Saat itu adalah musim panas di sebuah negara di Eropa yang juga bertepatan dengan bulan Ramadan. Musim panas merupakan musim yang tepat untuk mengunjungi Eropa karena tidak akan terlalu sulit bagi orang-orang tropis untuk beradaptasi akibat suasananya tidak jauh beda. Dalam sebuah perjalanan kereta, saya duduk bersebelahan dengan dua orang Asia yang sama-sama berasal dari Indonesia. Sebagaimana adat ketimuran, maka tegur-sapa pun berlanjut. Diawali dengan tanya jawab formalitas yang semakin menghangat dan berlanjut dengan diskusi ngalor-ngidul yang bahkan terkait dengan sesuatu yang di sebagian negara barat dianggap tabu untuk dipertanyakan, yaitu masalah agama. Diskusi menjadi semakin panas ketika seorang teman nyeletuk berkata “perjalanan sebagai musafir adalah perjalanan menuju kafir”. Kata-kata ini muncul akibat seorang teman lain yang berkeluh-kesah bagaimana dia tidak mampu menjalankan kewajibannya melaksanakan ibadah puasa saat musim panas di Eropa karena rentang waktu puasanya yang sangat panjang. Bayangkan, jika di Indonesia matahari terbit sekitar jam 6.00 sehingga sahur dilakukan sekitar jam 04.00 dan berbuka sudah dapat dilakukan saat matahari terbenam sekitar jam 18.00, maka berbeda halnya dengan di sini. Di sini sahur dimulai sekitar jam 02.00 akibat matahari terbit kira-kira jam 04.00 – 05.00 dan buka puasa baru akan bisa dilakukan saat matahari terbenam pada jam 21.00 – 22.00. Terdapat perbedaan rentang waktu puasa yang mencapai sekitar 5-6 jam jika dibandingkan dengan negara-negara ekuator seperti di Indonesia. Sebuah rentang waktu yang cukup panjang bukan? Awalnya saya kaget dengan pernyataan jalan menuju kafir di atas. Ya wajar, karena dari ketiga orang tersebut, hanya saja yang ber-KTP Hindu, alias kafir. He he he he… Mungkin mereka juga tidak tahu kalau saya Hindu. Tapi ya sudah, biarkan saja dituduh kafir, toh acuan judgment yang mereka pakai adalah panduan (baca: kitab) mereka sendiri, kalau panduannya diubah menjadi panduan saya, mungkin mereka bisa dikatakan kaum-kaum bego kan? He he he…

Diskusi berlanjut mengenai sorga dan neraka. Satu orang di antara mereka berujar bahwa orang-orang kafir pasti akan masuk neraka karena tidak mengakui Allah dan agama-Nya sebagai agama mereka. Begitu juga orang-orang yang menuju kafir, meski di KTP-nya adalah Islam, namun ibarat sudah masuk ke perguruan tinggi tertentu, tetapi jika tidak dapat menunaikan kewajibannya dan lulus dengan memperoleh ijazah kelulusan, maka tetap saja dia akan masuk neraka. Ada dua topik menarik yang berbeda dan berhubungan di sini, yaitu sorga neraka, serta analogi agama sebagai sebuah institusi pendidikan.

Pernyataan sorga dan neraka dapat saya abaikan karena sebagaimana sudah kita ketahui bersama, istilah sorga dan neraka hanya ada di kitab-kitab suci agama timur yang berbasis rumpun bahasa sansekerta. Dengan kata lain, istilah itu adalah istilah asli kitab Veda dan tidak satu kata pun dalam Al-Qur’an atau pun Al Kitab yang menuliskan kata sorga dan neraka di dalamnya. Lalu kenapa selama ini mereka jualan sorga dan neraka bahkan ke umat Hindu yang memang pemilik asli istilah sorga dan neraka? Itu hanya kemasan dagang yang disesuaikan dengan istilah di Indonesia. Lha bagaimana tidak, ajaran Veda pada dasarnya sudah mendarah daging di Indonesia sehingga banyak sekali istilah, tata cara dan adat kebiasaan yang berlandaskan pada Veda. PDKT hanya akan berhasil jika terdapat interface yang baik antara penjual dan calon pembeli bukan? Untuk menciptakan interface tersebut maka dengan terpaksa istilah dan adat istiadat setempat harus diadopsi terlebih dahulu. Sayangnya setelah 4 abad berlalu, dan disaat pemilik istilah sorga dan neraka itu sendiri sudah menjadi korban dagangan hasil duplikasi, istilah sorga dan neraka belum kunjung sukses direvisi juga. Diskusi mengenai sorga dan neraka ini sudah pernah saya bahas dalam artikel lain secara panjang lebar, jadi dalam artikel ini kita cukupkan saja dulu ya. Sekarang kita beralih ke analogi institusi pendidikan.

Bagi saya, analogi institusi pendidikan yang dijadikan perumpamaan untuk mencapai sorga atau keselamatan atau apa lah yang digunakan penganut agama Abrahamik tersebut di atas sangat menarik. Sejujurnya saat itu adalah kali pertama saya mendengar analogi tersebut. Dan setelah usut kali usut dengan searching di google, ternyata analogi tersebut bukanlah analogi yang baru, tetapi analogi yang sudah dikutip berulang kali oleh para penyiar agama mereka. Dasar saya-nya saja yang kuper karena sangat jarang nonton TV. Ya maklum karena tidak punya TV… he he he…. Habisnya isi program TV di Indonesia kebanyakan pembodohan.. :D. Saat itu saya sejujurnya saya menjadi lola alias loading lambat untuk dapat mencerna dan merenung mengenai analogi tersebut. Ya terpaksa deh belum bisa memberi sanggahan apapun kecuali mengikuti arus pola pikirnya. Awalnya saya membenarkan bahwa jika kita tidak pernah masuk ke suatu institusi pendidikan, maka kita tidak akan pernah diakui memiliki kualifikasi dalam suatu bidang yang diwujudkan dalam bentuk sertifikat kelulusan. Faktanya di dunia modern ini, memang benar bahwasanya lowongan dunia kerja selalu dibuka dengan embel-embel persyaratan minimal harus lulus D3, S1 dan bahkan S2. Faktanya, sejenius dan secerdas apapun kita, jika kita tidak pernah bersekolah sehingga tidak memiliki ijazah dalam jenjang pendidikan yang dipersyaratkan, maka bukan perkara yang mudah dalam mencari kerja. HDR suatu perusahaan akan selalu memulai seleksi karyawannya dari berkas-berkas peryaratan dasar. Kalau perusahaan tersebut mensyaratkan S1, maka pelamar yang hanya melampirkan berkas SMA, D1, D3 akan langsung tereliminasi. Apa lagi yang tidak pernah sekolah, bagaimana mau ujuk kecerdasan di depan direksi, lha persyaratan dasar saja sudah tidak memenuhi.

Tetapi… tunggu dulu… analogi di atas memang menarik dan sangat cocok dengan fakta di lapangan. Hanya saja apakah layak kita membandingkan sebuah agama yang katanya ciptaan Tuhan dengan institusi pendidikan yang merupakan ciptaan manusia? Bukankah akan lebih baik jika ciptaan Tuhan juga harus dibandingkan dengan ciptaan Tuhan yang lain? Terkecuali memang ajaran agama itu sesungguhnya didominasi oleh karangan manusia juga… he he he he…

Setelah lama hanya menjadi pendengar yang baik, ide mengganti analogi institusi pendidikan dengan analogi lain yang lebih natural akhirnya mucul juga. Analogi yang saya ajukan saat itu adalah mengenai api. Pertanyaan pertama saya, apakah ada perbedaan efek membakar dari api untuk orang dewasa yang tahu bahwa api itu panas dengan balita yang sama sekali tidak tahu bahwa api itu bisa membakar badannya? Faktanya, sifat api yang panas dan membakar akan tetap sama baik untuk orang yang tahu maupun untuk mereka yang tidak tahu. Lalu apa hubungannya dengan sorga dan neraka? Bagi penganut agama Abrahamik, sorga hanya dapat dicapai dengan syarat dasar bahwa seseorang harus ber-“KTP” agama mereka dulu. Setelah itu baru ditambah dengan syarat selanjutnya mengikuti ajaran mereka. Sedangkan di luar” KTP” mereka sudah pasti akan dilaknatkan Allah dan masuk neraka. Di beberapa aliran kristen lebih unik lagi, asalkan seseorang sudah mengakui Yesus sebagai Tuhannya, maka dia otomatis akan diselamatkan dan masuk sorga meski sebelumnya memiliki dosa yang sangat besar. Dengan konsep berpikir seperti ini, maka sudah jelas analogi yang paling cocok adalah analogi institusi pendidikan sebagaimana yang sudah dibahas di atas. Lalu bagaimana dengan pemahaman Hindu? Menurut ajaran Veda, sorga dan neraka adalah susunan planet material lain di luar bumi yang akan menjadi tempat seseorang menerima reward dan punishment setelah mengakhiri kehidupan di bumi. Asal seseorang sudah memiliki kualifikasi kebaikan maka dia juga berkualifikasi masuk surga tanpa dia harus menyatakan diri bahwa dia adalah orang Hindu. Demikian juga dengan ganjaran di neraka, hukuman neraka dapat diterima oleh siapapun tanpa memandang suku dan agama jika memang orang tersebut dikategorikan adharmik. Bahkan dikatakan, bagi para atheist yang tidak percaya pada Tuhan pun jika selama hidupnya cenderung berbuat baik akan memiliki kualifikasi untuk diangkat ke planet-planet sorga. Hal ini sangat berbeda dengan ajaran Abrahamik bukan? Bagi Abrahamik, orang atheist dapat dipastikan masuk neraka lapisan paling bawah. Sekarang bandingkan konsep kualifikasi masuk sorga dalam ajaran Hindu dengan analogi sifat membakar dari api di atas, serupa bukan? Api akan tetap membakar seseorang yang menyalahgunakannya tanpa memandang orang tersebut percaya atau tidak bahwa api memiliki sifat membakar. Ganjaran sorga dan neraka juga akan dicapai tanpa memandang orang itu percaya atau tidak bahwa sorga neraka serta Tuhan yang menciptakannya ada.

Masih kurang puas dengan analogi api? Bandingkan saja dengan analogi yang berhubungan dengan hukum-hukum alam yang lain. Hukum gravitasi tetap akan membuat siapa pun tanpa peduli dia percaya atau tidak untuk jatuh ke bawah, Hukum fisika newton tetap akan berlaku untuk siapa pun di dunia ini tanpa dia tahu apa itu fisika. Virus dan bakteri tetap akan bereaksi terhadap tubuh seseorang tanpa dia harus percaya bahwa virus dan bakteri itu berbahaya baginya.

Siapa yang menciptakan alam beserta hukum-hukumnya? Lalu siapa yang menciptakan institusi pendidikan? Yang pasti, kesimpulan diskusi  dalam kereta tersebut adalah bahwasanya Agama Alamiah alias agama ciptaan Tuhan akan cenderung lebih masuk akal dan dapat dibenarkan hanya dengan mengilhami hukum-hukum alam itu sendiri. Agama ciptaan manusia akan lebih cocok dengan analogi ciptaan manusia. Dengan kata lain, Agama-agama abrahamik adalah gagasan manusia tentang alam beserta pencipta-Nya, sedangkan agama Timur merupakan hasil kontemplasi perenungan mendalam yang ajarannya muncul dari alam alias mendekati kebenaran Tuhan. Benar-tidaknya kesimpulan ini, silahkan direnungkan sendiri karena memang kesimpulan ini muncul hanya dari diskusi singkat sepanjang perjalanan kereta. Apa lagi setelah mengetahui bahwa salah satu lawan bicara di kereta itu adalah seorang murtadin, alias mantan penganut Islam yang saat ini memilih mengikuti salah satu ajaran agama Timur yang meskipun KTP-nya masih agama yang lama. Olahan… ternyata dalam diskusi tersebut saya bukan 1 vs. 2, tetapi 2 vs. 1, jadi wajar kalau menang…. ha ha ha ha ha..

 

Translate »