[anti-both]

Tanya     : Apakah arti Veda?

Jawab    : Veda berarti pengetahuan. Dan Veda sendiri mendefinisikan pengetahuan sebagai berikut, “Kstra-ksetra jnayor jnanam yat taj jnanam, mengerti perbedaan antara badan jasmani (ksetra) yang material dan sementara dengan sang makhluk hidup (ksetrajna) yang spiritual-abadi, disebut pengetahuan” (Bg. 13.3). Jadi pengetahuan Veda mencakup pengetahuan material dan spiritual.

Tanya     : Dari mana Veda berasal?

Jawab    : Veda berasal dari Tuhan Krishna yang juga disebut Narayana. Hal ini dikatakan sendiri oleh Veda sebagai berikut, “Brahmaksara samudbhavam, Veda diwejangkan langsung oleh Tuhan” (Bg. 3.15). Veda (Rg, Yajur, Sama, dan Atharva-Veda serta Itihasa) keluar dari nafas Tuhan nan mutlak (Brhad-Aranyaka Upanisad 2.4.10)”. Oleh karena berasal dari Tuhan, maka Veda bersifat mutlak (absolut) dan benar dengan sendirinya (self authoritative), bukan buatan manusia (apauruseya) dan mengatasi hal-hal material (transcendental).

Tanya     : Kepada siapa Veda pertama-kali diwejangkan (diajarkan) oleh Tuhan Krishna?

Jawab    : Kepada Dewa Brahma, makhluk hidup pertama yang muncul di alam material. Tentang hal ini, dikatakan, “Yo brahmanam vidadhati purvam yo vai vedams ca gapayati sma krsnah,” Veda pertama kali disabdakan oleh Tuhan Krishna kepada Brahma sebelum alam material tercipta (Gopala-Tapani-Upanisad 1.24). Tene brahma hrda ya adi kavaye, Veda disabdakan oleh Beliau (Tuhan Krishna) kepada Brahma (melalui suara serulingNya) yang masuk ke hatinya, sehingga ia (Brahma) dikenal sebagai sang Adi-kavi, sarjana Veda pertama (SB. 1.1.1).

Tanya     : Bagaimana prosesnya sehingga pengetahuan Veda bisa tersebar sampai ke masyarakat manusia?

Jawab    : Setelah memperoleh pengetahuan Veda dari Tuhan Krishna, lalu Brahma mengajarkan Veda ini kepada putra-putranya yaitu para Rishi. Selanjutnya para Rishi itu mengajarkan Veda kepada murid-murid (para sisya) nya, dan seterusnya, dan seterusnya. Demikianlah Veda dimengerti secara parampara, proses menurun (deduktif) melalui garis perguruan spiritual (sampradaya) dari para Acarya (guru kerohanian) yang hidup sesuai aturan Veda (perhatikan Bg. 4.2 dan 13.8). Dan melalui garis perguruan spiritual yang amat panjang dari para Acarya itu, akhirnya Veda sampai ke masyarakat manusia di Bumi.

Tanya     : Jadi pengetahuan Veda hanya bisa dimengerti berdasarkan proses deduktif (parampara) melalui garis perguruan (sampradaya) para Acarya yang sah dan jelas, begitu?

Jawab    : Ya, inilah tata-cara belajar Veda. Seperti halnya bila anda ingin tahu tentang listrik, anda harus belajar dari tukang listrik. Bila anda ingin tahu tentang mesin, anda harus belajar dari seorang mekanik. Begitu pula, bila anda sungguh-sungguh ingin mengerti Veda dan menerapkan ajarannya dalam kehidupan sehari-hari, anda harus berguru kepada seorang Acarya (guru kerohanian) yang hidup berdasarkan ajaran Veda dan memiliki garis perguruan (sampradaya) jelas dan sah.

Tanya     : Dapatkah anda mengutipkan sloka-sloka Veda yang menyatakan bahwa Veda harus dipelajari dari orang yang disebut Acarya atau guru kerohanian?

Jawab    : Dalam Bhagavad-gita (4.34) dikatakan, “Pelajarilah kebenaran itu dengan mendekati guru-kerohanian. Pariprasnena sevaya, bertanyalah kepadanya dengan tunduk hati dan layani beliau. Guru yang telah insyaf diri seperti itu bisa mengajarkan pengetahuan (Veda) sejati, sebab dia telah memahami kebenaran.” (Bg. 4.34). Dalam Svetasvatara-Upanisad (6.23) dikatakan, “Yasya deve para bhaktir yatha deve tatha gurau tasyaite katitha hy arthah prakasante mahatmanah, hanya kepada orang yang memiliki semangat pengabdian (bhakti) penuh kepada Tuhan dan guru-kerohanian, pengetahuan Veda secara otomatis bisa dipahami.” Dan dalam Mundaka-Upanisad (1.2.12) dikatakan, “Tad vijnanarthamsa gurun evabhigacchet samit panih srotiyam brahma nistham, jika ingin mempelajari pengetahuan spiritual tentang pengabdian (bhakti) kepada Tuhan, seseorang hendaklah mendekati guru-kerohanian yang insyaf diri dan ahli Veda dan mantap dalam pengabdian (bhakti) kepada Tuhan.”

Tanya     : Anda berkata (pada dialog no.4 dan 6) bahwa sang guru kerohanian (Acarya) hidup sesuai aturan Veda, insyaf diri, penguasa (ahli) pengetahuan Veda dan mantap dalam pengabdian (bhakti) kepada Tuhan. Bagaimana cara saya agar tahu bahwa seseorang itu adalah memang guru kerohanian yang berkualifikasi demikian?

Jawab    : Ada satu pedoman cross-check untuk mengetahui apakah seseorang itu guru-kerohanian (Acarya) sejati atau tidak yaitu guru-sadhu-sastra. Artinya, apa yang dilakukan/ diperbuat/ dikatakan/ diajarkan oleh sang guru kerohanian harus tercantum dalam sastra (Veda) yakni dibenarkan oleh sloka-slokanya, dan bersesuaian dengan apa yang telah diajarkan/ dilakukan oleh para sadhu (orang suci) yang hidup sebelumnya di masa lalu. Tentu saja anda hanya bisa menerapkan pedoman cross-check ini dengan benar kalau: a.) Anda sungguh serius ingin maju dalam jalan spiritual keinsyafan diri. b.) Anda bersikap rendah dan tunduk hati. c.) Anda telah membaca dan berusaha mengerti isi pustaka suci Veda. d.) Anda sering bergaul dengan orang-orang yang menekuni jalan kehidupan spiritual bhakti. Dan, e.) Anda berpola hidup suci.

Tanya     : Dari kelima persyaratan yang anda sebutkan ini, pada umumnya berpola hidup suci dengan menuruti berbagai pantangan (vrata) sulit dituruti oleh kebanyakan orang. Dapatkah anda menjelaskan secara ringkas tentang pola hidup suci ini?

Jawab    : Pertama, seseorang dikatakan berpola hidup suci jika dia hidup berdasarkan prinsip-prinsip dharma yaitu: a.) kesucian diri (sacucam), b.) cinta kasih (daya) kepada semua makhluk, c.) kejujuran/ kebenaran (satyam), dan d.) hidup sederhana (tapasa) – SB 1.2.24. Singkatnya, berpola hidup suci berarti berpola hidup sattvik.

Tanya     : Mengapa pola hidup suci ini amat ditekankan dalam mempelajari dan mengamalkan ajaran Veda?

Jawab    : Sebab, tanpa hidup suci, anda tidak akan bisa mengerti hal-hal spiritual yaitu diri anda sendiri sebagai jiva rohani-abadi dan Tuhan beserta lila (kegiatan rohani) Nya dan segala hal lain yang menyangkut diri Beliau. Tuhan Krishna selamanya berada pada tingkat spiritual. Karena itu, tanpa hidup suci anda tidak akan bisa mengerti Tuhan dan mencapai Beliau pada saat ajal. Hanya dengan berpola hidup suci, anda bisa insyaf diri dan mengerti Tuhan. Hanya orang yang hidup suci yaitu bebas dari segala macam dosa bisa mengerti Tuhan Krishna. Beliau berkata, “Orang yang mengetahui Aku adalah Tuhan Penguasa Seluruh Jagad, Yang Tidak Terlahirkan dan Tanpa Awal, dia yagn tidak dikhayalkan (oleh hal-hal duniawi) sarva-papaih pramucyate, bebas dari segala macam reaksi dosa.” (Bg. 10.3)

Tanya     : Dikatakan bahwa pengetahuan Veda hanya bisa dimengerti melalui proses sabda-pramana yaitu mendengarkan saja uraian/ penjelasan Veda dan mempercayainya tanpa argumen. Dapatkah anda menjelaskan tentang hal ini?

Jawab    : Dikatakan demikian karena pengetahuan Veda pertama kali disabdakan/ diwejangkan/ diwahyukan oleh Tuhan Krishna kepada Dewa Brahma melalui suara serulingNya (lihat dialog no. 3). Karena itu, Veda disebut sruti, pengetahuan yang didapat dari cara mendengar. Brahma hanya berusaha mengingat dan mempercayai sabda Tuhan itu, sehingga dia mampu menciptakan alam semesta material ini beserta segala makhluk penghuninya. Karena itu, Veda disebut smrti, pengetahuan yang diingat dari cara mendengar. Proses mengerti Veda seperti ini yaitu mendengar (sruti), mengingat (smrti) dan terus mempraktekkannya dengan penuh keyakinan (sraddha) tetap berlaku sampai pada zaman Kali yang disebut abad modern sekarang. Begitulah, mendengar ajaran Veda dari guru-kerohanian (acarya) lalu mengingatnya di dalam hati dan terus mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari dengan penuh sraddha (kepercayaan/ keyakinan) adalah cara yang benar untuk menjadi orang berpengetahuan. Sebab dikatakan, “Sraddhavallabhate jnanam, dengan mempercayai ajaran Veda, seseorang jadi berpengetahuan. Dan, jnanam labdhva paramsantim, dengan berpengetahuan spiritual Veda, seseorang mencapai kedamaian (kebahagiaan) spiritual.” (Bg. 4.39)

Tanya     : Proses deduktif (parampara) secara sabda-pramana seperti yang anda jelaskan dianggap oleh para sarjana duniawi tidak bisa dipercaya. Sebab, kata mereka, proses deduktif ini mengharuskan setiap orang percaya secara membuta, patuh, dan tunduk pada dogma, berpegang pada keyakinan tak berdasar atau khayalan. Komentar anda bagaimana?

Jawab    : Sesungguhnya proses deduktif sabda-pramana ini sungguh sederhana yaitu mendengar dari sumber yang mengetahui seperti yang dilakukan oleh setiap orang dalam kehidupan sehari-hari. Ini bukan dogma, kepercayaan membuta atau khayalan. Misalnya, bila seseorang ingin mengetahui secara pasti dan benar siapa ayahnya, maka ia harus bertanya kepada si ibu. Dan jawaban si ibu harus diterima sebagai kebenaran. Begitu pula, untuk mengetahui hal-hal spiritual yang berada di luar jangkauan persepsi indria-indria jasmani kasar dan terbatas, kita harus mendengar dari Veda melalui guru kerohanian (Acarya). Begitulah, semua penjelasan Veda tentang jiva (roh), Tuhan (God) dan dunia rohani yang semuanya berhakekat spiritual, harus diterima sebagai kebenaran. Sebab, tidak ada cara lain untuk mengetahuinya.

Tanya     : Anda berkata (pada dialog no. 6) dengan mengutip sloka Veda (Bg. 4.34) bahwa guru kerohanian (acarya) harus dihormati dan dilayani dengan sikap rendah dan tunduk hati oleh sang murid (sisya). Orang-orang materialistik dan atheistikk menganggap persyaratan ini mengarah pada kultus individu, pemujaan guru sebagai manusia amat super dan mewajibkan si murid jadi budaknya. Si guru akan bertindak sewenang-wenang kepada muridnya. Ini, kata mereka, adalah persyaratan yang menyesatkan. Betulkah begitu?

Jawab    : Tidak betul. Pertama, guru kerohanian sejati secara amat ketat hidup berdasarkan prinsip-prinsip dharma yang tercantum dalam Veda yaitu: a. kejujuran/ kebenaran (satyam), b. kesucian diri (saucam), c. cinta-kasih (daya) kepada semua makhluk, dan d. hidup sederhana (tapasa). SB. 1.17.24. Kedua, guru kerohanian sejati sepenuhnya terkendali diri dan senantiasa merasakan kebahagiaan spiritual dari melakukan pelayanan bhakti kepada Tuhan Krishna. Karena itu, beliau tidak tertarik pada kesenangan material semu dan sementara (maya-sukha) dunia fana (perhatikan Bg. 2.59 dan 5.22) Dengan kata lain, guru kerohanian selamanya berpuas hati dengan kegiatan spiritual pelayanan bhakti kepada Tuhan Krishna dan tidak berkeinginan melakukan kegiatan lain apapun. Ketiga, guru kerohanian sejati bersifat para duhkha-duhkhi, kasihan melihat semua makhluk menderita di alam fana, khususnya para jiva berjasmani manusia. Dan beliau selalu ingin berbagi kebahagiaan spiritual (brahma-sukha) bersama mereka. Dan ke-4, guru kerohanian sejati mengajarkan si murid (sisya) apa yang beliau lakukan sendiri. Karena itu, guru kerohanian disebut acarya, dia yang mengajar melalui contoh perbuatan tauladan dirinya. Oleh karena guru kerohanian sejati berkehidupan demikian, maka pasti beliau tidak ingin dipuja sebagai manusia hebat. Dan beliau pasti tidak memperlakukan si murid secara sewenang-wenang sebagai budaknya. Melainkan, beliau memperlakukan si murid dengan penuh kasih dan menginginkan dia hidup bahagia seperti dirinya dalam kesibukan pelayanan bhakti kepada Tuhan Krishna sebagai balasan dari pelayanan si murid yang rendah dan tunduk hati kepada dirinya.

Tanya     : Sekarang saya ingin mengetahui tentang pustaka suci Veda. Kitab-kitab apa saja yang termasuk/ tergolong pustaka suci Veda?

Jawab    : Veda menyatakan sebagai berikut, “Rg yajuh samatharvas ca bharatam pancartrakan mula-ramayanam caiva veda ity eva sabditah puranani ca yaniha vaisnavani vido viduh. Rg, Yajur, Sama, dan Atharva-Veda, Mahabharata, Pancaratra dan juga kitab-kitab Purana dan Vaisnava tergolong pustaka suci Veda.” (Bhavisya-Purana sebagaimana dikuti oleh Madhvacarya dalam ulasannya atas sloka Vedanta-Sutra 2.1.6). Disamping keempat Veda (Rg, Yajur, Sama, dan Atharva-Veda), kitab-kitab Itihasa (Mahabharata dan Ramayana) dan Purana, Veda mencakup pula kitab-kitab Upanisad yang berisi uraian filosofis tentang Tuhan. Ringkasan seluruh Upanisad adalah Vedanta-sutra. Selain itu semua, Veda juga mencakup Vedanga. Vedanga adalah kitab-kitab penuntun mempelajarai Veda dan terdiri dari 6 cabang pengetahuan, yaitu: a. siksa (ilmu mengucapkan mantra-mantra veda), b. vyakarana (ilmu tata-bahasa sanskerta), c. nirukti (kamus veda, d. canda (lagu/ irama/ tembang dalam membaca sloka-sloka veda), d. jyotisha (ilmu astronomi dan kosmologi veda), dan f. kalpa (tata cara melaksanakan ritual atau yajan). Sedangkan Upa-Veda adalah Veda pelengkap seperti: Ayur-Veda (ilmu medis), Dhanur-Veda (ilmu senjata dan perang), Gandharva-Veda (ilmu musik dan tari), dan sebagainya. Dan berbagai kitab Dharma-Sastra (Manu-smrti, Garga-samhita, Brahma-samhita, Niti-sastra, dsb).

Tanya     : Lalu kitab-kitab apa saja yang disebut/ tergolong Veda-sruti dan Veda-smrti?

Jawab    : Ada 3 sumber pengetahuan Veda yang disebut prasthana-traya, yaitu: a. Sruti-prasthana mencakup Catur Veda (Rg, Yajur, Sama, dan Atharva-Veda) dan kitab-kitab Upanisad, b. Smrti-prasthana mencakup Itihasa (Ramayana dan Mahabharata), kitab-kitab purana, Vedanga, serta Upa-Veda, dan c. Nyaya-prasthana yaitu Vedanta-Sutra. Dikatakan bahwa Veda-smrti adalah penjelasan Veda-sruti dan Nyaya. Maksudnya, untuk bisa mengerti Veda-sruti dan Nyaya, seseorang harus ingat uraian Veda-smrti. “Itihasa puranabhyam veda samupabhrmhayet bibhyetalpa srutad vedo mamayam prahisyati, Veda (sruti) hendaklah dipelajari melalui kitab-kitab Itihasa dan Purana. Pustaka suci Veda takut jika ia dipelajari oleh orang bodoh karena ia merasa sakit seperti dipukul-pukul oleh orang bodoh itu.” (Vayu-Purana 1.20) Aturan mempelajari Veda-Sruti berdasarkan Veda-Smrti tercantum pula dalam Mahabharata (1.267) dan bagian-bagian lain pustaka Veda.

Tanya     : Tetapi para sarjana duniawi berwatak materialistik menyatakan bahwa hanya Catur-Veda (Rg, Yajur, Sama, dan Atharva-Veda) tergolong pustaka suci Veda. Mengapa mereka menyatakan begitu?

Jawab    : Sebab mereka mempelajari Veda secara empiris-induktif atau secara material yakni berdasarkan penelitian/ pengamatan di lapangan berupa bukti-bukti fisik yang dapat dilihat mata dan dianalisis secara ilmiah sesuai versi mereka. Begitulah, oleh karena menurut mereka cerita-cerita yang tercantum dalam kitab-kitab Itihasa (Ramayana dan Mahabharata) dan Purana tidak bisa dibuktikan pernah terjadi secara empiris, maka mereka berkata bahwa Itihasa dan Purana adalah buku-buku mitos alias dongeng belaka. Dan kitab-kitab Upanisad yang berisi beraneka-macam uraian filosofis tentang Tuhan, katanya lanjut, adalah kumpulan karya filosofis para rohaniwan purba. Karena itu, kata mereka menyimpulkan, kitab-kitab Itihasa dan Purana bukan bagian dari pustaka Veda. Mereka tidak peduli pada pernyataan Veda, “Itihasa puranah pancamah veda ucyate, kitab-kitab Itihasa dan Purana tergolong Veda ke-5 (Bhagavata-Purana 1.4.20 dan Chandogya-Upanisad 7.1.4). Itihasa puranam ca pancamo veda ucyate, kitab-kitab Itihasa dan Purana disebut Veda ke-5 (Mahabharata-Moksa-Dharma 3.40.11).”

Tanya     : Namun fakta yang saya lihat mayoritas penganut ajaran Veda berpendapat seperti para sarjana duniawi itu yakni mereka menganggap Veda-Smrti (Itihasa dan Purana) adalah kumpulan cerita kiasan (metaphorical story) yang dimaksudkan untuk membimbing manusia agar tidak jadi jahat. Sementara berkeyakinan bahwa ajaran Veda adalah kebenaran, lalu mengapa mereka menganggap uraian kitab-kitab Itihasa dan Purana bukan peristiwa sejarah atau historical event?

Jawab    : Sebab mereka tidak sadar dirinya telah dijangkiti oleh paham materialistik para sarjana duniawi. Sehingga mereka bersikap ambivalent yaitu mereka meyakini kebenaran Veda, tetapi pada saat yang sama mereka mengerti Purana sebagai kumpulan cerita kiasan, cerita yang tidak sungguh terjadi. Itu yang pertama, yang kedua, mereka juga tidak sadar dirinya telah dijangkiti filsafat monistik mayavada atau advaitavada. Menurut para pengikut filsafat ini yaitu orang-orang mayavadi, oleh karena Itihasa dan Purana adalah kumpulan cerita kiasan (allegorical story), maka ia harus ditafsirkan agar orang-orang mengerti maksudnya. Begitulah, menurut mereka medan perang Kuruksetra adalah lambang badan jasmani. Pihak Pandava adalah lambang kebajikan dan pihak Kaurava adalah lambang kejahatan. Sebab, katanya, di dalam badan jasmani selalu terjadi pertentangan antara kehendak berbuat bajik dan kehendak berbuat jahat, dan sebagainya.

Tanya     : Mereka menganggap kitab-kitab Itihasa dan Purana adalah kumpulan cerita kiasan, cerita fiktif yang tidak sungguh terjadi. Tetapi kitab-kitab Veda-Smrti ini penuh dengan uraian tentang lila (kegiatan rohani) Tuhan Krishna beserta para Avatara-Nya dalam yuga yang berlain-lainan di berbagai tempat (loka/ planet) yang berbeda-beda di alam semesta material. Karena itu, jika Itihasa dan Purana adalah kumpulan cerita fiktif yang tidak sungguh-sungguh terjadi maka itu berarti lila Tuhan Krishna tidak sungguh terjadi, Beliau tidak betul turun ke dunia fana dan mewejangkan Bhagavad-gita dan Bhagavad-gita adalah ajaran khayal, produk angan-angan pikiran sang Penuli Veda, Rsi Dvaipayana-Vyasa. Bukankah begitu kesimpulannya?

Jawab    : Ya, memang begitulah kesimpulannya. Menganggap Itihasa (Ramayana dan Mahabharata) dan semua Purana adalah kumpulan cerita kiasan atau fiktif, itu berarti bahwa semua Veda-Smrti ini adalah produk angan-angan pikiran sang Penulis Veda yaitu Rsi Vyasa. Karena itu, uraian Veda-Smrti tentang turun ke dunia fana dan melakukan beraneka macam kegiatan rohani (lila) di masa lalu dalam yuga yang beralin-lainan di berbagai tempat (loka) di alam semesta material untuk menegakkan dharma dan menghancurkan adharma, harus dianggap omong kosong. Begitu pula, janji Tuhan Krishna, “yada yada hi dharmasya glanir bhavati bharata abhyutthanam adharmasya tadatmanam srjamyaham, kapanpun dan dimanapun terjadi kemerosotan praktik agama (dharma), O keturunan Bharata, dan praktik non-agama (adharma) merajalela, pada saat itu Aku turun ke dunia fana (Bg. 4.7)” juga harus dianggap omong kosong. Singkatnya, menganggap Veda-Smrti (Itihasa dan Purana) sebagai kumpulan cerita kiasan atau fiktif sama saja dengan menganggapnya sebagai ajaran palsu, bohong, atau omong kosong.

Oleh Ngurah Heka Wikana (Dengan sedikit perubahan)

Translate »