Oleh : Suryanto, M.Pd

 

Dikisahkan, disebuah desa, hiduplah dua orang sahabat. Keduanya telah sama-sama hidup sebatang kara dan tidak mempunyai sanak saudara lagi. Apa yang menyatukan mereka? Cacat dan keterbatasan fisik. Si Lumpuh, begitu orang sekitar biasa memanggil namanya, adalah seorang tua renta yang telah mengalami kelumpuhan sejak usia balita. Ia tidak bisa pergi ke mana-mana tanpa dipapah orang lain. Untuk dapat makan sehari-hari, ia sangat bergantung kepada belas kasihan orang. Sementara sahabatnya, Si Buta, lelaki  paruh baya yang menderita kebutaan sejak lahir. Sudah sejak beberapa tahun terakhir, keduanya tidak memiliki tempat tinggal yang tetap, dan hidup berpindah-pindah.

Ada hal yang menyentuh hati setiap orang yang melihat mereka berdua. Si Buta berhati mulia, tidak tega meninggalkan Si Lumpuh sendirian tanpa ada orang yang merawatnya. Maka, ditengah keterbatasannya sendiri, ia pun merelakan menggendong orang tua yang sudah dianggap seperti ayahnya sendiri itu, setiap kali mereka harus pindah dari satu tempat ke tempat yang lain. Si Lumpuh kemudian berperan sebagai penunjuk jalan, memberikan aba-aba kepada Si Buta, arah mana yang mereka tempuh. Demikianlah, selama bertahun-tahun, keduanya menjalani kehidupan mereka dengan cara seperti itu.

Pesan moral dari kisah Si Buta dan Si Lumpuh di atas, sering digunakan sebagai ilustrasi oleh dua tokoh besar abad ke-20 ini. Keduanya  memang berasal dari dua bidang ilmu yang selama ini dianggap saling bersebrangan. Yang satu tokoh agama atau spiritualitas, yang lainnya adalah ahli sains. Mereka adalah Bhaktivedanta Swami Prabhupada, yang mendapat julukan “the greatest spiritual ambassador of India” di dunia Barat, dan Albert Einstein, fisikawan terkemuka yang jenius itu. Kisah di atas mereka gunakan untuk memberikan ilustrasi terhadap kesimpulan mereka:“Science without religion is blind, religion without science is limp.” Bahwa sains tanpa agama adalah buta, agama tanpa sains akan lumpuh.

Mari menyimak kembali pendapat Swami Prabhupada dan Einstein, serta ilustrasi yang mereka gunakan. Pengumpamaan agama sebagai orang lumpuh, dan sains atau iptek sebagai orang buta, kiranya tidaklah terlalu berlebihan. Selama ini, peran agama dalam kehidupan nyata manusia tak ubahnya seperti orang tua renta yang lumpuh itu. Agama memang ‘tahu banyak’ dan mampu ‘melihat’ segala sesuatu, terutama hal-hal yang tak terjangakau oleh panca indera manusia. Namun, agama sering tidak berdaya bila dituntut untuk ‘membuktikan apa yang dilihatnya’ itu. Terlebih bila agama diminta untuk memberikan kesejahteraan atau kenyamanan hidup secara nyata, seperti yang telah ditawarkan oleh kemajuan sains dan teknologi selama ini. Norma dan nilai-nilai dalam agama, terlebih aspek-aspek ritual dan tata peribadatannya, sering dianggap membelenggu dan penghambat kemajuan sebuah masyarakat. Karl Marx pernah menyebut agama sebagai candu masyarakat.  Agama, karenanya, identik dengan kelumpuhan.

Sebaliknya, kemajuan sains dan teknologi seolah telah menjadi Tuhan baru bagi manusia jaman modern. Harus diakui, kemajuan di bidang teknologi kesehatan telah mampu menyelamatkan nyawa jutaan manusia dari renggutan wabah penyakit. Kemajuan teknologi informasi mampu menghapus sekat ruang dan waktu, menjadikan dunia terasa begitu sempit. Tak terhitung jumlahnya orang yang menjadi kaya raya  dan hidup sejahtera sebagai dampak dari kemajuan sains dan teknologi.

Ironisnya, kecanggihan teknologi itu pula yang kini mendatangkan kecemasan dan ancaman baru bagi berlangsungnya kehidupan manusia di bumi ini. Aneka bencana alam yang dipicu oleh pemanasan global, ancaman perang nuklir, penyakit-penyakit mematikan yang lekat dengan gaya hidup hedonisme, seolah mencoreng wajah modernisasi yang dibangga-banggakan. Semua itu mengindikasikan bahwa pengembangan sains dan teknologi kerapkali kehilangan arah, dan lebih bersifat self-destruction bagi manusia. Karena itu, Einstein mengibaratkan sains seperti orang yang buta, yang bila tidak berhati-hati akan bisa terperosok ke dalam jurang.

Lalu, kerjasama yang dilakukan oleh Si Buta dan Si Lumpuhtersebut hendaknya bisa menginspirasi kita. Tentu ngga lucu kalau mereka justru saling ejek  kelemahan dan saling membanggakan kelebihannya.  Si Buta dan Si Lumpuh harus melakukan sinergi untuk mencapai tujuan mereka.  Si Buta harus rela memanggul atau menggendong Si Lumpuh, dan sebaliknya Si Lumpuh menjadi penunjuk jalan. Hanya melalui kerjasama seperti itulah, keduanya terbukti dapat  memberikan manfaat satu sama lain.

Begitu pula, sudah saatnya agama dan sains saling bergandengan tangan untuk  memberikan manfaat untuk mencapai tujuan hidup sejati manusia di dunia ini.  Sebagaimana yang dikemukakan oleh Richard R. Ernst, Pemenang Nobel bidang Kimia tahun 1991:

“Science and technology alone cannot solve the problems of new millennium. We need additional guidelines for our actions, for the selection of our research projects and research goals. Theseguidelines have to do with ethics, with philosophy, and with faith.”

“Sains dan teknologi semata tidak mampu memecahkan persoalan-persoalan yang dihadapi oleh manusia pada milenium baru. Kita membutuhkan petunjuk dan bimbingan bagi tindakan-tindakan kita, bagi pemilihan proyek-proyek riset, dan tujuan dari  riset yang kita lakukan. Bimbingan ini berhubungan dengan etika, dengan filosofi, dan dengan agama.”

Begitu pula, Gregory Benford, penulis dan ahli fisika dari Amerika, menegaskan batasan-batasan bidang kajian agama dan sains sebagai berikut:

We can tell you what the DNA of human is, but the essence of humanity and the boundries of defining what humans should do is an issue for theology and religion in general.

“Kami bisa menjelaskan kepada anda, apa itu DNA manusia, namun esensi nilai-nilai kemanusiaan, dan batasan-batasan yang menentukan apa yang boleh dilakukan oleh manusia adalah isu bagi bidang teologi dan agama secara umum”.

J. Donald Walters, dalam bukunya Krisis dalam Pemikiran Modern (2003),menyatakan kalau kita bandingkan antara metode ilmiah modern dengan sistem pemikiran kuno India (baca: ajaran Weda) yang digunakan untuk mengetahui secara pasti nilai-nilai moral dan spiritual, kita sekali lagi bisa melihat adanya kesamaan yang sangat mengherankan.

Menurut Walters, pertanyaan pertama yang diajukan oleh orang-orang bijak India kepada setiap pernyataan  bukan “Apakah ini secara teoritis masuk akal?” tetapi “Apakah ini bisa dilakukan?”. Kebenaran sebuah pernyataan harus diuji dengan pengalaman. Akal budi hanya memiliki peran pendukung dalam proses mencari pemahaman.

Berkaitan dengan hal itu, ada sebuah cerita menarik yang membenarkan pandangan praktis ini, yaitu cerita tentang seorang filsuf, yang mendapatkan seluruh kepandaiannya dari membaca buku. Suatu hari, sang filsuf menyewa kapal untuk menyeberangi sungai Gangga.

Di tengah perjalanan, filsuf ini menyombongkan pengetahuannya, dan bertanya kepada si empunya kapal, apakah dia pernah membaca dan mengerti  susunan  kimia air sungai.

“Maaf, tuan,” tukang kapal itu menjawab. “Saya terlalu sibuk mencari nafkah. Saya tak punya waktu untuk membaca.”

Filsuf itupun berkata, “Sayang sekali, teman, itu berarti seperempat hidupmu hilang sia-sia.”

Si tukang kapal diam saja, menelan hinaan itu, dan terus mendayung. Beberapa saat kemudian orang bijak itu pun bertanya lagi, “Teman, apakah kamu pernah membaca buku kedua dari keempat Kitab Weda?

“Filsuf yang terhormat!” si tukang kapal berteriak jengkel, “saya sudah katakan saya tidak pernah punya waktu untuk membaca.”

“Maka”, kata sang filsuf itu sombong, bukan sperempat, tapi setengah dari hidupmu hilang sia-sia.”

Sang filsuf kemudian menanyakan hal yang sama sampai buku keempat Kitab Weda. Tetapi, tak lama kemudian datang angin topan menderu-deru di atas permukaan air. Gelombang pun menjadi semakin besar, tidak seperti sebelumnya, menghantam dan mengombang-ambingkan kapal hingga akhirnya kapal itu penuh terisi air.  Menit demi menit berlalu. Akhirnya si tukang kapal berteriak di tengah-tengah angin yang menderu-deru  itu:

“Tuan fisluf yang terhormat. Tuan telah mengajukan dua pertanyaan kepada saya. Sekarang saya ingin mengajukan satu pertanyaan. Apa tuan bisa berenang?”

“Sama sekali tidak,” katanya putus asa sambil berusaha menggapai dayung.

“Sayang sekali, dengan sangat menyesal saya harus mengatakan bahwa seluruh hidup tuan akan segera hilang sia-sia!”

Setelah itu, pemilik kapal itu pun terjun ke dalam air dan dengan gaya yang luar biasa dia berenang ke tepi sungai. Sang filsuf ternyata tidak lebih baik dari si tukang kapal, meskipun dia pernah mendefinisikan rumus molekul air, angin, dan bagaimana cara berenang yang aman. Kapal itu akhirnya tenggelam, bersama sang filsuf, dan cerita tentang kepandaiannya itu tak pernah terdengar lagi.

Pesan moral cerita itu sangatlah jelas: lebih baik mampu berenang di tengah-tengah badai kehidupan daripada tahu bagaimana memberikan penjelasan tentang badai itu sendiri dengan menggunakan akal budi teoritis.

Lalu, bagaimana cara kita berenang di tengah-tengah badai kehidupan modern saat ini? Caranya adalah dengan tidak membiarkan hidup kita hanya terbuang sia-sia untuk menciptakan deretan puluhan angka nol yang tidak bermakna.  Deretan angka nol berikut ini tentu tidak bermakna apa-apa:

 

0000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000

 

Tanpa adanya angka 1 di depan deretan angka nol itu, seberapapun panjang deretan itu, ia tidak bermakna. Deretan yang tidak memiliki nilai. Tapi selekas kita tambahkan angka 1 di depan angka nol, misalnya 10, atau 100, atau 1000, maka deretan angka nol itu jadi memiliki arti, menunjukkan sebuah bilangan yang bernilai.

Apa hubungan angka nol itu dengan kehidupan spiritual kita? Seluruh  aktivitas dan kegiatan keduniawian yang mungkin telah menyita seluruh waktu kita, dapat diibaratkan sebagai sederetan angka nol itu. Kemajuan teknologi, kemakmuran material, dan pengetahuan setinggi apapun yang ada di otak kita, bila tidak dihubungkan dengan kegiatan pengabdian kepada Tuhan, semuanya akan berakhir sia-sia, hilang musnah bersama sinarnya tubuh jasmani kita kelak.Ia seperti kepandaian teroritis sang filsuf itu, yang hanya di dapat dari  membaca buku. Lalu, angka 1 itu adalah ibarat kemampuan berenang yang dipunyai oleh si empunya kapal. Dalam hidup keseharian kita, angka 1 itu adalah Tuhan. Tempatkan Tuhan di depan angka nol itu. Tempatkan Tuhan sebagai goal atau tujuan dibalik seluruh aktivitas kita, maka semuanya akan bermakna.

yat karoñi yad açnäsi

yaj juhoñi dadäsi yat

yat tapasyasi kaunteya

tat kuruñva mad-arpaëam

Apapun  yang engkau lakukan, apapun yang engkau makan, apapun yang engkau persembahkan atau berikan sebagai sumbangan serta pertapaan apapun yang engkau lakukan,  lakukanlah kegiatan itu sebagai persembahan kepada-Ku, wahai putra Kunti. (Bhagavad-Gita 9.27)

 

Sebagian dari kita, mungkin pernah bertanya-tanya: “Apa sih utungnya kegiatan kumpul-kumpul begini? Apa sih sumbangsihnya terhadap peningkatan keimanan dan spiritualitas pribadi saya?”

Untuk menjawabnya, ada baiknya kita ingat kembali tujuan hidup kita. Sebagai umat Hindu, kita memiliki short term goal (Jagad-dhita, kesejahteraan di dunia ini), dan long term goal (moksa, terbebas dari samsara).  Tapi, apa tahapan yang harus kita lalui untuk mencapai tujuan itu, dan bagaimana mencapainya? Srila Rupa Goswami dalam kitab Bhakti-rasämåta-sindhu (1.4.15–16), menyebutkan tahapan-tahapan yang harus dialami oleh seseorang sebelum berhasil mencapai moksa, dan merasakan kebahagiaan rohani tertinggi cinta bhakti kepada Tuhan (premaananda).

 

ädau çraddhä tataù sädhu-

saìgo ’tha bhajana-kriyä

tato ’nartha-nivåttiù syät

tato niñöhä rucis tataù

athäsaktis tato bhävas

tataù premäbhyudaïcati

sädhakänäm ayaà premëaù

prädurbhäve bhavet kramaù

“Pada tahap permulaan, seseorang harus mempunyai keinginan dan keyakinan (çraddhä) untuk mencapai keinsafan diri sebagai pendahuluan. Ini akan membawa dirinya sampai tahap berusaha bergaul dengan orang yang sudah maju dalam kerohanian(sädhu-saìga). Pada tahap berikutnya, ia diterima sebagai murid oleh seorang guru kerohanian yang mulia, dan di bawah bimbingan guru kerohanian seorang murid yang baru belajar memulai proses bhakti. Dengan melaksanakan bhakti di bawah bimbingan seperti itu, ia akan mulai dibebaskan dari ikatan terhadap keduniawian (anartha-nivåttiù), lalu mencapai kemantapan (niñöhä) dalam keinsafan diri, dan memperoleh minat (ruci) untuk mendengar tentang Tuhan Yang Mahaesa. Minat ini membawa seseorang hingga lebih maju sampai ia merasakan adanya ikatan kepada Tuhan, yang kemudian menjadi matang dalam bhäva, tingkatan pendahuluan cinta bhakti kepada Tuhan. Cinta bhakti tertinggi kepada Tuhan disebut prema, tingkat kesempurnaan hidup tertinggi.”

 

Apa yang sedang kita lakukan dengan kegiatan diskusi, sharing, dharmatula, dan sebagainya baik online maupun offline adalah kegiatan sadhu-sanga, bergaul dengan orang-orang yang punya minat yang sama untuk maju dalam kehipuan rohani. Juga berarti bergaul dengan para sadhu, orang-orang suci yang sudah maju dalam pengetahuan rohani. Jaman dahulu, dan juga sampai kini di India, para sadhu atau orang suci yang biasanya adalah para sanyasin, berkeliling dari satu rumah tangga (grihasta) ke rumah tangga lainnya. Mereka kemudian memberikan pelajaran rohani dan tuntunan spiritual kepada keluarga yang dikunjungi. Dengan cara seperti itulah interkasi itu terjadi, dan tahapan-tahapan seperti yang diuraikan oleh Rupa Goswami tersebut dapat berkembang secara alami.

Jaman sekarang ini, apalagi perkembangan umat Hindu di Indonesia, tidak memungkinkan berlangsungnya sadhu sanga seperti dalam tradisi Weda tersebut. Sebagai gantinya, kita tentu bisa memanfaatkan kecanggihan teknologi untuk memfasilitasi pergaulan dengan orang-orang yang sama-sama ingin maju dalam kerohanian. Salah satunya adalah telewacana yang sedang dirintis saat ini. Sadhu-sanga ini, bila dilakukan dengan benar akan mampu memelihara dan meningkatkan sraddha, yang pada gilirannya akan menyuburkan rasa bhakti kita.

Semoga apa yang kita lakukan saat ini adalah bagian dari serangkaian upaya kita untuk menempatkan angka 1 di depan sederetan angka nol itu. Semoga keseharian kita akan dapat kita isi dengan latihan renang yang sesungguhnya, seperti yang dilakukan oleh si empunya kapal tersebut, sehingga tidak mati tenggelam sia-sia, seperti yang terjadi pada filsuf bijaksana tersebut. Semoga kita senantiasa mampu mengarungi badai kehidupan yang sesungguhnya, dengan tetap berpegang pada ajaran dharma. Om Tat Sat. Satyam Eva Jayate.

 

 

Sumber Bacaan:

  1. A.C. Bhaktivedanta Swami Prabhupada, 1986. Bhagavad-gita Menurut Aslinya. Jakarta: Pustaka Bhaktivedanta.
  2. J. Donald Walters, 2003. Crises in Modern ThoughtMenyelami Kemajuan Ilmu Pengetahuan dalam Lingkup Filsafat dan Hukum Kodrat. Jakarta: PT. Gramedia
  3. T.D. Singh.(Editor). 2001. Thoughts on Synthesis of Science and Religion. USA: Bhaktivedanta Institute Publications.

 

Translate »