Untuk Kawan kawan generasi muda Hindu yang mungkin sedang berjuang mempertahankan kehinduannya ditengah berbagai tantangan…. saya mohon ijin berbagi cerita pribadi yang memang sangat subyektif, tetapi barangkali bisa menjadi inspirasi untuk semakin meyakini jalan Sanatana Dharma. Ini adalah cerita pengalaman pribadi sebagai mantan penjual bakso, yang bisa 2 kali ke India, kedua-duanya dibiayai oleh orang yang semestinya menurut aturan dan etika, tidak boleh melakukan hal itu….

Mantan Tukang Bakso Mandi di Acara Maha Kumbha Mela…..

Beberapa teman yang tahu aku baru saja pulang dari perjalanan tirtha yatra ke India, bertanya dengan nada enteng. ”Apa sih yang kamu dapat sepulang dari tirtha yatra ke India? Apa efeknya setelah mandi di sungai Gangga saat perayaan Maha Kumbha Mela begitu? Trus, aku harus manggil kamu dengan gelar apa nih?” tanyanya dengan nada agak mencibir.

Kalau boleh jujur, aku terhenyak dan tidak menyangka akan ditanya yang seperti itu. Kebanyakan kawan lainnya hanya iseng bertanya, “Mana oleh-oleh dari India nya?” Itupun hanya pertanyaan iseng yang lumrah, sekedar basa-basi. Diam-diam aku merenung, bertanya pada diri sendiri. Iya, ya…aku ‘dapat apa’ setelah melaksanakan tirtha yatra ke India selama sepuluh hari di bulan Februari yang lalu? Adakah manfaat yang nyata yang kurasakan, setelah bersama sekitar 70-an juta manusia dari berbagai belahan dunia, mengikuti mandi suci di Triveni Sangam, tempat bertemunya tiga sungai suci Gangga, Yamuna, dan Saraswati, tempat yang sangat sakral di hati umat Hindu itu?

Apa yang aku dapat, secara material dan spiritual, jauh-jauh mandi ke sana? Baiklah, mungkin ada baiknya aku menelusuri kembali kesan dan perasaanku, saat tanpa di duga-duga dapat menjadi saksi mata acara Maha Kumbha Mela 2013 yang oleh media massa dunia diakui sebagai “The World’s Biggest Religious Gathering”, perayaan keagaaman terbesar di dunia yang menghebohkan itu.

Bagiku, kunjungan ke India tahun 2013 ini adalah kunjungan yang kedua kalinya. Kunjungan pertamaku terjadi tahun 2002, saat itu tujuan utamaku adalah melakukan penelitian untuk penyelesaian tesis magister kami, tesisku dan tesis Bhakti Raghava Swami, guru spiritual sekaligus teman sekelasku, di Program Magister Pendidikan Luar Sekolah, Universitas Negeri Yogyakarta.

Bhakti Raghava Swami, yang lulusan dari sekolah seminari Katholik di Ottawa, Canada, sebenarnya sejak kecil bercita-cita menjadi seorang pastor. Namun perjumpaannya dengan kitab Bhagavad-gita melalui orang-orang Hare Krishna di tahun 1970-an, telah merubah garis hidupnya, dari seorang pastor Katolik yang dicita-citakannya – menjadi seorang bhiksuka Hindu (sannyasin, guru spiritual Hindu) yang dedikasinya terhadap ajaran abadi Sanatana Dharma diakui oleh umat Hindu India dan dunia yang mengenal sepak terjangnya.  Pada tahun 1984, Bhakti Raghava Swami harus rela diamputasi seluruh kaki kanannya, yang hancur saat sebuah granat diledakkan oleh penyerang muslim di kuil Hindu di kota Mayapur, tempat ia mengabdikan dirinya kepada Sri Krishna. Sejak saat itu, dengan hanya bermodal kaki kiri dan berjalan dengan bantuan tongkat, beliau berkeliling India dan dunia, dan menyebarluaskan ajaran rohani Bhagavad-gita.

Setelah tinggal selama 16 tahun di India dan mendalami sistem pendidikan tradisional Hindu bernama gurukula, sejak tahun 1995 Bhakti Raghava Swami tertarik untuk mempelajari kebudayaan Indonesia, yang masih sangat kental dipengaruhi oleh kebudayaan Weda. Termasuk salah satunya adalah adanya kemiripan antara sistem pendidikan tradisional Islam pondok pesantren dengan sistem pendidikan tradisional Hindu bernama gurukula  di India. Karenanya, saat kuliah di Jurusan Pendidikan Luar Sekolah Program Pascasarjana Universitas Yogyakarta di tahun 2002, Bhakti Raghava Swami tertarik untuk melakukan penelitian membandingkan sistem pendidikan pondok pesantren di Indonesia, dengan gurukula Hindu di India, sebagai tema penelitian tesis S2 nya.

Mengingat kondisi fisik beliau yang tidak sempurna lagi, aku mendapat kesempatan untuk melakukan pelayanan kepada Bhakti Raghava Swami, dengan cara kuliah bersama-sama, mengambil jurusan yang sama, tinggal bersama, dan seluruh biaya kuliah dan biaya hidupku ditanggung beliau. Aku berusaha mengabdikan diri, dalam situasi yang serba salah – disatu sisi beliau adalah guru spiritualku, yang harus kuhormati dan kulayani sepenuh jiwa, di sisi yang lain beliau adalah teman kuliah, yang mau tidak mau harus belajar bersama, diskusi dan berdebat berdua, dalam suasana akademik yang menuntut hilangnya  hubungan guru murid dalam artian yang sesungguhnya. Setiap hari di rumah aku harus menjelaskan ulang pelajaran di kampus, karena di kampus dosen-dosen kami mengajar dengan menggunakan bahasa Indonesia, yang tentu agak susah bagi beliau untuk memahami pelajaran  secara utuh.

Untuk keperluan penelitian tesis itulah, akhirnya aku ditugasi melakukan pengumpulan data seorang diri di tiga gurukula di India, dengan seluruh biaya ditanggung oleh Bhakti Raghava Swami. Jadilah, selama bulan Juli hingga September 2002, aku menjelajahi India Utara, di Mathura, di Hyderabad India tengah, hingga Karnataka di India Selatan. Aku juga harus membantu berkelana di tiga pesantren di Indonesia, yang memaksaku harus banyak belajar tentang ajaran Islam, agar bisa nyambung saat melakukan observasi dan wawancara dengan ustad, kiai, dan santri pondok pesantren.

Pada kunjungan tahun 2002 itu, saat tiba di Vrindavan, Distrik Mathura, India Utara yang diyakini sebagai tempat kelahiran Sri Krishna, aku berkesempatan nangkil di Kuil Krishna Balarama yang sangat terkenal itu. Saat itu, suasana haru menyelimuti benakku. Air mataku mengalir tak terbendung, saat aku sujud di depan murti (arca) A.C. Bhaktivedanta Swami Prabhupada, pendiri organisasi ISCKON (International Society for Krishna Consciousness) pada tahun 1965. Srila Prabhupada, demikian beliau lebih populer disapa dikalangan pengikutnya, mendirikan perkumpulan masyarakat Kesadaran Krishna Seluruh Dunia itu di New York, Amerika Serikat pada saat usia beliau hampir 70 tahun. Berkat jasa Srila Prabhupada, ilmu pengetahuan bhakti yoga yang dulu hanya dikenal di India, kini dikenal dan ditekuni oleh orang-orang dari berbagai belahan dunia. Meski sesungguhnya ilmu bhakti yoga itu sudah ada dan dipraktekkan sejak ribuan tahun yang lalu di India, masyarakat umumnya menganggap itu sebagai ‘aliran baru’ dalam Hindu, dan  lebih mengenalnya sebagai Gerakan Hare Krishna (Hare Krishna Movement).

Air mataku mengalir deras, tatkala menyadari bahwa berkat jasa Srila Prabhupada lah, kini aku bisa mengenal ajaran Hindu secara mendalam; aku bisa mengenyam pendidikan S2, dan tanpa di duga-duga detik ini mendapat karunia mengunjungi India, tempat kelahiran agama yang ‘memaksaku’ mengisikan kata HINDU di kolom Kartu Tanda Penduduk (KTP) ku. Sebuah identitas yang agak membingungkan bagi kebanyakan orang, yang merasa heran ada orang Jawa seperti aku yang beragama Hindu. Mereka mengira hanya orang Bali yang beragama Hindu, rupanya mereka lupa bahwa cikal bakal negara Indonesia ini adalah wilayah kerajaan Majapahit di Jawa Timur, yang notabene masyarakatnya beragama Hindu. Mestinya mereka tidak heran, kalau hingga kini masih ada orang Jawa yang masih memeluk agama Hindu, agama leluhur mereka. Tapi begitulah, masyarakat Indonesia memang dikenal sering mengalami amnesia sejarah nenek moyangnya.

Bagaimana aku tidak menangis, saat aku menyadari bahwa aku hanyalah anak transmigran miskin di Desa Pangkoh, di pedalaman belantara Kalimantan Tengah? Masih lekat dalam ingatanku, pertemuanku dengan ajaran Bhakti Yoga yang lebih populer dikenal dengan ajaran Hare Krishna oleh masyarakat dunia itu, telah merubah ‘rute perjalanan’ hidupku. ‘Perjumpaanku’ dengan Sri Krishna lewat anggota perkumpulan Hare Krishna terjadi saat aku masih kuliah S1 Pendidikan Fisika di Universitas Palangka Raya, tahun 1996. Saat itu, aku adalah seorang mahasiswa miskin, yang untuk sekedar bisa kuliah, aku harus ‘nyambi’ menjadi pedagang bakso keliling, di sela-sela waktu kuliahku. Bahkan selama sekolah SMA, aku harus mengayuh sepeda ontel sejauh 24 km pulang pergi sambil menjadi buruh tani…Hanya tekad dan semangat yang kupunya saat itu….Yah, dari hasil berjualan bakso yang kubuat sendiri dan kujajakan dengan berkeliling mendorong gerobak itulah aku bisa membiayai kuliahku, dan bertahan hidup sebagai mahasiswa.

Aku tidak bisa berharap biaya kuliah dari orang tuaku yang selalu mengalami gagal panen. Malangnya, keluarga kami termasuk kelompok transmigran Jawa yang tidak sukses di wilayah Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah. Ada ratusan temanku, anak-anak transmigran yang harus rela meninggalkan bangku sekolah, lalu terpaksa kerja sebagai buruh bangunan, untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya. Karena nekad kuliah, di semester pertama kuliahku, aku bahkan kesulitan untuk membeli kertas untuk menyusun laporan atau membuat makalah. Apalagi untuk bisa beli baju kuliah. Melihat aku kuliah dengan baju yang tak pernah ganti, ada seorang teman kuliah yang rupanya tidak tahan dengan bau bajuku, lalu memberiku sepotong baju kuliah yang masih baru. Agar aku tidak tersinggung, dia beralasan barusan beli baju untuk suaminya, tapi rupanya kekecilan dan kayaknya cocok kalau aku yang memakainya buat kuliah….

Justru saat berjualan bakso keliling itulah, aku dipertemukan dengan ajaran Hare Krishna (Bhakti Yoga), yang bagi sebagian besar umat Hindu sering disebut ‘aliran sesat’. Dianggap sebagai kelompok ‘sesat’, karena memang sepintas ajaran dan praktek ritualnya berbeda jauh dengan ajaran Hindu yang berkembang di Bali saat ini. Tapi bagiku saat itu, ajaran Hare Krishna adalah sebuah jawaban dan dewa penyelamatku. Sebagai remaja Hindu Jawa yang lahir di Blitar, besar di Kalimantan dan sejak SMP tidak mendapat pelajaran agama Hindu di sekolah dan di rumah, saat itu aku selalu merasa minder dan sering berpikir untuk pindah ke Islam. Pindah agama, meninggalkan Hindu saat masuk SMA atau kuliah ke kota, adalah hal lumrah yang dilakukan oleh teman-teman sebayaku yang beragama Hindu, yang saat itu jumlahnya sekitar 70-an orang. Sekarang ini, dari jumlah itu, rasanya tidak lebih dari 5 orang teman sebayaku yang saat ini masih beragama Hindu.

Setelah menamatkan S1 dengan susah payah pada bulan Desember 2000, aku diajak kuliah S2 di Yogyakarta oleh Bhakti Raghava Swami, yang pada akhirnya menugasiku melakukan penelitian ke India itu. Dari seorang penjual bakso, tiba tiba bisa kuliah S2 dan melakukan penelitian ke India, adalah sebuah perjalanan hidup yang tak terbayangkan sebelumnya bagiku. Berkah yang paling kurasakan dari perjalanan itu adalah aku bisa menulis buku HINDU DI BALIK TUDUHAN DAN PRASANGKA, yang ternyata mendapat sambutan sangat baik dari umat Hindu di Indonesia. Saat ini buku itu sudah terjual lebih dari 12 ribu eksemplar, dan sepertinya masih akan dicetak ulang lagi, karena masih banyak yang mencarinya.

Perjalananku ke India tahun 2013 ini juga hal yang tak terduga sebelumnya. Sebagai seorang PNS dengan gaji yang sudah setengahnya di potong untuk membayar pinjaman di Bank, pergi ke India dengan biaya sendiri adalah sebuah mimpi yang sulit terwujud. Tapi rupanya Tuhan berkehendak lain. Tiba-tiba saja

Bersambung…

Dikutip dari Tulisan Suryanto, M.Pd

Translate »