Berbicara masalah rejeki, kita harus menempuhnya dengan dua jalur yaitu jalur Agama sebagai jiwanya dan jalur ilmu ekonomi sebagai badannya. Bila kita mengais rejeki hanya melalui jalur berupacara saja tanpa diimbangi dengan jalur ilmu ekonominya maka hasilnya adalah kebangkrutan. Umat Hindu di Bali kebanyakan terbuai oleh kegiatan upacara, karena pada waktu upacara sedang berlangsung memang sangat menyenangkan yaitu ada berbagai jenis makanan dan minuman yang enak-enak, pertunjukan, gamelan, bau dupa dan kembang yang harum, pemandangan yang indah. Pada waktu itu perasaan kita sepertinya akan selamanya enak, tentram dan damai. Namun di hari esok dan seterusnya sepertinya tidak akan ada masalah apapun yang akan menghadang. Karena kita terus terbuai, terlenalah jadinya sehingga tidak sempat untuk belajar dan memikirkan cara hidup yang lebih bijaksana. Dengan demikian semakin lama kita jadinya semakin kalah bersaing. Di lain pihak para pendatang dari luar Bali termasuk dari mancanegara berduyun duyun datang ke Bali merebut sumber sumber rezeki yang bertebaran di Bali, apakah di jalanan, di pasar, di kantor, di Hotel, di pantai di gunung dll. Mereka ke Bali dengan keterampilan, keahlian, teknologi dan modal besar. Mereka menyediakan segala sesuatu seperti bahan bahan untuk upacara, berbagai makanan/minuman instan, pakaian, alat kecantikan, HP, radio, TV, kulkas, sepeda motor,mobil dll lalu kitalah tukang belinya. Karena kita sudah terlanjur menjadi orang konsumtif, uang sudah habis, maka untuk bisa lagi membeli ini dan itu adalah dengan menjual tanah warisan. Seolah olah uang hasil penjualan tanah itu tidak akan habis dibelanjakan dan bisa dipakai jaminan untuk seumur hidup, itulah makanya dengan mudah menjual tanah. Pada awalnya hanya 1 Are yang dijual, tetapi berselang beberapa bulan lagi 2 Are, 5 Are, begitu seterusnya sampai akhirnya habis terjual. Setelah habis terjual barulah menyesal, sebab orang perantauan yang membeli tanah itu bisa menikmati hidup yang enak di atas tanah tersebut sedangkan mantan pemiliknya hidupnya semakin berat. Mengapa semakin berat? karena hidup konsumtif. Mengapa konsumtif? Karena tidak punya keterampilan di bidang ekonomi dan hanya tahu di bidang upacara yang bersifat hura-hura saja. Orang yang dengan gegabah menjual tanah warisan adalah orang tidak tahu filsafat atau tidak percaya dengan filsafat Hindu. Ibu Pertiwi mengutuk orang yang menjual tanah warisan karena mereka pada waktu lahir tidak membawa tanah ke dunia ini. Barang siapa yang menjual tanah warisan dikutuk agar hidupnya berat seperti hewan beban dan akhirnya menjadi debu” – Sebelum menyangkal isi kutukan ini sebaiknya amati dulu nasib orang-orang yang menjual tanah warisan. Mengenai ukuran baik buruknya anak ada 3 kriterianya yaitu; Anak yang baik adalah apabila anak itu diberi warisan maka warisan itu dikelola dengan baik dan hati-hati sehingga menjadi bertambah banyak, Anak biasa yaitu mereka yang diberi warisan tidak bisa mengelola untuk menjadi lebih banyak sehingga tetap saja jumlahnya seperti semula, dan Anak jahat adalah anak yang diberi warisan lalu dihabiskan untuk bersenang-senang. Anak seperti inilah kena kutuk sehingga hidupnya menjadi payah seperti nasib hewan beban yang akhirnya menjadi debu. Karena itu jangan sekali-kali menjual tanah warisan jika tidak mau hidup berat seperti hewan beban. Baik-baiklah mengelola tanah itu jika ingin diberkati oleh Ibu Pertiwi agar hidup berkecukupan, tenteram dan damai. Orang-orang yang lahir di Pulau Dewata (Bali) adalah orang-orang yang istimewa karena karma baiknya pada kehidupannya yang dulu sehingga diberi hadiah oleh Sanghyang Widhi Wasa lahir di Bali. Setelah kita diberi tempat lahir yang istimewa jika disalahgunakan untuk menuruti hawa nafsu, maka pada kehidupan berikutnya tidak akan lahir lagi di Bali, mungkin saja di Timor Letse, di Gurun di Afrika yang tandus atau Timur Tengah yang penuh dengan peperangan mengerikan. Kalau mengaku beragama, taatilah perintah Agama seutuhnya, jangan setengah-setengah. Cerita ini sulit dimengerti bila kita melaksanakan Agama setengah-setengah yaitu hanya berupacara melulu dan mengabaikan praktek kerohanian (spiritual).

Pada waktu penulis memulai belajar memperbaiki nasib di Denpasar pada tahun 1973an yang hanya bermodalkan kemauan untuk belajar menempuh hidup yang lebih baik. Tidak ada modal uang karena saking miskinnya. Kemudian pada tahun 1986 ikut belajar bersama Pak Made Tekor, Ketut Kampreng, Ketut Dangin dan Ketut Tatit. Penulis bersama Pak Made Tekor dan Ketut Tatit adalah orang yatim yang amat miskin. Sedangkan Ketut Kampreng dan Ketut Dangin adalah orang yatim piatu yang juga amat miskin. Kami berlima dengan tekun bekerja (maburuh) sambil belajar keterampilan maupun agama. Setelah sama-sama mendapat pekerjaan maka Ketut Tatit tidak ikut belajar agama karena dia terlalu sibuk mengerjakan usahanya siang malam, tetapi penulis beserta tiga orang yang lainnya terus belajar agama sampai sekarang. Ketut Tatit memang ulet bekerja, cerdas dan pemberani sehingga pendapatannya cukup tinggi, tetapi karena mengabaikan filsafat agama maka perputaran ekonominya menjadi pak-pok (gede ombak gede angin), besar dapat besar pula pengeluarannya sehingga sampai sekarang belum punya rumah di Denpasar. Sedangkan penulis bersama tiga teman yang lainnya bersyukur atas kemurahan Sanghyang Widhi Wasa semuanya dikaruniai rumah, perusahaan, kesejahteraan, ketenteraman dan kedamaian. Bila diumpamakan seperti burung terbang, bahwa Ketut Tatit terbang dengan satu sayap yaitu mengandalkan gerakan ekonomi saja tanpa didukung oleh praktek spiritual. Sedangkan penulis bersama ketiga kawan yang lain terbang dengan 2 sayap yaitu gerakan ekonomi dan juga praktek spiritual. Sehingga gerakannya berbeda dan hasilnya ternyata juga berbeda. Itulah sebabnya penulis menyarankan bahwa untuk mencapai masa depan yang berkecukupan sandang, pangan dan papan, sebaiknya ditempuh dengan dua sayap yaitu dengan ilmu ekonomi dan ilmu spiritual. Guru Spiritual mengatakan bahwa ilmu spiritual harus dipelajari, bila tidak mempelajari ilmu spiritual maka pada waktu meninggal dunia di kemudian hari roh kita akan bingung di alam roh. Ke sana ke mari roh itu terbang mencari tempat yang amum, tetapi tidak pernah menemukan tempat yang aman. Penulis pernah menonton film ilustrasi tentang perjalanan roh. Memang amat berbeda perjalanan roh yang sudah terlatih tentang spiritual dengan roh yang tidak pernah berlatih karena dulunya hanya mengandalkan upacara saja. Roh yang sudah terlatih perjalananannya amat lancar (amanggih dalan apadang) melesat naik ke angkasa rohani menelusuri sinar yang terang benderang. Untuk dapat mengerti tentang perjalanan antara roh yang terlatih dengan yang tidak terlatih dalam spiritual dapat digambarkan sebagai cerita seorang Profesor Doktor yang akan menyeberang ke pulau Sukino. Pak Profesor menyewa sampan yang dikemudikan oleh seorang nelayan yang buta huruf, tetapi nelayan tersebut mahir berenang. Dalam pelayaran berdua situasinya amat sepi. Untuk mengisi waktu luang maka sang Profesor mulai bertanya kepada Pak nelayan. “Pak nelayan, sudah jam berapa?” “Tidak tahu Prof. karena saya tidak punya jam” jawab Pak nelayan tersebut. “Wah rugi dong hidupmu tidak tahu jam” kata Profesor. Berselang beberapa menit lagi Pak Profesor bertanya: “Pak Nelayan tahu? bahwa menurut berita di surat kabar terjadi gempa yang hebat di Negeri Anu?” “Saya tidak tahu karena saya tidak bisa baca surat kabar karena saya buta hurup” jawab Pak Nelayan. “Rugi dong hidupmu tidak tahu baca surat kabar” kata Pak Profesor. Setelah mencapai setengah pelayaran Pak Profesor bertanya lagi: “Pernahkah Pak Nelayan menginap di Hotel Berbintang yang mewah?” *Tidak Prof. karena saya tidak punya uang” jawab Pak Nelayan. “Rugi dong hidupmu tidak pernah tidur di Hotel yang mewah” kata Pak Profesor. Kemudian tiba-tiba datang gelombang besar dan angin kencang disertai hujan lebat. Sampannya terombang-ambing, lalu Pak Nelayan bertanya kepada Pak Profesor: “Prof, sampan kita akan tenggelam, apakah Prof bisa berenang?” “Tidak” jawab Pak Profesor. “Rugi dong Prof. hidup tidak bisa berenang. Dalam situasi seperti ini satu-satunya keterampilan yang amat berguna untuk menyelamatkan diri adalah keterampilan berenang. Kekayaan, pangkat, kekuasaan, titel kesarjanaan, keahlian duniawi lainnya tidak ada gunanya di sini. Sampan kita sudah pecah dan kita harus berenang sekarang”. Demikianlah kata-kata terakhir pak nelayan dan lalu dia berenang ke pulau Sukino. Sedangkan Pak Profesor megap-megap digulung gelombang besar dan akhirnya tewas tenggelam. Begitulah nasib sang roh di alam roh, yang tekun berlatih spiritual akan selamat seperti Pak Nelayan, sedangkan yang mengabaikan latihan spiritual akan mengalami nasib seperti Pak Profesor.

Bagi orang yang meditasinya belum tembus akan menganggap cerita ini dongeng untuk anak Balita. Tetapi bagi yang sudah praktek bermeditasi secara benar akan salut dengan cerita ini. Percaya atau tidak adalah urusan masing-masing. Sanghyang Widhi Wasa sebenarnya amat polos dan mau menuruti permintaan orang orang yang bakti bila yang diminta adalah yang wajar. Hal ini dapat dimengerti melalui cerita mengenai seorang petani yang lugu. Sekali tempo petani itu mendengarkan dharma wecana tentang kepolosan Sanghyang Widhi Wasa dalam bentuk Sri Wisnu yang wama kulitnya biru kehitaman seperti awan pekat mau turun hujan, rambutnya indah, pada dahinya ada tilaka. Petani itu sangat rindu kepada Sri Wisnu dan bercita-cita agar dia bisa mati dengan tenang tanpa menderita sakit di masa tuanya. Mulailah petani itu melakukan pemujaan di gubuknya di sawah dengan mempersembahkan nasinya diiringi dengan pelantunan nama-nama suci Sri Wisnu. Tetapi Sri Wisnu tidak datang juga. Besoknya lagi dia lakukan seperti itu, juga tidak ada yang datang. Begitu dia lakukan selama 11 hari sehingga tubuhnya menjadi lemah karena tidak makan. Pada hari ke-11 datanglah Sri Wisnu berujud Pendeta dan bersabda kepada petani itu tersebut: “Akulah Wisnu yang kamu puja”. Wah bukan main senang hatinya petani itu lalu mohon agar Sri Wisnu dalam wujud Pendeta berkenan tinggal digubuknya karena petani itu ingin memberitahu masyarakat bahwa Sri Wisnu berkenan hadir dan ada digubuknya. Diapun bergegas ke desa memberi tahu masyarakat bahwa ada Sri Wisnu ada di gubuknya dalam wujud Pendeta. Dengan demikian beramai-ramailah orang datang kegubuknya ingin melihat Sri Wisnu. Setelah orang banyak mengerumuni gubuknya, tidak seorang pun yang bisa melihat Sri Wisnu padahal Beliau masih ada disitu dalam wujud Pendeta. Tetapi uniknya si petani masih melihatnya. Dengan demikian petani itu dikatakan menipu, masyarakat pun marah dan hampir mengeroyok petani itu. Sang petani pun ikut marah merasa dipermainkan oleh Sang Pendeta lalu dia menampar pipinya Sang Pendeta (Wisnu), seketika itu pula sang Pendeta lenyap berubah bentuk menjadi Sri Wisnu yang sebenarnya dan bisa dilihat oleh masyarakat. Barulah masyarakat tercengang terkagum-kagum melihat penampakan Sri Wisnu yang anggun. Kemudian ada kereta emas turun dari langit, Sri Wisnu pun naik ke atas kereta dan roh petani diajak ikut naik kereta lalu terbang ke angkasa rohani.

Begitulah polosnya Sanghyang Widhi Wasa kepada orang-orang yang melakukan kebaktian dengan tulus. Sanghyang Widhi Wasa ada dimana-mana dimana pun kita memujanya dengan tulus hati, di situ Beliau pasti hadir. Yang terpenting adalah kesungguhan hati kita untuk berbakti, ada atau tidaknya persembahan tidak masalah. Pada waktu masyarakat beramai-ramai mengerumuni gubuk petani untuk melihat Sri Wisnu mengapa tidak seorang pun yang bisa melihatnya kecuali si petani? Hal ini karena hanya si petani yang kebaktiannya murni, sedangkan masyarakat belum murni sehingga belum bisa melihat kehadiran Sri Wisnu. Memang semua orang sudah bakti, tetapi belum semuanya murni, masih banyak yang kebaktiannya dicemari oleh kepura-puraan atau pamer.

Penulis merasa berkewajiban bercerita seperti ini dengan harapan agar kita bisa belajar memurnikan kebaktian. Jangan dikecoh oleh ada dan tidak adanya banten. Jangan pula dibatasi oleh ruang, sebab Sanghyang Widhi juga ada dan bersemayam di setiap atom dan juga di dalam diri kita masing masing. Jika ada bantennya dan bisa datang ke Pura adalah baik sekali, tetapi jika tidak ada banten dan tidak bisa ke Pura jangan batal melakukan kebaktian, sebab yang paling diperhatikan oleh Sanghyang Widhi adalah kemurnian bakti kita. Dengan demikian hidup kita akan sejahtera, tentram dan damai bahkan bisa mencapai moksa seperti cerita petani tadi. Relatif banyak teman kita tidak mengetahui rahasia ini, sehingga mereka kesana-kemari mencari Sanghyang Widhi dengan berbagai jenis banten. Mereka seperti Rase (semacam musang betina) yang bingung berkeliling mencari sumber bau harum, padahal kelenjar minyak pada kemaluannya sendiri yang mengeluarkan bau harum. Ada pula seperti cerita seorang Saudagar membawa dompet penuh berisi benda berharga berangkat ke Pura mau “makemit” di Pura. Kemudian ada seorang pencuri berpura pura menjadi kawan yang setia juga mau “makemit” bersama-sama. Setelah sepi dan semua orang pada tidur maka pencuri itu bangun, kesana-kemari dia mencari dompetnya sang Saudagar tetapi sampai pagi tidak ditemukannya. Esok paginya setelah sang Saudagar bangun maka sang Pencuri berkata kepada Saudagar tersebut: “hati-hati membawa dompet karena di sini ada maling!” Oh ya? dompetku aku taruh di bawah bantalmu sehingga aman. Arti dari cerita ini bahwa dompet itu adalah simbol Tuhan sebagai paramatman yang bersemayam di dalam diri manusia, tetapi manusia mencarinya kesana-kemari dan selamanya tidak bakal ketemu. Bila kita bersungguh-sungguh mau menemukan Sanghyang Widhi, satu-satunya jalan yang paling mudah adalah menelusuri jalan yang telah ada di dalam diri sendiri. Mulailah dengan kontemplasi diri. Mulai dengan menyadari hakikat sang diri sebagai Atman, percikan terkecil dari Yang Kuasa. Dan sadari keberadaan Yang Kuasa yang selalu menyertai sang Atman dalam aspeknya sebagai Paramatman. Berpondasi kepada kesadaran terhadap sang diri inilah seseorang baru bisa benar-benar meniti jalan spiritual dan mencapai tujuan dharma “Jagadhita dan Moksa”. Sama sekali tidak adanya ribut masalah upakara, pusing karena banten, apa lagi mengkambinghitamkan Sanghyang Widhi sebagai alasan menjual harta warisan dan akhirnya hidup melarat seperti banyak kasus yang dialami orang Hindu di Bali.

Semoga anda yang merasa dikritik dengan tulisan ini bisa menilai tulisan ini dengan bijak. Penulis sama sekali tidak punya maksud menjelek-jelekkan orang Bali. Tapi penulis sangat sayang dengan Bali dan Hindu sehingga penulis memberikan gambaran yang penulis ambil dari pengalaman hidup pribadi penulis. Bagi anda yang berkenan, silahkan diterapkan. Tapi bagi yang berkeberatan, silahkan diabaikan.

Finish…

Dikutip dengan perubahan dari Jero Mangku Wayan Suwena

Translate »