Harian Radar Bali (25/07/13) memuat berita berjudul “Komnas HAM Datangi Warga Kasepakang”. Sesuai dengan judul berita tersebut, terdapat lima kepala keluarga yang mengalami kasus kesepakang, atau diusir dari desanya karena dianggap telah melanggar aturan adat. Sesuai dengan berita tersebut, kelima keluarga tersebut diusir oleh masyarakat adat hanya karena mengganti namanya dari nama yang biasa dipakai masyarakat “jaba” menjadi nama “gusti” yang biasa dipakai oleh masyarakat “tri wangsa”. Kelima keluarga tersebut mengganti namanya karena menurut mereka silsilah keluarga mereka sebagaimana yang tertulis dalam prasasti keluarga memang keturunan para ksatrya dan seiring dengan perjalanan waktu beberapa generasi keluarga di atas mereka meninggalkan gelar kebangsawangan tersebut.

Sebut saja Si Kobar, yang diceritakan sebagai salah satu anak dari keluarga tersebut sedang berkunjung ke rumah Pan Lagas. Pan Lagas adalah keluarga jauh Si Kobar yang dulunya juga mengalami kasus adat namun saat ini sudah sukses baik secara materiil maupun spiritual menjalani hidup di perantau.

Singkat cerita, Si Kobar bertanya kepada Pan Lagas; “Wa Lagas, nasib saya sekarang sangat sial seperti nyala lilin yang semakin hari semakin redup. Hidup saya sangat susah. Jadi tolong saya Wa! Lalu Pan Lagas menanggapi dengan meminta Si Kobar menjabarkan kisah kenapa kehidupan Si Kobar bisa menjadi sangat susah dan Si Kobar pun menceritakan bahwa keluarganya mengalami masalah adat sehingga sejak tahun 2011 mereka dikucilkan dan dipaksa meninggalkan desanya. Si Kobar pun mengutarakan bahwa akibat berada di pengungsian, keluarganya sudah tidak sanggup membiayai sekolahnya, padahal dia sangat ingin melanjutkan pendidikan ke jenjang SMA sehingga Si Kobar memohon dengan sangat pada Pan Lagas agar mau membiayai sekolahnya.

Dengan senyum di wajahnya Pan Lagas menyaut: “Cita-citamu melanjutkan sekolah amat bagus. Wa siap menolongmu dengan syarat agar kamu tekun belajar, mau bekerja keras, mentaati adat-istiadat Desa Pekraman dan berbesar hati untuk mencapai masa depan yang sukses. Kamu harus percaya diri, jangan berkecil hati walau sekarang dalam keadaan susah. Percaya diri itu amat penting agar kamu bisa mengatasi berbagai hambatan dan tantangan. Sebab hidup di dunia ini penuh dengan rintangan dan tantangan. Tidak ada orang luput dari kedua hal ini. Pengalaman yang tidak menyenangkan selama 3 tahun lebih di pengungsian sepintas lalu sepertinya jelek, tetapi kalau ditanggapi dengan bijaksana maka hal itu merupakan cambuk untuk memaksa kamu lari lebih kencang menuju sukses yang dicita-citakan. Seperti kuda penarik gerobak, jika tidak dicambuk oleh kusir maka larinya akan lambat”.

Dengan muka yang sangat serius Si Kobar menanggapi pernyataan Pan Lagas dengan berkata; “Bagaimana caranya saya bisa bijaksana menanggapi masalah ini Wa… kami sudah sangat sakit hati dan pikiran dikucilkan oleh seluruh masyarakat desa. Kami juga kesulitan dalam hal materi”.

Pan Lagas menanggapi pertanyaan Si Kobar dengan berkata: “Jika masalah perubahan nama yang menjadi biang keladi keluarga kamu mengalami nasib seperti ini, maka kebijaksanaan itu diawali dengan merenungkan soal nama. Apa sih untungnya kamu memakai nama Gusti Kobar jika kenyataannya kamu mengalami nasib seperti ini? Jika dulu pada waktu masih bernama Si Kobar ternyata kamu hidup aman dan nyaman menempati tanah pekarangan milik desa pekraman dan kamu bisa beraktivitas leluasa, lalu apa sih ruginya menyandang nama Si Kobar? Renungkan hal ini dengan hati tenang. Jangan sok bangsawan”.

“Karena pada silsilah prasasti keluarga kami dulunya bernama Gusti, lalu apa salah kalau sekarang kami menggunakan nama itu lagi Wa”, jawab Si Kobar dengan muka kecut.

Pan Lagas pun kembali menjawab dengan mengelus-elus kepala Si Kobar; “Memang tidak salah. Bahkan tidak ada hukum positif yang diatur oleh negara yang membatasi kamu mengganti nama dengan tetek bengek apapun. Kamu boleh menggunakan nama raja, nama pangeran atau gelar apapun yang kamu suka. Tetapi permasalahannya ada di adat kebiasaan di Bali yang sudah kadong seperti itu. Maka masalah ini bersinggungan erat dengan perasaan masyarakat. Silsilah keluarga Wa dulunya adalah keturunan raja dengan nama Anak Agung, tetapi kenyataannya dari sekian generasi keluarga Wa akhirnya memutuskan untuk menggunakan nama I Wayan, I Made, I Nyoman dan juga I Ketut. Pada jaman dulu nama-nama ini biasa digunakan oleh keluarga kerajaan, namun pada saat ini nama-nama ini sudah dianggap sebagai soroh jaba, soroh dalam tataran yang lebih rendah dari masyarakat tri wangsa. Lalu mau bagaimana lagi? Apa Wa harus menuntut adat agar mengakui Wa sebagai golongan bangsawan dengan mengganti nama Wa menjadi Anak Agung Lagas? Buat apa sih harus ribut masalah nama? Wa tidak berminat melakukan perubahan nama apapun sesuai dengan yang disampaikan oleh silsilah prasasti keluarga inti Wa. Karena pada dasarnya menyandang gelar kebangsawanan dalam suatu nama sebenarnya sangat berat tanggung jawabnya terhadap masyarakat”.

Dengan sedikit bergurau Si Kobar nyeletuk: “Berapa ton beratnya Wa?”.

“Dalam hal ini bukan ton ukurannya. Melainkan tanggung jawab moral ukurannya. Jika kamu ingin memakai gelar Anak Agung, maka kamu harus benar-benar berprestasi “Agung”, yaitu memiliki jiwa pemberani, rela berkorban demi masyarakat luas, mampu mengayomi dan menjaga keamanan masyarakat dari berbagai macam mara bahaya yang mengancamnya. Jika tidak mampu berbuat seperti itu kepada masyarakat, maka gelar itu sama dengan gelar hampa. Seperti gabah hampa jadinya akan dibuang oleh masyarakat karena tidak berguna. Orang-orang mau saja menyebut anda Anak Agung Kobar, tetapi di dalam hati mereka tidak ada rasa simpati, hanya sekedar basa basi yang manis di depan tetapi di belakang mencibir. Kalau kamu ingin menggunakan gelar Ida Bagus Kobar, maka karaktermu juga harus betul-betul bagus, berbuat susila, kasih sayang, menguasai filsafat agama dan mampu mencerdaskan umat. Terampil membina masyarakat yang miskin agar menjadi makmur. Yang nakal dibina agar menjadi orang baik. Yang pelit dibina agar menjadi dermawan. Jika kamu mampu melakukan itu, maka tidak usah kamu menyatakan diri bernama Ida Bagus, masyarakat sendiri yang akan mengangkat drajat kehidupanmu sehingga dihormati dan diagungkan. Begitu pula gelar gusti. Kata gusti memiliki padanan kata dengan wesya yang berarti memiliki sifat-sifat seperti air, yaitu mampu mengayomi semua mahluk hidup. Sehingga jika menyatakan sebagai seorang gusti, maka seharusnya orang tersebut mampu menyayomi, melindungi dan memakmurkan masyarakat. Kamu harus ahli sebagai pemimpin yang dapat memajukan kehidupan masyarakat, bukan hanya untuk memperkaya diri sendiri dengan memeras masyarakat. Gelar itu bukan untuk gagah-gagahan. Walaupun kamu bergelar Profesor, Doktor, Master atau Sarjana, jika prestasi kamu nol besar, maka kamu hanya akan menjadi bahan ejekan masyarakat. Pernah kejadian beberapa tahun lalu gelar Profesor dapat dibeli dengan uang. Wa punya teman akrab sering berbelanja ke Toko Puncak Karang. Sepengetahuan Wa bahwa teman Wa itu tidak pernah kuliah. Tetapi pada suatu saat di bajunya terpasang emblim nama Profesor Gede Lungguh, M.Si. Wa sepontan menyalaminya sembari mengucapkan selamat. Tetapi di dalam hati Wa sejujurnya tertawa sinis dengan gelar tersebut. Sampai akhirnya beberapa tahun berikutnya tersiar kabar bahwa ada gelar bodong yang beredar di kaum intelektual. Sejak kabar itu mencuat di media massa, maka teman Wa itu tidak pernah lagi terlihat memajang gelar profesor dan juga masternya. Seperti itulah beratnya menyandang suatu gelar, baik itu gelar tri wangsa (agung, dewa, bagus, gusti), maupun gelar-gelar akademik. Makanya sebagai orang yang masih belajar, Wa lebih senang menyembunyikan gelar kesarjanaan yang Wa punya dan juga tidak ada niat mengganti nama Wa dengan Anak Agung. Malu kalau mengaku diri sebagai soroh tri wangsa hanya karena keturunan tetapi di balik itu prestasinya nol besar. Malu bilang diri Ida Bagus tetapi tidak menguasai ajaran Veda. Malu mengaku Anak Agung, Pregusti dan segala jenis gelar lainnya jika tidak memiliki kemampuan, prestasi dan sumbangsih apapun buat masyarakat. Buat apa menggunakan gelar bodong seperti itu, apa lagi jika menganggap diri memiliki kedudukan lebih tinggi dari pada mereka yang tidak memasang gelar apapun di namanya.” Jawab Pan Lagas dengan lirih.

Sebagai anak muda yang memiliki rasa ingin tahu yang tinggi, Si Kobar kembali bertanya ke Pan Lagas mengenai apa contoh kecurangan yang diperbuat mereka yang sok bergelar triwangsa. Dan Pan Lagas pun menjawab dengan menjelaskan bahwa dalam awig-awig banjar tercantum istilah “paras-paros, sagilik-saguluk sarpanaya, salulung sabaya antaka”. Istilah ini secara singkat diartikan bahwa sebagai warga Banjar, maka semuanya memiliki hak dan kewajiban sama dalam menghadapi masalah kehidupan dan kematian. Duduk sama rendah dan berdiri sama tinggi. Misalnya pada waktu ada tugas memikul bade, atau wadah tempat mayat, maka semua anggota Banjar wajib ikut memikul. Jika ada oknum penyandang nama tri wangsa menolak melakukan ini dengan alasan yang meninggal adalah “nak jaba” sementara menurut keluarganya mereka dilarang memikul mayat nak jaba, maka itu artinya dia sudah melanggar awig-awig. Orang yang curang seperti ini biasanya mencari alasan pembenaran agar kecurangannya tidak kentara. Dalam hal ini dia berusaha meyakinkan masyarakat bahwa aturan keluarganya memang tidak membolehkan memikul bade nak jaba. Tentu saja masyarakat yang dicurangi seperti itu merasa jengkel dengan tindakan seperti itu, meski sebagian besar diantara mereka hanya diam. Tetapi yakin suatu saat nanti hal itu bagaikan api dalam sekam yang akan siap membara dan terbakar hebat suatu saat nanti. Karena alasan itulah pernah kejadian di Banjar Angkan, Kelungkung rumah “sang triwangsa” dirusak oleh massa. Sebagai masyarakat beragama Hindu, apa sistem wangsa atau sering disebut kasta itu dibenarkan dalam kitab suci Veda? Veda tidak pernah mengenal istilah Kasta. Veda hanya mengenal istilah Varna yang mengacu pada tugas, kedudukan dan karakter (guna dan karma) seseorang yang sama sekali tidak dipengaruhi oleh faktor keturunan. Jadi menurut Veda, seseorang akan menjadi brahmana, ksatrya, vaisya, sudra atau pun candala (orang yang diluar sistem Varna dan memiliki kedudukan terendah karena tidak mengikuti prinsip-prinsip dharma), hanya karena guna dan karmanya, bukan karena ayah, ibu dan leluhurnya. Sebagai generasi muda yang cerdas, yang memiliki akses yang luas pada ajaran Veda, maka sudah sepatutnya kita bisa mengerti duduk persoalan, memahami sejarah dan ajaran agama, sehingga dapat melihat mana yang benar dan mana yang salah di masyarakat. Kita perlu mengetahui hal ini agar kita bisa memposisikan diri sesuai dengan Varna kita masing-masing. Jika kita memiliki guna dan karma sehingga memposisikan kita sebagai seorang Brahmana atau Ksatrya, maka sudah sepatutnya kita bisa meluruskan adat istiadat yang keliru, meskipun harus dilakukan secara bertahap dan sangat perlahan.

Bersambung…..

Digubah dari tulisan: Jro Mangku Wayan Swena

Translate »