Masih membekas dalam ingatan ketika semua aktivitas kerohanian yang dilakukan oleh organisasi ISKCON (International Society for Krishna Consciousness atau Masyarakat Kesadaran Krishna Internasional) yang juga dikenal dengan sebutan “Hare Krishna” dibekukan dan dinyatakan sesat. Para pemimpin dan pengikutnya dikejar-kejar, ditangkap dan dijebloskan ke penjara. Mereka yang berhasil lolos melarikan diri terpaksa hidup luntang-lantung dan melakukan aktivitasnya secara underground. Kejadian serupa terulang kembali pada bulan Oktober 2005, dimana Kantor Wilayah Departemen Agama di Nusa Tenggara Barat kembali mengeluarkan larangan terhadap Hare Krishna. “Kobaran api penyesatan” terhadap Hare Krishna ternyata tidak hanya berhenti sampai di situ. Beberapa saat lalu pada beberapa group diskusi di jejaring sosial facebook dan mailing list isu ini kembali santer. Bahkan beberapa orang secara terbuka membuat account facebook untuk menggalang masa “Anti Hare Krishna”. Beberapa kalangan yang lain santer menyebarkan isu yang menyatakan Hare Krishna bukan Hindu. Benarkah Hare Krishna aliran sesat? Benarkah Hare Krishna bukan Hindu?

 

ISKCON, organisasi yang dibentuk Srila Prabhupada

Jika kita amati perkembangan keagamaan di masyarakat Hindu di Indonesia saat ini, sangat banyak bermunculan group-group spiritual yang baik secara tradisi maupun filosofi tampak berbeda. Seperti misalnya Group Sai Baba, Ananda Marga, Anand Krishna, serta berbagai jenis aliran Yoga dan Tantra. Seperti halnya Hare Krishna, mereka juga memiliki preaching center dan pusat-pusat pelayanan yang tersebar luas di masyarakat. Uniknya, meski hampir semua group spiritual “import” ini menampilkan wajah budaya yang berbeda dengan budaya lokal Nusantara, namun kenapa yang paling banyak diserang, dinyatakan sesat dan dituduh bukan Hindu notabena adalah Hare Krishna? Apa yang salah dengan Hare Krishna?

Untuk mencari benang merah permasalahan ini, mungkin ada baiknya kita sedikit melakukan flash back sejarah berdirinya organisasi ISKCON atau Gerakan Hare Krishna.

ISKCON adalah salah satu organisasi pergerakan bhakti (Bhakti Yoga) Hindu. ISKCON didirikan di Amerika Serikatpada tahun 1965 oleh Swami A.C. Bhaktivedanta Swami Prabhupada (1896-1977). Nama populer dari organisasi ini adalah Hare Krishna karena dalam setiap doa-doa, japa dan nyanyiannya selalu melantunkan kata-kata “Hare Krishna”. Organisasi Hare Krishna terbentuk dari garis perguruan (sampradaya) Brahma Gaudya Vaisnava. Garis perguruan ini diyakini dimulai dari dewa Brahma yang menerima ilmu pengetahuan suci Veda dari Sri Krishna dan kemudian secara turun temurun dari guru ke murid (parampara) diteruskan kepada Maha Rsi Narada, Maha Rsi Vyasa sampai kepada Sri Chaitanya Maha Prabhu yang merupakan salah satu tokoh terpenting garis perguruan ISKCON.

Tujuan Gerakan Hare Krishna tertuang dalam anggaran dasar organisasinya, yaitu:

  1. Secara sistematis mempropagandakan pengetahuan spiritual kepada masyarakat luas dan untuk mendidik semua orang dalam teknik-teknik kehidupan spiritual dalam rangka menahan nilai-nilai yang tidak seimbang dalam kehidupan dan untuk mencapai kesatuan yang sejati dan kedamaian di dunia.
  2. Untuk mempropagandakan suatu kesadaran tentang Tuhan (Krishna), seperti yang diwahyukan dalam Bhagavad-gita dan Srimad Bhagavatam.
  3. Untuk membawa para anggota Perkumpulan bersama-sama satu dengan yang lain dan lebih dekat kepada Tuhan, entitas utama, dengan demikian untuk mengembangkan gagasan di dalam para anggota, dan kemanusiaan secara luas, bahwa tiap roh adalah bagian hakiki dan sangat kecil dari sifat Tuhan (Krishna).
  4. Untuk mengajarkan dan menyemangatkan gerakan sankirtana, atau pengucapan nama suci Tuhan secara beramai-ramai seperti yang disampaikan dalam ajaran-ajaran Sri Caitanya Mahaprabhu.
  5. Untuk membangun tempat suci lila transendental bagi para anggota dan masyarakat secara luas yang didedikasikan kepada Personalitas Tuhan Yang Maha Esa, Krishna.
  6. Untuk membawa para anggota lebih dekat bersama-sama untuk tujuan mengajarkan sebuah cara hidup yang lebih sederhana dan lebih natural.
  7. Dengan sebuah pandangan untuk menuju pencapaian tujuan-tujuan yang disebutkan di atas, akan menerbitkan dan mendistribusikan bulletin, majalah, buku-buku dan tulisan lainnya.

Pengikut Gerakan Hare Krishna adalah salah satu kelompok yang paling asketik (hidup sangat sederhana). Kode etik dan moral yang diterapkan dalam perguruan ini sangat ketat. Para anggota harus menjalankan empat prinsip, yaitu dilarang mabuk-mabukan (minum minuman keras dan/atau menggunakan obat-obatan terlarang), melakukan seks bebas, mencuri dan makan daging, ikan serta telor disamping aturan-aturan lainnya yang tidak kalah ketatnya. Namun meskipun demikian, pertumbuhan pengikut ajaran ini tercatat sebagai salah satu yang terbesar di dunia.

 

Hare Krishna mendasarkan ajarannya pada Veda

Secara prinsip, Ajaran Hare Krishna didasarkan pada kitab suci Veda, terutama Bhagavad Gita, Bhagavata Purana (Srimad Bhagavatam), Visnu Purana, Padma Purana, Brahma Samhita dan beberapa kitab lain yang sempat diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dan diulas oleh Srila Prabhupada sebagai Acharya (Guru) pendiri ISKCON.Kitab Bhagavad Gita dan Srimad Bhagavatam dijadikan pegangan utama karena diyakini kedua kitab ini merupakan inti sari dan kesimpulan kitab suci Veda yang maha luas. Meski demikian, pengikut Hare Krishna tidak dibatasi hanya belajar kedua kitab ini, tetapi juga didorong untuk mengerti kitab-kitab Veda yang lainnya.
Hampir sama dengan Panca Sradha (lima dasar keyakinan) agama Hindu di Indonesia, Hare Krishna juga meyakini dasar-dasar keyakinan yang tertuang dalam Bhagavad Gita. Beberapa dasar keyakinan itu antara lain:

  1. Percaya pada adanya Tuhan
  2. Percaya pada adanya Atman
  3. Percaya pada adanya hukum Karma
  4. Percaya pada adanya Waktu yang kekal
  5. Percaya pada adanya Moksa

Konsep ketuhanan dalam ajaran Hare Krishna menyebutkan bahwa Tuhan pada hakekatnya sempurna. Beliau beraspek Bhagavan (berwujud pribadi), Brahman (tidak berwujud) dan Paramatman (meresapi dan berada di mana-mana di seluruh ciptaanNya) – Bhagavata Purana 1.2.11 dan 1. 3.28, Brahma Samhita 5.1,5.35, 5.37 dan 5.40; serta Bhagavad Gita .9.4-5, 6.31, 13.3, 13.13-18, 14.27, 15.15, 15.17 dan 18.61. Atas dasar ini Hare Krishna sangat menentang konsep Mayavadi yang menyatakan bahwa Tuhan adalah tidak berwujud yang disebut Nirguna Brahman dan akhirnya karena terjerat oleh Maya yang Dia ciptakan menjadi berwujud yang disebut Sarguna Brahman karena menurutnya, Tuhan Yang Maha Kuasa tidak mungkin terjerat oleh ciptaanNya sendiri.

Meski lebih sering menyebut nama Tuhan dengan sebutan Krishna dan Rama, namun pengikut Hare Krishna tidak menolak nama Tuhan yang lain. Bahkan dikatakan nama suci Tuhan tidak terhingga jumlahnya. Visnu Sahasra Nama atau 1000 nama suci Tuhan sebagaimana disampaikan dalam Padma Purana dan juga Mahabharata Anushāsanaparva 149 menjadi salah satu panduan kebebasan pengikut Hare Krishna dalam menyebut nama Tuhan yang mereka sukai.
Mengenai para dewa, ajaran Hare Krishna mengatakan bahwa Tuhan dan dewa berbeda. Para dewa adalah abdi Tuhan Yang Esa yang merupakan Jiva Tattva yang merupakan individu yang sama dengan mahluk hidup yang lain tetapi karena guna dan karma-nya mereka mendapatkan badan dan kedudukan seperti itu. Namun demikian, dalam beberapa posisi seperti kedudukan Brahma, Visnu dan Siva kadang kala juga diemban oleh Tuhan sendiri dalam aspeknya sebagai Tri Guna Avatara (Bhagavata Purana 1.2.23)

Perbedaan antara Tuhan dan Atman dalam ajaran Hare Krishna sangat jelas. Hare Krishna menolak pendapat yang mengatakan bahwa Atman dan Brahman (Tuhan) itu sama. Tuhan adalah Tuhan dan Atman tetaplah Atman yang semuanya adalah individual terpisah yang secara kuantitas sama, tetapi secara kualitas berbeda. Konsep ajaran ini dipertajam oleh Sri Chaitanya Maha Prabhu sebagai salah satu acharya dalam garis perguruan Hare Krishna dengan filsafatnya yang sangat terkenal, yaitu “Achintya Bheda Abheda Tattva”. Sehingga atas dasar ini, ajaran Hare Krishna menolak asumsi yang mengatakan oleh karena kita adalah Atman yang sama dengan Brahman, maka suatu saat nanti jika sudah mencapai moksa maka kita akan menyatu dan menjadi Tuhan.

Sedangkan untuk ajaran mengenai Karma, jika dalam konsep Panca Sradha di Indonesia antara Karma dan Reinkarnasi di gabung, maka menurut ajaran Hare Krishna yang disarikan dari Bhagavad Gita mengatakan bahwa Karma dan Reinkarnasi adalah satu kesatuan yang tidak terpisahkan sehingga jika percaya pada Karma, maka sudah pasti harus percaya dengan adanya Reinkarnasi.

Kepercayaan kepada Kala (waktu) yang kekal adalah yang membedakan Panca Sradha dengan dasar keyakinan ajaran ini. Namun demikian, meski dalam Panca Sradha tidak disebutkan, namun keyakinan akan adanya waktu yang kekal yang merupakan manifestasi dari Tuhan sendiri tentunya sama.

 

Mengenai konsep Moksa, ajaran Hare Krishna meyakini adanya 4 jenis Moksa, yaitu:

  1. Salokya: Dapat Tinggal dialam rohani yang sama dengan Kepribadian Tuhan Yang Maha Esa;
  2. Samipya: bisa tinggal di dekat Kepribadian Tuhan Yang Maha Esa;
  3. Sarupya: bisa mendapat bentuk yang sama dengan Kepribadian Tuhan Yang Maha Esa; dan
  4. Sayujna atau Jivanmukti: dapat bersatu dengan Brahma jyoti atau sinar dari Kepribadian Tuhan Yang Maha Esa. (Bhagavata Purana 3.29.13, dan 9.4.67 serta Vedanta Sutra 4.4.4, dan 4.4.13-14)

Ajaran Hare Krishna dengan tegas menolak konsep moksa yang menyatakan kita sebagai Atman sama dengan Tuhan dan suatu saat bisa menyatu dan menjadi Tuhan.

Jadi dari penjabaran ajaran di atas, terlihat bahwasanya ajaran Hare Krishna 100% mendasarkan pemahamannya pada kitab suci Veda meskipun dikalangan pengikut Veda sendiri terdapat beberapa cabang filsafat dan aliran yang tampak seolah-olah bertolak belakang.

 

Tuduhan terhadap Hare Krishna

Tidak jelas dimana dan kapan Hare Krishna dinyatakan bukan Hindu dan dianggap sesat di Indonesia. Yang pasti pada saat kedatangan Prabhupada pertama kali ke Indonesia, beliau sempat berkunjung ke Pura Rawamangun di Jakarta dan beliau disambut antusias oleh kalangan umat Hindu baik etnis lokal maupun etnis India. Buku-buku hasil karya Prabhupada juga sangat disenangi di masyarakat dan bahkan di kalangan pejabat. Hampir semua presiden Indonesia sudah menerima buku Bhagavad Gita hasil terjemahan beliau. Saking larisnya, pada tahun-tahun awal pihak BBT sampai kesulitan memenuhi semua pesanan buku yang ada. Seiring perjalanan waktu, terjadi banyak gesekan yang kelihatannya bukan disebabkan oleh dasar filosofi ajaran Hare Krishna. Tetapi lebih mengarah kepada sikap defence sebagian elite Hindu dan masyarakat akibat perkembangan pengikut Hare Krishna yang begitu pesat, adanya motif politis dan ekonomi diakalangan pemimpin Hindu dan juga memang karena sikap beberapa pengikut dan simpatisan Hare Krishna yang sok “jagoan” karena merasa sudah mendapatkan ajaran yang lebih hebat dari sebelumnya.

Mereka yang antipati dengan Hare Krishna akhirnya selalu menggunakan ungkapan-ungkapan Prabhupada untuk mencap bahwa Hare Krishna bukan Hindu. Dalam majalah Hinduism Today edisi Oktober 1998 dikatakan: “Ada satu salah pengertian,” tulis His Divine Grace A.C. Bhaktivedanta Swami Prabhupada tahun 1977 dalam Science of Self Realization, “bahwa gerakan kesadaran Krishna mewakili agama Hindu. Sering kali orang-orang India baik di dalam maupun di luar India mengira bahwa kita mengajarkan agama Hindu, tapi sesunguhnya kita tidak mengajarkan agama Hindu.” lebih lanjut juga dikatakan bahwasanya pada ceramah-ceramah Srila Prabhupada tahun 1967, di New York dia berkata, “Sekalipun memunculkan para sarjana, sanyasin, grihasta dan swami besar, apa yang disebut pengikut agama Hindu semuanya tidak berguna, cabang-cabang kering dari agama Veda.” Hare Krisnha, katanya, adalah satu-satunya eksponen dari agama Veda dewasa ini. Dalam satu wawancara yang diberikan untuk Bhavan’s Journal tanggal 28 Juni, 1976, dia berkata, “India, mereka telah membuang sistem agama yang sesungguhnya, Sanatana Dharma. Secara takhyul, mereka menerima satu agama campur aduk (a hodgepodge thing) yang disebut Hinduisme. Karena itulah muncul kekacauan.” Pada kuliah umum tahun 1974 di Mumbai, Prabhupada juga menyatakan, “Kita tidak mengkotbahkan agama Hindu. Ketika mendaftarkan assosiasi ini, saya dengan sengaja memakai nama ini, ‘Krishna Consciousness,’ bukan agama Hindu bukan Kristen bukan Buddha.” Lalu, apakah pernyataan-pernyataan Prabhupada ini dapat dijadikan kesimpulan bahwa ajaran Hare Krishna bukan Hindu? Bukankah di satu sisi Prabhupada juga menyatakan bahwa beliau sedang berusaha membangun perkumpulan kesadaran Tuhan (Krishna) berdasarkan prinsip Veda dan Hindu yang dimaksud sekarang adalah bentuk lain dari kemrosotan sistem agama sesungguhnya, yaitu Sanatana Dharma?

 

Mendefinisikan Hindu

Sebelum menjawab ya atau tidak, mengingat pernyataan-pernyataan Srila Prabhupada juga ambigu dan sepertinya bermotif politis, maka mari kita definisikan terlebih dahulu apa yang disebut Hindu.

Istilah Hindu sendiri sebenarnya masih kontroversial. Ada sebagian kalangan menyatakan bahwa istilah Hindu berasal dari kata Sanskerta “Shindu”. Uniknya, beberapa kalangan dan bahkan buku-buku agama Hindu mengatakan nama Hindu yang berasal dari kata Hindo/Shindu ini dikatakan diberikan oleh orang-orang Muslim dari Persia untuk menyebutkan sistem kepercayaan yang dianut oleh orang-orang yang bermukim di sekitar sungai Shindu. Dalam salah satu artikelnya, Stephen Knapp, pemeluk Hindu kelahiran Yahudi mengulas secara panjang lebar mengulas nama Hindu ini sebagai berikut:

“Saya merasa perlu untuk mengklarifikasi mengenai penggunaan kata “Hindu” dan “Hinduisme”. Faktanya memang benar “Hinduisme” didasari pada pengetahuan Veda, yang mana berhubungan kepada identitas spiritual kita. Banyak orang menerimanya berarti sama dengan Sanatana-dharma, yang sebenarnya adalah istilah Sanskerta yang lebih akurat untuk jalan Veda. Identitas tersebut melampaui segala nama sementara sebagai Kristen, Islam, Buddha, atau bahkan Hindu. Bagaimanapun, Tuhan tidak pernah menggambarkan diri-Nya sebagai milik golongan tersebut, mengatakan bahwa Dia adalah hanya Tuhan Kristen, Tuhan Muslim, atau Tuhan Hindu. Oleh karena itu beberapa guru besar spiritualis dari India telah menjauhi pengidentifikasian diri sebagai orang Hindu saja. Jalan Veda itu abadi, dan karena itu melampaui segala sebutan sementara itu. Jadi saya menyebut nama “Hindu” penunjukan sementara?

Kita harus ingat bahwa istilah “Hindu” itu bahkan bukan istilah Sanskerta. Banyak ahli mengatakan bahwa itu tidak ditemukan di dalam Sastra Veda manapun. Jadi bagaimana bisa nama seperti itu mewakili jalan atau tradisi Veda? Dan tanpa sastra Veda, tidak ada dasar untuk “Hinduisme.”

Banyak ahli merasa bahwa nama “Hindu” telah dikembang pihak lain, para penyerbu yang tidak bisa menyebut nama Sungai Sindhu dengan baik. Menurut Sir Monier Williams, leksikografer Sanskerta, anda tidak dapat menemukan akar pribumi untuk kata-kata Hindu atau India. Tidak juga kata-kata tersebut ditemukan dalam setiap teks-teks Buddha atau Jain, atau salah satu dari 23 bahasa resmi India.

Beberapa sumber melaporkan bahwa Alexander Agung yang pertama kali merubah nama Sungai Sindhu menjadi Indu, menghilangkan huruf “S”, guna memudahkan pengucapan bagi orang Yunani. Inilah kemudian dikenal sebagai Indus. Ini ketika Alexander menyerbu India sekitar tahun 325 BCE. Kekuatan Macedoniannya sesudah itu disebut daratan timur Indus sebagai India, sebuah nama yang digunakan terutama selama rezim Inggris. Sebelum ini, nama Veda untuk daerah itu adalah Bharath Varsha, di mana banyak orang masih lebih suka menyebutnya dengan nama itu.

Kemudian, ketika penyerbu Muslim tiba dari tempat-tempat seperti Afghanistan dan Persia, mereka menyebut Sungai Sindhu sebagai Sungai Hindu. Setelah itu, nama “Hindu” digunakan untuk menggambarkan saluran penduduk dari tanah di propinsi barat laut dari India di mana terletak Sungai Sindhu, dan daerah itu sendiri disebut “Hindustan.” Karena suara Sansekerta “S” berubah menjadi “H” dalam bahasa Persia, Muslim menyebut “Sindhu” sebagai “Hindu,” meskipun pada saat orang-orang dari daerah itu tidak menggunakan nama “Hindu” sendiri. Kata ini digunakan oleh Muslim asing untuk mengidentifikasi orang-orang dan agama di mana orang-orang tersebut tinggal di daerah itu. Setelah itu, bahkan orang Indian sesuai dengan standar tersebut sebagaimana ditetapkan oleh mereka yang berkuasa dan menggunakan nama-nama Hindu dan Hindustan. Sebaliknya, kata itu tidak memiliki makna kecuali orang-orang memberinya arti atau sekarang digunakan di luar kegunaan.

Sebuah pemandangan lain tentang nama “Hindu” menunjukkan kebingungan alami untuk mengerti esensi sebenarnya dari jalan spiritual India. Seperti yang ditulis oleh RN Suryanarayan dalam bukunya Agama Universal (p.1-2, yang diterbitkan di Mysore pada tahun 1952), “Situasi politik di negara kita sejak berabad lalu, sebut saja 20-25 abad, telah membuatnya sangat sulit untuk memahami sifat bangsa ini dan agamanya. Sarjana Barat, dan sejarawan, juga, telah gagal untuk melacak nama sejati ini Tanah Brahman, benua yang luas seperti negara, dan oleh karena itu, mereka telah puas diri dengan menyebutnya dengan istilah yang berarti ‘Hindu’. Kata ini, yang merupakan inovasi asing, tidak terbuat dari penggunaan oleh penulis Sansekerta kami dan Acharya yang dihormati dalam karya-karya mereka. Tampaknya kekuasaan politik bertanggung jawab untuk terus-menerus menekankan penggunaan kata Hindu. Kata Hindu ditemukan, tentu saja, dalam sastra Persia. Hindu-e-Falak berarti ‘kegelapan dari langit’ dan ‘Saturnus’. Dalam bahasa Arab Hind bukan Hindu berarti bangsa. Hal ini memalukan dan menggelikan telah membaca selama ini dalam sejarah bahwa nama Hindu diberikan oleh orang-orang Persia kepada penduduk negara kami ketika mereka mendarat di tanah suci Sindhu.”

Lokasi di mana kata “Hindu” terjadi untuk apa beberapa orang merasa pertama kalinya dalam Avesta dari Iran dalam deskripsi negara India dan rakyatnya. Seperti negara agama Zorastrime, kata tampaknya mengambil makna yang menghina. Dan tentu saja sebagai mana Islam menyebar di India, kata “Hindu” dan “Hindustan” menjadi semakin tidak dihormati dan bahkan dibenci di arena Persia, dan lebih menonjol dalam sastra Persia dan Arab setelah abad ke-11.

Pandangan lain sumber nama Hindu didasarkan pada makna menghina. Dikatakan bahwa, “Selain itu, benar bahwa nama ini [Hindu] telah diberikan kepada ras Arya asli daerah penyerbu Muslim untuk mempermalukan mereka. Dalam bahasa Persia, kata penulis kami, kata tersebut berarti budak, dan menurut Islam, semua orang yang tidak memeluk Islam disebut sebagai budak. “(Dayanand Saraswati Shri Maharishi Aur Unka Kaam, diedit oleh Lala Lajpat Rai, diterbitkan di Lahore, 1898 dalam Pendahuluan).

Lebih jauh lagi, sebuah kamus Persia berjudul Lughet-e-Kishwari, diterbitkan di Lucknow pada tahun 1964, memberikan arti kata Hindu sebagai “tugas [pencuri], dakoo [Perampok], raahzan [waylayer], dan Ghulam [budak].” Di kamus lain, bahasa Urdu-Feroze-ul-Laghat (Bagian Pertama, hal 615) Persia arti kata Hindu adalah lebih lanjut digambarkan sebagai Barda (hamba yang taat), sia faam (warna hitam) dan kaalaa (hitam). Jadi semua ini adalah ungkapan menghina untuk menerjemahkan istilah Hindu sebagai label Persia atas rakyat India.

Jadi, pada dasarnya, Hindu hanyalah kelanjutan dari istilah seorang muslim yang menjadi populer hanya dalam 1300 tahun terakhir. Dengan cara ini, kita dapat memahami bahwa ini bukan istilah Sansekerta yang valid, juga tidak ada hubungannya dengan budaya Veda atau jalan spiritual Veda. Tidak ada agama yang pernah ada yang disebut “Hinduisme” sampai orang-orang India pada umumnya memberi nilai pada nama itu, seperti yang diberikan oleh mereka yang didominasi atas mereka, dan menerima penggunaannya. Selanjutnya, istilah telah digunakan untuk menyampaikan konotasi merendahkan. Jadi, apakah itu tidak mengherankan bahwa beberapa acharya India dan organisasi Veda tidak peduli untuk menggunakan istilah?

Kebingungan yang sesungguhnya dimulai ketika nama “Hindu” digunakan untuk menunjukkan agama orang India. Kata-kata “Hindu” dan “Hinduisme” sering digunakan oleh Inggris dengan efek fokus pada perbedaan agama antara kaum muslim dan orang-orang yang menjadi dikenal sebagai “Hindu”. Ini dilakukan dengan niat yang agak sukses menciptakan gesekan di kalangan masyarakat India. Hal ini sesuai dengan kebijakan Inggris atas pembagian dan aturan untuk membuatnya lebih mudah bagi mereka yang terus berkuasa atas negeri itu.
Namun, kami harus menyebutkan bahwa orang lain yang mencoba untuk membenarkan kata “Hindu” sekarang adalah gagasan dari para Resi terdalu, beberapa ribu tahun yang lalu, juga disebut India tengah Hindustan, dan orang-orang yang tinggal di sana adalah Hindu. Sloka berikut, dikatakan dari Vishnu Purana, Padma Purana dan Samhita Bruhaspati, diberikan sebagai bukti, namun saya masih menunggu untuk mempelajari lokasi yang tepat di mana kita dapat menemukan ayat ini.

Beberapa referensi lain yang digunakan, meskipun lokasi yang tepat tidak saya yakini, meliputi: “Himalayam Samaarafya Yaavat Hindu SarovaramTham Devanirmmitham desham Hindustanam PrachakshatheHimalyam muthal Indian maha samudhram vareyulladevanirmmithamaya deshaththe Hindustanam ennu parayunnu”. Hal ini menunjukkan bahwa daerah antara Himalaya dan Samudera Hindia disebut Hindustan. Dengan demikian, kesimpulan dari hal ini adalah bahwa semua orang India beragama Hindu tanpa memandang kasta dan keyakinan. Tentu saja, tidak semua orang akan setuju dengan itu.

Orang lain mengatakan bahwa di dalam Rig Veda, Bharata disebut sebagai negara “Sapta Sindhu”, yaitu negara tujuh sungai besar. Hal ini, tentu saja, dapat diterima. Namun, tepatnya bab dan buku yang dapat berasal dari sloka ini perlu diluruskan. Meski demikian, beberapa orang mengatakan bahwa kata “Sindhu” merujuk pada sungai dan laut, dan tidak hanya ke sungai tertentu yang disebut “Sindhu”. Lebih jauh lagi, dikatakan bahwa dalam Veda Sansekerta, menurut kamus kuno, “sa” diucapkan sebagai “ha”. Jadi “Sapta Sindhu” diucapkan sebagai “Hapta Hindu”. Jadi, ini adalah bagaimana kata “Hindu” dianggap telah terwujud. Hal ini juga mengatakan bahwa Persia kuno Bharat disebut sebagai “Hapta Hind”, sebagaimana dicatat dalam klasik kuno mereka “Bem Riyadh”. Jadi, ini adalah alasan lain mengapa beberapa ahli mulai percaya bahwa kata “Hindu” itu berasal di Persia.

Teori lain adalah bahwa nama “Hindu” bahkan tidak berasal dari nama Sindhu. Mr A. Krishna Kumar dari Hyderabad, India menjelaskan. “Ini [Sindhu / Hindu] Pandangan ini tidak dapat dipertahankan karena India pada waktu itu mengagumkan peringkat tertinggi di dunia dalam hal peradaban dan kekayaan tidak akan tanpa nama. Mereka tidak aborigin yang tidak diketahui yang menunggu untuk ditemukan, diidentifikasi dan dibaptis oleh orang asing. “Dia mengutip sebuah argumen dari buku Self-Government di India oleh NB Pavgee, yang diterbitkan pada tahun 1912. Penulis menceritakan Swami tua dan sarjana sanskrit Mangal Nathji, yang menemukan Purana kuno yang dikenal sebagai Sham Brihannaradi di desa, Hoshiarpur, Punjab. Itu berisi sloka yang berbunyi: “himalayam samarabhya yavat bindusarovaramhindusthanamiti qyatam hi antaraksharayogatah”. Sekali lagi lokasi yang tepat dari sloka tersebut dalam Purana hilang, tapi Kumar menerjemahkannya sebagai: “Negeri yang terletak di antara pegunungan Himalaya dan Bindu Sarovara (laut Cape Comorin) dikenal sebagai Hindusthan oleh kombinasi dari huruf pertama ‘hi’ dari ‘Himalaya’dan senyawa terakhir huruf ‘ndu’dari kata ‘Bindu’.”Hal ini, tentu saja, dianggap telah melahirkan nama “Hindu”, menunjukkan asal pribumi. Kesimpulan bahwa orang-orang yang tinggal di daerah ini dengan demikian dikenal sebagai “Hindu”.

Jadi sekali lagi, dengan cara apapun teori-teori ini dapat menyajikan informasi mereka, dan dengan cara apa pun Anda melihat itu, nama “Hindu” mulai hanya sebagai tubuh dan penunjukan daerah. Nama “Hindu” menunjuk ke sebuah lokasi dan orang-orang dan awalnya tidak ada hubungannya dengan filsafat, agama atau budaya rakyat, yang pasti bisa berubah dari satu hal ke hal lain. Hal ini seperti mengatakan bahwa semua orang dari India adalah India. Tentu saja, yang dapat diterima sebagai nama yang mengacu ke sebuah lokasi, tapi bagaimana dengan agama mereka, iman dan filsafat? Ini dikenal dengan banyak nama sesuai dengan berbagai pandangan dan keyakinan. Jadi, mereka tidak semua orang Hindu, karena banyak orang yang tidak mengikuti sistem Veda sudah keberatan dengan menyebut diri mereka dengan nama itu. Maka “Hindu” bukanlah nama yang paling tepat dari sebuah jalan spiritual, tetapi istilah sanskrit Sanatana-dharma jauh lebih akurat. Budaya India kuno dan sejarah awal mereka adalah budaya Veda atau Veda Dharma. Sehingga lebih tepat untuk menggunakan nama yang didasarkan pada budaya bagi mereka yang mengikutinya, bukan nama yang hanya alamat lokasi suatu bangsa.

Sayangnya, kata “Hindu” secara bertahap telah diadopsi oleh hampir semua orang, bahkan orang-orang India, dan sekarang diterapkan dalam cara yang sangat umum, begitu banyak sehingga, sebenarnya, bahwa sekarang “Hindu” sering digunakan untuk menjelaskan apa-apa dari kegiatan keagamaan bahkan kegiatan sosial India atau nasionalistis. Beberapa dari apa yang disebut “Hindu” peristiwa-peristiwa yang tidak didukung dalam literatur Veda, dan, karenanya, harus dianggap non-Veda. Dengan demikian, tidak sembarang orang bisa menyebut diri mereka sebagai “Hindu” dan masih dianggap sebagai pengikut jalan Veda. Juga bisa santai setiap aktivitas dapat disebut sebagai bagian dari Hindu dan berpikir panjang dianggap sebagai bagian dari budaya Veda sejati.

Oleh karena itu, jalan spiritual Veda lebih tepat disebut Sanatana-dharma, yang berarti abadi, pendudukan jiwa yang tidak berubah dalam hubungannya dengan Yang Mahatinggi. Sama seperti dharma dari gula adalah menjadi manis, ini tidak berubah. Dan jika tidak manis, maka itu bukan gula. Atau dharma dari api adalah untuk memberi kehangatan dan cahaya. Jika tidak seperti itu, maka itu bukan api. Dengan cara yang sama, ada Dharma tertentu atau sifat dari jiwa, yang Sanatana, atau abadi. Itu tidak berubah. Jadi ada keadaan dharma dan jalan dharma. Mengikuti prinsip-prinsip Sanatana-dharma dapat membawa kita kepada keadaan yang murni memperoleh kembali identitas rohani kita yang terlupakan dan hubungan dengan Tuhan. Ini adalah tujuan dari pengetahuan Veda dan sistem realisasi diri. Dengan demikian, pengetahuan tentang Veda dan semua literatur Veda, seperti pesan Krsna dalam Bhagavad-gita, serta ajaran-ajaran Upanishad dan Purana, tidak terbatas hanya “Hindu” yang terbatas pada wilayah tertentu atas planet atau keluarga kelahiran. Pengetahuan semacam itu sebenarnya dimaksudkan untuk seluruh dunia. Seperti setiap orang adalah makhluk rohani dan memiliki esensi spiritual yang sama seperti yang dijelaskan sesuai dengan prinsip-prinsip Sanatana-dharma, maka setiap orang harus diberi hak dan hak istimewa untuk memahami pengetahuan ini. Hal ini tidak dapat diadakan untuk kelompok atau wilayah eksklusif suatu penduduk.

Sanatana-dharma juga berkembang penuh filosofi spiritual yang mengisi celah-celah apa pun dapat dibiarkan oleh ajaran-ajaran filosofis agama lain yang kurang berkembang. Pengetahuan langsung tentang jiwa adalah sebuah “universal kebenaran rohani” yang dapat diterapkan oleh semua orang, dalam setiap bagian dunia, di setiap saat dalam sejarah, dan dalam setiap agama. Ini adalah abadi. Oleh karena itu, sebagai sebuah kebenaran rohani abadi, itu melampaui semua waktu dan sebutan duniawi. Pengetahuan tentang jiwa adalah esensi dari kebijaksanaan Veda dan lebih daripada apa arti nama “Hindu”, terutama setelah memahami dari mana nama itu datang.

Bahkan jika waktunya tiba pada zaman buruk Kali-Yuga setelah ribuan tahun ketika agama Kristen, Islam, Buddha, dan bahkan agama Hindu (seperti yang kita sebut sekarang) mungkin hilang dari muka bumi, masih akan ada ajaran-ajaran Veda yang tetap sebagai sebuah kebenaran spiritual dan universal, bahkan jika kebenaran tersebut mungkin akan dilupakan dan harus didirikan kembali lagi di dunia ini oleh Tuhan sendiri. Jika itu terjadiapakah Tuhan akan menggunakan nama “Hindu” untuk kebenaran yang sama itu? Beliau pasti mengatakan apa yang Beliau katakan ketika Beliau menyabdakan Bhagavad-gita terakhir kali.

Jadi, meskipun saya tidak merasa bahwa “Hindu” adalah istilah yang tepat untuk mewakili budaya Arya Veda atau jalan spiritual, saya juga menggunakan kata itu dari waktu ke waktu untuk arti yang sama karena sudah jadi bagian dari kosa kata semua orang . Kalau tidak, karena saya mengikuti jalan Veda Sanatana-dharma, saya menyebut diri saya Sanatana-dharmist. Yang mengurangi kebutuhan untuk menggunakan label “Hindu” dan juga membantu memusatkan perhatian pada sifat universal jalan Veda. Oleh karena itu, saya mengusulkan bahwa semua orang yang menganggap dirinya sebagai orang Hindu mulai menggunakan istilah Sanatana-dharmist, yang tidak hanya mengacu pada terminologi Sansekerta yang benar, tapi juga lebih akurat menggambarkan karakter dan spiritual maksud sesungguhnya dari jalan Veda. Orang lain juga telah menggunakan istilah Sanatanis atau bahkan Dharmists, keduanya lebih dekat ke arti sesungguhnya dalam budaya Weda.

Namun, untuk tujuan-tujuan politik dan hukum mungkin nyaman untuk terus menggunakan nama Hindu untuk sementara waktu. Sampai istilah Sanatana-dharma atau Dharma Veda menjadi lebih diakui oleh hukum internasional dan masyarakat pada umumnya, “Hindu” dapat tetap berada di belakang istilah yang digunakan untuk pawai budaya Veda. Tapi dalam jangka panjang, itu adalah nama yang akan berubah dalam arti pandangan yang berbeda-beda karena kurangnya dasar linguistik yang nyata. Hanya didasarkan pada nilai-nilai orang-orang tempat di dalamnya, makna dan tujuan akan bervariasi dari orang ke orang, budaya ke budaya, dan tentu saja dari generasi ke generasi. Kita bisa melihat bagaimana hal ini terjadi dengan orang Inggris di India. Jadi, akan ada pelestarian masalah dengan nama dan mengapa beberapa orang dan kelompok tidak akan mau menerimanya.
Namun dengan terus-menerus dan meningkatnya penggunaan istilah Sanatana dharma atau Veda-dharma, setidaknya oleh orang-orang yang lebih sadar akan definitif dasar sanskrit istilah-istilah ini, mereka akan memperoleh pengakuan sebagai istilah yang lebih tepat. Itu hanya butuh waktu untuk membuat penyesuaian yang tepat.

Ini adalah cara untuk membantu menyembuhkan salah tafsir atau kesalahpahaman yang mungkin berasal dari penggunaan nama “Hindu,” dan juga mengakhiri alasan mengapa beberapa kelompok yang tidak peduli untuk mengidentifikasi diri mereka di bawah nama itu. Setelah semua, sebagian besar kelompok Veda, terlepas dari orientasi mereka dan jalan khusus yang mereka ikuti, pasti bisa bersatu di belakang istilah Veda Dharma.”

Melihat pemaparan panjang lebar dari Stephen Knapp ini, sudah dapat kita simpulkan bahwa nama asli dari penganut Veda, yang mengakui Veda sebagai kitab sucinya dan mengaplikasikannya di lapangan adalah Sanatana Dharma. Nama Hindu sendiri, meskipun ada yang mengatakan tertulis dalam sloka-sloka Veda, namun hanya menunjukkan nama tempat atau kelompok, bukan nama ajaran. Jadi dalam menyelesaikan pedebatan apakah Hindu atau bukan, kita harus mengambil kesepakatan terlebih dahulu, apakah Sanatana Dharma sama dengan Hindu? Ataukah Sanatana Dharma lebih luas dari Hindu dimana Hindu hanyalah bagian kecil dari Sanatana Dharma itu sendiri? Mengerti kedudukan ini, maka kita sudah pasti bisa mengerti maksud pernyataan-pernyataan kontroversial Srila Prabhupada yang dijadikan tuduhan beberapa oknum “mengkafirkan” Hare Krishna.

 

Klarifikasi Srila Prabhupada bahwa Hare Krishna adalah Sanatana Dharma

Srila Prabhupada, memang telah mengatakan hal yang berbeda pada waktu yang berbeda atau bagi orang yang berbeda mengenai penggunaan nama “Hindu”. Banyak kali anggota ISKCON tampaknya berpikir bahwa nama Hindu harus dihindari di semua hal. Dan pada berbagai kesempatan Srila Prabhupada ISKCON mengatakan anggota tidak harus Hindu.

Namun, ia menjelaskan secara ringkas kepada Janmanjaya dan Taradevi dalam sebuah surat dari Los Angeles dari 9 Juli 1970 bahwa ada hubungan antara agama Hindu dan Kesadaran Krishna: “Mengenai pertanyaan Anda: Hindu berarti budaya India. India kebetulan terletak di sisi lain Sungai Indus yang sekarang di Pakistan yang dieja Indus dalam bahasa Sansekerta disebut Sindhu. Di mana “Sindhu” adalah salah eja oleh Eropa sebagai “Indus”, dan dari Indus kata ‘India’ datang. Demikian pula Arab biasanya mengucapkan sindhus sebagai Hindu. Ini diucapkan sebagai Hindu. Ini bukanlah kata Sanskerta juga tidak ditemukan dalam literatur Veda. Tetapi budaya India atau Hindu adalah Veda dan mulai dengan Catur Varna dan Catur Ashrama. Jadi ini empat varna dan ashrama dimaksudkan untuk ras manusia yang benar-benar beradab. Oleh karena itu, kesimpulannya adalah sebenarnya ketika manusia beradab dalam arti sebenarnya dari istilah dia mengikuti sistem varna dan ashrama dan kemudian ia dapat disebut ‘Hindu’. Gerakan Kesadaran Krishna kita mengajarkan keempat varna dan empat ashrama, jadi tentu saja telah punya hubungan dengan Hindu. Jadi Hindu dapat dipahami dari sudut pandang budaya, bukan sudut pandang agama. Budaya tidak pernah sama dengan agama. Religi adalah iman, dan budaya merupakan kemajuan pendidikan atau pengetahuan. “

Prabhupada lebih jauh mengatakan dalam sebuah surat dari Los Angeles, 16 Juli 1970, di mana dia menjawab pertanyaan untuk sebuah Nevatiaji: “Orang Amerika sangat cerdas dan anak laki-laki dan perempuan berkualitas sehingga mereka memahami prinsip-prinsip sebagaimana aslinya dan dengan demikian mereka menerimanya. Mereka memahami bahwa Gerakan Kesadaran Krsna bukanlah India atau budaya Hindu, tetapi merupakan gerakan spiritual bagi seluruh masyarakat manusia walaupun tentu saja karena datang dari India dan memiliki sentuhan Hindu. “

Dengan cara ini, Srila Prabhupada membedakan Kesadaran Krishna sebagai sebuah ke-universal-an, budaya dan gerakan spiritual yang dapat berdiri sendiri, sebuah bentuk Sanatana Dharma Veda yang terlepas dari kelompok agama tertentu dan perbedaan budaya. Namun, ia masih menceritakan bagaimana pastinya ada orang India dan Hindu memiliki hubungan dengan apa yang disajikan dalam gerakannya. Dan ini tidak harus dan tidak seharusnya benar-benar diabaikan atau dihindari. Kita tentu saja dapat bekerja sama untuk pelestarian dan promosi budaya Veda tanpa kesulitan dengan orang-orang yang mungkin lebih suka menyebut diri mereka Hindu, mengetahui hubungan kita dengan tradisi Veda.

Jadi dari pemaparan ini, penggunaan kata “bukan Hindu” oleh Prabhupada memiliki tujuan khusus, yaitu untuk menyadarkan orang Hindu sebagai penganut Veda bahwasanya keyakinan mereka pada dasarnya lepas dan bebas dari suatu kelompok dan golongan yang disebut agama, tetapi merupakan “way of life” dan Dharma yang abadi sepanjang masa. Disamping itu tujuan politis pernyataan ini juga untuk memudahkan Prabhupada dalam menyebarkan ajaran Veda di Barat dimana pada masa itu nama “Hindu” sudah terlanjur disalah mengerti akibat banyaknya literatur dan yogi-yogi palsu yang mempropagandakan ajaran Hindu secara keliru demi tujuan meraup keuntungan material.

Saya dan saya yakin sebagian besar pengikut ajaran Prabhupada yang lain termasuk penulis termasyur, Stephen Knapp yang merupakan salah satu murid Srila Prabhupada yang berdarah Yahudi dengan nama diksa Nandanandana Dasa akan tetap membanggakan diri sebagai Hindu disamping secara berangsur-angsur berusaha menyadarkan pemeluk Hindu yang lain bahwasanya kita adalah “Sanatana Dharma”.

Om Tat Sat,-

 

Translate »