Murid: Akibat-akibat buruk apa yang timbul di masyarakat dari paham jasmaniah yang keliru ini?

Guru: Banyak. Pertama,  para jiva berjasmani manusia tidak pernah puas atas hasil kerja yang dicapainya. Jika tidak puas, bagaimana mungkin bahagia? Kedua,  mereka terpaksa bekerja semakin dan semakin keras untuk mengejar apa yang disebut kebahagiaan hidup duniawi. Kerja keras berarti menderita. Ketiga,  mereka yang kaya menjadi semakin kaya dan yang miskin menjadi semakin miskin. Keempat, alam dan lingkungan hidup semakin rusak oleh beraneka-macam kegiatan pemuasan indriya. Kelima,  moralitas sang manusia merosot. Keenam, Tindak kekerasan tidak pernah bisa di atasi sehingga kehidupan menjadi semakin tidak aman dan tidak nyaman. Ketujuh, manusia berumur pendek karena terserang beraneka-macam penyakit pada usia muda.

Murid: Meskipun begitu, paham jasmaniah “Aku adalah badan jasmani ini dengan nama si Anu” secara material dianggap benar, sehingga dijadikan landasan hidup bahagia melalui program “kemajuan ekonomi”. Meskipun secara filosofis salah, tetapi paham jasmaniah ini telah menjadi pondasi kehidupan individual, nasional maupun intenasional. Mengapa hal ini bisa terjadi demikian?

Guru: Ini terjadi demikian semata-mata karena pengaruh buruk kali-yuga. Dikatakan, “Sa kaler tamasa smrtah, ketika sifat alam tamas (kegelapan/kebodohan) dominan menyelimuti dunia, maka masa itu disebut Kali-Yuga” (Bhag. 12. 3. 30). Ciri pokok sifat alam tamas adalah, “Adharmam dharmam iti ya manyate tamasavrta sarvarthan viparitams ca buddhih sa partha tamasi, pemahaman yang menganggap kebenaran sebagai kepalsuan dan kepalsuan sebagai kebenaran akibat khayalan dan selalu mengarah ke jalur sesat, O Partha, adalah pemahaman dalam sifat alam tamas” (Bg. 18. 32).

Begitulah, ungkapan Veda yang maha besar, “Aku adalah jiva rohani nan abadi  pelayan kekal Tuhan Krishna” dianggap kepalsuan. Sedangkan pernyataan mereka, “ Aku adalah badan jasmani dengan nama si Anu dan bisa hidup bahagia di dunia fana dengan bekerja keras”, di anggap kebenaran.

Murid: Anda telah menjelaskan bahwa jiva disebut pula para-prakrti, tenaga yang lebih tinggi dari materi. Sedangkan materi atau alam material manifestasi maya disebut apara-prakrti, tenaga yang lebih rendah dari jiva. Sebagai para-prakrti, mengapa sang jiva bisa lupa pada hakekat dan kedudukan dirinya yang spiritual sebagai pelayan kekal Tuhan begitu ia menghuni badan jasmani yang merupakan apara-prakrti, produk maya?

Guru: Sang jiva bisa lupa seperti itu karena ia berpotensi kecil dan terbatas. Karena itu, begitu sang jiva menghuni badan material, ia seketika lupa pada hakekat dirinya yang spiritual dan kedudukan dasarnya sebagai pelayan kekal Tuhan Krishna. Sang jiva sering diibaratkan sebagai setitik bunga api, sedangkan Tuhan Krishna diibaratkan sebagai api unggun nan besar.

Begitu terpisah dari api unggun yang menjadi sumber atau asalnya, titik bunga api itu seketika kehilangan kilauan cahayanya. Begitu pula, sang jiva seketika kehilangan kesadaran spiritual atau kesadaran Krishnanya, begitu ia meninggalkan Tuhan di dunia rohani dan jatuh kedunia fana, dan menghuni badan material produk maya.

Murid: Jika dalam masa hidupnya sekarang sang jiva berjasmani manusia mampu mencapai pelayanan bhakti murni kepada Tuhan Krishna dan dengan demikian berada pada tingkat spiritual brahma-bhuta, bagaimana nasibnya setelah mati?

Guru: Pada saat ajal dia hanya ingat Tuhan Krishna karena cinta-kasih (bhakti) nya yang murni kepada Beliau. Selanjutnya dia pulang kembali ke rumah asal, asli, sejati, alam rohani kebahagiaan abadi Vaikuntha-Loka. Sebab Beliau berkata, “Anta ka le ca mam eva smaran muktva kalevaran yah prayati sa mad-bhavam yati nasty atra samsayah, siapapun yang pada saat ajal meninggalkan badan jasmaninya dengan hanya ingat kepadaKu saja, seketika mencapai alam rohani tempat tinggalKu. Tidak ada keraguan  tentang hal ini” (Bg. 8. 5). Ingat Tuhan Krishna pada saat ajal berarti kembali pulang kedunia rohani.

Murid: Apa yang dilakukan sang jiva setelah mencapai alam rohani Vaikuntha-Loka?

Guru: Disana sang jiva kembali pada kedudukan dasar (svarupa)nya sebagai pelayan kekal Tuhan Krishna. Disana  dia sibuk dalam beraneka-macam pelayanan kepada Beliau berdasarkan hubungan cinta-kasih (bhakti) timbal balik denganNya. Pelayanan spiritual bhakti demikian kepada Tuhan memberikan kebahagiaan yang terus bertambah tambah kepada sang jiva.

Murid: Tolong Guru jelaskan mengapa dengan melayani Tuhan sang jiva menjadi bahagia?

Guru: Dalam hubungan cinta-kasih (bhakti) timbal balik antara sang jiva dengan Tuhan Krishna, ada dua pihak. Pihak pertama yaitu sang jiva adalah pihak bawahan yang dikendalikan, yang melayani, yang dinikmati, yang diperintah dan yang dikuasai. Sedangkan pihak kedua yaitu Tuhan Krishna adalah pihak atasan yang mengendalikan, yang dilayani, yang menikmati, yang memerintah dan yang menguasai. Oleh karena Tuhan Krishna adalah sac cid ananda vigrahah, perwujudan kekekalan, pengetahuan dan kebahagiaan (BS. 5.1). Maka dengan melayani beliau, otomatis sang jiva menjadi senang dan bahagia.

Murid: Saya belum mengerti betul bagaimana sang jiva yang berkedudukan sebagai bawahan atau pelayan yang dikendalikan hidup bahagia dengan melayani Tuhan. Dapatkah anda menjelaskan secara lebih rinci lagi?

Guru: Marilah kita ambil contoh hubungan suami-istri. Istri berstatus sebagai pihak yang melayani, sedangkan suami adalah pihak yang dilayani. Apakah anda berpikir bahwa sang istri tidak bahagia karena berkedudukan sebagai pelayan suaminya? Meskipun masing-masing memiliki kedudukan dan fungsi berbeda, oleh karena hubungan suami-istri dilandasi cinta-kasih, maka baik si istri maupun si suami merasakan kepuasan, kesenangan dan kebahagiaan dari hubungan cinta-kasih timbal-balik seperti itu. Dan faktanya adalah meskipun si suami berstatus sebagai pihak yang dilayani, namun praktis dia bekerja, berbuat dan berkegiatan untuk menyenangkan istri tercinta. Begitulah kehidupan berlangsung di dunia fana yang relatif ini. Lalu,  apa yang mesti dikatakan tentang kehidupan di dunia rohani yang berhakekat mutlak?

Tentu saja disana sang jiva yang khusuk melayani Tuhan Krishna dalam hubungan cinta-kasih (bhakti) timbal-balik.  Hidup amat bahagia. Disana sang jiva secara leluasa dapat meminta Tuhan untuk melakukan berbagai hal guna menambah kesenangan dirinya. Begitulah, baik sang pelayan (jiva) maupun sang Tuan (Sri Bhagavan, Kepribadian Tuhan Yang Maha Esa Krishna) sama-sama menikmati dan berbahagia.

Murid:  Apakah setelah tinggal di alam rohani Vaikuntha-Loka berarti sang jiva mencapai mukti?

Guru: Ya, sebab sang jiva telah kembali pada kedudukan dasar (svarupa) nya sebagai pelayan kekal Tuhan Krishna di alam rohani. Dikatakan, “Muktir hitvanya rupam svarupena vyavasthitih, mukti berarti lepas dari kehidupan material dan kembali pada kedudukan dasar yang asli sejati (Bhag. 2. 10. 6)

Murid: Tetapi selama ini saya mengerti mukti berarti bersatu lebur dengan Brahman (Tuhan). Apakah pengertian ini keliru Guru?

Guru: Tidak. Bersatu lebur dengan Brahman, Tuhan Impersonal, adalah cita-cita para penganut filsafat advaita-vada, vivartha-vada atau mayavada. Menurut Veda,  Brahman adalah brahmajyoti, cahaya spiritual yang memancar dari diri pribadi Sri Bhagavan, Kepribadian Tuhan YME Krishna. Mukti dengan bersatu lebur kedalam Brahman disebut sayujya-mukti. Tetapi setelah mencapai Brahman, sang jiva yang kekal akan jatuh lagi ke dalam fana karena tidak betah tinggal di dalam Brahman, sebab disana tidak ada kegiatan apapun. Dikatakan, “Aruhya krcchrenaparam padam tatah pantaty adho’nadrta yusmad anghrayah, meskipun para rohaniawan yang tidak mengakui adanya wujud pribadi rohani Tuhan YME, telah melakukan pertapaan ketat dan keras sehingga mencapai mukti (dengan bersatu ke dalam Brahman impersonal), namun pada akhirnya mereka jatuh lagi ke dunia fana karena tidak mau memuja kaki padma Kepribadian Tuhan Yang Maha Esa” (Bhag. 10. 2. 32).

Murid: Begitu pula, selama ini saya berpendapat bahwa jiva yang tinggal di alam fana adalah pada hakekatnya Brahman (Tuhan) yang ditutupi maya. Betulkah demikian?

Guru: Ini adalah pendapat orang-orang mayavadi. Mengapa dan apa sebabnya Brahman (Tuhan) bisa ditutupi maya lalu menjadi jiva yang jatuh melarat di dunia fana? Dengan kata lain, mengapa Tuhan (Brahman berwujud spiritual  yaitu Bhagavan) yang maha-kuasa yang hidup sengsara? Pertanyaan-pertanyaan mendasar ini tidak bisa dijawab oleh orang-orang mayavadi. Karena itu, teori mereka tentang jiva adalah kepalsuan.

Murid: Dikatakan lebih lanjut bahwa jiva adalah refleksi (bayangan) Brahman, seperti halnya bayangan matahari nampak di air. Begitu pula, dikatakan, Brahman menjadi jiva bila Ia terrefleksikan oleh maya.

Guru: Ini versi lain orang-orang mayavadi dalam menjelaskan tentang jiva. Jikalau seperti yang mereka katakana bahwa Brahman berhakekat satu, tak terbatas, tak terbagi-bagi dan serba meliput, bagaimana mungkin Ia bisa terrefleksikan? Dan apakah maya itu? Lagi pertanyaan-pertanyaan mendasar ini tidak bisa dijawab secara logis dan rasional oleh mereka. Karena itu, teori mereka tentang jiva adalah palsu.

Murid: Dahulu ketika saya ajukan pertanyaan-petanyaan serupa, orang yang disebut sang guru kerohanian mereka, menjawab, “Anda akan secara otomatis dapat jawab sendiri bila anda telah bebas dari maya, khayalan”. Betulkah begitu Guru?

Guru: Dia menjawab begitu karena tidak mampu menjawab secara logis dan rasional berdasarkan kitab suci Veda.

Oleh: Ngurah Heka Wikana

Translate »