Om Svastyastu

Hindu mengajarkan Dharma, dan Dharma tertinggi adalah Ahimsa, yaitu tidak menyakiti makhluk hidup. Point tadi adalah kunci dari Dharma. Sebenarnya bisa dikatakan lugasnya Hindu jika bisa janganlah mengkonsumsi daging karena daging didapat dari hasil melukai terlebih dahulu. Sama seperti ketika kita ikut menikmati uang hasil rampasan atau perampokan. Antara perampok dan penikmat uang hasil rampokan sama-sama berdosa.

Keunikan-keunikan pun terjadi dalam Hindu. Hindu tetaplah Hindu, namun penerapannya tentu akan berbeda-beda tergantung bagaimana kita memaknai ajaran Hindu tersebut. Ada yang menyatakan boleh membunuh binatang asalkan tujuannya jelas untuk dimakan, untuk tamu, yadnya, ataupun bahkan untuk para sulinggih. Segelintir sulinggih di Bali masih mengkonsumsi daging. Memang konsumsi dagingnya terbatas tidak untuk semua daging. Daging yang dikonsumsi biasanya harus sesuai dengan kajian filosofisnya. Mengkonsumsi daging ayam untuk para sulinggih sungguh dihindari. Hmm…., sepertinya menarik, kenapa mengkonsumsi daging ayam itu begitu dihindari? Alasannya adalah karena ayam semasa hidupnya selalu berkelahi dengan teman-temannya. Jika mengkonsumsi daging ayam, maka dipercaya bahwa sifat–sifat ayam akan melekat pada diri kita. Yah seperti tadi, artinya sifat kita akan sama seperti ayam, yaitu suka bertengkar.

Ada pula daging yang direkomendasikan (belum tahu darimana asal slokanya). Sulinggih bersedia mengkonsumsi daging bebek, artinya tentu bebek mempunyai sifat yang lebih baik daripada ayam? Hmm.., ya telinga saya sering mendengar bahwa sifat hidup bebek begitu baik dimana bebek tidak suka bertengkar seperti ayam, mereka hidup berdampingan, antri, penurut, bisa memilah-milah makanan dalam lumpur. Sepertinya sekilas filosofi ini sangat bagus, dimana ayam dan bebek seolah berbeda kualitas begitu jauhnya. Ayam mendapat perolehan buruk terhadap bebek jika dibandingkan berdasarkan sifat hidupnya, terutama sosial.

Okeylah saya setuju walaupun sedikit dan masih berniat untuk tersenyum untuk hal satu ini…..

Mari kita kaji apakah bebek itu bersifat jauh lebih baik dari ayam?

1. Bebek

Bebek dikatakan hewan yang bias antri dan hidup rukun. Bebek bisa menyaring makanannya walaupun dalam lumpur dan bulu-bulu mereka tetap bersih jika sedang mencari makanan ditempat kotor karena mengandung minyak pada bulunya.

“Bebek bias menyaring makanannya” maknanya adalah : kita harus bisa memilah mana baik dan mana buruk.

“Bulu bebek tetap bersih” maknanya agar kita bisa bersih hati dan pikiran, walaupun dalam kondisi yang buruk sekalipun (lumpur)

“Bebek hidup rukun” maknanya agar kita mampu hidup penuh toleransi, rukun dan selalu dalam rel-rel yang telah ditetapkan.

Okay, pernyataan diatas adalah pernyataan secara umum. Sekali lagi, apakah bebek itu bersifat jauh lebih baik dari ayam?

Keburukan bebek adalah terlalu patuh terhadap peternak, digiring kekiri dia kekiri, digiring kekanan ikut kekanan bersamaan, digiring ke jurang pun bebek itu mau–mau saja. Maknanya, arah hidup kita tidak boleh seperti bebek yang terlalu penurut karena siapa yang mengajari kita belum tentu mengarahkan kita pada kebaikan. Keburukan bebek yang kedua adalah bertelur sembarangan. Bebek bukanlah tipikal hewan yang keibu-ibuan. Bebek bertelur dimana saja seakan lupa kalau itu calon anaknya. Bebek adalah binatang yang paling cuek, makanya serring kita dengar ,”cuek bebek”. Maknanya adalah: “kita jangan meniru sifat-sifat bebek dimana bebek membiarkan begitu saja anak-anaknya, seharusnya kita peduli seperti ayam mengerami telurnya dengan penuh kelembutan sekaligus proteksi yang tinggi.

2. Ayam

Ayam dikatakan mempunyai sifat-sifat yang buruk yaitu suka berkelahi dengan temannya. Binatang yang kotor dan menjijikan. Sebenarnya itu kajian filosofi yg masih dangkal karena jika kita bicara filosofi artinya kita harus sudah siap untuk menggali sedalam-dalamnya tanpa mengenal lelah. filosofi juga mesti obyektif dan penuh kebijaksanaan. Lalu apa yang menarik dari ayam? Mari kita menelusurinya.

Ayam, binatang ini sungguh luar biasa. Mereka bisa menjadi alarm setiap paginya bagi para ibu-ibu yang biasa bangun pagi untuk memasak. Ayam adalah hewan yang sangat dinamis. Walaupun terkurung dalam sangkarpun ayam tetap menjalankan kewajibannya untuk berkokok dipagi hari. Dan ayam berani membela haknya.

“Walaupun terkurung dalam sangkar pun ayam tetap menjalankan kewajibannya untuk berkokok dipagi hari “. Makna penggalan kalimat diatas adalah bahwasanya kita harus tetap bisa menjalankan Dharma walaupun berada jauh dari rekan-rekan kita yang lain.

“Ayam berani membela haknya”. Perhatikan kalimat ini, kita maknai sifat-sifat ayam ini sebagai sifat-sifat berjuang dalam Hindu. Dalam Mahabratha begitu gigihnya Dharma melawan Adharma laksana sifat ayam yang berani berjuang demi hak.

Ayam memiliki sifat-sifat keibuan yang begitu tinggi, protektif terhadap serangan musuh namun tetap bisa menyayangi anak-anaknya. Sebelum bertelur, ayam sudah mencarikan tempat yang cocok, nyaman dan hangat untuk calon anak-anaknya.

“Ayam memiliki sifat-sifat keibuan yang begitu tinggi”. Maknanya adalah: mempertahankan Dharma untuk keturunan kita kelak. Jangan hanya berlabel Hindu saja, namun ternyata di hati kita tidak merasa Hindu. Inilah peranan para sulinggih untuk “tidak lupa pada telur” yang sudah ditetaskan sama seperti ayam yang selamanya tak akan menyia-nyiakan keturunannya. Hal ini juga berlaku untuk para orang tua yang sejak dini harus mengajarkan dan menjaga kehinduan untuk para anaknya.

Dan tahukah diantara bebek dan ayam yang mana yang lebih bertanggung jawab? Merekalah Ayam. Bahkan mereka dipercaya untuk mengerami telur-telur bebek pula oleh peternak. Tak percaya? Buktikan saja.

so?

Hindu menjaga sesuatu yang berguna dengan melestarikannya. Namun segelintir oknum berharap agar filosofi seekor hewan berbaur dengan dirinya dengan cara mengkonsumsinya.

Konsep Tri Hita Karana adalah tiada lain demi Dharma

  1. Pawongan : menjaga hubungan harmonis dengan sesama manusia
  2. Palemahan : menjaga hubungan harmonis dengan lingkungan
  3. Prahyangan : menjaga hubungan harmonis dengan Tuhan

Dalam konteks ini kita mengambil point kedua, yaitu palemahan. Palemahan yang aspek utamanya adalah lingkungan, intinya adalah menjaga lingkungan dengan melestarikan salah satunya adalah hewan. Hewan yang mempunyai sifat-sifat lebih baik dari yang lainnya bisa kita manfaatkan dengan cara mempelajari sifat-sifatnya, namun bukan dengan cara mengkonsumsinya.

Mari kita simpulkan poin-poin nya :

  1. Maksud sulinggih adalah menyamai sifat-sifat alami unsur-unsur alam dengan cara mengkonsumsinya. Jujur saja, jika memang demikian, mengapa tidak memakan daging sapi saja? Karena sudah sangat jelas sapi adalah hewan yang paling tinggi sifat-sifat luhurnya. Tidak perlu saya paparkan lagi keistimewaan sapi bukan?
  2. Jika jawaban dari point 1 adalah “sapi disucikan oleh veda”,  maka ada indikasi bahwa filsafat bebek ini adalah filsafat pribadi atau sekelompok golongan untuk mencari celah-celah ajaran Veda. Veda tidak secara gamblang menyuruh untuk tidak memakan daging bebek dan sekaligus dengan cara ini maka memakan daging tertentu untuk sulinggih dianggap begitu tinggi nilai filosofisnya bagi masyarakat sehingga masyarakat pun memakluminya.
  3. Adanya penyimpangan-penyimpangan ajaran Veda demi kepuasan indriya, maka timbullah filsafat-filsafat baru.
  4. Sekalipun benar bahwa dengan mengkonsumsi daging bebek seorang sulinggih bisa mengadopsi sifat-sifat bebek (yang baik), terlepas dari hal itu, sulinggih tetap masih belum bisa menjalani ahimsa dengan sempurna.

Dan Jelas disini bahwa ayam tak selamanya bernilai buruk dan bebek tidak selalu bernilai baik. Dan apalagi dalam Veda, sekelas sulinggih seharusnya mampu menerapkan ajaran Veda lebih ketat daripada yang lainnya karena sulinggih mengemban tugas lebih yaitu menjadi Brahmana Warna dalam masyarakat. Dan kesimpulannya, memilih yang manapun ternyata masih dilema.

Mungkin tulisan ini konyol bagi sebagian besar masyarakat Hindu, tapi bagi saya hal ini penting karena dalam Prahyangan, ujung tombak utama kita adalah Sulinggih(Brahmana Warna). Jika sekiranya tulisan saya buruk, lihatlah tulisan ini sebagai sampah. Dan jika tulisan ini bermanfaat, lihatlah tulisan ini sebagai sampah pula.

Saya bukanlah siapa-siapa. Jadi tulisan saya tentu tetap bernilai sampah apapun penilaiannya.

Begitu kiranya tulisan ini saya buat, semoga hasil olah pikir saya ini tidak memperburuk keadaan intern Hindu.

Jayalah Hindu

Om Shanti Shanti Shanti Om.

Translate »