Oleh: Ibu Hariasih


1. Pendahuluan

Gaya dan model kepemimpinan selalu berubah dari zaman ke zaman. Setiap zaman memiliki kekhasan dalam membentuk kepribadian manusia sehingga gaya kepemimpinan yang diterapkanpun harus berbeda. Hal ini tidak terlepas dari tujuan yang ingin dicapai oleh setiap pemimpin dalam menjalankan roda organisasinya. Di samping tujuan organisasi, penting juga memperhatikan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) yang dipimpin sehingga terjadi kekompakan dalam organisasi tersebut.

Di era modern ini, dimana hak azasi manusia benar-benar diperhatikan maka humanisme mendapatkan perhatian serius oleh semua pihak. Humanisme adalah paham yang menyatakan bahwa kemanusiaan berada di atas segala-galanya. Dalam humanisme tidak dibenarkan lagi intimidasi dan pembunuhan karakter-karakter kemanusiaan manusia. Oleh sebab itu gaya kepemimpinan yang berbau otoriter tidak lagi tepat di zaman ini karena manusia tidak ditempatkan sebagai buruh melainkan orang yang bekerja. Asumsinya, seorang pimpinan perusahaan membutuhkan keuntungan demi mencukupi kebutuhan hidupnya dan seorang pekerja juga bekerja untuk mendapatkan uang demi kebutuhan hidupnya. Jadi, sesungguhnya antara majikan dan buruh secara manusiawi adalah sama-sama bekerja untuk mendapatkan uang sehingga tidak layak seorang majikan memperkejakan pekerjanya secara semena-mena hanya demi kepentingan pribadi.

Kepemimpinan dalam perspektif Humanisme bukan berarti mengingkari adanya struktur dalam sebuah organisasi, tetapi lebih penting adalah menganggap setiap elemen dalam struktur itu memiliki peranan yang sama penting untuk mewujudkan tujuan organisasi yang akan dicapai. Artinya, seorang tukang sapu sama pentingnya dengan seorang manajer asalkan mereka bekerja profesional dan sesuai dengan porsinya masing-masing, di sinilah aplikasi riil dari ungkapan the right man on the right job. Pendekatan humanisme memberikan perhatian yang sama kepada semua elemen dalam organisasi tanpa kecuali sebagai sesama manusia yang patut dihormati. Oleh karena itu akan dibahas tentang Tri Kaya Parisudha sebagai etika kepemimpinan perspektif Humanisme.

  1. 2. Pembahasan

Tri Kaya Parisudha berarti tiga perbuatan atau tindakan yang harus disucikan. Dalam kaitannya dengan kepemimpinan Tri Kaya Parisudha lebih tepat dimaknai sebagai spirit tindakan seorang pemimpin dan juga karyawan dalam menjalankan roda organisasi secara bersama-sama. Organisasi ini bisa berupa perusahaan, instansi pemerintah, organisasi sosial keagamaan, atau apapun bentuknya yang penting sebuah organisasi harus memiliki tujuan, memiliki azas, memiliki struktur dan ada elemen-elemen di dalamnya yang bekerja bersama-sama untuk mencapai tujuan organisasi.

Tri Kaya Parisudha terdiri atas manacika (berfikir yang baik/suci), wacika (berkata yang baik/suci), dan kayika (perilaku yang suci/baik) dan dalam kaitannya dengan etika kepemimpinan perspektif humanisme dapat dijelaskan sebagai berikut.

 

  1. Pikiran (Manah)

Dalam Sarasamuccaya, sloka 79 dijelaskan bahwa pikiranlah yang menentukan segala perkataan dan perbuatan Oleh karena itu pikiran yang harus diusahakan selalu adalah pikiran yang tidak menginginkan milik orang lain, kasih sayang terhadap semua makhluk, dan percaya pada hukum Karmaphala. Dalam kepemimpinan perspektif Humanisme, seorang pemimpin hendaknya berpikir bahwa setiap karyawan memiliki haknya masing-masing karena itu pemimpin tidak berhak untuk mengambil hak-hak karyawan misalnya, tidak membayarkan gaji tepat pada waktunya atau memangkas gaji karyawan tanpa aturan yang jelas. Demikian pula dengan karyawan jangan pernah berpikir untuk mengambil segala dari perusahaan yang bukan merupakan haknya misalnya mencuri barang-barang kantor atau korupsi meskipun hanya dalam pikiran.

Seorang pemimpin hendaknya berpikir untuk selalu mengembangkan welas asih, kasih sayang kepada seluruh anggotanya. Kasih sayang inilah yang melandasi seluruh perilaku humanisme bahwa setiap manusia pada dasarnya adalah sama di hadapan Tuhan, tetapi dibedakan atas kualitas-kualitas yang melekat pada dirinya. Kasih sayang tidak bermakna menghambur-hamburkan uang perusahaan demi menyenangkan hati karyawan, melainkan memberikan perhatian lebih kepada karyawan-karyawan yang berprestasi dan tidak mendiskreditkan karyawan-karyawan lain yang belum berprestasi. Seringkali kasih sayang dimaknai sebagai welas asih tanpa ketegasan, justeru reward and punishment menjadi ciri kasih sayang yang benar dalam perusahaan karena dengan memberi hukuman pada karyawan yang bersalah misalnya, merupakan bentuk kasih sayang yang lebih luas kepada yang lain untuk mendorong peningkatan produktivitas kerja.

Pemimpin juga harus mengembangkan pikiran percaya pada karmaphala, bahwa setiap perbuatan akan menghasilkan pahala. Spirit ini harus dipegang oleh setiap pemimpin bahwa segala apapun yang dilaksanakan akan menghasilkan sesuatu sesuai dengan proses yang dilaksanakan. Tindakan (karma) dalam Hindu dibagi menjadi dua, yaitu subha karma (perbuatan baik) dan asubha karma (perbuatan buruk). Perbuatan baik akan berpahala baik dan perbuatan buruk akan berpahala buruk, itu sudah pasti terjadi menurut Hukum Karmaphala. Oleh karena itu perlu dikembangkan sikap mental positif dalam diri seorang pemimpin bahwa setiap inovasi yang dilakukan asalkan dilandasi dengan pikiran positif (manah suci nirmala) maka akan menghasilkan sesuatu yang positif pula. Lebih luas prinsip ini adalah pengejawantahan karma yoga, bekerja hanya demi kerja itu sendiri bukan hasil dari kerja.

 

  1. Ucapan (Wak)

Etika dalam Tri Kaya Parisudha selanjutnya adalah wacika, perkataan. Dalam Kakawin Nitisastra, dijelaskan sebagai berikut:

“Wasista nimitanta manemu laksmi/

Wasista nimitanta manumu duhka/

Wasista nimitanta manemu mitra/

Wasista nimitanta pati kapangguh/

Artinya:

Dari perkataan akan  mendapatkan kerahayuan,

Dari perkataan akan mendapatkan kedukaan,

Dari perkataan akan mendapatkan sahabat,

Dari perkataan akan mendapatkan kematian.

 

Sloka di atas mengandung makna bahwa perkataan memegang peranan penting dalam menciptakan kebahagiaan dan sebaliknya kedukaan bagi manusia. Oleh karena itu “lidah tak bertulang” wajib dijaga demi kebahagiaan. Untuk berkata yang baik dan selalu mendapatkan kebahagiaan maka Sarasamuccaya 75 mengajarkan perkataan yang wajib dilakukan, antara lain (1) tidak berkata-kata kasar; (2) tidak mencaci maki; (3) tidak menfitnah; (4) tidak ingkar janji.

Dalam kepemimpinan maka seorang pemimpin haruslah memiliki kemampuan yang cakap dalam berwacana karena membawa efek yang luas bagi laju organisasi. Dalam perspektif humanisme, seorang pemimpin tidak layak mengeluarkan kata-kata kasar dan menyakitkan hati para karyawan. Walaupun ada kesalahan maka yang akan menyelesaikan kesalahan itu adalah mekanisme yang telah ada dan telah disepakati oleh seluruh elemen dalam organisasi tersebut. Artinya, pemimpin sebisa mungkin menciptakan suasana kekeluargaan dan kebersamaan dalam kerja dan mengusahakan dalam organisasi tersebut tidak ada perasaan iri dengki, sakit hati terhadap ulah pemimpin sehingga karyawan menikmati pekerjaannya dengan enjoy dan akhirnya meningkatkan produktivitas kerja.

 

  1. Tindakan (Kaya)

Perbuatan demikian juga halnya pikiran dan perkataan adalah satu kesatuan dalam membentuk prilaku Etika Hindu secara utuh. Spirit yang harus dibangun adalah bahwa jiwa seluruh makhluk adalah sama, “tat twam asi” dan oleh karenanya semua makluk adalah bersaudara (vasudewa kutumbakam) sehingga menyakiti orang lain sama dengan menyakiti diri sendiri. Hindu mengajarkan bahwa setiap perbuatan harus diukur dari dampak suatu perbuatan jika menimpa pada dirinya sendiri. Jika orang lain melakukan perbuatan yang menyakiti kita, demikian sebaliknya jika kita melakukan perbuatan serupa kepada orang lain.

Demikian juga ditekankan dalam kepemimpinan perspektif humanisme bahwa setiap tindakan seorang pemimpin haruslah tidak menyakiti perasaan orang lain. Dalam Arthasastra dijelaskan bahwa pemimpin yang kejam akan ditinggalkan oleh rakyatnya, sebaliknya pemimpin yang baik dan bersahaja akan dijaga oleh rakyatnya. Lebih penting lagi dikatakan bahwa tingkah laku seorang pemimpin adalah teladan bagi rakyat yang dipimpinnya. Dalam  ruang lingkup yang lebih kecil bahwa seorang pemimpin haruslah menjadi teladan bagi karyawannya. Perspektif humanisme tidak lagi membenarkan tindakan seorang pemimpin yang hanya mempekerjakan karyawan sebagai sapi perahan, tetapi humanisme menuntut pemimpin yang mau dan mampu membaur dengan karyawan. Hal ini tidak akan mengurangi wibawa seorang pemimpin, malahan akan menjadi nilai tambah bagi kepemimpinannya.

Sarasamuccaya 76 mengajarkan perbuatan-perbuatan yang tidak layak dilakukan, yaitu membunuh (himsa karma), mencuri/mengambil hak milik orang lain(asteya), dan berbuat zina/ prilaku seks menyimpang (gamya gamana). Inilah tindakan-tindakan pemimpin yang baik, yaitu tidak menyakiti jasmani dan rohani karyawan, tidak merampok hak-hak karyawan, dan tidak berbuat zinah sebagai landasan moral keteladanan. Baik secara moral maupun material etika Hindu selalu sejalan dengan kondisi zaman sehingga dapat diterapkan dimanapun dan kapanpun karena Hindu mengandung nilai-nilai universal, abadi,sanatana dharma.

 

  1. 3. Penutup

–       Di era modernitas, disaat hak azasi manusia mendapat perhatian serius dari semua pihak maka humanisme menjadi penting untuk dibicarakan dan diaplikasikan dalam kehidupan riil.

–       Kepemimpinan dalam perspektif Humanisme adalah sebuah model kepemimpinan dengan mengedepankan kesadaran akan nilai-nilai kemanusiaan, bahwa setiap elemen dalam organisasi memiliki nilai yang sama dalam hal kemanusiaan sehingga harus dimanusiakan secara manusiawi.

–       Hindu menawarkan Tri Kaya Parisudha, yaitu manah, wak, dan kaya sebagai kesatuan integral untuk membentuk kepribadian dan etika kepemimpinan dalam perspektif humanisme yang pada puncaknya menciptakan suasana kebersamaan dan tanggung jawab untuk meningkatkan produktivisme kerja.

–       Tri Kaya Parisudha bagii seorang pemimpin bukan sekedar konsep namun harus diaplikasikan karena pemimpin adalah teladan bagi seluruh karyawan.

 

 

 

 

 

Daftar Pustaka

 

Gorda, I Gusti Ngurah, 1996. Etika Hindu dan Perilaku Organisasi. Singaraja: Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Satya Dharma.

 

____________, 2004. Membudayakan Kerja Berdasarkan Dharma. Singaraja: Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Satya Dharma.

 

____________, 2006. Etika Hindu: Materi Kuliah Etika Hindu. Denpasar: Program Magister Ilmu Agama dan Kebudayaan UNHI Denpasar.

 

Gunadha, Ida Bagus. 2006. Kepemimpinan Menurut Hindu. Makalah untuk Matrikulasi Program Magister Ilmu Agama dan Kebudayaan. UNHI Denpasar.

 

Rao, M. Krishna, 2002. Studies In Kautilya. Denpasar: Program Magister Ilmu Agama dan Kebudayaan UNHI Denpasar.

 

Kajeng, I Nyoman. 2000. Sarasamuccaya. Surabaya: Paramita.

 

Translate »