Sering kali saya berpikir, kenapa Hindu Nusantara runtuh dan digantikan secara cepat oleh Islam? Apa benar para penyebar agama Islam memiliki filsafat yang tinggi sehingga para Rsi Hindu luluh oleh filsafatnya? Ataukah karena masyarakat waktu itu hanya menjadikan Hindu sebagai label tanpa mengerti filsafat Hindu itu sendiri?

Meski hampir setiap saat berbagai “iklan” baik media elektronik dan media cetak mengatakan bahwa Islam disebarkan di bumi nusantara ini secara damai, namun sering kali saya berpikir “nakal”, apa benar Islam disebarkan secara damai?

Meski background saya adalah Fisika Nuklir, namun saya mencoba melemparkan beberapa bukti arkeologi yang mungkin membuat otak kita dipenuhi misteri. Untuk menghindari salah persepsi, saya tidak akan menarik kesimpulan ini dan itu, tetapi saya harap anda dapat menyimpulkannya sendiri berdasarkan data-data yang ada.

Berawal dari pemberitaan di sebuah surat kabar nasional yang menyebutkan ditemukannya komplek candi di sebuah pemakaman umum membuat saya bertanya-tanya. Kenapa sebuah komplek candi bisa dijadikan pemakaman? Apakah ini suatu hal yang kebetulan?

Pertanyaan “nakal” berikutnya kembali muncul setelah seorang teman saya mengatakan bahwa pura saya seperti kuburan karena dipenuhi pohon kamboja. Sontak saja saya berpikir dan berkata, “iya ya… kenapa kuburan di Jawa dipenuhi dengan pohon kamboja? Padahal kalau di Bali pohon kamboja sering kali di tanam di pura / tempat suci dan juga pekarangan rumah, kenapa bisa bertolak belakang seperti ini?”

Sehingga muncullah “hipotesa nakal” saya prihal penyebaran Islam di nusantara tidaklah berlangsung damai sebagaimana disebutkan selama ini, tetapi penuh dengan politik dan trik-trik kotor yang mendeskriditkan Hindu dan Buddha pada waktu itu.

Beberapa fakta menarik dimana komplek candi yang saat ini menjadi komplek kuburan antara lain adalah Candi Bojongmenje yang ditemukan kembali pada tanggal 18 Agustus 2002 oleh bapak Ahmad Muhammad ketika sedang meratakan tanah gundukan yang ada di areal makam Kampung Bojongmenje, Jawa Barat. Berdasarkan hasil peninjauan dapat diketahui bahwa lokasi situs Bojongmenje di sebelah selatan jalan raya Rancaekek, pada komplek kuburan yang terletak di antara pabrik-pabrik, secara administratif berada di wilayah Desa Cangkuang, Kecamatan Rancaekek, Kabupaten Bandung. Secara geografis berada pada 48’02” BT (berdasarkan peta topografi daerah°50’47” LS dan 107°posisi 6 Sumedang lembar 4522-II). Bangunan candi berada pada bagian barat laut lahan. Tanah di mana terdapat struktur bangunan candi sedikit menggunduk dengan ketinggian sekitar 1,5 m dari permukaan tanah sekitar.

Hal serupa juga ditemukan oleh warga Sukoharjo ketika menggali kuburan di pemakaman umum Turi Loyo, Kecamatan Grogol, Sukoharjo. Mereka menemukan sebuah arca yang diduga peninggalan zaman Kerajaan Majapahit. “Tempat penemuan arca diduga merupakan kawasan pemandian dan pemujaan, tetapi sekarang berubah menjadi tempat pemakaman umum,” kata Agus Riyanto warga yang tinggal dekat pemakaman tersebut.

Menurut keterangan Kepala Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Jawa Timur I Made Kusumajawa di sekitar situs Trowulan yang merupakan peninggalan Majapahit juga ditemukan candi yang posisinya sudah dijadikan kuburan warga. Berjejer di antara lokasi candi ditumbuhi pohon kamboja tua dan berjejer empat kuburan.

Di daerah Cangkuang juga ditemukan komplek candi yang juga dijadikan pemakaman leluhur Arif Muhammad. Candi Cangkuang ditemukan pertama kali pada bulan Desember 1966 oleh Uka Tjandrasasmita (anggota Tim Penulisan Sejarah Jawa Barat) berdasarkan laporan Vorderman (1893) tentang sisa-sisa arca Dewa Siwa serta makam leluhur Arif Muhammad di daerah Cangkuang. Ternyata yang ditemukan di pulau itu bukan hanya arca Siwa, melainkan juga batu-batu bekas bangunan candi yang digunakan sebagai nisan-nisan kubur Islam yang berserakan di beberapa tempat. Dan, setelah Lembaga Purbakala dan Peninggalan Nasional (LPPN) bersama para dosen dan mahasiswa dari Jakarta dan Bandung melakukan ekskavasi (penggalian), mengumpulkan batu-batu, penggambaran, penyusunan percobaan dan serangkaian diskusi, maka kesimpulannya bahwa batu-batu itu jelas sisa bangunan candi. Konsentrasi batu-batu itu terletak di bawah pohon besar dekat timbunan batu yang dikenal oleh masyarakat sebagai makam Dalam Arief Mohammad.

Di sepanjang pantura, dari ujung barat (Karawang), Tegal, Brebes dan juga Pemalang sangat banyak ditemukan peninggalan-peninggalan candi. Lebih lanjut Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan pada waktu itu, Sartono sebagaimana yang disampaikan oleh harian Merdeka (22 Juli 2006) mengatakan bahwa di daerah pemakaman Jatiwangi dan Pagerbarang juga ditemukan banyak reruntuhan candi. Namun sayangnya saat dilakukan evakuasi dan pemugaran, mendapat perlawanan dari sekelompok orang yang memiliki motif-motif tertentu.

Dari beberapa bukti arkeologi dimana candi dialihfungsikan sebagai kuburan, apa yang terbayang di benak anda? Kemana hilangnya keraton kerajaan Majapahit yang besar itu? Hancur karena usia ataukah sengaja di hancurkan? Hancur karena usia saya rasa tidak mungkin, karena dianalogikan dengan candi-candi dan bekas kerajaan di India, kamboja dan Thailand yang sudah umurnya ratusan bahkan ribuan tahun saja masih ada sampai sekarang meskipun tidak terawat dengan baik. Bukankah ini suatu bukti usaha pemberhangusan sejarah dan juga pemutarbalikan fakta?

Keterangan yang juga menguatkan “hipotesa nakal” saya adalah pada apa yang disampaikan dalam serat Darmagandhul dan ramalan Sabdo Palon yang tentunya sudah sangat dikenal di nusantara dan di Jawa khususnya. Dalam serat ini diceritrakan prihal hancurnya kerajaan Brawijaya  (1453 – 1478) oleh ulah putranya sendiri Raden Patah yang menyerang ayahnya atas hasutan  wali songo, terutama sekali sunan kalijaga.

Dalam serat 164 disebutkan bahwa: “…..mumpuni sakabehing laku; nugel tanah Jawa kaping pindho;  ngerahake jin setan; kumara prewangan, para lelembut ke bawah perintah saeko proyo kinen ambantu manungso Jawa padha asesanti trisula weda; landhepe triniji suci; bener, jejeg, jujur; kadherekake Sabdopalon lan Noyogenggong”. (…; menguasai seluruh ajaran (ngelmu); memotong tanah Jawa kedua kali; mengerahkan jin dan setan; seluruh makhluk halus berada di bawah perintahnya bersatu padu membantu manusia Jawa berpedoman pada trisula weda; tajamnya tritunggal nan suci; benar, lurus, jujur; didampingi Sabdopalon dan Noyogenggong)

173. nglurug tanpa bala; “yen menang tan ngasorake liyan; para kawula padha suka-suka; marga adiling pangeran wus teka; ratune nyembah kawula; angagem trisula wedha; para pandhita hiya padha muja; hiya iku momongane kaki Sabdopalon; sing wis adu wirang nanging kondhang; genaha kacetha kanthi njingglang; nora ana wong ngresula kurang; hiya iku tandane kalabendu wis minger; centi wektu jejering kalamukti; andayani indering jagad raya; padha asung bhekti”. (menyerang tanpa pasukan; bila menang tak menghina yang lain; rakyat bersuka ria; karena keadilan Yang Kuasa telah tiba; raja menyembah rakyat; bersenjatakan trisula wedha; para pendeta juga pada memuja; itulah asuhannya Sabdopalon; yang sudah menanggung malu tetapi termasyhur; segalanya tampak terang benderang; tak ada yang mengeluh kekurangan; itulah tanda zaman kalabendu telah usai; berganti zaman penuh kemuliaan; memperkokoh tatanan jagad raya; semuanya menaruh rasa hormat yang tinggi).

Dari serat ini kita dapat melihat bahwa sebelum penyerangan dan pemberhangusan Brawijaya oleh anaknya sendiri, kondisi kerajaan berlangsung tentram dan sejahtra, masyarakat melakukan aturan-aturan keagamaan dengan sangat baik dan menjungjung tinggi kebenaran.

Dalam serat yang lain juga diceritakan bahwa penyerangan berlangsung sangat terstruktur dan dilakukan dengan membabi buta, membunuh para brahmana / pendeta Hindu – Buddha dan juga menghancurkan tempat-tempat suci dan istana kerajaan.

Setelah Brawijaya dan kerajaannya diluluh lantakkan, akhirnya Brawijaya lari ke Blambangan dan bermaksud meminta bantuan dari kerajaan Bali dan Cina. Namun usaha beliau dapat di cegah oleh Sunan Kalijaga dan dengan daya upayanya berhasil membuat Prabu Brawijaya bertekuklutut dan akhirnya mengucapkan kalimat Syahadat sebagai tanda masuk Islam. Namun tidak demikian halnya dengan Sabdo Palon, penasehat uatama Brawijaya yang sama sekali tidak bersedia masuk Islam atas ajakan Brawijaya sendiri, maka mereka berpisah.

Namun, sebelum berpisah, Sabda palon sempat memberikan wejangan kepada Brawijaya sehingga membuatnya menyesal mengucapkan kalimat Syahadat dan meminta maaf kepada Sabda Palon.

Sabdo Palon : “Paduka sampun kêlajêng kêlorob, karsa dados jawan, irib-iriban, rêmên manut nunut-nunut, tanpa guna kula êmong, kula wirang dhatêng bumi langit, wirang momong tiyang cabluk, kula badhe pados momongan ingkang mripat satunggal, botên rêmên momong paduka. … Manawi paduka botên pitados, kang kasêbut ing pikêkah Jawi, nama Manik Maya, punika kula, ingkang jasa kawah wedang sanginggiling rêdi rêdi Mahmeru punika sadaya kula, …” (“Paduka sudah terlanjur terperosok, mau jadi orang jawan (kehilangan jawa-nya), kearab-araban, hanya ikut-ikutan, tidak ada gunanya saya asuh, saya malu kepada bumi dan langit, malu mengasuh orang tolol, saya mau mencari asuhan yang bermata satu (memiliki prinsip/aqidah yang kuat), tidak senang mengasuh paduka. … Kalau paduka tidak
percaya, yang disebut dalam ajaran Jawa, nama Manik Maya (Semar) itu saya, yang membuat kawah air panas di atas gunung itu semua adalah saya, …”)

Perhatikan ungkapan Sabdo Palon berikut ini : “Sabdapalon ature sêndhu: “Kula niki Ratu Dhang Hyang sing rumêksa tanah Jawa. Sintên ingkang jumênêng Nata, dados momongan kula. Wiwit saking lêluhur paduka rumiyin, Sang Wiku Manumanasa, Sakutrêm lan Bambang Sakri, run-tumurun ngantos dumugi sapriki, kula momong pikukuh lajêr Jawi, ….. ….., dumugi sapriki umur-kula sampun 2.000 langkung 3 taun, momong lajêr Jawi, botên wontên ingkang ewah agamanipun, …..” (Sabdo Palon berkata sedih: “Hamba ini Ratu Dhang Hyang yang menjaga tanah Jawa. Siapa yang bertahta, menjadi asuhan hamba. Mulai dari leluhur paduka dahulu, Sang Wiku Manumanasa, Sakutrem dan Bambang Sakri, turun temurun sampai sekarang, hamba mengasuh keturunan raja-raja Jawa, ….. ….., sampai sekarang ini usia hamba sudah 2.000 lebih 3 tahun dalam mengasuh raja-raja Jawa, tidak ada yang berubah agamanya, …..”)

Di kalangan spiritualis Jawa pada umumnya, keberadaan Semar (sabda palon) yang umurnya sangat panjang ini diyakini berupa “suara tanpa rupa”. Namun secara khusus bagi yang memahami lebih dalam lagi, keberadaan Semar diyakini dengan istilah “mencolo putro, mencolo putri”, artinya dapat mewujud dan menyamar sebagai manusia biasa dalam wujud berlainan di setiap masa.

Menurut Sabdo Palon dalam ungkapannya dikatakan : “…, paduka punapa kêkilapan dhatêng nama kula Sabdapalon? Sabda têgêsipun pamuwus, Palon: pikukuh kandhang. Naya têgêsipun ulat, Genggong: langgêng botên ewah. Dados wicantên-kula punika, kenging kangge pikêkah ulat pasêmoning tanah Jawi, langgêng salaminipun.” (“…, apakah paduka lupa terhadap nama saya Sabdo Palon? Sabda artinya kata-kata, Palon adalah kayu pengancing kandang, Naya artinya pandangan, Genggong artinya langgeng tidak berubah. Jadi ucapan hamba itu berlaku sebagai pedoman hidup di tanah Jawa, langgeng selamanya.”)

Seperti halnya Semar telah banyak dikenal sebagai pamomong sejati yang selalu mengingatkan bilamana yang di”emong”nya salah jalan, salah berpikir atau salah dalam perbuatan, terlebih apabila melanggar ketentuan-ketentuan Tuhan Yang Maha Esa. Semar selalu memberikan piwulangnya untuk bagaimana berbudi pekerti luhur selagi hidup di dunia fana ini sebagai bekal untuk perjalanan panjang berikutnya nanti.

Semar atau Kaki Semar sendiri memiliki 110 nama, diantaranya adalah Ki Sabdopalon, Sang Hyang Ismoyo, Ki Bodronoyo, dan lain-lain. Di dalam Serat Darmogandhul diceritakan episode perpisahan antara Sabdo Palon dengan Prabu Brawijaya karena perbedaan prinsip. Sebelum berpisah Sabdo Palon menyatakan kekecewaannya dengan sabda-sabda yang mengandung prediksi tentang sosok masa depan yang diharapkannya.

Berikut ungkapan-ungkapan itu : “….. Paduka yêktos, manawi sampun santun agami Islam, nilar agami Buddha, turun paduka tamtu apês, Jawi kantun jawan, Jawinipun ical, rêmên nunut bangsa sanes. Benjing tamtu dipunprentah dening tiyang Jawi ingkang mangrêti.” (“….. Paduka perlu faham, jika sudah berganti agama Islam, meninggalkan agama Buda, keturunan Paduka akan celaka, Jawi (orang Jawa yang memahami kawruh Jawa) tinggal Jawan (kehilangan jati diri jawa-nya), Jawi-nya hilang, suka ikut-ikutan bangsa lain. Suatu saat tentu akan dipimpin oleh orang Jawa (Jawi) yang mengerti.” “….. Sang Prabu diaturi ngyêktosi, ing besuk yen ana wong Jawa ajênêng tuwa, agêgaman kawruh, iya iku sing diêmong Sabdapalon, wong jawan arêp diwulang wêruha marang bênêr luput.” (“….. Sang Prabu diminta memahami, suatu saat nanti kalau ada orang Jawa menggunakan nama tua (sepuh), berpegang pada kawruh Jawa, yaitulah yang diasuh oleh Sabda Palon, orang Jawan (yang telah kehilangan Jawa-nya) akan diajarkan agar bisa melihat benar salahnya.”)

Lebih lanjut diceritakan : “Sang Prabu karsane arêp ngrangkul Sabdapalon lan Nayagenggong, nanging wong loro mau banjur musna. Sang Prabu ngungun sarta nênggak waspa, wusana banjur ngandika marang Sunan Kalijaga: “Ing besuk nagara Blambangan salina jênêng nagara Banyuwangi, dadiya têngêr Sabdapalon ênggone bali marang tanah Jawa anggawa momongane. Dene samêngko Sabdapalon isih nglimput aneng tanah sabrang.” (“Sang Prabu berkeinginan merangkul Sabdo Palon dan Nayagenggong, namun orang dua itu kemudian raib. Sang Prabu heran dan bingung kemudian berkata kepada Sunan Kalijaga : “Gantilah nama Blambangan menjadi Banyuwangi, jadikan ini sebagai tanda kembalinya Sabda Palon di tanah Jawa membawa asuhannya. Sekarang ini Sabdo Palon masih berkelana di tanah seberang.”)

Dari kalimat ini jelas menandakan bahwa Sabdo Palon dan Prabu Brawijaya berpisah di tempat yang sekarang bernama Banyuwangi. Tanah seberang yang dimaksud tidak lain tidak bukan adalah Pulau Bali. Untuk mengetahui lebih lanjut guna menguak misteri ini, ada baiknya kita kaji sedikit tentang Ramalan Sabdo Palon berikut ini.

3. Sabda Palon matur sugal, “Yen kawula boten arsi, Ngrasuka agama Islam, Wit kula puniki yekti, Ratuning Dang Hyang Jawi, Momong marang anak putu, Sagung kang para Nata, Kang jurneneng Tanah Jawi, Wus pinasthi sayekti kula pisahan”. (Sabda Palon menjawab kasar: “Hamba tak mau masuk Islam Sang Prabu, sebab saya ini raja serta pembesar Dang Hyang se tanah Jawa. Saya ini yang membantu anak cucu serta para raja di tanah jawa. Sudah digaris kita harus berpisah.)

4. Klawan Paduka sang Nata, Wangsul maring sunya ruri, Mung kula matur petungna, Ing benjang sakpungkur mami, Yen wus prapta kang wanci, Jangkep gangsal atus tahun, Wit ing dinten punika, Kula gantos kang agami, Gama Buda kula sebar tanah Jawa. (Berpisah dengan Sang Prabu kembali ke asal mula saya. Namun Sang Prabu kami mohon dicatat. Kelak setelah 500 tahun saya akan mengganti agama Buda lagi (maksudnya Kawruh Budi), saya sebar seluruh tanah Jawa.

5. Sinten tan purun nganggeya, Yekti kula rusak sami, Sun sajekken putu kula, Berkasakan rupi-rupi, Dereng lega kang ati, Yen durung lebur atempur, Kula damel pratandha, Pratandha tembayan mami, Hardi Merapi yen wus njeblug mili lahar. (Bila ada yang tidak mau memakai, akan saya hancurkan. Menjadi makanan jin setan dan lain-lainnya. Belum legalah hati saya bila belum saya hancur leburkan. Saya akan membuat tanda akan datangnya kata-kata saya ini. Bila kelak Gunung Merapi meletus dan memuntahkan laharnya.)

6. Ngidul ngilen purugira, Ngganda banger ingkang warih, Nggih punika medal kula, Wus nyebar agama budi, Merapi janji mami, Anggereng jagad satuhu, Karsanireng Jawata, Sadaya gilir gumanti, Boten kenging kalamunta kaowahan. (Lahar tersebut mengalir ke Barat Daya. Baunya tidak sedap. Itulah pertanda kalau saya datang. Sudah mulai menyebarkan agama Buda (Kawruh Budi). Kelak Merapi akan bergelegar. Itu sudah menjadi takdir Hyang Widi bahwa segalanya harus bergantian. Tidak dapat bila diubah lagi.)

7. Sanget-sangeting sangsara, Kang tuwuh ing tanah Jawi, Sinengkalan tahunira, Lawon Sapta Ngesthi Aji, Upami nyabrang kali, Prapteng tengah-tengahipun, Kaline banjir bandhang, Jerone ngelebne jalmi, Kathah sirna manungsa prapteng pralaya. (Kelak waktunya paling sengsara di tanah Jawa ini pada tahun: Lawon Sapta Ngesthi Aji. Umpama seorang menyeberang sungai sudah datang di tengah-tengah. Tiba-tiba sungainya banjir besar, dalamnya menghanyutkan manusia sehingga banyak yang meninggal dunia.)

8. Bebaya ingkang tumeka, Warata sa Tanah Jawi, Ginawe kang paring gesang, Tan kenging dipun singgahi, Wit ing donya puniki, Wonten ing sakwasanipun, Sedaya pra Jawata, Kinarya amertandhani, Jagad iki yekti ana kang akarya. (Bahaya yang mendatangi tersebar seluruh tanah Jawa. Itu sudah kehendak Tuhan tidak mungkin disingkiri lagi. Sebab dunia ini ada ditangan-Nya. Hal tersebut sebagai bukti bahwa sebenarnya dunia ini ada yang membuatnya.)

Kutipan serat ini hanya sebagian dari seluruh serat yang ada sebagaimana yang pernah diterbitkan oleh “Nurul Huda”. Meskipun tidak dikutip secara lengkap, namun dapat memberikan kita gambaran tentang seorang anak yang durhaka pada orang tuanya, politik busuk yang dilakukan oleh para wali songo, penghancuran terstruktur ajaran Hindu dan Buddha di tanah Jawa dan ramalan akan kembalinya ajaran “Budhi” yang merupakan keyakinan asli orang Jawa setelah 500 tahun perpisahan Brawijaya dengan Sabda Palon.

Setelah melihat catatan arkeologi, serat darmogandul dan jayabaya tersebut, dapatkah kita mengatakan bahwa Islam disebarkan secara damai dan elegan? Bukankah penyebarannya diwarnai dengan perang, durhaka pada orang tua, politik kotor dan usaha pemberhangusan budaya nusantara?

Hal yang juga menjadi perhatian saya saat ini adalah adanya usaha terstruktur untuk menghancurkan budaya Jawa dan Nusantara umumnya, baik melalui media elektronik maupun cetak. Coba kita perhatikan tayangan sinetron, kenapa yang digambarkan sebagai sosok jahat adalah mereka yang berpakaian Jawa, membawa keris dan melakukan ritual Kejawen? Sementara yang digambarkan sebagai sosk baik adalah mereka yang memakai sorban dan berpakaian serba putih ala Arab? Ditambah lagi dengan adanya usaha sekelompok orang yang berusaha melakukan arabisasi di bumi nusantara ini. Salah satunya adalah dengan cara penerapan undang-undang fornografi yang kontrofersial. Diskriminasi dan pemaksaan agama juga masih banyak terjadi di Nusantara tercinta ini. Banyak pasangan Kejawen, Sapto Dharmo dan kepercayaan asli nusantara tidak dapat melangsungkan pernikahan dan mendapatkan surat-surat administratif lainnya jika tidak menuliskan “Islam” dalam KTP-nya. Bahkan hal ini juga masih sering terjadi pada pemeluk agama minoritas Hindu seperti kasus yang menimpa beberapa keluarga di daerah Jawa Tengah.

Menyimpulkan hal ini memang merupakan suatu hal yang krusial, jika tidak diimbangi dengan niat baik, pikiran jernih dan mau menerima kenyataan tanpa mengedepankan sentimen pribadi dan keagamaan, maka hanya akan menimbulkan pertengkaran dan perdebatan yang tidak berujung.

Oleh karena itu, para pembaca saya arapkan dapat memberikan argumen yang didasarkan pada bukti otentik untuk menyanggah atau mendukung anggapan ini dan dengan kepala dingin tentunya.

Sumber:

  1. http://www.wacananusantara.org
  2. KOMPAS.COM, 1 September dan 3 November 2008
  3. Tim Koordinasi Siaran Direktorat Jenderal Kebudayaan. 1988. Aneka Ragam Khasanah Budaya Nusantara I. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
  4. Bambang Budi Utomo. 2004. Arsitektur Bangunan Suci Masa Hindu-Budha di Jawa Barat. Jakarta: Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata
  5. http://meditasiku.blogspot.com/
Translate »