Mendebat Agama Langit : Membunuh Arogansi Dikotomi Ngawur Agama Langit – Agama Bumi

Sebenarnya sudah banyak tulisan yang mengkritisi ajaran agama, baik dari para teolog Agama Abrahamik maupun para filsuf Agama Timur. Hanya saja, buku yang berbahasa Indonesia sepertinya masih perlu ditambah, mengingat hingga saat ini buku yang berani mengkritisi dan membandingkan ajaran Agama Abrahamik yang mengklaim diri sebagai Agama Langit dengan ajaran Hindu sebagai salah satu ajaran Agama Timur atau sering diidentikkan sebagai Agama Bumi masih sangat jarang.

Sebagaimana sudah umum diketahui, rumpun Agama Abrahamik, yakni agama-agama yang bermula dari Abraham atau juga dikenal sebagai Ibrahim dikatakan sebagai Agama Langit (Agama Samawi) karena ajarannya dianggap diturunkan oleh Tuhan dari Langit. Sedangkan agama-agama selain itu oleh para tokoh teologi Abrahamik dikatakan sebagai Agama Bumi, yakni agama yang muncul karena budaya manusia di Bumi, bukan dari wahyu yang diturunkan oleh Tuhan. Dan karenanya Agama Bumi juga sering diistilahkan sebagai Agama Budaya. Benarkah Agama Hindu, Buddha, Sikh, Sinto dan banyak agama-agama kecil lainnya yang tergolong Agama Timur bukan wahyu dari Tuhan?

Rumpun Agama Abrahamik terdiri dari Agama Islam, Kristen dan Yahudi. Agama Yahudi adalah Agama non-mission yang hanya dikhususkan untuk bangsa Israel. Sedangkan Agama Islam dan Kristen adalah agama misi yang sangat aktif dan saling berlomba-lomba mencari pengikut. Agama Islam menggaet pengikut melalui kaum dakwahnya dan Kristen dengan para misionarisnya. Objek misi yang menjadi sasaran kedua agama ini umumnya adalah mereka yang dikatakan menganut Agama Bumi. Hal ini terutama karena agama yang mereka golongkan sebagai Agama Bumi digambarkan sebagai penganut ajaran sesat dan keliru yang patut diluruskan dan diselamatkan.

Baik Islam maupun Kristen dengan gencarnya melakukan promosi dan iklan membangun citra demi menyelamatkan orang-orang beragama lain sebanyak-banyaknya. Kedua agama ini mengatakan kalau kebenaran hanya ada dalam ajaran mereka. Kebenaran dan keselamatan tidak terdapat pada ajaran agama yang lain. Semua keyakinan di luar keyakinan mereka adalah keliru. Lalu, benarkah ajaran Agama Timur keliru dan tidak terdapat kebenaran di dalamnya?

Buku ini mencoba menyajikan kritik dan perbandingan Agama Abrahamik dengan ajaran Agama Hindu sebagai wakil dari Agama Timur. Buku ini tidak dimaksudkan untuk menyudutkan dan menyinggung salah satu keyakinan dan meremukkan semangat kerukunan antar umat beragama, tapi hanya merupakan pembelaan atas berbagai macam tuduhan oleh oknum-oknum yang selama ini ditujukan kepada Agama Timur. Buku ini juga akan memberikan solusi alternatif dalam pengelompokan keyakinan sehingga terhindar dari konflik merendahkan dan meninggikan suatu ajaran agama.

Buku ini tersusun dari 10 Bab dengan 149 halaman. Masing-masing topik disajikan secara ringkas dan padat dan dengan topik bahasan yang cukup ringan untuk dibaca.

Bab pertama dimulai dengan tema bagaimana cara menilai kebenaran suatu ajaran agama. Pada bab ini penulis mencoba memaparkan pemahaman bahwasanya suatu ajaran agama tersusun dari dua jenis ajaran. Yaitu ajaran yang memang di luar jangkauan panca indria dan pemikiran manusia sehingga validasinya bisa dikatakan hampir tidak mungkin. Dan yang kedua setiap agama selalu memiliki irisan ajaran yang bersinggungan dengan hal-hal yang dapat ditangkap secara indriawi dan dapat dilogikakan. Di bab ini juga disinggung masalah filsafat Sankya yang identik dengan metode ilmiah yang dikembangkan pada sains modern dalam mengungkap suatu kebenaran. Sehingga dengan satu pandangan yang sama, diharapkan akan lebih mudah mendapatkan kesamaan pemahaman.

Sedangkan pada bab kedua, penulis memaparkan sejarah adanya dikotomi Agama Langit dan Agama Bumi yang dikatakan pertama kali didengungkan oleh Dr. H. M. Rasjidi, dalam bukunya yang berjudul “Empat Kuliah Agama Islam untuk Perguruan Tinggi” yang tujuannya sudah barang tentu merendahkan dan meremukkan psikologi penganut ajaran “Agama Bumi” sehingga lebih mudah dikonversi. Pada bab ini penulis juga memaparkan beberapa jenis pembagian-pembagian kelompok agama lainnya oleh beberapa tokoh teolog baik yang berasal dari kalangan agama Islam dan Kristen, maupun dari kalangan Hindu. Bab ini juga menjadi pijakan awal kenapa buku ini ditulis.

Pada bab tiga, dilanjutkan dengan kisah bagaimana sulitnya Hindu diakui sebagai agama di Indonesia. Hal ini salah satunya karena tuduhan bahwa Hindu sebenarnya bukan agama, tetapi hanyalah budaya yang dibalut keyakinan sebagaimana disampaikan oleh Dr. Harun Hadiwiyono. Yang unik dari bab ini adalah cara penulis membalikkan tuduhan tersebut dengan mengungkapkan fakta bahwa istilah agama ternyata hanya terdapat dalam kitab suci Hindu, Buddha dan Jaina yang berbasis pada bahasa Sansekerta. Sehingga dengan dibumbui arti dasar dari agama, penulis secara telak telah membantahkan klaim bahwa yang layak disebut sebagai agama hanyalah Islam, Kristen dan Yahudi.

Selanjutnya pada bab empat, penulis memberi judul “Allah Beragama Islam dan Yesus Beragama Kristen”. Topik ini penulis angkat dari kisah pribadinya saat berdiskusi dengan rekan-rekannya. Pada bab ini dikatakan bahwa beberapa rekan penulis ngotot mengatakan Tuhan itu beragama, tetapi di satu pihak penulis mengatakan Tuhan itu adalah Atheis paling besar di alam semesta. Bab ini juga membahas mengenai siapa itu Tuhan dan siapa namaNya? Apakah Tuhan bernama Allah, Jehovah, Yesus atau Hyang Widhi? Dengan membaca bab ini, anda akan dihadapkan pada sudut pandang yang sangat jauh berbeda dari sudut pandang kita selama ini, terutama bagi anda penganut agama Islam dan Kristen.

Bab kelima lagi-lagi disuguhi dengan cara menepis tuduhan yang agak kocak, yaitu mengenai pengalaman penulis pada waktu dihadapkan pada ajakan seorang oknum muslim berpuasa dan mengucapkan kalimat syahadat dengan menjanjikan Sorga dan 72 bidadari kepada penulis. Dengan argumen yang tidak terbantahkan, penulis dapat menjelaskan bahwasanya istilah Sorga hanya terdapat dalam kitab suci – kitab suci berbahasa Sansekerta, sehingga sudah pasti “Sorga yang original” adalah milik para penganut Hindu, Buddha dan Agama Timur lainnya. Kitab Al-Qur’an dan Injil sendiri ternyata sama sekali tidak mencantumkan kata Sorga dalam kitab sucinya, sehingga dengan fakta ini tentu saja klaim Sorga mereka dapat dikatakan sebagai klaim imajinatif. Sebagai penambah wawasan dalam bab ini, penulis juga memaparkan sloka-sloka dalam Veda yang menjelaskan bagaimana kedudukan dan susunan planet-planet Sorga dan juga neraka di alam semesta ini.

Sedangkan bab keenam menceritakan bagaimana sekelompok pemeluk agama tertentu yang sibuk membela Tuhannya. Padahal menurut penulis Tuhan yang ia sembah adalah Tuhan Yang Maha Kuasa dan sama sekali tidak perlu dibela. Penulis juga menceritakan tentang sejarah mengenai bagaimana kejahatan kemanusiaan, pembantaian, pemerkosaan dan penjerahan dilakukan atas nama Tuhan yang mereka bela. Semua kisah sejarah ini didasarkan pada data-data otentik dari berbagai sumber referensi. Menurut penulis, hal seperti ini seharusnya tidak perlu terjadi jika manusia mengerti hakekat dari Tuhan itu sendiri.

Pada bab ketujuh, penulis kembali menyuguhkan “sup panas” kepada pembaca dengan mengawali pembahasan mengenai demonstrasi yang dilakukan sekelompok mahasiswa saat pemilu tahun 2007 lalu di Indonesia. Para mahasiswa ini mengatakan bahwa hanya hukum Tuhan yang paling benar dan harus ditegakkan, sedangkan demokrasi yang diusung Indonesia pasti mati dan tidak bisa membawa Indonesia menjadi lebih baik. Penulis mengungkapkan bahwa penulis sangat setuju bahwasanya hukum Tuhan adalah yang paling benar dan paling baik. Tetapi penulis tidak menyetujui jika dalam kehidupan berbangsa yang heterogen seperti ini dipaksakan satu jenis hukum berbasis agama, karena masing-masing agama memiliki hukumnya masing-masing. Dengan nada argumentatif, penulis memaparkan bagaimana kegagalan penerapan hukum Tuhan, “Khilafah” di berbagai daerah telah gagal dan tidak menunjukkan hal yang lebih baik dari pada daerah-daerah lainnya. Penulis juga berargumen bagaimana ketidakadilan yang terjadi pada kaum minoritas jika Khilafat tersebut diterapkan.

Sedangkan pada bab delapan dan sembilan, penulis secara spesifik memaparkan kosmologi dalam Agama Islam dan Kristen sebagai wakil Agama Langit dan dari Hindu sebagai wakil Agama Timur dan berikutnya dibandingkan dengan Ilmu Pengetahuan modern. Pada bab ini sangat dituntut kekritisan dan pola pikir ilmiah pembaca sehingga bisa menarik kesimpulan yang objektif. Dan dengan metode argumentatif yang lugas, penulis juga bisa menunjukkan bahwasanya pemahaman kosmologi Agama Langit tidaklah lebih baik dari pada Agama Bumi, sehingga tidak ada alasan mengatakan Agama Langit lebih superior dari Agama Bumi. Bahkan dari pemaparan ini, dapat dikatakan agama-agama yang dituduh Agama Bumilah yang lebih superior dan lebih sesuai dengan fakta ilmiah. Bab ini sekaligus bab penutup pembuktian bahwa ajaran Islam, Kristen dan Yahudi tidaklah lebih superior dari Hindu dan Agama Timur lainnya.

Sedangkan pada bab sepuluh sebagai bab penutup, penulis memberikan satu solusi pembagian keyakinan yang bersumber dari ajaran Veda dan sepertinya bisa menjadi solusi alternatif yang tidak bernada meninggikan atau merendahkan ajaran apapun. Penulis juga menyertakan pandangan ilmu psikologi yang membenarkan pandangan ini. Anda penasaran? Dapatkan segera di agen-agen terdekat di kota anda.

 

Translate »