Darimana manusia berasal? Pertanyaan ini tidak mudah dijawab. Bagi kaum creationist, mereka yang percaya bahwa segala sesuatu di alam semesta ini adalah hasil ciptaan Tuhan, pertanyaan itu mudah dijawab. Dengan bekal keimanan atau sradhha pada uraian kitab suci, segera jawaban itu ditemukan. Adam dan Hawa adalah manusia pertama yang diciptakan oleh Allah menurut keimanan Islam. Manusia sekarang adalah keturunan dari mereka. Dalam kitab Bhagavata Purana 3.12.51-56, terdapat uraian tentang bagaimana Dewa Brahma menciptakan Manu dan Satarupa, yang kemudian diperintahkan untuk berketurunan, sehingga mereka adalah leluhur manusia.

Namun, jawaban yang mengutip ayat-ayat kitab suci itu, tidak memuaskan bagi kalangan akademis. Meskipun jelas-jelas kita mengaku beragama. Mengapa? Karena tidak ada bukti-bukti ilmiah yang mendukung pernyataan itu. Kalau benar Adam dan Hawa ada, tahun berapa mereka diciptakan? Kalau Manu adalah manusia pertama, kapan mereka hidup? Apa buktinya?

Pendidikan modern mendidik kita untuk hanya percaya pada hal-hal yang bisa dilihat oleh mata, bisa diterima oleh akal sehat, bisa ditangkap oleh indria-indria kita. Seeing is believing. Jangan percaya pada uraian kitab suci, karena itu hanya dogma, tanpa bukti-bukti yang dapat dipertanggungjawabkan.

Sebagai hasilnya, kita justru lebih menerima Teori Evolusi Darwin, ketimbang mempercayai konsep Adam dan Hawa, ataupun Manu dan Satarupa. Karena apa? Karena Teori Evolusi Darwin didukung oleh temuan-temuan ilmiah, disertai bukti-bukti yang kasat oleh mata. Ya, seeing is believing.

Sebagai penganut Weda, bagaimana pandangan dan tanggapan kita terhadap teori Darwin itu? Benarkah manusia dan bangsa primata memiliki nenek moyang yang sama, namun mengalami proses evolusi yang berbeda, seperti usulan Charles Darwin itu???

Sebagai orang awam dan bodoh, saya jadi bingung mencari fakta dari teori itu. Kalau benar manusia dan kera memiliki nenek moyang yang sama, mana ’makhluk peralihan’ antara kera dan manusia?Pernahkah Anda atau siapapun juga melihatnya? Kalau benar nenek moyang kita adalah monyet, mengapa sampai sekarang tidak ada monyet di Gembiraloka atau Ragunan yang berubah jadi manusia? Pertanyaan inilah yang tak terjawab oleh Darwin dan para pendukung teori evolusi lainnya. Inilah yang disebut sebagai missing link , hilangnya ’makhluk peralihan’ antara manusia dan kera. Makhluk peralihan antara jegek dan jelek.

Dalam perspektif Weda, teori evolusi Darwin itu tidak lebih daripada sekedar spekulasi yang hambar. Darwin tidak mengetahui konsep evolusi yang sesungguhnya, yaitu bahwa bukan badan jasmani yang mengalami evolusi, melainkan sang roh yang mengalaminya. Roh yang mengalami reinkarnasi dan mendapatkan badan-badan jasmani sesuai dengan karmanya.

Weda menyebutkan adanya 8.400.000 (asitim caturas caiva laksams) jenis kehidupan, mulai dari bakteri hingga para dewa, didasarkan pada jenis kesadaran yang dimiliki oleh makhluk hidup. Mengenai penggolongan atau klasifikasi makhluk hidup, telah diuraikan dalam kitab Padma Purana sebagai berikut :

jala-jā nava-lakñāni sthāvara lakña-vimsati
krmaya rudra-sankhyakah paksinam dasa-laksani
pasavas trimsa-laksani manusya catur-laksani

“Terdapat 900.000 jenis kehidupan dalam air (aquatic species); 2.000.000 jenis kehidupan alam bentuk tumbuhan dan pepohonan; 1.100.000 jenis kehidupan serangga; 1.000.000 jenis kehidupan bentuk burung; 3.000.000 jenis kehidupan binatang buas, dan 400.000 jenis kehidupan dalam badan manusia”.

Perhatikan bahwa arti kata “jenis kehidupan” atau “species” yang dipahami oleh para ilmuwan berbeda dengan arti yang terkandung dalam ayat ini. Arti yang digunakan oleh para ahli biologi mengacu pada penampilan lahiriah jasmani kasar makhluk hidup atau morfologinya. Namun makna menurut Weda adalah makna yang diperoleh setelah melalui analisa yang mendalam dan berhati-hati, yaitu berdasarkan tingkat kesadaran makhluk hidup. Sebagai contoh, para ahli biologi mengelompokkan manusia menjadi satu species saja, sedangkan Veda mengelompokkannya menjadi 400.000 species. Dengan kata lain ada 400.000 golongan manusia berdasarkan tingkat kesadaran mereka.
Mengapa terdapat begitu banyak variasi makhluk hidup? Dalam Bhagavad-gita (8.6), Sri Krsna menjelaskan :

yam yam vapi smaran bhavan
tyajaty ante kalevaram
tam tam eva iti kaunteya
sada tad-bhava bhavitah

“Keadaan hidup manapun yang diingat seseorang saat meninggalkan badannya, pasti keadaan itulah yang akan dicapainya, wahai Putra Kunti (Arjuna).”

Manusia dan monyet memang beasal dari nenek moyang yang sama yaitu Tuhan Yang Maha Esa. Manusia dan monyet diciptakan pada awal ciptaan oleh Tuhan dan akan tetap ada untuk selamanya. Barangkali suatu jenis kehidupan punah di bumi ini, tapi tidak menutup kemungkinan jenis kehidupan tersebut berada di planet lain. Inilah yang tidak diketahui oleh Darwin.
Menurut ayat di atas manusia memang bisa menjadi monyet jika pada akhir hidupnya, ingatannya kepada monyet di ”Bonbin”, tapi monyetpun bisa menjadi manusia jika diakhir hidupnya ingatannya teringat pada ”Tuannya”. Karena bukan badan yang berevolusi tetapi jiwa atau roh yang ada di dalam badan yang berevolusi dengan cara pindah dari satu badan ke badan yang lain.
Pemaparan di atas adalah konsep evolusi versi kitab Weda. Permasalahannya adala, kita adalah orang-orang akademik. Terlalu skeptis terhadap apapun yang dianggap doktrin atau dogma agama. Perlu dukungan bukti-bukti ilmiah dulu, baru kita menerimanya sebagai sebuah kebenaran.
Bukan hanya kaum agamawan yang menyanggah kebenaran teori evolusi Darwin itu. Sejak buku The Origin of Species diterbitkan (New York: D, Appleton and Company, 1883) para ilmuwan berkomentar sebagai berikut :

Stephen J. Guld, seorang ahli evolusi terkemuka.
“The idea that an arm could evolve into a wing is absurd.”
(“Pendapat bahwa lengan dapat berkembang menjadi sayap adalah tidak masuk akal”.)

Dr. Austin H. Clark, Biologist, Smithsonian Institute.
“There is no evidence which would show man developing step by step from lower forms of species”

Translate »