I. PENDAHULUAN

Modernitas dengan segala gemerlap materialismenya telah membawa manusia pada dunia metropolitan yang menawarkan banyak pilihan hedon, di mana kesenangan bukan lagi sebagai hobi dan pelampiasan nafsu estetis semata melainkan telah menjadi tujuan hidup. Apapun usaha dihalalkan demi tercapainya hasrat, pangkat, bahkan syahwat. Alasannya meningkatkan harkat, martabat, dan akhirat,  tetapi sesungguhnya hanya mengumbar nafsu maksiat. Inilah zaman kali yuga atau menurut orang Jawa disebut zamanKalabendu, zaman edan. Zaman Edan menggambarkan sebuah kekacauan dunia dimana semua manusia terjangkit penyakit “gila”, ada yang gila harta, gila tahta, gila wanita, dan kegilaan-kegilaan lainnya. Siapapun yang tidak ikut “gila” maka dia tidak akan kebagian (yan ora melu ngedan mundak ora keduman). Demikianlah gambaran kekacauan yang ditawarkan oleh modernitas dan percaturan global dewasa ini.

Kemajuan pesat di dalam bidang ilmu pengetahuan, sains, dan tekhnologi tidak disertai dengan hal yang sama dalam bidang kehidupan moral, etika, dan spiritualitas. Bahkan, bidang ini semakin rapuh dibawa arus materialisme, hedonisme, pragmatisme peradaban modern. Hal ini tercermin dengan semakin renggangnya rasa kebersamaan, keakraban, nasionalisme, upaya-upaya memajukan kepentingan dan ketertiban umum, pelanggaran nilai-nilai sosial, etika, agama terjadi hampir di semua belahan dunia. Bahkan, yang sangat memalukan adalah negara-negara yang diakui religius, ternyata tingkat korupsinya sangat menonjol. Mengenai hal ini S. Radhakrishnan (1987: 9) mengatakan bahwa kemanusiaan sekarang ini mengalami krisis terbesar sepanjang sejarah umat manusia.

Akan tetapi di tengah-tengah semua kekacauan dan carut marut dunia ini, orang Jawa telah memiliki optimisme bahwa seberuntung apapun orang yang tenggelam dalam kegilaan-kegilaan duniawi akan lebih beruntung orang yang tetap eling dan waspada (sabegja-begjaning wong lali isih begja wong kang eling lan waspada). Ketika tujuan hidup manusia (purusa artha) dicapai tidak berdasarkan dharma maka semuanya akan hancur karena dharmalah satu-satunya yang akan memberikan kebahagiaan sejati. Demikianlah Hindu mengajarkan kepada umatnya “satyam eva jayante” (kebenaran akan selalu menang) dan “dharma raksatah-dharma raksitah” (siapa yang menjaga dharma akan dijaga oleh dharma). Dalam pepetah Jawa dikatakan “jaya-jaya wijayanti, sura dira jayaningrat lebur dening pangastuti” (jayalah orang yang selalu berbuat kebenaran, karena kebenaran akan menghancurkan semua sombongan dan keangkuhan).

Rupanya, falsafah dan budi pekerti orang Jawa tidaklah bertentangan dengan nilai-nilai universal etika Hindu. Inilah yang akan dibahas dalam makalah singkat ini, yaitu bagaimana nilai-nilai universal etika Hindu diterjemahkan dan diaplikasikan dalam etika dan kebudayaan Jawa. Dengan memahami ini maka tidak ada lagi keraguan bahwa Hindu telah menanamkan dasar yang kuat dalam kehidupan orang Jawa.

II. PEMBAHASAN

a. HINDU DAN KEJAWEN

Saat ini banyak orang berpandangan bahwa kejawen adalah hasil perpaduan antara tradisi Hindu, Budha, Islam dan kebudayaan asli Jawa. Hal serupa juga diungkapkan oleh Herusatoto (2003: 65) bahwa kejawen adalah bukanlah agama, melainkan kepercayaan yang lebih tepat disebut pandangan hidup atau filsafat hidup orang Jawa. Filsafat hidup Jawa ini terbentuk karena perkembangan kebudayaan Jawa yang dipengaruhi filsafat Hindu dan filsafat Islam. Akhirnya tradisi Jawa, Hindu, tasawuf/mistikisme Islam dan agama melebur menjadi satu, dalam alam pikiran orang Jawa.

Berbeda dengan hal itu, Neils Mulder (dalam www.jawapalace.org, 26 Desember 2006)menyatakan bahwa kejawen adalah pandangan hidup orang Jawa yang menekankan ketentraman batin, keselarasan dan keseimbangan, sikap nrima terhadap segala peristiwa yang terjadi sambil menempatkan individu di bawah masyarakat dan masyarakat dibawah semesta alam. Niels Mulder memperkirakan unsur-unsur ini berasal dari masa Hindu-Budha dalam sejarah Jawa yang berbaur dalam suatu filsafat, yaitu sistem khusus dari dasar bagi perilaku kehidupan. Oleh sebab itu tidaklah berlebihan rasanya mengatakan bahwa Hindu dan Buddha-lah yang sesungguhnya telah meletakkan dasar-dasar falsafah dan pandangan hidup orang Jawa.

b. BUDI PEKERTI JAWA

Budi pekerti Jawa dibangun di atas pondasi kebersamaan dan kegotong-royongan, sikap hidupnrimo, mengutamakan ketentraman batin, tunduk pada norma-norma yang berlaku di masyarakat, dan hidup serasi dan selaras dengan alam. Hal ini semakin memperkuat keyakinan bahwa etika orang Jawa dibangun oleh nilai-nilai universalitas etika Hindu.

Etika seringkali hanya dipahami sebagai aturan tingkah laku dalam kehidupan bermasayarakat, bagimana manusia berperilaku terhadap manusia lain. Dalam pengertian yang sebenarnya hal itu disebut etiket, bagian dari etika. Sedangkan etika sendiri tidak hanya berbicara etiket, melainkan juga berbicara moralitas, hal-hal mendalam tentang etika, hakikat dari etika. Demikian halnya dengan Etika Hindu yang memaknai etika tidak saja dalam hubungan antara sesama manusia, melainkan juga sebagai landasan hidup spiritual.

Ranah etika Hindu dapat dipahami adalah Tri Hita Karana, yaitu parahyangan, pawongan, danpalemahan. Parahyangan berarti hubungan manusia dengan Tuhan yang diwujudkan melalui jalancatur marga. Dalam kehidupan orang Jawa, hal ini diwujudkan dengan sebuah kesadaran awal, yaitu narimo ing pangdum (menerima apapun telah diberikan Tuhan). Sebuah keyakinan bahwa segala yang ada dalam kehidupan ini telah digariskan oleh Tuhan, manusia hanya bisa menerima dan terus berusaha dan berdoa. Orang Jawa, demikian pula Hindu mengajarkan bahwa setiap orang yang lahir telah dibekali dengan kualitas atau potensi sendiri-sendiri yang harus dikembangkan selanjutnya dalam kehidupan yang lebih nyata. Oleh karena semua ini ditentukan oleh Tuhan melalui hukum karmanya, maka manusia diharuskan untuk selalu ber-karma (bertindak) sesuai dengan dharma, dan semua karma itu dilakukan sebagai persembahan (yajna) kepada Tuhan. Dalam kaitannya dengan etika, bahwa setiap tindakan etika harus dilaksanakan dengan kesadaran penuh sebagai persembahan kepada Tuhan. Bahkan dalam yoga sutra patanjalidiajarkan bahwa etika adalah dasar spiritual Hindu, yaitu Panca Yama Brata, meliputi ahimsa (tidak menyakiti/membunuh), satya (berperilaku bajik), asteya (tidak ingin milik orang lain atau tidak mencuri), brahmacarya (tidak melakukan hubungan seks), dan aparigraha (menolak pemberian yang tidak perlu, hidup sederhan dan tidak serakah) dan Panca Nyama Brata, meliputi sauca (murni dan suci diri), santosa (kepuasan batin), tapa (tahan terhadap segala ujian dan godaan), svadhyaya(mempelajari ajaran ketuhanan), dan isvarapranidhana (bhakti kepada Tuhan).

Pawongan berarti keharmonisan hubungan manusia dengan manusia lainnya. Dalam hal ini Hindu mengajarkan bahwa etika harus dilakukan berdasarkan tri kaya parisudha, yakni pikiran (manah), perkataan (wak), dan tindakan (kaya). Ini berarti etika Hindu menekankan pada internalisasi nilai etika, bukan sekedar dramaturgi atau topeng sahaja. Dalam Sarasamuccaya, 79 dijelaskan bahwa pikiranlah yang menentukan segala perkataan dan perbuatan. Oleh karena itu pikiran yang harus diusahakan selalu adalah tidak menginginkan milik orang lain, kasih sayang terhadap semua makhluk, dan percaya pada hukum Karmaphala. Dalam budi pekerti Jawa hal ini diterjemahkan dalam terminologi ojo demen darbeking wong liyo (jangan menginginkan milik orang lain), welas asih marang sesomo (cinta kasih pada sesama), ngunduh wohing pakarti, sopo kang nandur bakal ngunduh (bahwa setiap perbuatan yang dilakukan akan mendatangkan hasil, siapa yang menanam pasti akan memetiknya).

Sedangkan perkataan dikatakan sebagai pedang yang paling tajam dan menunjukkan harga diri dan jati diri seseorang. Dalam ungkapan Jawa dikatakan “ajining diri saka lati, ajining raga saka busana” (harga diri seseorang ditentukan oleh lidahnya (ucapannya), harganya tubuh ditentukan oleh pakaiannya (pakaian di sini sesungguhnya menunjuk pada harta dan tahta)). Dalam Hindu (Nitisastra) diajarkan bahwa dari perkataan orang mendapatkan suka dan duka, dari perkataan orang juga mendapatkan teman atau musuh, bahkan kematian. Perkataan yang harus dikendalikan menurut Sarasamuccaya 75, antara lain (1) tidak berkata-kata kasar; (2) tidak mencaci maki; (3) tidak menfitnah; (4) tidak ingkar janji.

Perbuatan demikian juga halnya pikiran dan perkataan adalah satu kesatuan dalam membentuk prilaku Etika Hindu secara utuh. Dalam Etika Jawa ada sebuah ungkapan yang menjadi dasar perbuatan, yaitu “yen loro dijiwit yo ojo njiwit” (kalau merasa sakit dicubit janganlah kau mencubit). Ini sejalan dengan makna “tat twam asi” bahwa jiwa setiap makhluk adalah sama, oleh karenanya semua makluk adalah saudara (vasudewa kutumbakam) sehingga menyakiti orang lain sama dengan menyakiti diri sendiri. Hindu dan juga orang Jawa mengajarkan bahwa setiap perbuatan harus diukur dari dampak suatu perbuatan jika menimpa pada dirinya sendiri. Jika orang lain melakukan perbuatan yang menyakiti kita, demikian sebaliknya jika kita melakukan perbuatan serupa kepada orang lain. Sarasamuccaya 76 mengajarkan perbuatan-perbuatan yang tidak layak dilakukan, yaitu membunuh (himsa karma), mencuri/mengambil hak milik orang lain (asteya), dan berbuat zina/ prilaku seks menyimpang (gamya gamana). Keseluruhan aspek in dirumuskan dalam satu pepatah Jawa “Ojo Dumeh” yang bermakna jangan karena merasa diri mampu lalu berbuat semena-mena. Ada beberapa ungkapan “ojo dumeh” sebagai berikut:

–       Ojo Dumeh pinter terus keminter (jangan karena merasa pintar lalu sok pintar).

–       Ojo Dumeh sugih terus siyo marang wong ringkih (jangan karena merasa diri kaya lalu kejam pada orang yang miskin)

–       Ojo Dumeh kuoso terus daksiyo marang kawulo (jangan karena berkuasa lalu sewenang-wenang pada rakyat).

Palemahan adalah bagaimana hubungan manusia dengan alam sekitar atau lingkunganya. Alam semesta adalah kamadhuk, pemberi segala kebutuhan manusia. Dalam kebudayaan Jawa, hal ini diceritakan dalam sebait lagu “katawang ibu pertiwi”, sebagai berikut:

ibu pertiwi, Ibu Pertiwi

paring boga lan sandang kang murakabhi, Memberi makan dan sandang

yang cukup.

Asih mring sesami manusa kang bekti, Kasih kepada semua manusia

yang berbakti.

ibu pertiwi, mrih susetyo ing sesami, Ibu pertiwi, berlakulah adil

pada semua makluk.

ayo sujud mring ibu pertiwi” Mari bersujud pada ibu pertiwi.

 

Hanya dengan menjaga keseimbangan dan keserasian alam semesta maka kebahagiaan hidup manusia dapat tercapai (jagadhita)

 

III. KESIMPULAN

  • Kejawen atau pandangan hidup orang Jawa sesungguhnya dibentuk berdasarkan dari agama Hindu dan Buddha.
  • Nilai-nilai universal etika Hindu rupanya telah meletakkan dasar-dasar yang kuat dalam budi pekerti Jawa.
  • Ranah Etika Hindu adalah parahyangan, pawongan, dan palemahan. Pada dasarnya ketiganya adalah keharmonisan yang harus diusahakan demi tercapainya kebahagiaan hidup jasmani dan rohani manusia. Sedangkan aspek etika Hindu adalah pikiran (manah), perkataan (wak) dan perbuatan (kaya).
  • Ketiganya juga menjadi dasar-dasar budi pekerti Jawa yang mengutamakan ketentraman batin, kebersamaan, hidup selaras dan harmonis dengan norma-norma yang berlaku di masyarakat, serta tunduk pada hukum alam semesta dan menjaga alam semesta beserta isinya. Bahwa etika Jawa menekankan pada keserasian, keselarasan, dan keseimbangan antara manusia dengan Tuhan, dengan sesama, dan dengan lingkungannya, sejalan dengan ajaran Tri Hita Karana.


DAFTAR PUSTAKA :

Endraswara, Suwardi. 2003. Budi Pekerti dalam Budaya Jawa. Yogyakarta: Hanindita.

Gorda, I Gusti Ngurah, 1996. Etika Hindu dan Perilaku Organisasi. Singaraja: Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Satya Dharma.

____________, 2004. Membudayakan Kerja Berdasarkan Dharma. Singaraja: Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Satya Dharma.

____________, 2006. Etika Hindu: Materi Kuliah Etika Hindu. Denpasar: Program Magister Ilmu Agama dan Kebudayaan UNHI Denpasar.

Gunadha, Ida Bagus. 2003. Refleksi Nilai-Nilai Etika Hindu Dalam perkembangan Ilmu Pengetahuan, Sains dan Teknologi: Pidato Pengukuhan Guru Besar Bidang Etika Hindu. Denpasar: Universitas Hindu Indonesia.

Herusatoto, Budiono, 2003. Simbolisme dalam Budaya Jawa. Yogyakarta: Hanindita.

Kajeng, I Nyoman. 2000. Sarasamuccaya. Surabaya: Paramita.

Mulder, Neils. 2006. Kebudayaan Jawa dalam www.jawapalace.org.

 

Translate »