Petugas sosial AS, JILL CARROLL yang bertugas di Irak disandra oleh kelompok separatis dan memaksanya masuk Islam atau mati.

Saya mulai menangis secara histeris. Saya sudah disandera oleh orang-orang Ā Irak militan selama 6 minggu. Mereka berikan saya hijab baru dan nama baru (Aisha) dan mencoba mengajak saya masuk Islam. Semakin saya membiarkan mereka mengajar saya, semakin besar harapan mereka saya akan masuk Islam. Setelah beberapa minggu, mereka selalu bertanya, “Mengapa kau belum juga masuk Islam ? Mereka selalu mengatakan bahwa mereka tidak mau memaksa saya tetapi lalu bertanya2 mengapa saya belum juga masuk Islam. Um Ali mengatakan bahwa ia akan marah kalau saya tidak masuk Islam, mengingat ia menghabiskan begitu banyak waktu mengajar saya.” (http://hotair.com/archives/2006/09/02/video-al-qaeda-tells-us-to-convert-or-die/)

Penjajahan sammudra yang dilakukan oleh Ā Colombus juga meninggalkan tragedi pahit dimana setiap dia menginjakan kakinya di negeri asing, ia menancapkan Salib. Membuat deklarasi yang diperlukan -Requerimento- untuk mengklaim tanah bagi pemimpin katoliknya di spanyol. Deklarasi itu berbunyi sebagai berikut:

“I certify to you that, with the help of God, we shall powerfully enter your country and shall make war against you..And shall subject you to the yoke and obedience of the church..and shall do you all mischief that we can, as to the vassals who do not obey and refuse to receive their lord and resist and contradict himā€ (D.Stannard, American Holocaust, Oxford University Press 1992, P.66)

Kepala suku Hatuey melarikan diri beserta orang-orangnya tetapi berhasil ditangkap dan dibakar hidup-hidup. Ketika dia sedang diikat di kayu, Pastor Fransiscan mendesaknya untuk mengakui Yesus sehingga jiwanya dapat pergi ke ‘Sorga” dari pada ke neraka. Hatuey menjawab bahwa jika sorga itu adalah tempat bagi orang-orang Kristen maka dia lebih memilih pergi ke neraka.. (D.Stannard, American Holocaust, Oxford University Press 1992, P.70) Apa yang terjadi pada Indian suku Arawak itu dilukiskan oleh saksi mata:

“The Spaniards found pleasure in inventing all kinds of odd cruelties..They built a long gibbet, long enough for the toes to touch the ground to prevent strangling, and hanged thirteen [natives] at a time in honor of Christ Our Saviour and the twelve Apostles…then, straw was wrapped around their torn bodies and they were burned alive.” [D.Stannard, American Holocaust, Oxford University Press 1992, P.72]

Or, on another occasion: “The Spaniards cut off the arm of one, the leg or hip of another, and from some their heads at one stroke, like butchers cutting up beef and mutton for market. Six hundred, including the cacique, were thus slain like brute beasts..Vasco [de Balboa] ordered forty of them to be torn to pieces by dogs.” [D.Stannard, American Holocaust, Oxford University Press 1992,P.83]

The “island’s population of about eight million people at the time of Columbus’s arrival in 1492 already had declined by a third to a half before the year 1496 was out.” Eventually all the island’s natives were exterminated, so the Spaniards were “forced” to import slaves from other caribbean islands, who soon suffered the same fate. Thus “the Caribbean’s millions of native people [were] thereby effectively liquidated in barely a quarter of a century”.[D.Stannard, American Holocaust, Oxford University Press 1992, P.72-73]

“In less than the normal lifetime of a single human being, an entire culture of millions of people, thousands of years resident in their homeland, had been exterminated.” [D.Stannard, American Holocaust, Oxford University Press 1992, P.75]

Dua contoh di atas hanyalah sekelumit kasus-kasus pembunuhan, penyiksaan dan pemerkosaan yang dilakukan oleh oknum yang mengatasnamakan Tuhan. Adalah hal yang sangat ironis dimana Tuhan digambarkan sebagai sosok yang Maha Kuasa masih tetap memerlukan pembelaan dari para pejuang dan prajurit Tuhan. Apakah Tuhan perlu dibela? Ataukah Tuhan mereka tidak bener-benar Maha Kuasa sehingga memerlukan pembelaan?

Menurut beberapa sumber, dalam kitab suci agama-agama Abrahamik, pada kenyataannya memang terdapat dualitas dalam memandang perintah-perintah pembelaan terhadap Tuhan ini. Di satu sisi Tuhan digambarkan sebagai sosok yang kasih dan maha penyayang terhadap semua mahluk. Tetapi di sisi lain digambarkan sebagai Tuhan pencemburu dan dengan berbagai perintah-perintahnya yang harus dituruti. Mungkinkah hal ini yang menelorkan kaum moderat dan kaum radikal?

Celakanya, pembenaran perang yang kerap terjadi dalam rumpun agama Abrahamik sering kali dikaitkan dengan perintah Sri Krishna kepada Arjuna untuk bertempur melawan Korawa sebagaimana tersirat dalam Bhagavad Gita. Sehingga sering kali penganut agama Abrahamik menjadikan Bhagavad Gita sebagai tameng pembenaran tindakan mereka dan menjadikan senjata yang mengatakan bahwa Hindu mengajarkan perang.

Benarkan Sri Krishna mengajarkan perang?

Sebagaimana diceritakan dalam kitab suci Mahabharata, Korawa yang dipimpin oleh Duryodana sangat ingin menduduki singgasana kerajaan meskipun dia tahu bahwa dalam tradisi keluarga Bharata yang berhak menduduki singgasana dan sebagai raja adalah putra tertua. Sehingga dengan segala tipu muslihatnya dia berusaha melenyapkan putra tertua Bharata, Yudistira beserta empat pandawa yang lain. Segala usaha liciknya yang didalangi oleh pamannya, Sankuni yang merupakan saudara dari ibunya, Gandari tidak pernah berhasil melenyapkan Pandawa.

Sehingga melihat perebutan kekuasaan antara pihak Korawa dan Pandawa, Bhisma sebagai tetua kerajaan memutuskan untuk membagi Astina Pura menjadi 2 bagian untuk menghindari perang saudara. Namun setelah beberapa waktu berselang, sikap lalim dan tamak pihak Korawa untuk memiliki seluruh kerajaan ternyata tidak juga pudar. Lewat tipu muslihat permainan dadu, Korawa berhasil mempermalukan Drupadi, menantu kerajaan yang seharusnya di hormati di depan para tetua dan guru kerajaan. Bahkan mereka berhasil memperdaya Pandawa untuk menyerahkan seluruh kerajaannya dan menjalani pembuangan ke hutan selama beberapa warsa.

Sampai akhirnya tiba saat Pandawa kembali dan mengambil kembali haknya atas kerajaannya, ternyata pihak Korawa ingkar janji dan sama sekali tidak mau memberikan kerajaan yang merupakan hak Pandawa.

Sampai akhirnya Sri Krishna sendiri datang ke Astina Pura sebagai Dharma Duta pihak Pandawa untuk mendamaikan perselisihan ini. Demi menghindari peperangan, Krishna dan pihak Pandawa bahkan tidak menginginkan kerajaan mereka kembali utuh, tetapi hanya meminta 5 desa saja untuk ke-5 Pandawa mengingat mereka dididik sebagai kesatria/pemimpin, sehingga kewajiban mereka adalah memimpin.

Namun apa yang terjadi? Pihak Korawa dengan congkaknya bersikeras tidak akan memberikan sejengkal tanahpun kepada pihak Pandawa. Seluruh jalan damai sudah dilakukan, tapi tetap tidak ada penyelesaian masalah dan malahan kejahatan/Adharma merajarela. Sehingga mau tidak mau maka jalan terakhir adalah perang.

Jadi, tidaklah benar bahwasanya perang Bharata Yuda yang diceritakan dalam Mahabharata adalah sejenis dengan perang Jihad atau misi Gospel-nya kolombus. Perang Bharata Yuda bukan karena faktor Agama, keyakinan atau karena berbeda asumsi prihal Tuhan, tetapi prihal sikap, yaitu kebenaran (Dharma) melawan kejahatan (Adharma).

Pada Bab 1 Bhagavad Gita dikisahkan bahwa tentara-tentara kedua belah pihak sudah saling berhadapan dan siap siaga bertempur. Arjuna, sebagai seorang kesatria yang gagah perkasa melihat sanak keluarga, guru-guru dan kawan-kawannya dalam tentara-tentara kedua belah pihak siap untuk bertempur dan mengorbankan nyawanya. Arjuna tergugah kenestapaan dan rasa kasih sayang sehingga kekuatannya menjadi lemah, pikirannya bingung dan dia tidak dapat bertabah hati untuk bertempur. Bahkan terbesit niat Arjuna untuk mundur dan menjadi seorang petapa dan bahkan seorang pengemis dari pada harus membunuh keluarga, guru dan saudara-saudaranya sendiri meskipun mereka ada di pihak yang salah. ā€œarjuna uvƤca kathaĆ  bhƩƱmam ahaĆ  saƬkhye droĆ«aĆ  ca madhusĆ¼dana iƱubhiĆ¹ pratiyotsyƤmi pĆ¼jƤrhƤv ari-sĆ¼dana, O pembunuh musuh, O pembunuh Madhu, bagaimana hamba dapat membalas serangan orang seperti kakek Bhisma dan Guru Drona dengan panah pada medan perang, padahal seharusnya saya menyembah mereka?ā€ (Bhagavad Gita 2.4).

Memulai penjelasan prihal esensi sang Atman, dalamĀ  Bhagavad Gita 2.11, Sri Krishna mensentil Arjuna dengan bersabda; ā€œaƧocyƤn anvaƧocas tvaĆ  prajĆÆƤ-vƤdƤƠƧ ca bhƤƱase gatƤsĆ¼n agatƤsĆ¼Ć Ć§ ca nƤnuƧocanti paĆ«Ć²itĆ¤Ć¹, sambil berbicara dengan cara yang pandai engkau menyesalkan susuatu yang tidak patut disesalkan. Orang bijaksana tidak pernah menyesal, baik untuk yang masih hidup maupun untuk yang sudah meninggal. Pada sloka berikutnya Krishna menjelaskan sifat-sifat Atman yang kekal dan yang dikatakan mati pada dasarnya hanyalah badan material ini. Sehingga tidaklah tepat larut dalam kesedihan karena suatu kematian, karena pada dasarnya Jiva seseorang akan tetap hidup dan mengembara untuk mendapatkan badan baru.

Dalam Bhagavad Gita 3.8 Sri Krishna juga mengingatkan Arjuna prihal tugas dan kewajibannya; ā€œniyataĆ  kuru karma tvaĆ  karma jyƤyo hy akarmaĆ«aĆ¹, Lakukan tugas kewajibanmu yang telah ditetapkan, sebab melakukan hal demikian lebih baik dari pada tidak bekerja. Arjuna sebagai seorang ksatria tugasnya memang adalah bela negara, menghukum dan bahkan membunuh orang-orang jahat (Adharma). Jadi siapapun yang mengancam kedudukan Dharma dan membuat onar harus ditindak, tidak perduli mereka adalah sanak saudara, bahkan pasangan kita sendiri. Dengan berpaling dari tugas kewajiban dan melanggar tugas yang kita emban dan melakukan tindakan kolusi dan nepotisme, maka kita sudah memupuk dosa dan terjerat dalam perangkap Adharma.

Demikian juga dalam wejangan-wejangan Sri Krishna dalam sloka-sloka selanjutnya mengarahkan agar Arjuna mengambil busur dan senjatanya agar dapat mati terhormat membela Dharma sebagai risiko profesinya atau akan mendapat kejayaan karena berhasil mengalahkan Adharma.

Jadi dalam kitab Bhagavad Gita ini tidak benar Krishna memerintahkan Arjuna untuk berperang demi membela Tuhan. Menjadikan Arjuna prajurit Tuhan sebagaimana yang dikumandangkan oleh oknum-oknum tertentu dewasa ini. Tuhan orang Hindu tidak perlu di bela karena Beliau Maha Kuasa, tetapi tugas setiap umat Hindu adalah bekerja dan melakukan tugas kewajibannya sebaik-baiknya berdasarkan prinsip-prinsip Dharma dan tidak ada alasan berpaling dari tugas kewajiban tersebut meski yang dilakukan akan merugikan dan menyakitkan bagi sanak keluarga kita sendiri karena mereka menyimpang dari koridor Dharma.

Proud to be Hindu! We have the greatest filosophy from olderst manuskrips in the world.

Translate Ā»