Menurut data pada Biro Pusat Statistik, angka kemiskinan di Bali terus meningkat dari tahun ke tahun. Pada tahun 2006 tercatat 147.044 KK miskin yang terdiri dari 31.732KK hampir miskin, 70.705 KK miskin dan 44.507 KK amat miskin. Pemerintah sudah berusaha dengan berbagai cara untuk membantu mengentaskan mereka dari kemiskinan, tetapi karena berbagai kendala yang dihadapi oleh Pemerintah menyebabkan keluarga miskin terus saja bertambah banyak.

Dari sekian banyak kendala yang dihadapi oleh Pemerintah, salah satunya adalah berupa upacara keagamaan yang sering cenderung memerlukan biaya banyak. Suatu contoh di salah satu Desa Pakraman di Nusa Penida yang jumlah warganya 200 KK, memiliki modal hanya Rp. 50 juta yang didapat dari iuran (paturunan) warganya Rp. 200 ribu setiap KK, dan ditambah dari LPD Rp. l0 juta. Namun dengan kemampuan finansial yang seperti itu, krama desa merencanakan pelaksanaan upacara “Mamungkah” dan “Ngenteg Linggih”‘ dengan perkiraan biaya Rp. 500 juta, sehingga masih kekurangan dana lagi Rp 450 juta. Untuk menutupi kekurangan itu, Panitia berusaha menghimbau umat Hindu di luar Nusa Penida agar ikut berpartisipasi menghaturkan dana seberapa ikhlasnya. Bila Panitia tidak mendapat  dukungan finansial dari luar Nusa Panida, tentu warga desa akan dikenakan lagi tambahan iuran sebanyak Rp 450 juta dibagi 200 KK, yaitu sebesar Rp 2.250.000,-.  Sehingga setiap KK harus membayar iuran menjadi Rp 2.450.000. Bagi warga yang kaya tentu hal ini bukanlah masalah, tetapi bagi warga yang miskin seperti umumnya di Nusa Panida yang kering kerontang, dapat dibayangkan betapa susahnya mereka mencari uang sebanyak itu. Di samping mereka kesusahan mendapatkan uang, jam kerjanya untuk bertani atau menjadi kuli akan terganggu selama kurang lebih 40 hari karena harus bergotong-royong membuat persiapan sarana upakara banten.

Bersemangat untuk melakukan kebaktian memang baik, tetapi karena menyangkut masalah uang, maka warga yang miskin sebaiknya diberi keringanan dan jangan disamaratakan dengan yang kaya. Seberapa mereka mampu membayar “paturunan” maka sebesar itulah diterima. Kekurangannya hendaknya disubsidi oleh golongan yang kaya. Begitulah sebaiknya mempraktekkan sasanti “poras paros sagilik saguluk salunglung sabayantaka” yang tercantum di dalam buku Awig Awig Desa Pakraman.

Topik tulisan kali ini ditujukan terutama bagi warga Hindu yang masih terjerat pada aspek upacara tanpa diimbangi dengan bekal tattva dan susila yang sepatutnya memang berjalan beriringan. Tulisan artikel ini akan disajikan secara berseri yang menceritakan mengenai kiat Pan Lagas dari Br. Lepang Kab. Klungkung yang telah berhasil menundukkan hantu kemelaratan akibat ketidaksinergisan upacara, susila dan tattva. Pan Lagas telah bergumul mati-matian melawan hantu kemelaratan selama 30 tahun. Dan atas kemurahan Hyang Widhi akhirnya beliau menang dan sekarang keluarganya bisa menikmati hidup sejahtera, tentram dan damai.  Tulisan ini diharapkan dapat sedikit menghibur saudara-saudara Hindu di Bali khususnya yang masih diganggu oleh hantu kesusahan dan kesedihan. Mudah-mudahan pengalaman Pan Lagas dapat membangkitkan potensi yang luar biasa yang masih tidur di dalam diri anda agar anda meraih sukses yang gemilang di masa mendatang. Jangan pesimis! Jika Pan Lagas bisa maka anda pun bisa! Majulah dan jangan berpangku tangan.

Singkat kata, kisah ini diawali dengan percakapan Pan Lagas dengan anaknya, Made Lagas. Suatu ketika Made Lagas bertanya kepada ayahnya: “Ayah, saya merasa kasihan kepada saudara-saudara kita yang masih miskin, apakah Ayah punya saran bagaimana caranya menolong mereka?

Pan Lagas pun menjawab sebagai berikut:

“Memang…! Ayah juga merasa sangat prihatin mengenang keadaan mereka. Ayah sangat merasakannya karena ayah lahir di keluarga yang amat miskin. Sejak kecil ayah hidup amat melarat, bekerja keras kurang makan, belum lagi sakit ini sakit itu dan dililit oleh hutang yang berbunga. Berbicara masalah kemiskinan memang amat kompleks seperti membicarakan lingkaran setan, sulit menemukan ujung pangkalnya. Banyak faktor yang menyebabkan kita jatuh miskin. Orang yang dulunya kaya pun bisa saja jatuh miskin. Apa lagi yang sejak kecil hidup di keluarga yang miskin, boleh jadi seumur hidupnya tetap miskin.

Semasa kanak-kanak ayah punya teman baik, orang tuanya kaya raya menurut ukuran di desa karena punya sawah 40 sikut (10 hektar). Teman ayah itu sungguh amat bahagia hidupnya. Tetapi setelah orang tuanya meninggal, entah karena apa maka satu persatu sawahnya dijual sampai habis dan sekarang dia jatuh miskin, sungguh kasihan. Hidup miskin merupakan penderitaan yang paling hebat, harus bekerja keras untuk sesuap nasi dalam mempertahankan kelangsungan hidup meski pun dalam siksaan sakit dan dililit hutang. Bila telat membayar hutang akan dicaci maki dengan kata-kata pedas menusuk perasaan.

Pernah Kakek pinjam uang di Banjar, pada waktu jatuh tempo harus melunasi, Kakek belum bisa melunasinya karena belum dapat maburuh. Krama Banjar memberi tempo 3 hari harus lunas. Namun setelah 3 hari belum juga bisa dibayar, lalu Krama Banjar semua datang ke rumah kita melakukan perampasan dan “perampagan/ngalelang”. Barang apa saja yang kita miliki termasuk alat dapur semuanya dirampas untuk dijual oleh Krama Banjar sebagai pelunasan hutang. Pada waktu itu perasaan ayah amat sedih karena rumah kita diserbu oleh orang banyak dan merampas barang apa saja yang kita punya termasuk alat-alat dapur sehingga besoknya kesulitan untuk memasak.

Selain keluarga kita, ada juga keluarga yang lainnya tidak bisa melunasi hutang, keluarga itu tidak punya apa-apa kecuali sebuah gubuk beratap alang alang. Karena Krama Banjar tidak dapat merampas barang-barang, maka gubuk mereka dibongkar paksa untuk dijual oleh Krama Banjar sebagai pelunasan hutangnya. Semenjak hari itu mereka tidur beratapkan langit karena amat miskin tidak mampu membuat tenda. Untungnya pada waktu itu musim kemarau, sehingga mereka tidaklah terlalu susah tidur di alam terbuka. Selang beberapa hari berikutnya datanglah Bapak Camat Banjar Angkan menjenguk keluarga itu yang diantar oleh Kelihan Banjar. Setelah Bapak Camat melihat kondisi pemilik rumah yang sangat menyedihkan, maka Kelihan Banjar diberi pengarahan oleh Bapak Camat agar Krama Banjar segera membuatkan keluarga itu tenda tempat berteduh. Untuk di masa mendatang bila ada warga belum bisa melunasi hutang, dilarang oleh Bapak Camat membongkar rumahnya, namun harus dicarikan jalan lain supaya mereka bisa melunasi hutangnya. Sejak peristiwa itulah tidak pernah lagi Krama Banjar sampai membongkar rumah jika ada warga yang telat melunasi hutang”.

Setelah penuturan ayahnya di atas, Made Lagas kembali bertanya: “Tadi ayah mengatakan bahwa yang kaya pun bisa saja jatuh miskin, bagaimana bisa terjadi?”

Pan Lagas pun menyahut: “Ada salah satu Geriya yang dulunya kaya mempunyai banyak sawah, tetapi setiap kali mengadakan “pitra yadnya” (palebon) selalu menjual sawah untuk membiayai upacara yang memerlukan uang banyak. Setelah 3 kali mengadakan upacara “palebon” seperti itu, habis lah sawahnya dijual untuk membiayai upacara “palebon” sehingga sampai sekarang beliau miskin. Maaf cerita ini bukanlah maksud ayah mencemari nama Geriya, namun hanya sebagai salah satu contoh kejadian yang ayah ketahui sebagai bahan renungan bagi kita semu agar tidak jatuh miskin dengan membuat kesalahan yang sama seperti Geriya ini. Pada dasarnya tujuan Agama adalah untuk memberantas kebodohan dan kemiskinan, tetapi jika caranya salah, maka akan menjadi bumerang yang menyebabkan kemiskinan. Jaman sekarang orang kaya bisa juga jatuh miskin bila menuruti hawa nafsu dan menuruti gengsi. Sebab nafsu dan gengsi itu biayanya sangat mahal. Jalurnya bisa melalui perjudian, selingkuh, narkoba, disimpan di Bank yang korup atau sering mengadakan upacara yang bergengsi. Orang-orang feodal jaman dulu sering mengadakan upacara yang bergengsi dengan menjual tanahnya untuk mempertahankan kewibawaannya di masyarakat. Ujungnya, sudah dapat ditebak, mereka semua jatuh bangkrut dan miskin.

Para ahli ekonomi merumuskan penyebab kemiskinan itu datang dari 2 arah yaitu sebagian ada pada diri kita masing-masing dan sebagian lagi dari luar diri kita

Beberapa faktor penyebab kemiskinan yang ada di dalam diri kita antara lain sebagai berikut:

  1. Moral yang kurang baik, moral kita memegang peranan amat penting untuk menentukan berhasil dan tidaknya kita membebaskan diri dari belenggu kemiskinan. Bila moral kita tidak baik maka dia memberi andil 85% untuk menjadikan kita miskin. Masyarakat tidak mau bekerja sama dengan orang yang moralnya rusak. Walaupun seandainya kita pintar tetapi jika moral kita rusak maka tidak akan laku dipasaran tenaga kerja alias akan menjadi pengangguran terselubung yang hidup parasit bagaikan benalu. Bila serius mau membebaskan diri dari kemiskinan maka langkah pertama adalah memperbaiki moral yaitu dengan jalan melatih diri berperilaku susila di masyarakat. Rincian perilaku susila adalah: rendah hati, sopan santun, ramah-tamah, jujur, benar (matut-matut), ringan tangan menolong orang lain dan dermawan. Melatih diri seperti ini ada tantangannya yaitu sang Ego yang sangat berkeberatan diajak berperilaku seperti itu. Agar sang Ego tidak menjadi tantangan maka kita harus rajin sembahyang dan berjapa mengucapkan nama suci Tuhan. Sebenarnya berperilaku susila sangatlah menyenangkan, karena semua orang suka dengan orang yang susila. Tetapi mengapa kita tidak mau melakukannya? Karena sang Egolah yang mencegah kita berbuat susila. Bila moral kita sudah baik, maka tawaran kerja sama dari berbagai pihak akan berdatangan dari segala arah. Dari kerja sama itu muncullah rezeki yang berlimpah.
  2. Penyebab kemiskinan yang berikutnya adalah pendidikan yang rendah dan tidak profesional. Kesempatan kerja yang berlimpah yang dihasilkan oleh moral yang baik atau susila harus ditangkap dengan kecakapan dan profesionalisme. Dengan kata lain kita harus tekun membelajarkan diri dan berlatih berbagai keterampilan agar cakap dan profesional. Walaupun moral sudah baik, tetapi jika tidak cakap dan tidak profesional maka tidak akan bisa mendapatkan pekerjaan yang pantas. Umpamanya kita dipercaya mengurus sebuah toko dengan syarat harus tahu ilmu pemasaran, marketing, managemen, administrasi, komputer dan sejenisnya. Namun bila kita tidak memiliki kecakapan seperti yang disyaratkan, meski sudah memiliki moral yang baik namun tetap saja kita tidak akan diterima.
  3. Kesehatan yang buruk juga sangat berpengaruh. Karena itu, hindari lah kebiasaan buruk yang merugikan kesehatan seperti merokok, minum minuman keras, narkoba, berjudi, berselingkuh, dan bergadang sampai larut malam.

Sedangkan penyebab kemiskinan dari luar yang sejatinya sebenarnya juga adalah buah karma kita di masa lampau sehingga kita dihadapkan pada ekosistem seperti itu adalah antara lain:

  1. Kebijakan Pemerintah yang mengabaikan kepentingan rakyat kecil. Seperti contohnya memberi jin membangun komplek perumahan di lahan sawah yang produktif sehingga menyebabkan para petani kehilangan lahan garapan. Petani yang tidak punya ketrampilan lainnya selain bertani sangat kesulitan menyambung hidupnya sehingga menjadi pengangguran terselubung. Pengalihan fungsi irigasi dari awalnya untuk pengairan sawah menjadi objek wisata arung jeram juga secara langsung menurunkan produktivitas petani sebagai rakyat kecil. Kebijakan Pemerintah seperti itu tidak disadari oleh para Pejabat yang secara tidak langsung membunuh rakyat kecil.
  2. Kebijakan Desa Pakraman juga masih ada saja yang mengabaikan kepentingan warganya yang miskin. Salah satu contoh di salah satu Desa Pakraman di Nusa Penida yang jumlah warganya 200 KK, pada bulan Juni 2007 merencanakan mengadakan upacara seperti yang sudah disinggung pada awal artikel ini. Bagi umat yang kaya kebijakan seperti itu tentu bukanlah masalah, tetapi bagi mereka yang miskin sangatlah susah mendapatkan uang sebanyak itu karena daerah Nusa Penida adalah daerah tandus. Disamping susah mencari uang sebanyak itu, mereka juga kesulitan dalam hal bergotong-royong selama 30 – 40 hari membuat sarana upacara. Bagi kaum tani dan kaum buruh yang kais pagi makan pagi, amat tertekan diajak bergotong-royong lebih dari 3 hari, apa lagi sampai 30 hari. Bila Panitia bijaksana, maka seharusnya rencana upacara sebaiknya disesuaikan dengan kemampuan yang ada dan yang miskin diberi kebebasan membayar iuran seberapapun mereka mampu. Kekuragannya harusnya disubsidi oleh golongan kaya jika memang memiliki bakti secara tulus. Tetapi golongan yang kaya biasanya tidak mau mensubsidi yang miskin dengan dalih agar yang miskin tidak manja. Dengan demikian ungkapan “paros-paros, salunglung sabayantaka” yang tercantum di dalam awig-awig Desa menjadi slogan kosong melompong. Praktek semacam inilah yang menyebabkan umat yang miskin semakin terpuruk yang tidak ubahnya seperti orang terjatuh dan terhimpit tangga lagi. Bila keputusan itu sudah final bahwa kewajiban membayar iuran disamaratakan untuk semua warga maka bagi mereka yang miskin tentu berusaha dengan jalan berhutang agar tidak kena sanksi dari Adat. Setelah upacara selesai, bagi yang kaya bisa tersenyum. tetapi bagi yang miskin masih susah memikirkan untuk melunasi hutang. Sementara hutang itu masih menjadi beban, sudah tiba saatnya harus “ngodalin di sanggah, nyambutin cucu, ngotonin anak, ngodalin di Pura Dadya, odalan di Pura Desa, kemudian Galungan, Kuningan dan Nyepi. Belum lagi kegiatan “manyama braya” bila ada tetangga mengadakan upacara yang umumnya memerlukan anggaran pengeluaran hampir 3 kali lipat dari pada untuk hidup sehari-hari. Dengan demikian, kondisi ekonomi umat yang miskin akan semakin terpuruk sehingga kapan mereka bisa menabung untuk membeli tanah pekarangan untuk keturunannya yang semakin bertambah? Yang ada bukannya membeli tanah, malahan membagi warisan yang semakin sempit dan memicu ketidakharmonisan dalam keluarga tersebut. Atau bahkan karena saking tidak mampunya, mereka harus menjual tanah pekarangan mereka kepada orang lain. Masih untung kalau yang membeli sesama warga Bali, tetapi bagaimana kalau pendatang? Ujung-ujungnya yang rugi juga semua krama Banjar karena bagaimanapun saat ini umumnya wig-awig tidak mengikat warga pendatang, apa lagi yang beda agama. Namun, walaupun sudah banyak terjadi korban yang disebabkan oleh kebijaksanaan Desa yang nyaplir, tetapi anehnya Prajuru Desa masih saja menghayal merencanakan upacara besar di luar kemampuan umat. Beberapa orang menyebut hal ini sebagai tindak kekerasan terselubung.
  3. Penyebab kemiskinan berikutnya adalah korupsi uang maupun material oleh Pejabat dan korupsi mental oleh oknum tertentu. Kedua bentuk korupsi ini sangat merugikan rakyat banyak. Korupsi oleh Pejabat menyebabkan uang rakyat banyak menumpuk pada oknum-oknum tertentu sehingga pembangunan untuk kesejahteraan rakyat menjadi terganggu. Ciri-cirinya dapat kita lihat seperti para petani kesulitan mendapatkan pupuk, jalan raya di sana-sini rusak tidak diperbaiki, proyek dikerjakan asal jadi dengan mutu yang rendah sehingga belum apa-apa sudah rusak bahkan ada yang mangkrak. Biaya pendidikan mahal, biaya kesehatan juga mahal. Anak-anak usia sekolah dikalangan keluarga miskin terpaksa diberhentikan sekolah karena orang tuanya tidak mampu membiayai sekolahnya. Anak anak ini tentu akan menjadi calon orang miskin juga yang ikut menambah angka kemiskinan. Korupsi mental oleh oknum tertentu. Secara kasat mata korupsi model ini sepertinya tidak menyebabkan orang miskin. Para koruptor jenis ini mempergunakan Agama dan dogma untuk mencekoki pikiran orang yang awam. Rakyat yang awam diajari dengan ayat-ayat dan dogma tertentu seperti kamu adalah “sudra” aku adalah ningrat. Kamu tidak boleh begini dan begitu, bila kamu melanggarnya maka kamu akan “tulah hidup” (kualat). Akulah yang berhak untuk begini dan begitu”. Paham (dogma) seperti itu dimasukkan kepada orang awam turun temurun, sehingga kondisi pikiran orang awam seperti kena narkoba, yaitu menjadi amat ketergantungan dengan sang koruptor. Bila orang awam itu akan mengadakan upacara apapun harus mendapat restu lebih dulu dari sang koruptor, bila tidak mendapat restu maka upacaranya tidak sah. Upacara yang dipandang tidak sah bisa menjadi polemik berkepanjangan di masyarakat. Jadi masyarakat juga secara tidak sadar ikut memberatkan posisi umat kita yang awam. Menurut hati nurani umat yang miskin, inginnya membuat upacara sesuai dengan kemampuan dana yang ada. Tetapi pada waktu melapor kepada sang koruptor maka perundingannya selalu mengarah kepada upacara yang meriah dengan iming-iming agar sang Yajamana (pelaksana upacara) mendapat pahala lebih besar. Bila sang Yajamana mengajukan usul agar disederhanakan karena tidak cukup dananya, maka sang koruptor mengatakan tidak berani bertanggung iawab akan akibatnya di masa mendatang. Dengan gertak seperti itu menyebabkan sang Yajamana menjadi ciut nyalinya sehingga terpaksa menurut walaupun di dalam hatinya kacau balau karena kesulitan masalah dana. Karena dalam keadaan terpaksa ya akhirnya sepakat. Disepanjang perjalanan pulang dari perundingan, mulailah Miki-mikir mau jual apa untuk mendapatkan uang sebanyak itu? Yang punya tanah tentu menjual tanah, yang punya ternak menjual ternak, tetapi yang tidak punya apa-apa tentu dengan jalan behutang pada rentenir. Pelaksanaan Agama seperti itu sangat bertentangan dengan tujuan Agama. Agama adalah obat segala penyaki manusia lahir bathin. Jika pelaksanaannya justru menimbulkan kesusahan, itu berarti ada yang tidak beres. Rsi Yalnyawakya mengatakan bahwa penyakit yang paling menyusahkan adalah hutang. Pelaksanaan Agama dengan jalan berhutang menyebabkan orang sakit yang paling menyusahkan. Tetapi mengapa hal itu dilakukan? Karena umat kita sangat ketergantungan dengan sang koruptor. Bila umat mau melaksanakan upacara dengan meriah, maka sang koruptor dapat memetik 2 jenis keuntungan sekaligus yaitu, keuntungan material dan keuntungan prestise. Sang koruptor tentu senang, sedangkan sang Yajamana gundah hatinya memikirkan rumitnya upacara dan juga hutang. Agar sang Yajamana merasa tenang maka diberi obat penenang oleh sang koruptor berupa sanjungan sebagai berikut: “Anda adalah orang mulia karena anda rela berkorban. Walaupun anda miskin tetapi anda mulia”. Begitulah buaian sang koruptor meninabobokan agar sang Yajamana tidak gusar hatinya. Posisi sang Yajamana seperti anak kecil yang sedang digundul rambutnya. Bila dia aduh aduh karena kesakitan maka kepalanya ditiup-tiup oleh sang koruptor untuk menghilangkan rasa sakit agar dia tenang, setelah dia tenang lalu rambutnya digundul lagi sampai akhirnya kepalanya bersih tanpa rambut sabatang pun yang masih tertinggal. Setelah kepalanya bersih lalu dipuji dan disanjung bahwa dia kelihatan lebih ganteng setelah digundul. Untuk sementara waktu orang awam pun merasa senang dipuji dan disanjung. Akan tetapi setelah dia harus bekerja dilapangan berjemur dibawah terik Matahari, barulah “kelenger” (sekarat) karena kepalanya ditusuk panas sang surya. Relatif banyak umat kita terpaksa menyerahkan kepalanya untuk digundul karena ketergantungan. Bila ada kejujuran di dalam membina umat, maka pada waktu berunding sebaiknya terjadi dialog sebagai berikut: “Pan Cening akan mengadakan upacara apa?” “Ngaben” jawab Pan Cening. “Berapa Pan Cening punya dana saat ini?” ” Hanya Rp 5 juta” jawab Pan Cening. “Ya bisa, tetapi “kanggoang” dengan “Swasta Gni”.  Walaupun dengan upakara “banten kanista”, tetapi dengan “swasta Gni” toh roh sang almarhum akan mendapatkan tempat yang sama sesuai dengan karmanya semasa hidup. Ketentuan ini sudah berdasarknn Yama Purwana Tattwa “. Seorang pemimpin umat harusnya berlaku seperti itu. Namun yang terjadi sering kali adalah kecenderungan ke arah yang meriah sehingga upacara “ngaben” yang sebenanya boleh diselenggarakan dengan biaya Rp 5 juta” menjadi Rp 50 – Rp 60 juta bahkan di Buleleng ada yang menjadi Rp 200 jutaan. Sang koruptor merasa malu memimpin upacara yang sederhana (kanista), itulah makanya di dalam perundingan secara terselubung menyelipkan iming-iming-iming pahala yang lebih besar agar sang Yajamana bergairah diajak mengadakan upacara yang meriah. Kejadian-kejadian seperti itulah secara tidak kita sadari ikut menambah angka kemiskinan. Harusnya kita kasihan kepada sang kuruptor seperti ini, sebab di dalam “Utara Kanda” dikatakan bahwa orang yang memetik keuntungan material dari pelaksanaan yajna pada kehidupan berikutnya akan menjelma menjadi anjing yang borok dan dikerubuti oleh ribuan lalat. Itulah makanya jika ayah disuruh “ngantebang banten” atau disuruh motong gigi/”natahin” atau memberikan dharmawacana dengan hormat ayah menolak daksina berupa amplop berisi uang. Ayah memang memerlukan uang untuk biaya hidup, tetapi semasih masih ada tempatnya mencari uang yaitu disawah, di jalan, di pasar, di toko, di hotel dan lain-lain dengan jalan bekerja, maka Ayah tidak akan mengambil apapun. Bila kita mau bekerja pasti mendapat bagian karena Hyang Widhi Maha Adil.
  4. Penyebab lain adalah serbuan pendatang dari luar Bali. Menurut catatan kependudukan bahwa setiap tahun Bali kedatangan penduduk sebanyak 40.000 orang. Dari jumlah itu setiap tahunnya bertambah lagi 0,12% (480) orang. Mereka yang datang ke Bali dari berbagai lapisan mulai dari pekerja kasar, pedagang, pengusaha dan yang profesional bermodal besar dengan peralatan yang lengkap untuk merebut rejeki yang bertebaran di Bali. Pulau Bali bagaikan bunga teratai yang harum dan penuh berisi madu. Sayangnya orang Bali relatif banyak seperti kodok yang duduk di samping bunga teratai, bengong melamun tidak menghiraukan madu yang ada disampingnya. Para pendatang yang datang ke Bali bagaikan lebah bergerombol beramai-ramai datang ke Bali untuk merebut madu. Walaupun gerombolan lebah itu sudah beramai-ramai berpesta madu, tetapi kodok yang duduk di samping madu itu tetap santai-santai saja. Para ahli ekonomi sudah sering mengingatkan kepada kita semua bahwa orang Bali secara pelan-pelan tetapi pasti akan mengalami nasib seperti nasib orang Betawi yaitu semakin tergusur terpinggirkan bila terus bersantai. Pertambahan penduduk lokal saja sudah merupakan ancaman bagi kesejahteraan orang Bali apalagi ditambah lagi 40.000 orang setiap tahunnya tentu akan lebih memperburuk keadaan karena lahan di Bali semakin menyusut beralih fungsi menjadi tempat bangunan, lapangan golf; jalan raya dan abrasi. Dengan masuknya orang orang yang ulet bekerja, cakap dan bermodal, maka persaingan mengais rejeki semakin ketat. Keterdesakan penduduk lokal dapat dilihat dari kepemilikan tanah yang terus menciut, baik tanah pekarangan maupun tanah sawah/tegal. Pada tahun 50-an, satu petak pekarangan seluas 5 – 15 are dihuni oleh 1 KK, pada waktu itu masih ada “teba” tempat kandang ternak, menanam pisang, kelapa kecil, dan buah-buahan untuk keperluan upacara. Tetapi sekarang satu petak pekarangan sudah dihuni oleh 3- 5 KK sehingga tidak ada lagi “teba” karena semua ruang sudah dibangunin kamar tidur, dapur dan kamar mandi. Kepemilikan sawah, tegal juga menciut dengan drastis bahkan banyak yang tidak lagi punya sawah karena dijual. Mengapa dijual? Untuk bayar hutang, mengapa berhutang? Karena pendapatan lebih kecil dari pengeluaran, mengapa pengeluarannya lebih besar? Karena sering berupacara yang menghabiskan uang banyak. Orang Bali menjual tanah untuk membeli bahan upacara seperti janur, pisang, buah-buahan, kelapa kecil, telur, ayam dan itik, tetapi para pendatang menjual janur, pisang, kelapa kecil, telur, ayam dan itik untuk membeli tanah di Bali. Setiap akan ada upacara besar, kening para ibu-ibu orang Bali kebanyakan mengkerut, tetapi roman muka para pendatang hampir semuanya ceria riang gembira. Mengapa begitu? Karena ibu-ibu kita susah memikirkan pengeluaran uang 3 kali lipat pada hari raya, sedangkan para pendatang gembira meraih rejeki 3 kali lipat pada hari itu. Semakin sering di Bali ada upacara semakin menyusutlah kekayaannya. Sedangkan para pendatang semakin kaya. Sebelum menyangkal tulisan ini silahkan adakan survey atau polling. Pan Lagas sebagai umat Hindu merasa prihatin, tetapi Pan Lagas sebagai dagang mau tidak mau ikut berebutan rejeki 3 kali lipat. Ketimbang semuanya diraih oleh orang luar kan lebih baik Pan Lagas ikut merebut agar ada dipakai berderma kepada saudara kita yang melarat. Salah satu bentuk sumbangan Pan Lagas adalah berupa tulisan seperti ini untuk kita renungkan bersama. Mau digugu silahkan, mau dibantah juga silahkan.

Bersambung……………………

 

Disadur dari tulisan Jero Mangku Wayan Suwena

Translate »