirtan kepada masyarakat luas. Sankirtan adalah pengucapan nama-nama suci Tuhan yang dilakukan secara beramai-ramai, dengan diiringi alat-alat musik tradisional. Sri Caitanya khususnya menganjurkan agar seseorang mengucapakan Maha Mantra Hare Krishna yang telah ditetapkan dalam kitab Kalisantarana Upanisad sebagai yuga dharma untuk jaman Kali Yuga.

 

Hare Krishna Hare Krishna

Krishna Krishna Hare Hare

Hare Rama Hare Rama

Rama Rama Hare Hare

Berangsur-angsur, penduduk Nadia mulai mengikuti apa yang dilakukan oleh Sri Caitanya. Mereka beramai-ramai menyanyikan nama-nama Krishna di jalan-jalan dikota Nadia dengan diiringi instrumen  musik. Demikianlah, gerakan sankirtan Sri Caitanya mulai berkembang pesat, bahkan mulai menyebar ke daerah diluar Nadia.

Sri Caitanya mengajarkan bahwa orang hendaknya mengucapkan nama-nama suci Tuhan dan memuja Tuhan Yang Esa dan Maha Tunggal. Para brahmana kolot di kota Nadia dan sekitarnya yang terbiasa memuja banyak dewa merasa terganggu dan iri hati pada keberhasilan Sri Caitanya. Orang-orang Hindu ini kemudian mengadukan perbuatan Sri Caitanya itu kepada penguasa kota Navadvipa. Mereka menuduh Sri Caitanya telah merusak dan menghancurkan tradisi turun temurun yang dilakukan oleh para brahmana itu, yaitu pemujaan kepada banyak dewa, yang semuanya dianggap Tuhan.

Pada masa itu, kota Navadvipa dibawah penguasaan seorang muslim. Ketua pengadilan di kota itu dijabat oleh Chan Kazi, seorang pemeluk Islam yang taat. Sebagai seorang jaksa, ia merasa berkewajiban untuk menindaklanjuti laporan para brahmana itu.

Bersama para pesuruhnya, ia lalu mendatangi para pengikut Sri Caitanya yang sedang melakukan sankirtan. Chan Kazi  membubarkan orang-orang itu, dan memecahkan gendang serta  mengancam agar orang-orang berhenti menyanyikan nama Krishna. Chan Kazi meminta agar Sri Caitanya berhenti melakukan kegiatannya yang aneh dan dianggap bertentangan dengan prinsip-prinsip agama Hindu. Kalau hal itu masih dilakukan, mereka akan ditangkap dan dijebloskan ke dalam penjara.

Mengetahui hal itu, Sri Caitanya lalu mengumpulkan ribuan orang pengikutnya dan mengajak mereka beramai-ramai mendatangi rumah Chan Kazi pada malam hari. Ribuan orang itu membawa obor dan mengepung rumah Chan Kazi sambil menyanyikan Maha Mantra Hare Krishna.

Kazi menjadi ketakutan, lalu mengajak Sri Caitanya berdialog panjang lebar. Sri Caitanya, yang tidak lain adalah penjelmaan Sri Krishna sendiri, bahkan mengutip  ayat-ayat Al-Quran dan digabungkan dengan sloka-sloka Veda untuk membuktikan bahwa apa yang dilakukan oleh Sri Caitanya tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip kitab suci. Chan Kazi mengutip ayat Al-Quran untuk membenarkan pembunuhan sapi, namun Sri Caitanya mengutip lebih banyak ayat Al-Quran yang membuktikan bahwa pembunuhan sapi bahkan tidak dibenarkan dalam Al-Quran sendiri.

Karena Sri Caitanya mengajarkan agar orang bermeditasi pada bentuk pribadi Tuhan, Chan Kazi mengutip ayat-ayat Al-Quran yang menyatakan bahwa Allah tidak berwujud. Tapi Sri Caitanya mengutip lebih banyak ayat Al-Quran dan sloka-sloka Veda yang membenarkan bahwa Tuhan sesungguhnya memiliki wujud pribadi yang bersifat rohani. Hasil diskusi lengkap ini tercatat dalam kitab Sri Caitanya Caritamrta, biografi Sri Caitanya yang ditulis oleh Sri Krishna Kaviraja das. Secara terpisah, dialog tersebut telah dijadikan buku tersendiri oleh Akif Manaf Jabir, Ph.D, seorang Hindu kelahiran muslim yang berasal dari Azarbaizan. Kedua buku tersebut adalah The Enlightmen of Chan Kazi (Pencerahan Chan Kazi). Buku lainnya adalah The Hidden Treasure of Al-Qur’an (Harta Karun Tersembunyi dalam Al-Qur’an) terbitan The Dhabir Khas Trust, India, 1997, yang berisi dialog antara Sri Caitanya dengan pemimpin muslim lainnya yang bernama Abdullah Pathan. Anda dapat mengunjungi perpustakaan Narayana Smrti Ashram untuk membaca kedua buku tersebut.

Menjelang usainya diskusi itu, Chan Kazi dapat mengakui kebenaran ajaran Sri Caitanya bahwa Tuhan itu hanya satu, tiada duanya, namun memiliki berjuta-juta nama. Akhirnya, Sri Caitanya menyampaikan pengaruh Vaisnava ke dalam hati Chan Kazi dengan cara menyentuh badannya. Pada saat itu Kazi menangis dan mengakui bahwa ia telah merasakan  pengaruh rohani yang kuat dan pengaruh itu telah menghilangkan keragu-raguannya dan menimbulkan rasa rohani di dalam hatinya yang memberikan kebahagiaan tertinggi baginya.

Pada akhirnya Chan Kazi mendukung gerakan sankirtan Sri Caitanya dan memerintahkan seluruh penduduk muslim di kota Navadvipa agar menghormati dan tidak melakukan gangguan apapun terhadap gerakan sankirtan Sri Caitanya. Perintah tersebut diikuti oleh penduduk kota Nadia turun temurun.

Orang-orang menjadi kagum pada kekuatan spiritual Sri Caitanya, karena beliau mampu mengubah hati orang yang tadinya sangat memusuhi pengucapan nama-nama suci Krishna, kini justru sebaliknya, memberikan perlindungan terhadap kegiatan itu.

Setelah peristiwa itu, Sri Caitanya menarik hati ribuan orang, tanpa dibatasi status sosialnya dalam masyarakat, untuk mengikuti kegiatan rohani beliau. Ketika raja muslim Bengal, Nawab Hussein Shah Badahasah mendengar kehebatan pengaruh Sri Caitanya dalam menarik ribuan orang mengikuti ajarannya, ia menjadi sangat heran dan berkata :” Orang seperti itu, yang mampu menarik ribuan orang tanpa memberi imbalan apapun kepada mereka, pastilah utusan Tuhan. Saya dapat meyakini hal itu.” Nawab Hussein kemudian memerintahkan para jaksa “Jangan mengganggu Sri Caitanya dan kegiatannya hanya karena rasa iri. Biarkan beliau melakukan apapun yang dikehendakinya” (Jabir, 1997). Nawab Hussein dapat melihat bagaimana kekuatan Allah bertindak melalui diri Sri Caitanya, dan ia meyakini sifat-sifat rohani yang dimiliki oleh Beliau.

Sesudah kejadian itu, beberapa brahmana yang iri hatinya dan jahat ingin  bertengkar dengan Sri Caitanya. Mereka mengumpulkan sejumlah orang untuk melawan Sri Caitanya.  Sewajarnya beliau murah hati, walaupun tetap berpegang teguh pada prinsip-prinsipnya.  Sri Caitanya menyatakan bahwa perasaan partai-partai sendiri dan pembentukan sekte-sekte merupakan dua hambatan utama untuk mencapai kemajuan rohani. Dan selama beliau masih tetap menjadi penduduk Nadia dan anggota keluarga tertentu, missi-Nya tidak akan memperoleh sukses yang lengkap.  Pada usia 24 tahun, dengan ketabahan hati yang luar biasa, Sri Caitanya memutuskan untuk menjadi warga dunia dengan memutuskan hubungan dengan keluarga, golongan dan kepercayaan-Nya. Sri Caitanya memasuki tahap hidup sebagai sanyasin (tahap hidup meninggalkan hal-hal duniawi) di Katwa, dibawah bimbingan Kesava Bharati. Ibu dan istrinya menangis terisak-isak karena rindu, namun Sri Caitanya berjiwa pahlawan: walaupun beliau murah hati, namun beliau berpegang teguh pada prinsip-prinsipNya yang kuat. Sri Caitanya meninggalkan dunia kecil di rumahNya, untuk masuk dunia rohani Krishna yang tidak terhingga bersama masyarakat umum.

Banyak peristiwa ajaib yang dilakukan oleh Sri Caitanya. Banyak sanyasin dalam garis perguruan Sankaracarya yang berhasil dikalahkan dalam debat. Sankaracarya mengajarkan bahwa aspek Tuhan tertinggi adalah kekosongan atau Brahman, sedangkan Sri Caitanya menegaskan bahwa aspek tertinggi Tuhan adalah Tuhan yang memiliki sifat pribadi, berwujud rohani. Bahwa Brahman hanyalah cahaya yang menutupi badan rohani Tuhan. Wujud rohani Tuhan hanya mampu dilihat oleh

mereka yang sudah meninggalkan keinginan duniawi, termasuk keinginan untuk menyatu dengan Brahman. Menurut Sri Caitanya, moksa atau pembebasan berarti bahwa kita akan kembali mendapat badan rohani yang cocok untuk masuk dan hidup dalam kerajaan Tuhan. Namun perlu dicatat bahwa kalau pun kita berhasil masuk kerajaan Tuhan, tidak berarti kita lantas berubah menjadi Tuhan, kita masih akan tetap menjadi pelayan kekal Beliau, dalam hubungan cinta kasih yang bertimbal balik.  Disinilah kita akan memperoleh kembali sifat asli kita : sat, cit, ananda.

Selama seseorang masih memiliki keinginan untuk menjadi Tuhan, maka selama itu pula ia akan masih jatuh dalam perputaran lingkaran kelahiran dan kematian (samsara). Demikianlah, Sri Caitanya berhasil menyempurnakan misi pelurusan dan    pemurnian ajaran Vedapemurnian ajaran Veda, yang dilakukan secara bertahap mulai dari Sang Buddha, dilanjutkan oleh Adi Sankaracarya, dan puncaknya oleh Sri Caitanya Mahaprabhu.

Dari uraian di atas, dapat kita buktikan bahwa ramalan tentang Sri Caitanya dalam Mahabharata tersebut sungguh-sungguh menjadi kenyataan. Banyak ayat lain yang meramalkan kemunculan Sri Caitanya dan misi beliau. Sri Caitanya meramalkan bahwa pengucapan nama-nama suci Krishna dalam bentuk Maha Mantra : Hare Krishna Hare Krishna Krishna Krishna Hare Hare/Hare Rama Hare Rama Rama Rama Hare Hare akan menyebar dan dikenal di seluruh pelosok desa dan kota di seluruh dunia. Bhakti Yoga akan menjadi yuga dharma atau dharma pada jaman Kali Yuga, serta akan mengalami masa keemasan selama 10.000 tahun mendatang.

Sri Caitanya hadir di dunia ini selama 48 tahun, dan beliau menghilang dari pandangan mata pada tahun 1534. Para murid Sri Caitanya menulis dan menyusun kitab-kitab yang berisi ajaran-ajaran bhakti kepada Sri Krishna sebagaimana yang diajarkan oleh Sri Caitanya. Semua ajaran itu di dasarkan pada ajaran Bhagavad-gita, Bhagavata Purana, dan kitab-kitab Upanisad lainnya yang memiliki nilai rohani yang sangat mendalam. Dua di antara murid terkemuka Sri Caitanya adalah Dhabira Khasa dan Sakara Malik, dua mentri kesayangan  raja muslim Bengal  yang bernama Nawab Hussein Shah  yang mendukung dan melindungi kegiatan sankirtan Sri Caitanya tersebut. Kedua kakak beradik itu mundur dari jabatannya sebagai mentri, lalu menyerahkan diri kepada Sri Caitanya. Keduanya kemudian mendapat nama rohani Rupa Gosvami dan Sanatana Gosvami yang beserta empat gosvami lainnya melanjutkan misi Sri Caitanya dengan menyusun karya-karya rohani yang tak terhingga banyaknya. Mereka dikenal sebagai enam gosvami, sejenis wali songo.

Ajaran Sri Caitanya disebarluaskan dan dipertahankan kemurniannya melalui sistem parampara (garis perguruan rohani yang dibenarkan yang tidak pernah menyimpang sampai dengan jaman modern ini.

Setelah selama beratus-ratus tahun menjadi teka-teki, akhirnya ramalan Sri Caitanya mulai menjadi kenyataan. Om Visnupada A.C. Bhaktivedanta Swami Prabhupada (1896 – 1977) mewujudkan misi Sri Caitanya tersebut, dengan menyebarkan ajaran Vaisnava atau Bhakti Yoga tersebut ke Amerika pada tahun 1965. Selama dua belas tahun pengajarannya, Srila Prabhupada, demikian beliau lebih dikenal, berhasil menarik ribuan orang dari seluruh dunia untuk mengikuti proses yang diajarkan oleh Sri Caitanya. Beliau menyusun kitab Bhagavad-gita As It Is (Bhagavad-gita Menurut Aslinya) menterjemahkan Bhagavata Purana, Sri Caitanya Caritamrta (biografi Sri Caitanya) dan menulis lebih dari 80 judul buku tentang ajaran Veda. Selama 12 tahun, Srila Prabhupada keliling dunia sebanyak 14 kali, dan pernah ke Indonesia pada tahun 1973.

 

Identitas Sri Caitanya & Ramalan Misinya

1. Bhagavata Purana (11.5.32)

kåñëa-varëaà tviñäkåñëaà

säìgopäìgästra-pärñadam

yajïaiù saìkértana-präyair

yajanti hi su-medhasaù

 

 

Pada zaman Kali, orang cerdas bersama-sama memuji nama-nama suci Tuhan untuk menyembah penjelmaan Tuhan Yang Maha Esa yang senantiasa menyanyikan nama Krishna.Walaupun wajah Beliau tidak hitam, Beliau adalah Krishna Sendiri. Beliau diiringi oleh rekan-rekan, hamba-hamba, perlengkapan, dan teman-teman-Nya yang dekat”.

2. Upa-Purana

 

Sri Krishna bersabda kepada Rsi Vyasa :

aham eva kvacid brahman sanyasramam asritah

hari-bhaktim grahayami kalau papa hatan naran

“Wahai brahmana yang bijaksana, kadang-kadang Aku menjadi sanyasi (tingkat meninggalkan hal-hal duniawi) untuk memberi pelajaran kepada orang yang sudah jatuh pada zaman Kali agar mereka mulai  ber-bhakti kepada Tuhan Yang Maha Esa.”

3. Mahabharata (Dhana-dharma, Vishnu Sahasranama

suvarna varno hemangovarangas candanangadi

sannyasa-krc chamah santonistha-santi-parayanah

 

Dalam kegiatanNya pada usia muda  Beliau muncul sebagai orang yang berumah tangga yang berwajah kuning emas. Anggota-anggota badanNya tampan sekali. BadanNya diolesi dengan tapal terbuat dari kayu cendana. Warna badannya seperti emas cair. Dalam kegiatan berikutnya, Beliau menjadi sannyasi dan Beliau tenang sentosa. Beliaulah tempat kedamaian dan bhakti tertinggi, sebab beliau membuat terdiam orang yang bukan penyembah dan tidak mengakui bentuk pribadi Tuhan.”

 

Para sarjana sangat menghargai kesarjanaan dan kedalaman bhakti buku-buku karya Srila Prabhupada. Saat meninggal dunia pada 14 November 1977, Srila Prabhupada telah berhasil mendirikan 108 temple, ashram, dan kawasan pertanian organik di seluruh wilayah dunia. Sebuah prestasi yang oleh para sarjana Barat dianggap sangat laur biasa, yang belum pernah terjadi sebelumnya dalam sejarah. Dimana orang-orang Barat,  yang tadinya sama sekali asing terhadap kebudayaan Veda, dalam waktu sangat singkat menerima dan mempraktekakkan ajaran bhakti yoga dengan keseriusan yang luar biasa dalam kehidupan sehari-hari mereka.

Karena menekankan proses spiritual dalam bentuk pengucapan secara berulang-ulang (japa atau zikir) Maha Mantra Hare Krishna, maka gerakan sankirtan Sri Caitanya lebih dikenal secara luas di dunia sebagai Perkumpulan Hare Krishna.

Pada hari Sabtu tanggal 19 Maret 2011 ini, para Vaisnava dan pengikut Sri Caitanya di seluruh dunia memperingati Sri Gaura Purnima 525, yaitu perayaan hari kemunculan Sri Caitanya. Ditempat kelahiran Sri Caitanya di Mayapur, penyembah dari berbagai belahan dunia berkumpul bersama, menyanyikan nama-nama suci Sri Caitanya Mahaprabhu.  Mereka berasal dari  Afrika, Jepang, Cina, Iran, Rusia, Palestina, Israel, Eropa, Amerika, Australia, dll. Mereka bersama-sama merasakan manisnya rasa rohani yang diperoleh dari pengucapan nama-nama suci Tuhan. Pertanda bahwa Veda akan kembali menjadi pegangan bagi spiritualitas dunia. Banggalah menjadi Hindu!

 

Translate »