Berguru sebagai proses penting pengajaran Veda

Untuk mempelajari seluruh kitab suci Veda tentunya bukanlah perkara mudah. Umur manusia pada Kali Yuga ini sangat terbatas, yaitu rata-rata hanya di bawah 80 tahun. Jatah kehidupan kita itu pun belum dipotong oleh tuntutan kesibukan material yang notabena harus dilakukan lebih dari 16 jam per hari. Lalu, berapa jam dalam hidup kita yang dapat kita manfaatkan secara efektif dalam mempelajari Veda? Yakinkah anda dapat membaca dan mengerti seluruh Veda dengan waktu yang singkat, dengan ingatan yang terbatas dan berbagai macam ketidaksempurnaan itu? Padahal sebagaimana kita ketahui, kitab suci Veda tidaklah disusun oleh satu atau dua buku. Veda tersusun dari banyak bagian dengan jutaan sloka di dalamnya. Jika dikumpulkan dalam satu ruangan 3×4 meter, sepertinya ruangan tersebut juga belum mampu menampung seluruh pustaka suci Veda.

Disamping permasalah tersebut, Veda mengatakan bahwa kehidupan sebagai manusia tidak lah sempurna.  Indriya-indriya jasmani manusia bersifat terbatas, tidak sempurna serta  cendrung mengkhayal, menipu dan berbuat salah. Sehingga untuk mengerti Veda yang bersifat spiritual dan transendental secara lengkap, tidak dapat dilakukan secara pratyaksa (pengamatan dan penglihatan langsung) dan anumana (menyimpulkan berdasar tanda dan bukti-bukti empiris). Veda mengatakan bahwa ia hanya bisa dimengerti secara sempurna melalui sabda-pramana, mendengar dari sumber  yang  benar dari para Acarya (guru kerohanian) melalui proses parampara atau garis perguruan sebagaimana dikatakan dalam Bhagavad Gita 4.2;  evaḿ paramparā-prāptam imaḿ rājarṣayo viduḥ sa kāleneha mahatā yogo naṣṭaḥ parantapa, Ilmu pengetahuan yang paling utama ini diterima dengan cara sedemikian rupa melalui rangkaian garis perguruan guru-guru kerohanian, dan para raja yang suci mengerti ilmu pengetahuan tersebut dengan cara seperti itu.……….”(dan Bhagavad Gita 4.32; “tad viddhi praṇipātena paripraśnena sevayā upadekṣyanti te jñānaḿ jñāninas tattva-darśinaḥ, Cobalah mempelajari kebenaran dengan cara mendekati seorang guru kerohanian. Bertanya kepada beliau dengan tunduk hati dan mengabdikan diri kepada beliau. Orang yang sudah insaf akan dirinya dapat memberikan pengetahuan kepadamu karena mereka sudah melihat kebenaran itu”. Karena itu, Veda disebut sruti, pengetahuan yang diperoleh dari mendengar; dan smrti, pengetahuan yang diingat dari cara mendengar.

Hanya saja banyak orang yang salah mengerti mengenai proses sabda-pramana ini. Mereka mengatakan bahwa proses sabda mengharuskan seseorang percaya secara membuta secara dogmatis sehingga tidak ilmiah karena tidak didukung bukti-bukti empiris. Sebenarnya proses sabda ini sangat sederhana yaitu mendengar dari orang yang terpercaya. Hal ini bukan keyakinan buta dan bukan pula khayalan. Contohnya bila seseorang ingin mengetahui dengan mudah siapa ayahnya, maka dia harus bertanya kepada sang ibu. Tentunya proses bertanya ini akan menjadi jauh lebih mudah dan lebih tidak memakan waktu dibandingkan jika si anak harus mengetahui siapa ayahnya melalui uji DNA.

Seorang Guru yang Bonafide

Setelah kita menyadari pentingnya parampara dan proses sabda pramana dalam memahami Veda, lalu permasalahan berikutnya yang muncul adalah; siapakah guru kerohanian yang dapat dijadikan sumber yang bonafide untuk kita menggantungkan diri belajar Veda? Mencari seorang guru bonafide tentu bukanlah perkara mudah. Dewasa ini memang banyak orang yang mengaku dirinya sebagai guru spiritual yang berkeliling mencari pengikut. Namun ternyata banyak dari mereka sejatinya tidak bertujuan membimbing muridnya agar semakin maju dalam spiritual. Banyak dari antara mereka yang ujung-ujungnya hanya mengejar masalah “harta, tahta dan wanita”.

Menjadi seorang guru spiritual Veda (acarya) bukanlah hal mudah. Pada dasarnya guru adalah seorang pendidik yang menerima tugas mendidik anak-anak dan para remaja, dan ia lah yang bertanggung jawab untuk menjadikan mereka insan-insan yang berguna dalam masyarakat. Secara etimologi, “Guru”  berarti “berat” atau “hebat”, karena ia harus mengajarkan, dan karenanya memiliki tanggung jawab yang berat. “Gu” berarti “kegelapan” dan “ru” berarti “menghentikan dari  kegelapan”. Tugas seorang guru adalah membimbing dan mengarahkan anak didiknya dari kegelapan menuju pencerahan jiwa. Guru haruslah seseorang yang teguh jiwanya, yang dapat menahan dorongan untuk berbicara, permintaan dari pikiran, tindakan marah dan dorongan dari lidah, perut dan kemaluan. Lebih jauh dalam Bhagavad Gita 18.42 dan Bhagavata Purana 11.17.13 yang membahas catur varna juga membahas malasah kualifikasi dasar seorang guru. Dari kedua sloka tersebut kita bisa menggarisbawahi bahwa seorang guru kerohanian adalah seorang Brahmana yang telah memiliki sifat-sifat; kedamaian hati (samah), terkendali diri (damah), kesederhanaan (tapah), kesucian (saucam), toleransi (ksantir), kejujuran (arjavam), berpengetahuan rohani (jnanam), bijaksana. (vijnanam), agamis (astikyam), berpuas hati (santosah), pengampun (ksanthih), bhakti kepada Tuhan (bhakti), dan kasih sayang (daya).

Menemukan seseorang yang memiliki kualifikasi seperti disebutkan di atas dan orang tersebut berada dalam parampara yang diakui adalah sebuah kemujuran besar. Sebagai seorang yang ingin bersunguh-sungguh belajar Veda kita harus dengan tunduk hati mendekati beliau agar beliau bersedia menerima kita sebagai muridnya.

Sistem Parampara Veda

Bhagavata Purana 6.3.21 menyebutkan bahwa pada awalnya ajaran Veda disebarkan melalui empat parampara utama, yaitu Brahma Sampradaya, Sri Sampradaya, Siva Sampradaya dan Kumara Sampradaya. Keempat sampradaya ini menyebar ke seluruh bumi dengan membawa warna dan metode pengajarannya masing-masing. Keempat sampradaya ini selanjutnya juga terus berkembang membentuk cabang dan ranting yang semakin banyak.

Salah satu garis perguruan Veda yang sedang mengalami perkembangan pesat di seluruh dunia dengan Hare Krishna Movement-nya adalah garis perguruan yang dipimpin oleh Srila Prabhupada. Garis perguruan Srila Prabhupada sendiri adalah salah satu cabang kecil Brahma Sampradaya yang bernama Brahma Gaudya Vasinava Sampradaya. Di dunia Barat garis perguruan ini menjadi sangat popular berkat kesuksesan Srila Prabhupada mengajajarkan ajaran Veda kepada para kaum muda, golongan hippies dan tokoh-tokoh legendaris seperti grup musik The Beatle, pemilik perusahaan mobil Ford, para anggota kerajaan Ingris bahkan sampai kepada Stave Job, yang terkenal karena Apple Computer-nya. Beliau juga menanamkan pondasi Veda yang sangat kuat dengan kesuksesannya menerbitkan terjemahan-terjemahan kitab suci Veda yang otentisitasnya telah diakui secara akademik oleh berbagai perguruan tinggi dunia. Sehingga tidaklah mengherankan jika sampai saat ini hampir tidak ada satu negarapun di muka bumi ini yang tidak memiliki center-center dan mandir-mandir untuk aktifitas spiritual murid-murid dari garis perguruan Srila Prabhupada.

Sesuai dengan namanya, orang-orang yang tergabung dan merupakan murid-murid dari garis perguruan Srila Prabhupada dengan  Hare Krishna Movement-nya dapat dikenali dari keseharian mereka yang selalu melantunkan nyanyian (bhajan dan kirtana) serta bermeditasi japa dengan mengucapkan mantra “Hare Krishna Hare Krishna, Krishna Krishna Hare Hare, Hare Rama Hare Rama, Rama Rama Hare Hare”. Disamping itu, perguruan ini juga dapat dikenali dengan ketaatannya dalam menjalankan empat prinsip dasar yang merupakan sumpah pada saat berguru, yaitu: (1) Tidak memakan daging, ikan dan telor (Vegetarian), (2) Tidak mabuk-mabukan, (3) Tidak berjudi dan (4) Tidak berzinah.

Tentu saja barisan guru-guru yang bonafide tidak hanya terdapat dalam barisan perguruan Srila Prabhupada. Di luar sana masih terdapat sangat banyak sampradaya yang memiliki guru-guru yang sangat berkualifikasi dalam menuntun kita dalam mempelajari Veda. Yang pasti kita harus berlindung di bawah kaki Padma seorang guru kerohanian yang berasal dari salah satu Sampradaya ini. Jika guru tersebut ternyata tidak bersumber dari salah satu sampradaya tersebut, maka dia disebut sebagai Apasampradaya. Sebagaimana disinggung dalam Padma Purana, berlindung pada seseorang yang tidak memiliki garis perguruan yang jelas adalah kesiasiaan dan seluruh mantra dan inisiasinya tidak ada gunanya “sampradaya-vihina ye mantras te nisphala matah,”.

Parampara di Nusantara

Banyak teori yang menyatakan bahwa keberadaan Hindu di Indonesia adalah hasil penyebaran orang-orang India yang melakukan kegiatan perdagangan dengan suku-suku di Nusantara. Beberapa kalangan mengatakan bahwa mereka yang menyebarkan Hindu tersebut berasal dari kalangan buruh kapal sehingga dikenal istilah teori sudra. Ada juga yang menyatakan bahwa yang menyebarkan ajaran Hindu tersebut adalah kalangan pedagang sehingga muncullah teori Vaisya. Sedangkan yang lainnya mengatakan bahwa Hindu disebarkan melalui proses invasi kerajaan dan juga karena pengajaran para orang-orang sucinya sehingga muncul teori Ksatrya dan teori Brahmana.

Sifat ajaran Hindu yang sangat berbeda jika dibandingkan dengan ajaran Kristen maupun Islam menyebabkan teori yang menyatakan Hindu disebarkan oleh kaum sudra, vaisya dan ksatrya seharusnya ditolak. Hindu tidak seperti ajaran Islam yang dapat disebarkan oleh seorang pedagang yang memiliki profesi ganda. Hindu hanya dapat disebarkan dan diajarkan dengan benar oleh seseorang yang benar-benar professional yang segenap pikiran dan perbuatannya hanya terfokus pada masalah spiritual. Artinya ajaran Hindu yang sejati hanya dapat disebarkan oleh seorang Brahmana.

Disamping fakta tersebut, jika kita menelusuri manuskrip-manusikrip Veda secara seksama, sebenarnya tidak ada pengkultusan bahwa ajaran Veda hanya turun dan diwahyukan di India. Veda memandang alam material ini secara sangat makro yang tidak hanya berkutat pada satu wilayah. Bahkan tidak jarang Veda memberikan pandangan yang berkaitan dengan kondisi antar planet dan bahkan antar alam semesta. Kondisi ini membuka wacana bahwa pewahyuan Veda dan sistem parampara Veda tidak hanya terjadi di India. Fakta ini setidaknya dikuatkan oleh pernyataan Sri Krishna dalam Bhagavad Gita 4.1 yang menyatakan bahwa pada awalnya ilmu pengetahuan yoga yang kembali disampaikan kepada Arjuna telah diajarkan kepada Vivasvan, raja Matahari yang berikutnya mengajarkannya kepada Manu selaku leluhur manusia di Bumi dan berikutnya kepada Isvaku.

Dengan demikian terlepas dari kapan Hindu muncul di Nusantara, apakah sejak disebarkan oleh para Brahmana atau memang sejak awal keberadaan manusia, setidaknya kita dapat menarik kesimpulan bahwa sejak awal keberadaan Hindu di Nusantara, ajaran Veda sudah menyebar melalui sistem parampara. Jika memang demikian adanya, lalu kemanakah sistem parampara Veda Nusantara saat ini? Apakah sistem parampara tersebut masih ada?

Sistem parampara Veda dilakukan dalam kegiatan belajar mengajar dalam sebuah guru kula. Dalam sistem guru kula, setidaknya harus terdapat seorang guru yang umumnya adalah seorang varnaprasta atau seorang sanyasi yang memang benar-benar sudah insaf akan dirinya dan sudah mempraktekkan ajaran Veda secara nyata dalam kehidupannya sehari-hari. Keberadaan sistem guru kula di Nusantara dapat dikenali dengan sisa-sisa pedepokan yang menyebar di berbagai wilayah. Bahkan dewasa ini terutama di beberapa wilayah di Jawa kita masih dapat menyaksikan beberapa pedepokan yang masih tetap berdiri. Terlepas dari kualitas guru spiritual yang mengajar di pedepokan tersebut, setidaknya terdapat kemungkinan bahwa pedepokan tersebut adalah salah satu cabang perguruan Veda yang masih tersisa.

Jejak parampara yang paling nyata di Nusantara sepertinya ada di Bali. Bali memiliki banyak grya-grya dimana pada grya tersebut bertempat tinggal seorang suci yang disebut sebagai Pedanda, Rsi, Sri Empu dan sejenisnya. Biasanya jika seseorang ingin menjadi Bhagavan, Pedanda, Sri Empu atau berbagai gelar kebrahmana lainnya, maka dia harus melakukan proses aguron-guron (berguru) kepada seorang Brahmana yang dia jadikan sebagai guru yang selanjutnya disebut sebagai Guru Nabe. Dan hanya melalui proses rekomendasi dan diksa (dwi jati) dari sang guru inilah seseorang dapat dinyatakan layak diangkat menjadi seorang Brahmana.

Sayangnya akibat gempuran agama lain, gerusan jaman, politisi dan feodalisme yang semakin merongrong masyarakat menyebabkan sistem parampara di Nusantara semakin pudar. Bahkan sistem parampara di grya-grya di Bali yang mayoritas Hindu pun sudah semakin menghilang. Aturan Veda yang menyatakan bahwa siapapun dapat belajar Veda dan jika memiliki kualifikasi maka suatu saat nanti dapat menjadi seorang Brahmana dan mendirikan sistem perguruan baru sepertinya sudah tidak dapat diterapkan lagi di Bali. Dewasa ini sisya yang dapat diangkat menjadi Brahmana untuk menggantikan Brahmana “lingsir” hanyalah keturunannya. Sementara sisya-sisya lainnya tidak pernah dan tidak akan bisa menjadi seorang guru meski mereka lebih maju dalam hal spiritual. Tentunya sistem ini sudah menyalahi aturan Veda yang menyatakan bahwa kedudukan seorang sisya tidak dibatasi oleh latar belakang garis keturunan dan perekonomiannya. Seorang sisya hanya dibedakan berdasarkan tingkat kecerdasan spiritualnya.

Mungkin karena faktor menghilangnya parampara asli Nusantara ini yang mendorong semakin banyak orang Indonesia yang belajar Veda dari parampara yang berkembang di luar, terutama di India. Jadi, kalau memang demikian adanya, seharusnya Hindu Nusantara tidak boleh mendeskreditkan saudara-saudara kita yang memilih belajar dari parampara dari India karena memang parampara yang ada di Indonesia tidak mudah ditemukan. Namun demikian, semoga suatu saat nanti kita dapat menemukan parampara murni dianatra sekian banyak sistem parampara yang sudah menyimpang yang ada di Nusantara. Semoga ajaran Veda di Nusantara akan dapat bersinar kembali sebagaimana sediakala.

Om Tat Sat

Untuk newsletter PDF bisa didownload di link di bawah ini

[sdm-download id=”3530″ fancy=”0″]

Translate »