Beberapa saat yang lalu saat saya berkunjung ke Gramedia Book Store, secara sangat kebetulan saya mengambil sebuah buku yang bertemakan “Wanita” dalam sebuah rak buku teologi. Secara sangat kebetulan saya membuka sebuah halaman secara acak dan saya temukan sebuah ulasan yang sangat menarik, tetapi juga membuat saya geleng-geleng kepala sebagai seorang pengikut Veda.

Buku tersebut adalah sebuah buku karangan seorang “oknum” muslim yang secara umum “mempropagandakan” bahwa dalam ajaran Islam kedudukan seorang wanita adalah sangat terhormat. Sampai disini saya menghormati sang penulis yang mengagungkan agamanya dan saya memandang itu sebagai sesuatu yang wajar. Namun sampai pada sebuah penjelasan yang saya maksud, saya kehilangan simpati terhadap sang penulis. Dalam banyak contoh-contoh-nya sang penulis mendeskreditkan ajaran non-Islam mengenai kedudukan wanita.

Hal inilah yang menyebabkan saya tergerak untuk memberikan penjelasan dan merupakan jawaban dari tuduhan buku yang sangat tidak fair tersebut. Dengan menggunakan “azas praduga tidak bersalah” saya akan mencoba mengutip beberapa bukti yang bertolak belakang dengan penjelasan buku tersebut. Namun sekali lagi saya tegaskan, artikel ini tidak dimaksudkan untuk mendeskreditkan seseorang atau kelompok tertentu, melainkan hanya menjawab ketidak-fair-an buku yang saya temukan tersebut.

Sang penulis menjelaskan bahwa  di dalam ajaran Hindu, kedudukan wanita sangat lemah dan tidak berdaya, hanya Islam-lah yang menjunjung tinggi harkat dan martabat wanita. Dia memberikan sebuah contoh tentang dewi Sita yang setelah diculik oleh Rahvana dan dibebaskan kembali oleh suaminya, Rama beserta bala tentara keranya akhirnya diperlakukan secara tidak adil, dibuang ke hutan sampai akhir hidupnya. Sang penulis juga menjelaskan bahwa di Hindu wanita diperlakukan secara tidak adil dengan mengharuskannya menjalankan sati, yaitu dibakar hidup-hidup setelah suaminya meninggal.

Apa benar Hindu mengajarkan seperti itu?

Saya pribadi tersenyum mendengar penjelasan sang penulis yang “bodoh” ini. Dia mendeskreditkan ajaran agama lain tanpa pernah membaca ajaran Hindu yang sebenarnya. Apalagi dengan memberikan deskripsi kejadian tanpa mengutip sumber yang valid.

Kisah Dewi Sita dan Rama dapat kita temukan dalam kitab Ramayana yang ditulis oleh Maha Rsi Valmiki yang menurut kronologi waktu dari Veda sendiri berlangsung 18,1 juta tahun sebelum masehi. Kitab Ramayana adalah bagian dari Itihasa, yaitu suatu epos/sejarah kepahlawanan yang memang benar-benar pernah terjadi.

Mengenai bukti sejarah Ramayana sudah dibuktikan dengan ditemukannya reruntuhan kerajaan Ayodya dan juga jembatan yang dibangun tentara kera untuk menghubungkan India dengan Alenka (Srilanka) sebagaimana dapat diamati melalui pencitraan satelit NASA.

Kisah dewi sita menjalani pengasingan di Hutan dan akhirnya masuk kembali ke dalam perut bumi diceritakan dalam bagian (kanda) terakhir dari Ramayana. Jika kita pahami secara mendetail literatur Veda, penjelmaan Rama, Laksmana dan Sita adalah Avatara Tuhan yang muncul kedunia dengan tujuan membinasahkan orang jahat dan menyelamatkan orang saleh sebagaimana disebutkan dalam Bhagavad Gita 4.8 pariträëäya sädhünäà  vinäçäya ca duñkåtäm  dharma-saàsthäpanärthäya sambhavämi yuge yuge”. Pada dasarnya Tuhan tidak harus muncul dan hadir kedunia sebagai Rama untuk membinasahkan Rahvana, tetapi Beliau melakukan “lila”, sandiwara rohani yang dapat dijadikan falsafah hidup bagi seluruh umat manusia.

Singkat cerita, setelah Rahvana binasah di tangan Avatara Rama, Sita-pun terselamatkan dan dengan menggunakan pesawat “Vimanas” diterbangkan menuju Ayodya, kerajaan Sri Rama. Rama sebagai anak tertua dari tiga bersaudara akhirnya diangkat sebagai raja Ayodya untuk menggantikan Ayahnya yang sudah wafat dan otomatis Sita menjadi ratu-nya.

Setelah beberapa waktu berlalu, di kalangan rakyat Ayodya beredar desas-desus yang menyangsikan kesucian Dewi Sita yang sempat diculik dalam jangka waktu yang lama oleh Rahvana. Sampai pada akhirnya berita tidak sedap ini sampai kepada Rama, suami dewi Sita. Sudah barang tentu Rama sebagai Avatara Tuhan yang mengetahui segala sesuatu tidak meragukan kesucian dewi Sita, namun untuk meredam desas-desus rakyatnya akhirnya Rama menyiapkan suatu upacara di mana Sita harus meloncat kedalam kobaran api. Jika Sita tidak suci, maka api akan membakar habis tubuh dewi Sita, tetapi jika Sita suci, maka api tidak akan sanggup membakarnya. Dalam upacara ini Sita sama sekali tidak terbakar dan hal ini membuktikan bahwa Sita benar-benar tidak ternoda.

Namun para rakyat yang dipenuhi oleh Avidya (kebodohan) masih saja menyangsikan prihal kesucian Dewi Sita, sampai pada akhirnya Rama sebagai seorang raja yang menjalankan Dharma Kesatria yang harus mengayomi seluruh rakyatnya dan menjaga ketertiban masyarakat memutuskan untuk mengasingkan dewi Sita ke hutan ketempat pertapaan Rsi Valmiki. Pada saat pengasingan ini dewi Sita sedang mengandung dan akhirnya melahirkan anak kembar di pertapan Rsi Valmiki. Oleh Maha Rsi Valmiki kedua anak ini dinamakan Kusa dan Lawa. Rsi Valmiki yang memiliki tugas menuliskan kisah Rama dan Sita kedalam kitab Ramayana ini mengajarkan kedua anak Rama dan Sita ini melantunkan syair-syair tentang kisah hidup orang tua mereka sendiri.

Sampai pada akhirnya Kusa dan Lawa mendapat kesempatan membawakan kisah ini di depan Rama, ayat mereka di istana Ayodya. Menyadari bahwa Kusa dan Lawa adalah anak-Nya, Rama langsung memeluk mereka. Singkat cerita akhirnya Rama memanggil dewi Sita kembali ke istana. Namun sebagai akhir “lila” Sri Rama, Dewi Sita menolak untuk kembali dan memilih kembali ke dalam dekapan ibu pertiwi, Dewi Sita kembali ke dalam perut bumi, dan Rama-pun akhirnya kembali ke Vaikuntaloka, alam rohani.

Jika kita membaca sepenggal kisah ini, mungkin kita akan beranggapan bahwa Sita diperlakukan secara tidak adil sebagai seorang wanita. Namun pada dasarnya ini adalah “lila”, sebuah sandiwara rohani yang tanpa dewi Sita pergi ke hutan ke pertapaan Rsi Valmiki, maka Ramayana mungkin tidak akan pernah ada dan diceritakan sampai saat ini. Demikian juga dari segi Dharma seorang Raja. Seorang yang menjabat sebagai pemimpin/raja, maka dia harus dapat melayani semua orang yang dipimpinnya, dia bukan lagi milik istrinya, anak-anak dan keluarganya, tetapi milik semua rakyatnya dan dia harus mengutamakan kepentingan rakyat banyak diantara kepentingan pribadi dan keluarga. Karena itulah pada saat itu tindakan Rama dan ketulusan Sita untuk mengasingkan diri kehutan demi kepentingan rakyat sudah sangat tepat.

Mengenai tindakan dimana seorang istri menceburkan diri kedalam perabuan suaminya atau “sati” memang dikenal oleh peradaban masyarakat Hindu. Tetapi tidak ada satupun sloka Veda yang mewajibkan seorang istri untuk ikut membakar diri bersama mayat suaminya. Mereka yang melakukan upacara sati adalah mereka yang memang atas dorongan dirinya sendiri yang memiliki cinta kasih dan pengabdian yang tulus pada suaminya. Dasar dari seorang istri untuk melakukan sati mungkin adalalah Manu Smrti 2.67; “Patise-va gurau vasah, melayani suami dengan  tulus  di rumah sama dengan tinggal di Gurukula” dan lebih lanjut dikatakan, “Suddha  nari  pativrata, istri yang selalu setia kepada suami dalam kesenangan  maupun kesusahan adalah wanita saleh” (CN.8.18). Seorang istri yang setia seperti ini menurut Veda sudah pasti akan diangkat kedalam kedudukan yang lebih tinggi, mereka sduah pasti akan mencapai Sorga.

Namun demikian Veda berkali-kali mengingatkan bahwa tujuan akhir kita bukan Svarga/Sorga, tetapi Moksha, mencapai alam rohani yang sat-cit-ananda. Dan kit juga bukan badan ini, kita adalah Atman/jiva. Kita mengambil wujud sebagai namusia, sebagai laki-laki dan wanita hanya karena badan material ini, namun Atman/jiva kita tetaplah sama. Sama sekali tidak terdapat perbedaan antara atman/jiva seorang lelaki dan seorang perempuan. Tidak terdapat perbedaan atman/jiva seorang manusia dengan atman/jiva hewan dan tumbuhan. Hali ni juga ditegaskan dalam Bhagavad Gita 6.29 Sarva bhuta-stham atmanam sarva bhutani catmani … sarvatra sama darsanah, Yogi sejati melihat sang Atma ada dalam badan jasmani segala makhluk dan juga melihat segala makhluk dalam Atma. Sungguh, ia yang telah insyaf diri melihat Atma yang sama dimana-mana”. Kesadaran yang mengatakan kita adalah manusia, yang mengatakan bahwa kita adalah lelaki dan perempuan adalah kesadaran palsu dari interaksi sang Jiva dengan maya. “Iccha dvesa samutthena dvandva mohena bharata sarge yanti parantapa, O keturunan Bharata, dibuai oleh keinginan menikmati secara terpisah dari-Ku dan keengganan melayani-Ku, wahai Penakluk musuh, maka  ia  (sang jiva) jatuh ke alam material” (Bhagavad Gita 7.27). Oleh karena na “bhajante”, tidak mau mengabdi kepada Sri Krishna dan “avajananti”, tidak senang kepada Beliau, maka “sthanad brastah patanti adhah”, jatuhlah sang jiva ke alam material (Bhagavata Purana 11.5.3).

Jadi sloka-sloka ini sudah sangat jelas bahwasanya Veda tidak membedakan antara wanita dan pria, bahkan Veda juga tidak membedakan seorang manusia dengan mahluk yang lain, melainkan semuanya adalah sama, yang membedakan hanyalah tingkat “Bhakti” sang Atman/Jiva kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Bukti yang sangat kuat mengenai kedudukan wanita yang sejejar dengan pria dapat dilihat dari penerimaan pewahyuan Veda itu sendiri. Wahyu kitab suci Veda diterima oleh 332 orang suci. 300 orang diantaranya adalah seorang Pria, yaitu antara lain Rsi Atri, Bhrugu, Vasishtha, Vishwamitra, Agastya, Yagyavalkya, Kanva, Bharadwaja, Gautama, Kashyap, Angirasa dan lain-lain. Dan 32 yang lainnya adalah seorang Brahmavadini, atau seorang Rsi wanita, yaitu antara lain Maitreyi, Gargi, Lopamudra dan lain-lain.

Melihat dari proses penerimaan Veda sendiri yang dapat diterima oleh seorang wanita, menunjukkan bahwa kedudukan wanita dalam hindu adalah sejajar dengan pria. Hal seperti ini mungkin tidak akan pernah anda temukan dalam sejarah agama yang lain, terutama agama-agama Abrahamik.

Setelah saya membantah tuduhan bahwa Hindu meletakkan wanita lebih rendah sebagai mana buku tentang wanita yang diterbitkan oleh oknum penulis muslim tersebut, sekarang ijinkan saya mengkritisi dan mempertanyakan apa yang disampaikan oleh penulis tersebut yang menyatakan bahwa Islamlah satu-satunya agama yang meletakkan wanita pada kedudukan yang paling mulia.

Tentunya pertanyaan dan bukti yang saya lemparkan dalam tulisan ini tidak untuk men-justice pernyataan saya sebagai kebenaran. Tapi saya harapkan teman-teman muslim yang kebetulan membaca artikel ini dapat memberikan masukan, sanggahan dan bukti-bukti yang mengarah pada kesamaan persepsi dengan kepala dingin tentunya.

Al-Qur’an menegaskan bahwa; “kaum pria punya kelebihan dari mereka (kaum wanita)” [2:228]; bahwa kesaksian wanita hanya berharga separuh kesaksian pria [2:282]; bahwa wanita mewarisi separuh dari yang diwarisi saudara lelakinya, [4:11-12]; bahwa seorang pria boleh menikahi dua atau tiga atau empat istri [4:3]; bahwa jika seorang wanita tertangkap dalam perang, majikan Muslimnya diperbolehkan untuk memperkosanya [33:50]; bahwa jika seorang istri tidak taat sepenuhnya pada suaminya, dia akan masuk Neraka [66:10]; bahwa istri adalah ladang tempat bercocok tanam bagi suaminya [2:223]; bahwa pria adalah pemimpin wanita, sepertinya wanita itu begitu bodoh atau terbelakang sampai-sampai  tidak bisa memimpin dirinya sendiri; bahwa wanita harus tunduk pada suaminya atau kalau tidak akan diperingatkan (lewat kata-kata), pisah ranjang (penindasan psikologis), atau dipukul (penindasan fisik) [4:34] [lihat kutipan Ali Sina dalam http://www.faithfreedom.org].

Menurut Muhamad hanya sedikit wanita yang akan masuk surga. Kebanyakan wanita masuk neraka. Marilah kita lihat apa yang sang Nabi katakan tentang hal ini. Di sini dia menggambarkan khayalannya ketika mengunjungi neraka dan surga:

“Lalu kulihat Api (neraka), dan aku belum pernah melihat sebelumnya pemandangan yang sangat mengerikan, dan aku melihat kebanyakan penghuninya adalah wanita.” Orang-orang bertanya, “O Rasul Allah! Mengapa begitu?” Dia menjawab, “Karena mereka tidak bersyukur.” Dikatakan, “Apakah mereka tidak percaya pada Allah (apakah mereka tidak bersyukur pada Allah)?” Dia menjawab, “Mereka tidak berterima kasih kepada suami-suami mereka dan tidak bersyukur untuk kebaikan yang dilakukan pada mereka. Bahkan jika kau berbuat baik pada satu diantara mereka seumur hidupmu, jika dia menerima kekerasan darimu, dia akan berkata, “Aku tidak pernah melihat satu pun hal yang baik darimu.’ “ Bukhari 7.62.125

Dalam hadis Bukhari 4.54.450 dikatakan bahwa Rasul Allah berkata, “Jika seorang suami memanggil istrinya ke tempat tidurnya (untuk berhubungan seks) dan istri menolak dan menyebabkan suami tidur dalam kemarahan, para malaikat akan mengutuki sang istri sampai pagi”

Lebih lanjut Quran 4:34 mengatakan “Lelaki adalah pengurus wanita karena Allah lebih menyukai lelaki diatas wanita dan wanita diambil hak2 mereka”.

Di Saudi Arabia jika seorang dibunuh atau terbunuh, sang pembunuh harus bayar uang darah atau kompensasi sebagai berikut:

100,000 riyals jika korban adalah lelaki Muslim

50,000 riyals jika korban adalah wanita Muslim

50,000 riyals jika pria Kristen

25,000 riyals jika wanita Kristen

6,666 riyals jika pria Hindu

3,333 riyals jika wanita Hindu

Sumber: The Wall Street Journal, April 9, 2002


Lalu, siapakah yang merendahkan Wanita? Hindukah?

Translate »