Sistim filsafat yang tidak berpahala dapat dilihat dari beberapa kejadian di lapangan, seperti; Nyungsung Sangiang Temedi, Sangiang Jaran, Sangiang Bojog dan yang sejenisnya yang dianggap memiliki kekuatan gaib untuk menolak hama tanaman, menolak roh jahat agar tidak mengganggu ketentraman masyarakat di desa itu; Memuja gambar burung kokokan (bangau), karena burung itu dianggap mendatangan rejeki untuk masyarakat setempat; Memuja hantu ditempat yang dianggap angker seperti didasar jurang yang dalam dengan tujuan untuk mendapat petunjuk nomor togel; Memuja benda-benda bertuah seperti keris, permata, batu, rerajahan (gambar mistik) yang dianggap memiliki kekuatan gaib untuk tujuan keduniawian tertentu.

Benda-benda itu biasanya dipakai media oleh Bhuta Kapiragan atau dari hantu yang sakti untuk menipu manusia yang dharmanya tidak kuat. Bhuta Kapiragan yang mengaku Betara A, Betara B, berbisik kepada si korban (Panyungsung), menjanjikan ini dan itu yang bersifat keduniawian termasuk penyembuhan penyakit dengan syarat si Panyungsung mau menghaturkan sejumlah banten. Jika semakin percaya dengan benda yang disungsungnya. Kepercayaannya bergeser dari percaya kepada Tuhan menjadi lebih percaya kepada benda itu (I Bhuta Kapiragan) yang dikiranya Betara di suatu Pura. Bagi orang yang tidak terlatih urusan  kerohanian memang amat sulit membedakan antara “pawisik” dari Bhuta dengan sabda dari Tuhan. Walaupun Tuhan diremehkan tetapi Tuhan tetap baik-baik saja kepada si Panyungsung tersebut hanya saja Tuhan tidak ikut campur bila si Panyungsung disakiti atau dikerjain oleh I Bhuta Kapiragan.

Kemudian si Panyungsung sakit, sudah berobat ke dokter tetapi tidak kunjung sembuh. Lalu bertanya ke dukun. Pada waktu dia berangkat kerumah dukun diikuti oleh I Bhuta Kapiragan. Setelah tiba di rumah dukun, si Panyungsung dipersilahkan duduk untuk menunggu giliran. I Bhuta Kapiragan duduk disampingnya dukun tetapi tidak dapat dilihat oleh manusia termasuk oleh dukun. Setelah si Panyungsung mendapat giliran untuk “nunas baos” maka sang dukun mulai konsentrasi dan memejamkan mata. Pada waktu itulah I Bhuta Kapiragan membisiki  dukun tentang ciri-ciri penyakit yang diderita oleh Panyungsung dan petunjuk obat untuk penyembuhannya dengan syarat harus menghaturkan banten. Setelah menghaturkan sejumlah banten segera sembuh sehingga kepercayaannya semakin tebal kepada benda yang disungsungnya. Akan tetapi beberapa bulan berikutnya dia kena masalah yang rumit. Masalah itu adalah hasil rekayasa I Bhuta Kapiragan. Masalah tersebut kembali memaksa si sakit ke dukun “nunas baos”. Untuk kali ini dia diminta supaya “macaru Rsigana” dan dia menyanggupinya walaupun dengan jalan berhutang karena tidak punya uang untuk biaya caru itu tarifnya Rp 15 juta lebih. Setelah selesai macaru memang aman beberapa bulan sudah itu timbul masalah baru yang merepotkan sehingga mengarahkannya lagi “nanas baos” ke dukun. Begitulah pada umumnya nasib Panyungsung benda-benda bertuah. Kerugian yang diderita bukan saja berupa uang, tenaga dan waktu tetapi kerugian yang paling fatal adalah pada penitisan yang akan datang dia akan lahir di alam hantu menjadi hantu. Jika menitis menjadi binatang masih lebih dekat harapannya menjadi manusia jika binatang itu baik-baik seperti sapi. Tetapi jika menjadi hantu, sangat tipis harapannya untuk kembali menjadi manusia karena memerlukan proses amat panjang tidak bisa dihitung dengan akal manusia.

Sebenarnya menjadikan benda-benda dan bahkan mahluk lain termasuk mahluk halus sebagai alat dalam mencapai tujuan yang baik, tidak lah masalah. Para petani harus memanfaatkan sapi, kebo dan bahkan saat ini mesin traktor untuk membajak sawah. Orang jaman dulu memanfaatkan burung dara sebagai pengantar surat, banyak dari kita juga memanfaatkan anjing untuk menjaga rumah. Hal ini sama sekali tidak masalah. tetapi semuanya akan menjadi masalah jika kita tergantung kepada mereka dan mengesampingkan akal sehat serta Hyang Widhi Wasa sebagai pencipta kita. Masalah akan muncul jika kita gagal menjadikan mereka alat, tetapi malah memperalat kita. Karena itulah dalam memanfaatkan setiap “alat”, kita harus memahami dengan baik “ilmunya” sehingga kita bisa selamat.

Kembali ke permasalahan yadnya yang dilakukan besar-besaran dengan menelan biaya jutaan seperti kasus mecaru di atas, Bhagavad gita 12.13 menyatakan bahwa yadnya apa pun yang dilakukan tanpa mempedulikan petunjuk kitab suci (Veda) tergolong yadnya bersifat kebodohan. Jadi yadnya yang dilakukan oleh Panyungsung tersebut di atas yang hanya melalui balian adalah yadnya sia-sia. Bhagavadgita 9.25 juga menyatakan: “Orang menyembah para dewa akan lahir di tengah-tengah masyarakat dewa. yang menyembah leluhur akan pergi ke planet leluhur, yang menyembah hantu akan menitis di tengah-tangah masyarakat hantu. Tetapi yang menyembah-Ku (Krishna: Tuhan) akan hidup bersama-Ku”.

Manusia dilengkapi dengan kecerdasan (wiweka) oleh Tuhan tujuannya adalah agar manusia mempergunakan kecerdasannya itu untuk kembali menyatu dengan Tuhan. Hanya manusia yang memiliki kemampuan untuk manunggal dengan Tuhan sedangkan binatang tiak bia karena tidak punya kecerdasan.

Orang yang cerdas akan memuja hanya kepada Tuhan dan tidak mau memuja yang lainnya selain Tuhan. Memang Tuhan itu ada dimana-mana termasuk pada batu, tetapi ada aturannya untuk menjadikan batu itu suci agar memenuhi syarat dipakai sarana (symbol) untuk memuja Tuhan. Sembarang batu yang dipungut di sembarang tempat tidak boleh disungsung walaupun batu itu menunjukkan keajaiban. Sebab keajaiban semacam itu merupakan permainan para Bhuta atau para hantu untuk menggoda dan memperdaya manusia.

Orang yang konsekwen hanya memuja Tuhan dan tidak memuja yang lainnya, maka segala keperluannya yang wajar-wajar pasti dipenuhi oleh Tuhan. Mereka tidak bakal kekurangan apapun selama hidupnya di dunia. Tentu harus didukung dengan bekerja keras.

Semua orang ingin hidup bahagia, tetapi kebanyakan dari mereka tidak mengetahui rahasia untuk mencapai kebahagiaan. Hampir semua orang sudah bekerja keras untuk mencapai hidup bahagia, tetapi kebanyakan masih belum bahagia. Dimana kuncinya gedung kebahagiaan itu?.

Hidup bahagia yang baik menurut ajaran agama adalah keseimbangan antara kekayaan yang diperoleh secara benar dan dilengkapi dengan kekayaan rohani. Kalau kaya harta benda saja tetapi jika rohaninya miskin, maka boleh jadi kekayaan itu akan membuat neraka seperti beberapa kejadian ada orang kaya dianiaya oleh perampok sampai mengalami kelumpuhan total seumur hidupnya. Bahkan ada yang dibunuh secara sadis oleh perampok.

Sebenarnya Tuhan tidak memerlukan apa-apa dari manusia termasuk “puja-puji”. Walaupun beliau diprotes, dituduh pelit, dikatakan bongol, diumpat oleh sebagian kecil orang yang frustasi karena permohonannya belum dipenuhi oleh Tuhan, tetapi Tuhan tetap melayani orang itu 24 jam setiap hari terus menerus dalam berbagai keperluannya yang wajar agar mereka bisa hidup. Manusia sudah disediakan bumi dengan segala isinya (bahan pangan, bahan pakaian, bahan perumahan dan sebagainya). Juga disediakan langit dengan segala isinya. Pada waktu manusia tidur lelap tidak tahu apa-apa, Tuhan menjaganya dengan mengatur nafasnya, mencerna makanan yang dimakannya, mengatur denyut jantungnya, peredaran darahnya, menyingkirkan racun-racun yang ada di dalam organ-organ tubuhnya dan sebagainya.

Walaupun sudah begitu setianya Tuhan melayani manusia, tetapi kebanyakan manusia terus menuntut saja kepada Tuhan, minta ini dan minta itu. Jarang mereka berpikir untuk Tuhan bahwa “apa saja yang sudah saya lakukan untuk Tuhan?” bila permohonannya belum dikabulkan maka dia menggerutu kepada Tuhan.

Jika anda mau berterimakasih kepada Tuhan tidak perlu menghaturkan banten yang rumit-rumit cukup dengan melakukan ketiga disiplin tersebut di atas yaitu pujalah Tuhan, takut berbuat dosa dan susila di masyarakat. Ketiga disiplin itulah merupakan persembahan yang amat menyenangkan Tuhan.

Memuja Tuhan dipersilahkan dengan kondisi dan situasi masing-masing. Yang harus disadari bahwa memuja Tuhan amat penting, bukan untuk Tuhan tetapi untuk kepentingan Anda, agar apa yang anda cita-citakan berhasil dengan aman dan baik.

Minimal lakukanlah puja dengan mengucapkan Japa Maha Mantra atau Gayatri tiga kali setiap hari yaitu jam 06.00 pagi ucapkan 3 kali, jam 12.00 siang 3 kali dan jam 18.00 sore 3 kali. Jika mau Trisandhya dan Kramaning Sembah lebih bagus. Setelah itu jika ditambah meditasi selama 30-60 menit paling bagus. Tererah menurut kondisi dan situasi masing-masing.

Bagi anda yang acaranya tergesa-gesa karena diburu oleh banyaknya acara ini itu, cukup dengan mengucapkan japa dalam hati sambil melakukan apa saja dan kapan saja. Lebih sering mengucapkan japa, maka lebih baik.

Takut berbuat dosa

Sekecil apapun dosa itu pasti akan menyebabkan susah, sedih, menderita. Semakin besar bobot dosa yang dilakukan semakin pelik penderitaan yang harus ditanggung. Cepat atau lambat pasti akan begitu jadinya. Buah dosa berupa susah,  sedih dan penderitaan diumpamakan sebagai majikan yang kejam tiada ampun. Seperti tenaga kerja yang disiksa oleh majikannya yang kejam dan tidak diberi gaji, sehingga tenaga kerja itu menderita seumur hidupnya, apakah menjadi buta total, lumpuh dan sebagainya. Atau seperti orang yang menderita sakit gagal ginjal harus cuci darah seumur hidupnya sehingga kekayaannya habis dan orangnya mati. Atau seperti orang yang menderita HIV/AIDS menderita seumur hidupnya karena tidak ada obatnya. Atau seperti orang digigit anjing lalu menderita Rabies, takut dengan sinar dan air, kejang-kejang setelah dibawa ke rumah sakit akhirnya mati di rumah sakit karena tidak ada obatnya. Seperti itulah buah dosa itu tidak mengenal ampun.

Jika bobot dosa itu amat berat, seperti mencabuli anak dibawah umur, mengambil istri orang lain (arabining wong arabi), mencuri benda-benda sakral, membunuh rohaniawan, ganjarannya akan menitis menjadi binatang yang lemah dan menderita selama hidupnya.

Susila di masyarakat

Bila anda bepergian dari wilayah A mau ke wilayah B yang dipisahkan oleh jurang yang lebar dan dalam, maka anda memerlukan jembatan agar bisa sampai di wilayah B.

Antara kondisi anda yang sekarang dengan kondisi yang anda cita-cita kan di masa mendatang juga dipisahkan oleh jurang yang lebar. Perbuatan susila adalah jembatannya agar anda berhasil mencapai cita-cita dikemudian hari. Perilaku susila itu tidak saja menjadi jembatan untuk mencapai hidup bahagia di dunia ini, tetapi juga untuk mencapai moksa. Jika anda mengabaikan “kesusilaan” jangan harap untuk bisa mencapai hidup bahagia apalagi moksa. Walaupun anda jungkir balik bekerja keras siang malam, tidak akan bahagia. Ibarat mengejar bayangan air (fatamorgana) di padang pasir. Setelah lelah berjuang belum juga berhasil lalu mengeluh sebagai berikut: “Ah memang nasib lagi apes, seperti gayung camplung walaupun di danau disicukkan ya isinya tetap sedikit”. Keluhan seperti ini tanpa disadari merupakan mengutuk diri sendiri namanya. Semakin sering mengeluh seperti itu akan semakin terpuruk jadinya. Karena rahmat Tuhan akan semakin menjauh. Tuhan dan para dewa tidak senang dengan orang yang suka mengeluh.

Orang yang ingin hidup bahagia tetapi jika dia berbuat “asusila” itu cirinya orangnya belum tahu rahasia ini. Sebaiknya diberitahu agar mereka tidak terus berbuat “asusila”.

Sarasamuscaya no. 159 menyatakan bahwa orang yang taat melaksanakan “kesusilaan” apa saja yang dicita-citakannya dijamin berhasil. Tidak hanya di dunia saja dia sukses, di Bhuah Loka dan di Swah Loka pun dia berjaya dan bebas dari kesedihan.

Anda disebut susila oleh masyarakat jika anda konsisten berprilaku: rendah hati, sopan santun, ramah tamah, lemah lembut, benar, jujur, sabar, suka menolong dan tidak pernah menyakiti. Dari rincian itu berapa butir yang belum anda lakukan, berusahalah melakukannya. Jika semua persyaratan itu anda penuhi dan terus menerus melakukannya di masyarakat maka Tuhan akan selalu bersama anda. Jika Tuhan selalu bersama anda maka yang tidak mungkin akan menjadi mungkin bagi anda, segalanya serba mungkin untuk anda. Sebab seluruh isi dunia ini maupun isi Bhuah Loka dan Swah Loka dirancang oleh Tuhan untuk dihadiahkan kepaa siapa saja yang taat melaksanakan “Kesusilaan”.

Untuk menggapai kemakmuran di dunia adalah masalah kecil, jika anda tekun dan sabar mengikuti prosesnya setapak demi setapak sesuai dengan jenjangnya dari 1 ke 2, dari 2 ke 3 dan seterusnya. Jangan keburu nafsu agar cespleng dari 1 menjadi 10, dari 10 menjadi 100. seperti mendaki gunung lebih aman setapak demi setapak. jika meloncat-loncat risikonya akan jatuh kedalam jurang. Ketentuan ini adalah pasti dan bukan khayalan. Seperti matematika bahwa 3 X 3 pasti 9 pendapatannya. Begitu pula jika ada konsisten berprilaku susila terus menerus di masyarakat, dijamin pada waktunya yang tepat di masa mendatang anda akan hidup makmur, aman, tentram dan damai. Seperti anda menanam pohon, setelah cukup umur pohon itu untuk berbuah pasti berbuah. Siapa yang menjamin? Tuhan yang menjamin anda dengan memperbantukan Hukum Karma, Hukum Perubahan dan Hukum Tarik menarik. Ketiga hukum itu akan mengatur dan memproses sampai pada waktunya nanti terwujud kebahagiaan untuk anda. Bagaimana caranya hukum itu bekerja untuk anda tidak perlu dipikirkan, yang penting anda pasti dibantu jika anda betul taat melakukan “kesusilaan” terus menerus.

Warga Negara yang mentaati hukum  pasti dilindungi oleh Pemerintah melalui aparat penegak hukum (polisi, jaksa dan hakim). Dengan demikian mereka boleh bebas berusaha apa saja dengan aman untuk mencapai cita-citanya. Begitu pula anda yang taat melaksanakan “kesusilaan” pasti dijamin oleh Tuhan untuk diberi apa saja yang wajar-wajar agar hidup anda bahagia di dunia dan juga di alam Tuhan setelah anda selesai menjalani karma  karma di dunia. Kalau sudah begitu jaminannya apa sich lagi dipikir? Lebih cepat anda menjadi orang susila lebih bagus karena rahmat Tuhan sudah siap setiap saat untuk diberikan kepada anda jika anda betul serius melaksanakan “kesusilaan”.

Oleh: Jero Mangku Wayan Swena

Translate »