Mendengar kata Hari Raya Nyepi, sebagian besar orang pastinya akan terbayang pada kemeriahan arak-arakan ogoh-ogoh, yaitu sejenis patung-patungan besar yang menggambarkan sosok-sosok tertentu yang umumnya menyeramkan. Selain itu, gambaran lain akan Hari Raya Nyepi adalah matinya aktivitas masyarakat Bali khusunya dan umat Hindu di Nusantara pada umumnya. Kegiatan Penyepian ditandai dengan tempat-tempat umum yang kosong, lingkungan yang gelap gulita dan juga tanpa adanya sumber suara dari hingar-bingarnya kehidupan manusia. Namun tahukah anda bahwa tradisi ogoh-ogoh baru dimulai di era tahun 80-an? Tahukah anda bahkan sampai saat ini masih ada desa adat yang tidak memiliki tradisi membuat ogoh-ogoh? Tahukah anda pada awalnya tidak semua masyarakat di Bali merayakan Nyepi? Apa dan bagaimana sebenarnya tradisi Penyepian itu dapat berkembang seperti saat ini, mari kita ikuti kilas baliknya.

Hari Raya Nyepi Adalah Perayaan Tahun Baru Kalender Saka

Hari Raya Nyepi pada dasarnya adalah perayaan pergantian tahun seperti layaknya pergantian tahun baru masehi setiap tanggal 1 Januari. Hanya saja berbeda dengan tahun baru biasa, Hari Raya Nyepi adalah permulaan penanggalan dalam sistem kalender kalender Saka. Perayaan tahun baru Saka juga tidak laksanakan meriah seperti perayaan tahun baru kalender lain pada umumnya, tetapi dengan proses hening yang sepi, sehingga disebut Nyepi. Kemeriahan yang terasa pada pergantian tahun Saka saat ini bukan terjadi pada saat awal tahun, tetapi pada akhir tahun, yaitu yang disebut dengan hari Pangrupukan.

Keberadaan tahun Saka pada dasarnya tidak lepas dari sitem penanggalan Hindu yang bersumber dari kitab suci Veda, yaitu Jyotisastra yang terdiri dari Surya Siddhanta, Paitamaha Siddhanta, Vasista Siddhanta, Paulisa Siddhanta dan Romaka Siddhanta. Kelima kitab Jyotisastra ini juga dikenal dengan sebutan Panca Siddhanta. Sangat sulit memprediksi kapan sebenarnya sistem astronomi Veda yang melahirkan sistem kalendernya ini diciptakan. Ada sumber yang mengatakan bahwa sistem Jyotisastra diciptakan pertama kali kira-kira 12.000 tahun sebelum masehi (SM). Ada juga yang berpendapat bahwa meski sistem jotisastra sudah diterapkan sejak ribuan tahun lalu, namun baru tertulis sejalan dengan penggubahan Veda dalam bentuk tulisan pertama kalinya sekitar 5000 tahun SM. Profesor Flunkett sendiri dalam bukunya Ancient Calenders and Constellations berpendapat bahwa Jyotisastra sudah mengakar kuat di India sejak ribuan tahun lalu dan akhirnya diajarkan ke Yunani sekitar abad pertama SM. Pendapat Profesor Flunkett ini didukung pada fakta lapangan yang memperlihatkan terdapat kaitan sangat erat antara sistem penanggalan dalam ajaran Veda dengan sistem penanggalan Masehi yang berakar dari bangsa Yunani dan bangsa-bangsa lainnya di Eropa. Salah satunya yang paling kentara adalah penamaan hari dalam 1 minggu yang mengikuti nama-nama planet, yaitu Sunday (Masehi) dan Raditya (Jyotisastra) yang merujuk pada hari Minggu. Baik Sun dan Raditya merujuk pada nama Matahari. Monday (Masehi) dan Soma (Jyotisastra) dimana Mon (moon) dan Soma merujuk pada hari Senin dan berarti Bulan. Dan demikian juga berlaku untuk nama-nama hari yang lainnya.

Lahirnya nama penanggalan tahun Saka tidak lepas dari dinamika kehidupan suku-suku yang ada di India di masa lampau. Meski masyarakat India yang berbeda suku memiliki akar spiritual yang sama-sama mengakar pada ajaran Veda, namun mereka mengembangkan tradisi dan kebudayaannya masing-masing. Disamping itu juga terjadi dinamika perebutan kekuasaan yang kuat antara masing-masing suku. Suku Pahlawa, Yuehchi, Yuwana, Malawa dan Saka adalah beberapa suku yang kuat dan silih berganti memegang tampuk kekuasaan kerajaan. Pertikaian politik dan militer yang tiada akhir diantara mereka akhirnya dapat diakhiri dengan perubahan “pola peperangan” yang diambil oleh suku Saka. Suku Saka tidak lagi menjadikan politik dan militer sebagai kekuasaan, tetapi mereka menggunakan instrumen kebudayaan. Perjuangan suku Saka berhasil membuat sebagian besar masyarakat India menjadikan kebudayaan Suku saka mengakar kuat sebagian bagian dan jati diri suku-suku yang lain. Kesuksesan pemasyarakatan kebudayaan suku Saka mendapat empati dari dinasti Kushana dari suku Yuehchi yang memegang tampuk kekuasaan di India pada tahun 125 SM. Dinasti Kushana pada saat itu berusaha mengambil setiap setiap puncak-puncak kebudayaan setiap suku yang ada dan menjadikannya sebagai budaya kerajaan. Sampai akhirnya pada masa pemerintahan Raja Kaniska I mengangkat sistem penanggalan dari kebudayaan suku Saka menjadi sistem kalender kerajaan. Dengan dijadikannya kalender suku Saka sebagai kalender kerajaan, maka pada akhirnya kalender tersebut dikenal dengan sebutan kalender Saka. Kalender Saka menjadi semakin berkembang dan menyebar seiring dengan menyebarkan pengaruh kebudayaan dan ajaran dharma (Hindu) ke berbagai penjuru dunia.

Tradisi Penyepian Berawal dari Tradisi Kerajaan Majapahit

Keberadaan sistem penanggalan Saka di Indonesia dikisahkan dibawa oleh Pendeta suku Saka yang lebih dikenal dengan sebutan Aji Saka. Aji Saka berasal dari Kshatrapa Gujarat dan mendarat di daerah Rembang, Jawa Tengah pada tahun 456 Masehi. Sebagaimana di India, Kalender Saka juga menjadi kalender kerajaan di Nusantara. Kejayaan penggunaan Kalender Saka dapat dikatakan mencapai puncaknya pada masa kekuasaan Majapahit.

Pada masa era kekuasaan Majapahit, kerajaan secara rutin melakukan Pesamuan Agung atau rapat akbar pada penghujung tahun Saka sebagaimana dikisahkan pada kitab Negara Kertagama Pupuh VIII, XII, LXXXV, LXXXVI – XCII. Pada akhir tahun seluruh punggawa kerajaan beserta raja-raja bawahan, kepala desa, para pemuka agama, dan para prajurit berkumpul di alun-alun untuk membicarakan masalah-masalah kerajaan seperti laporan dari raja-raja bawahan, kesejahteraan masyarakat, upaya peningkatan moral dan sebagainya. Dalam rapat agung ini tentu saja juga diiringi dengan kemeriahan berbagai pesta budaya. Uniknya, pada keesokan harinya mereka malah melakukan persembahyangan dan pertapaan bersama yang dilakukan dengan berbagai jenis tapa bratha. Kegiatan penutupan dan mengawali tahun Saka sebagaimana yang rutin dilakukan oleh kerajaan Majapahit pada akhirnya membudaya dan secara tradisi dilanjutkan oleh masyarakat yang memegang sisa-sisa peradaban Majapahit.

Masyrakat Bali Mewarisi Tradisi Majapahit

Masyarakat Bali merupakan sisa-sisa keturunan Majapahit terbesar di Nusantara yang masih memegang adat-istiadat yang diwariskan padanya. Bali berhasil menjadi pewaris terbesar kebudayaan Majapahit karena Bali berhasil mempertahankan ajaran Hindu dan Buddha serta terhindar dari pengaruh Islam yang telah menghancurkan kerajaan Majapahit. Pada dasarnya kebudayan Majapahit di wilayah lain di Nusantara masih ada yang eksis, seperti misalnya di Tengger, di beberapa wilayah di Jawa Tengah dan juga di Sunda. Hanya saja komunitas mereka terhitung sangat kecil, jauh lebih kecil dari pada komunitas di Bali sehingga menyulitkan mereka untuk muncul dan eksis di kancah nasional.

Di Bali, petunjuk pelaksanaan pergantian tahun Saka tertuang dalam Lontar Sundarigama dan Sanghyang Aji Swamandala. Kedua lontar ini pada dasarnya menuangkan ajaran tradisi leluhur yang berawal dari kebiasaan Kerajaan Majapahit. Lewat lontar-lontar ini, tata cara dan bagaimana kegiatan Penyepian diatur sedemikian rupa. Aturan kegiatan penyepian pada dasarnya hanya mencakup 3 kegiatan pokok. Kegiatan pertama adalah penyucian diri, peralatan upacara dan lingkungan yang terdiri dari prosesi Melasti atau Melis atau Mekiis dan Tawur Agung. Pada kegiatan ini lah seolah-olah masyarakat bersenang-senang dalam pesta adat, tradisi dan kegiatan upacara. Kegiatan kedua adalah tahun baru sebagai puncaknya dan dewasa ini dikenal dengan Hari Raya Nyepi yang pada penanggalan Saka versi Bali jatuh pada hari pertama Sasih Kedasa. Pada saat inilah Bratha Penyepian yang meliputi Amati Gni, Amati Lelungan, Amati Lelanguan dan Amati Karya dilaksanakan. Lewat Bratha atau pertapaan dengan keempat pantangannya ini, diharapkan akan dapat membawa masyarakat lebih dekat dengan spiritual guna menyongsong harapan baru di tahun yang baru. Kegiatan ketiga tepat setelah Penyepian adalah Ngembak Geni dan Dharma Santi yang dilaksanakan dengan memulai kegiatan di tahun baru dengan mengunjungi sanak keluarga dan juga tempat-tempat suci.

Penyeragaman Prosesi Penyepian

Hari Raya Nyepi yang kita lihat saat ini tidak lepas dari proses evolusi panjang sejalan dengan pengakuan Hindu sebagai salah satu agama yang diakui secara nasional. Masyarakat Bali yang memiliki keunikan masyarakat adat dengan desa pakraman(adat)-nya yang berdiri sendiri secara otonom senantiasi berdiri sendiri satu dengan yang lainnya dalam melaksanakan setiap kegiatan spiritual dan bahkan material. Sifat otonom desa pekraman menjadi semakin kuat sejak lemahnya peran kerajaan dalam mengendalikan masing-masing desa pakraman. Dengan kondisi otonom seperti ini, maka tidaklah mengherankan jika masing-masing desa pekraman memiliki awig-awig (aturan)-nya sendiri, metode persembahyangan, dan dengan berbagai adat kebiasaannya yang sangat beragam. Keberagaman kegiatan keagamanan masyarakat Hindu di Bali pada setiap desa pakraman bahkan masih terlihat sampai saat ini. Sehingga prinsip “desa kala patra mawicara” (semuanya sesuai dengan tempat, waktu dan keadaan) masih tetap aplicable untuk kehidupan masyarakat Hindu di Bali dan lebih-lebih di dunia.

Dengan adanya perbedaan adat-istiadat masing-masing desa pekraman tersebut, prosesi penyepian di masing-masing desa juga belangsung sangat berbeda-beda. Ada yang melaksanakannya secara meriah, dan di sisi lain ada yang biasa-biasa saja. Ada yang menggelar upacaya yang terhitung mewah, namun di desa lain terlihat hanya alakadarnya. Meski terdapat perbedaan seperti itu, namun pada umumnya esensi pergantian tahun Saka masih sama dengan tradisi yang terlahir dari Majapahit. Terkecuali untuk desa-desa Bali Aga yang memang merupakan penduduk Bali asli yang tidak memiliki hubungan darah dengan Majapahit. Beberapa sumber mengatakan bahwa meski menganut ajaran Veda, beberapa masyarakat Bali Aga tidak melakukan prosesi Penyepian sebagaimana dilakukan oleh saudara mereka yang lain.

Sistem keagamaan di Bali sempat mengalami kemunduran pasca runtuhnya sistem kerajaan yang mengayominya. Namun dengan munculnya peguyuban Suita Gama Tirtha di Singaraja pada tahun 1921, Sara Poestaka di Ubud pada tahun 1923, Surya Kantha di Singaraja pada tahun 1925, Perhimpunan Tjatur Wangsa Durga Gama Hindu Bali di Klungkung pada tahun 1926, dan lain-lainnya, kemunduran tersebut perlahan mulai terbina. Hanya saja pada saat itu, nama Hindu belum dikenal luas oleh masyarakat Bali. Masyarakat Bali bahkan lebih mengenal sebuatan agamanya sebagai Agama Tirtha. Sebutan sebagai Agama Tirtha muncul karena dalam setiap kegiatannya sistem spiritual di Bali tidak pernah lepas dari peran tirtha atau air yang disucikan. Pada masa penjajahan Jepang, pemerintah Jepang mendorong adanya Paruman Pandita Dharma yang dimaksudkan untuk menyatukan perbedaan-perbedaan sistem keagamaan yang ada di Bali. Lucunya pada saat itu agama di Bali malah disebut sebagai Siwa Raditya atau Agama Sanghyang Surya. Berkat masukan seorang ekspatriat India yang melihat sistem keagamaan di Bali serupa dengan di tanah kelahirannya, akhirnya pada tahun 1950 kata Hindu mulai banyak digunakan. Paruman Pandita Dharma berubah nama menjadi Majelis Hinduisme, muncul juga organisasi Panti Agama Hindu Bali dan sebagainya. Berkat mengerucutnya pemahaman menjadi Hindu, muncullah ide agar Hindu Bali mendapat pengakuan resmi dari pemerintah agar diakui sebagai suatu agama. Saat itu sistem spiritual di Bali masih dipandang sebagai suatu aliran kepercayaan. Padahal Presiden Indonesia saat itu, Soekarno terlahir dari Ibu Ida Ayu Nyoman Rai yang seorang penganut Spiritual Veda asal Singaraja. Akhirnya perjuangan untuk diakui sebagai agama baru berhasil pada tahun 1959. Setelah pengakuan tersebut para pemimpin agama di Bali membentuk muktamar Parisada Dharma Hindu bali yang kemudian berubah nama menjadi Parisada Hindu Dharma pada tahun 1964.

Yang menjadi permasalahan pada saat proses pengakuan sebagai sebuah agama pada saat itu adalah sudut pandang pemerintah yang melihat syarat suatu agama haruslah seperti apa yang ada di ajaran Islam, Kristen dan juga Protestan. Pemerintah menuntut suatu agama harus memiliki suatu kitab suci, nabi, hari suci dan juga sistem ritual baku. Hal ini tentu saja menyulitkan bagi umat Hindu di Bali pada saat itu. Ajaran spiritual Veda tidak mengenal pembakuan terhadap sistem ritual, Veda juga tidak mengenal istilah nabi utama, dan juga hari raya utama. Ajaran Veda memberikan kebebasan pada setiap pengikutnya untuk melaksanakan ajarannya sesuai dengan guna (karakter) dan karma (tingkahlaku/pekerjaan)nya. Dalam usaha pemenuhan persyaratan ini, tentu saja para pemimpin Hindu harus memutar otak dan menguras tenaga yang sangat keras. Dari sisi kitab suci, meski di Bali banyak berpanutan pada lontar, tetapi mereka memahami bahwa semua lontar mengakar pada kitab suci Veda. Untuk nabi utama, mereka akhirnya memilih Maha Rsi Vyasa dengan pertimbangan beliau adalah Rsi yang mengkodifikasi ajaran Veda. Meskipun pada dasarnya Hindu memiliki ratusan dan bahkan ribuan resi. Dari sisi ritual, salah satunya akhirnya disepakati tri sandya sebagai ritual bersama. Dan yang terakhir adalah hari besar akhirnya dipilihlah tahun baru Saka, sebagai Hari Raya Nyepi.

Hari Raya Nyepi ditetapkan sebagai hari raya Hindu di Bali pada saat pesamuan agung Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) di aula Fakultas Sastra Udayana pada tanggal 21-22 Februari 1959 dan dilanjutkan dengan Dharma Asrama di Campuan Ubud pada tanggal 17-23 November 1959. Hanya saja Hari Raya Nyepi secara serentak di Bali baru dapat dilaksanakan mulai tahun 1973. PHDI memerlukan upaya yang sangat keras dalam melakukan standardisasi atau penyeragaman prosesi Nyepi ini mengingat masing-masing desa sudah memiliki adat kebiasaanya atau dresta-nya yang sangat mengakar kuat. Bahkan dalam banyak kasus, pelaksanaan Nyepi tidak selalu sepi, hening. Ada juga beberapa desa yang malah melaksanakan kegiatan pesta yang meriah. Dengan usaha keras PHDI dan segenap pemimpin agama di Bali, akhirnya setelah 10 tahun berlalu, prosesi Nyepi sudah memperlihatkan wajahnya yang standar. Setalah 10 tahun berlalu juga, akhirnya Hari Raya Nyepi mendapat pengakuan dari pemerintah sebagai hari libur nasional berdasarkan keppres RI nomor 3 tahun 1983.

Evolusi Hari Raya Nyepi tidak berhenti sampai di libur nasional. Meski sudah diakui sebagai libur nasional, tetap saja prosesi Nyepi belum sama antara satu desa dengan yang lainnya. Seperti pawai ogoh-ogoh misalnya. Sejarah mencatat pawai ogoh-ogoh baru muncul pada tahun 1984 di beberapa lokasi di Bali. Di desa kelahiran penulis, bahkan pawai ogoh-ogoh baru dimulai setalah tahun 2000-an. Hal ini karena di beberapa desa memiliki tradisi yang mengakar kuat bahwasanya yang bisa diarak pada saat hari Pengerupukan hanya alat musik, kulkul dan/atau tapakan (barong, rangda dan sejenisnya). Sedangkan penutupan bandara serta akses masuk lainnya ke Bali tercatat baru dapat dilakukan sejak tahun 1999. Sehingga mulai pada saat itu, pelaksanaan Hari Raya Nyepi sudah menyerupai seperti apa yang terjadi saat ini.

Memahami Makna Tunggal Dibalik Tradisi yang Berbehineka.

Terlepas dari apa, bagaimana dan kenapa Nyepi bisa ada seperti saat ini, satu hal yang perlu kita hayati adalah makna tunggal di balik itu semua. Semua kegiatan ritual pada dasarnya merupakan simbolisasi dan usaha manusia untuk mendekatkan diri pada Yang Kuasa. Ritual juga merupakan saranan pengejawantahan cipta, rasa dan karsa manusia terhadap Tuhan, Lingkungan dan sesamanya. Oleh karena itu, mari jangan memperdebatkan asal-usul dan bagaimana penyepian harus dilaksanakan. Tetapi mari kita selami maknanya sehingga kita mendapatkan makfaat yang optimal dari prosesi perayaan Nyepi tersebut.

Selamat Hari Raya Nyepi Kawan……. Semoga Damai selalu menyertai kita.

Hari Om……………

Translate »