Umumnya, tempat suci umat Hindu dikenal dengan sebutan temple, mandir, dan juga kuil. Tetapi di Indonesia tempat suci umat Hindu lebih dikenal dengan sebutan Pura atau Candi. Jika kita telusuri lebih jauh, maka kita akan menemukan corak dan arsitektur yang berbeda antara tempat suci Hindu di luar negeri dengan yang ada di Indonesia. Di Indonesia sendiri terapat perbedaan yang cukup signifikan antara tempat suci Hindu di Jawa dengan di Bali. Jika di Jawa dalam sebuah komplek candi atau puranya hanya terdapat beberapa bangunan suci, maka di pura di Bali kita akan menemukan beberapa bangunan yang biasa disebut sanggah.
Jumlah sanggah dalam sebuah komplek pura cukup bervariasi. Ada yang 2, 3, 8 dan bahkan lebih. Namun menariknya terdapat sebuah bangunan sangah yang tidak pernah absen dalam suatu komplek pura, yaitu Padmasana. Menilik sejarahnya, keberadaan bangunan Padmasana di Bali berawal dari bisama yang disampaikan oleh Danghyang Nirartha yang memerintahkan agar dalam setiap komplek pura harus terdapat bangunan Padmasana.
Kenapa Padmasana harus selalu ada dalam sebuah komplek Pura? Sebuah pertanyaan sederhana yang sepertinya cukup menarik buat dikaji bersama.
Secara etimologi, Padmasana berasal dari kata “padma” yang artinya teratai dan “asana” yang artinya sikap duduk. Jadi Padmasana mengacu kepada sikap duduk teratai yang awalnya digunakan dalam aspek Asana Yoga. Namun dalam hal ini, terjadi distorsi makna dimana istilah Padmasana mengacu kepada tempat duduk atau singgasana dari dan menyerupai bunga teratai.
Sikap duduk Padmasana
Masyarakat Bali umumnya menyebutkan Padmasana sebagai sebuah bangunan yang puncaknya berbentuk kursi yang dibelakangnya berisi lukisan burung Garuda, di tengah-tengah bangunan pada setiap sudut ada patung astadikpalaka (dewa penguasa delapan penjuru mata angin), serta dasar bangunan memakai lukisan badawangnala dililit oleh dua ekor naga. Bangunan Padmasana yang lengkap di kelilingi oleh kolam sebagai simbol laut Ksira Arnawa, Padmasana dikatakan simbol gunung Mandara.
Bangunan Padmasana Modern
Melihat dari konsep umum yang berkembang di masyarakat, sepertinya konsep awal adanya Padmasana adalah mengacu kepada pemutaran gunung Mandara oleh para dewa dan raksasa dalam usahanya mencari Tirtha Amerta yang merupakan tirtha kekekalan. Untuk menyeimbangkan proses pengadukan tersebut, Tuhan muncul menjelma dalam wujudnya sebagai Kurma Avatara dan bertindak sebagai poros gunung Mandara di laut Ksira. Untuk menggerakkannya Naga Basuki dijadikan sebagai tali yang melilit gunung tersebut.
Bhagavata Purana 1.3.16:
surasuranam udadhim
mathnatam mandaracalam
dadhre kamatha-rupena
prstha ekadase vibhuh
Penjelmaan Tuhan yang kesebelas menjelma dalam bentuk kura-kura yang kulit-Nya menjadi poros sandaran untuk gunung Mandaracala, yang sedang dipergunakan sebagai alat pengocok oleh orang yang percaya kepada Tuhan dan yang tidak percaya kepada Tuhan di alam semesta
Pemutaran Gunung Mandara
Sebelum Tirtha Amerta keluar terlebih dahulu keluar racun yang sangat mematikan dan untuk menyelamatkan semua mahluk hidup, Siva sebagai dewa yang paling agung akhirnya menelan racun tersebut sehingga badan beliau berubah menjadi kebiru-biruan. Di satu sisi para ular dan naga juga memakan tetesan-tetesan racun yang ditelan dewa Siva sehingga dikisakan bahwa sejak saat itu ular dan naga menjadi berbisa.
Setelah itu Tuhan menjelma sebagai Dhanvantari sambil membawa kendi berisi Tirta Amertha yang dinanti-nantikan. Dikisahkan bahwa Tirta Amerta tersebut jatuh ke tangan para Raksasa. Untuk mengelabui para raksasa, sekali lagi Tuhan menjelmakan dirinya sebagai gadis cantik yang sangat mempesona bernama Mohini. Para raksasa yang terpesona akan kecantikan-Nya akhirnya menyerahkan Tirta Amerta tersebut dan mulailah Dewi Mohini membagi-bagikannya. Dewi Mohini memberikan Tirta Amerta yang asli kepada para dewa dan membagikan yang palsu kepada para raksasa. Menyadari tipuan ini, seorang Raksasa bernama Rahu menyusup dalam barisan para dewa dengan harapan mendapatkan Tirta Amerta yang asli. Namun ketika Tirta Amerta tersebut baru sampai di kerongkongan Raksasa Rahu, Tuhan dalam wujudnya sebagai Sri Visnu langsung melesatkan Sudarsan Chakra-Nya sehingga memenggal kepada Raksasa Rahu.
Bhagavata Purana 1.3.17:
dhanvantaram dvadasamam
trayodasamam eva ca
apayayat suran anyan
mohinya mohayan striya
Dalam penjelmaan kedua belas, Tuhan muncul sebagai Dhanvantari. Dalam penjelmaan ketiga belas, Beliau mempesona para ateis dengan kecantikan seorang wanita yang memikat dan kemudian memberikan minuman kekalan kepada para dewa untuk diminum
Jika konsep Padmasana yang terdapat dalam setiap komplek Pura berawal dari kisah pemutaran gunung Mandara ini, sudahkah corak dan arsitektur Padmasana kita saat ini sesuai dengan sastra?
Coba kita bandingkan gambar Padmasana modern yang ada saat ini dengan konsep pemutaran Gunung Mandara yang disampaikan dalam cerita diatas. Dikatakan bahwa seekor Naga yang bernama Basuki digunakan sebagai tali yang melilit gunung Mandara, lalu kenapa dalam gambar bangunan Padmasana modern di atas terlihat terdapat dua kepala naga? Bangunan Padmasana yang benar seharusnya hanya dililit oleh seekor naga Basuki dan dikelilingi oleh kolam sebagai simbol lautran Ksira Arnava. Di puncak gunung yang dalam hal ini adalah singgasana adalah tempat stana Tuhan.
Gambar konsep Padmasana yang tepat
Melihat dari konsep ini, Padmasana ditujukan untuk memuja Tuhan dimana digambarkan sebagai Kurma Avatara pada pondasi Padmasana dan Narayana yang bersifat Acintya (tidak terpikirkan) pada puncak Padmasana. Di belakang Padmasana juga senantiasa dihiasi dengan Garuda Visnu Kencana. Jadi apa motif tersembunyi danghyang Nirarta mengeluarkan Bisama agar dalam setiap komplek Pura dibangun Padmasana? Adakah korelasinya dengan pengabungan sekte-sekte di Bali oleh mpu Kuturan dalam Pesamuan Agung yang dilaksanakan di Bataanyar (kini Gianyar) dan menelurkan konsep Tri Murti? Apakah ini sebagai sebuah indikasi bahwa Danghyang Nirarta ingin mengarahkan agar semua umat Hindu di Bali memuja Sri Narayana atau Sri Hari atau Visnu?
Dikutip dari berbagai sumber.
Gambar konsep Padmasana yang tepat di ambil di Ashram Sri-Sri Radha-Madhava, Desa Siangan, Bitera, Gianyar.
Om Swastyastu
Tentang padmasana silahkan kunjungi: http://www.babadbali.com/pustaka/ibgwdwidja/ps01.htm
artikel yg memuat tentang padmasana: http://batubalilestari.wordpress.com/2009/06/26/padmasana/
@putra n Nay S
link nya bagus untuk nambah wawasan.Tapi kalo pembuatan Padmasana mengacu pd konsep pemutaran Gunung Mandara Giri oleh para Dewa dan Raksasa untuk mendapatkan amrta,yg pas tentunya model Padmasana sprti yg dikutip saudara Ngara diatas.
suksme
OSA
mohon penjelasan mengenai kemulan rong 3 di merajan / pura keluarga
menurut informasi yang sering saya dengar katanya ditengan Ida Hyang Widi disebelah kanan leluhur lelaki disebelah kiri leluhur wanita. pertanyaannya kalo memang atma dan brahman pada saat moksa tidak menjadi satu yang diwujudkan sebagai tempat dan wadah yang sama yang disebut kemulan mengapa persepsi kemulan yang saya dengar itu salah ya?
ato kalo esensi dari kemulan itu ada lebih tepat dari yang sering saya dengar tersebut mohon pencerahannya
shanti
Konsep yang dipakai memakai dua naga (Anantabhoga dan Basuki) http://www.iloveblue.com/bali_gaul_funky/artikel_bali/detail/25.htm
Kalau kita lihat secara fisik, bunga Padma tidak sama dengan bunga teratai.
Bahasa Bali teratai adalah ‘tunjung’. Untuk yang belum pernah melihat padma cenderung mengetahui bunga padma sebagai bunga teratai.
Dari warna sangat berbeda, bentuk fisik bunga sangat berbeda, bunga Padma memiliki biji yang bisa dikonsumsi yang rasanya sangat enak jika dimasak.
Hanya saja kedua bunga ini sejenis, sama-sama tumbuh di kolam (berlumpur).
Tetapi ukuran bunga Padma lebih besar dibanding bungan teratai. Setidaknya ini harus diketahui bahwa bunga Padma adalah bukan bunga teratai.
Dua kepala naga mungkin bukan berarti dua naga berbeda bli (menurut tiang pribadi), karena naga Basuki memiliki lebih dari satu kepala.
PADMASANA, “STANA” HYANG WIDHI YANG JUGA SIMBOLIS ALAM SEMESTA
Padmasana merupakan bangunan suci untuk men-stana-kan Ida Sanghyang Widhi sebagai simbolis dan gambaran dari makrokosmos atau alam semesta (buana agung). Bangunan suci ini dapat dijumpai hampir di seluruh bangunan suci Hindu di Bali maupun di luar Bali — dari Pura Kawitan, Kahyangan Desa, Swagina, sampai Kahyangan Jagat. Bahkan, bangunan suci ini ditempatkan sebagai pelinggih utama. Namun, bangunan suci ini masih banyak menyimpan misteri simblolis dan filosofis yang perlu dikupas lebih dalam. Lantas, apa sebenarnya perbedaan padmasana, padma kurung, padmasari atau padma campah?
—————————
DI Lontar “Dwijendra Tattwa” disebut, pelinggih berbentuk Padmasana dikembangkan oleh Danghyang Dwijendra, atau (nama lainnya) Danghyang Nirartha atau Pedanda Sakti Wawu Rauh. Dia datang ke Bali pada tahun 1489 M pada periode pemerintahan Dalem Waturenggong di Gelgel (1460-1550 M) dengan tujuan untuk menyempurnakan kehidupan agama di Bali.
Sebelum kedatangannya, agama Hindu di Bali telah berkembang dengan baik — penduduk memuja Hyang Widhi terbatas dalam kedudukan-Nya secara horizontal. Ajaran itu diterima dari para maharsi yang datang ke Bali sejak abad ke-8, seperti Rsi Markandeya, Mpu Kuturan, Danghyang Siddimantra, Danghyang Manik Angkeran, Mpu Jiwaya, Mpu Gnijaya, Mpu Sumeru, Mpu Ghana, dan Mpu Bharadah. Bentuk-bentuk pelinggih sebagai simbol atau niyasa ketika itu hanya Meru Tumpang Tiga, Kemulan Rong Tiga, Bebaturan, dan Gedong. Pura-pura di Bali pada saat itu tidak ada yang memakai Padmasana, kondisi ini sampai sekarang masih dijumpai terutama pada pura-pura kuno di Bali.
Disebutkan, pada saat memasuki Pulau Bali, Danghyang Dwijendra masuk ke dalam mulut naga besar dan di dalamnya ia melihat bunga teratai sedang mekar tanpa sari. Hal ini menggambarkan, naga itu adalah Naga Anantabhoga yang merupakan simbol dari Pulau Bali. Agama Hindu sudah berkembang di Bali dengan baik tetapi pemujaan hanya ditujukan kepada dewa-dewa sebagai manifestasi Ida Sanghyang Widhi. Dewa-dewa inilah yang disimbolkan sebagai daun bunga teratai yang mekar tanpa sari.
Danghyang Nirartha lalu menganjurkan penduduk Bali menambah bentuk pelinggih berupa Padmasana, menyempurnakan simbol (niyasa) yang mewujudkan Hyang Widhi secara lengkap ditinjau dari segi konsep horisontal maupun vertikal. Sehingga, pembangunan Padmasana dapat menjernihkan kekaburan yang terjadi secara fisik bangunan antara pelinggih pemujaan untuk Hyang Widhi dan pelinggih untuk roh suci leluhur yang terjadi saat itu. Sehingga kini, Padmasana dapat dijumpai di seluruh pura di Bali maupun luar Bali sebagai bangunan pelinggih utama.
Makna dan Simbol
Padmasana berasal dari bahasa Kawi, padma artinya bunga teratai, batin, atau pusat. Sedangkan asana artinya sikap duduk, tuntunan, nasihat, atau perintah (Prof. Drs. Wojowasito, 1977). Padmasana berarti tempat duduk dari teratai merah sebagai stana suci Tuhan Yang Maha Esa (I Made Titib, 2001). Berdasarkan dua pendapat ini, bahwa bunga teratai adalah simbol dari tempat duduk dari dewa-dewa dan Hyang Widhi sehingga Padmasana tidak lain dari gambaran alam semesta (makrokosmos) yang merupakan stana dari Ida Sang Hyang Widhi Wasa.
Dalam Lontar “Padma Bhuana”, Mpu Kuturan menyatakan bahwa Bali sebagai Padma Bhuwana. Bunga teratai (padma) dijadikan simbol alam semesta stana Hyang Widhi yang sebenarnya. Dalam Lontar “Dasa Nama Bunga” disebut, bunga teratai adalah rajanya bunga (Raja Kesuma) karena hidup di tiga alam — akarnya menancap di lumpur, batangnya di air, sedangkan daun dan bunganya di atas air (udara). Karenanya, bunga ini adalah simbol Tri Loka atau Tri Bhuwana Stana Hyang Widhi Wasa dan bunga daunnya yang berlapis-lapis sebagai perlambang dari sembilan arah penjuru mata angin alam semesta (I Ketut Wiana, 2004).
Posisi padmasana adalah sikap duduk bersila dengan kedua telapak kaki dilipat ke atas, sehingga tampak seperti posisi yang berbentuk lingkaran. Mungkin ini tidak sesuai dengan apa yang terlihat di lapangan, bahkan pada bagian puncak Padmasana tampak berbentuk singhasana berbentuk kursi persegi empat. Hal ini akan terjawab kalau orang memperhatikan pesimpen pancadatu atau pedagingan yang ditanamkan di dasar, di madya, maupun di puncak dari Padmasana (Cudamani, 1998).
Isi pedagingan pesimpen itu, terutama pedagingan puncak yang berbentuk padma terbuat dari emas, diletakkan paling atas di atas singhasana yang berbentuk kursi persegi empat ini. Karena ditanam, meskipun terletak di puncak, benda itu tidak terlihat dari luar. Rupanya pedagingan berbentuk padma dari emas inilah yang memberi nama bangunan itu sehingga bernama Padmasana — Dewa-dewa dan Ida Sang Hyang Widi bertahta di atasnya.
Simbol dari Padmasana menggambarkan tingkatan alam yaitu Tri Loka (bhur, bwah dan swah). Hal ini terlihat dari Bhedawang Nala dengan dua naga (Anantabhoga dan Basuki) melambangkan alam bawah (bhur loka), badannya (padma termasuk singhasana) melambangkan atmosfer bumi (bwah loka). Sedangkan swah loka tidak dilukiskan dalam wujud bangunan tetapi di dalam pesimpen pedagingan yang berwujud padma dan di dalam puja yang dilukiskan dengan “Om Padmasana ya namah dan Om Dewa Pratistha ya namah.”
Bentuk dan Fungsi
Bentuk bangunan Padmasana serupa dengan candi yang dikembangkan dengan pepalihan. Padmasana tidak menggunakan atap. Bangunannya terdiri dari bagian-bagian kaki yang disebut tepas, badan atau batur dan kepala yang disebut sari.
* Pada bagian kaki (dasar) terdapat ukiran berwujud Bedawang Nala (empas atau kura-kura) yang dibelit Naga Anantaboga dan Naga Basuki. Kemudian juga ada ukiran bunga teratai dan karang asti (gajah).
* Pada bagian badan (tengah) terdapat ragam hias berupa pepalihan, karang goak, simbar, karang asti, burung garuda, angsa, dan patung dewa-dewa astadikpalaka (dewa-dewa penjaga kiblat arah angin) seperti Dewa Iswara (timur), Brahma (selatan), Mahadewa (barat), Wisnu (utara), Maeswara (tenggara), Rudra (barat daya), Sankara (barat laut) dan Sambhu (timur laut) dan dewa ini membawa senjata sesuai dengan atributnya. Ada juga Padmasana dengan burung garuda yang mendukung Dewa Wisnu membawa tirta amerta seperti Padmasana di Pura Taman Ayun.
* Pada bagian kepala (sari) terdapat singhasana yang diapit naga tatsaka yang terbuat dari paras yang diukir sesuai bentuknya. Pada belakangnya terdapat ulon yang bagian tengahnya terdapat ukiran lukisan Sang Hyang Acintya atau Sang Hyang Taya sebagai simbol perwujudan Ida Sang Hyang Widhi. Lukisan ini menggambarkan sikap tari dari dewa Siwa yang disebut dengan Siwa Natyaraja dalam menciptakan alam semesta.
Fungsi utama Padmasana adalah sebagai tempat pemujaan Tuhan Yang Maha Esa. Di situlah Tuhan dipuja dalam fungsinya sebagai jiwa alam semesta (makrokosmos) dengan segala aspek kemahakuasaanya. Padmasana adalah niyasa atau simbol stana Hyang Widhi dengan berbagai sebutannya — Sanghyang Siwa Raditya (dalam manifestasi yang terlihat/dirasakan manusia sebagai matahari atau surya) dan Sanghyang Tri Purusa (dalam tiga manifestasi yang manunggal yaitu sebagai Siwa, Sada Siwa dan Parama Siwa). Di Pura Besakih ada Padmasana berjejer tiga, di situ di-stana-kan Parama Siwa (tengah), Sadasiwa (kanan) dan Sang Hyang Siwa (kiri).
Memperhatikan makna niyasa tersebut, jelaslah bahwa makna Padmasana adalah niyasa yang digunakan Hindu dari sekte Siwa Sidhanta karena sentral manifestasi Hyang Widhi yang menjadi pujaan utama adalah sebagai Siwa. Danghyang Nirartha yang mengembangkan bentuk niyasa Padmasana adalah pandita dari kelompok Hindu sekte Siwa Sidhanta. Sedangkan Padmasari dan Padmacapah dapat ditempatkan menyendiri yang berfungsi sebagai pengayatan atau penyawangan.
* nk acwin dwijendra
Penulis adalah Ngakan Ketut Acwin Dwijendra, ST, MA, dosen Fakultas Teknik Jurusan Teknik Arsitektur, Universitas Udayana
om swastyastu..
padmasana yang benar menurut pa? konsep waisnawa?
yang bedalah dengan konsep padmasana menurut saiwaisme…
jagan takabur bilang konsep padmasana yang paling tepat….
Beneh tusing nak ink tawang,biarkan padmasana bgt adanya,Tuhan ga complaint kq,bner ga??
Yg trpenting,tujuannya untk memuja Beliau,untuk mendekatkan diri pd Beliau..
Hyang Widhi be with You always,suksma..
Yup betul… kalau yang diceritakan ngarayana ya sudah pasti dari Bhagavata Purana.. karena mengutip sloka-sloka Bhagavata Purana..
Lalu konsep padmasana kita saat ini mengacu ke weda yang mana ya? Bingung juga… he..he..
Dear all
Yup, benar sekali konsep padmasana yang saya sampaikan disini adalah bersumber pada Bhagavata Purana. Jika ada temen-temen yang memiliki informasi sumber pembenaran Veda mengenai padmasana yang dililit oleh 2 naga mohon informasinya.
Saya juga yakin Tuhan tidak akan bermasalah dengan padmasana yang kita miliki saat ini, namun alangkah baiknya jika semua itu juga di dasarkan atas sastra biar tatwa, susila dan upacara kita berimbang… tidak timpang sebelah..
Salam,-
@ ngarayana
kalau ngga salah ingat mengenai cerita gunung mandara giri
bukankah gunung tersebut dililitkan naga oleh para deva dan raksasa supaya bisa ditarik ulur seperti mata bor?
thank’s ja……….
ceritanya menarik…
oke………
bagus……………
pertanyaan’q terjawab deh..
@ toshiya
Yup benar sekali.. menurut Bhagavata Purana, Gunung Mandara dililit oleh naga Basuki dan dijadikan seolah-olah sebagai tali oleh para Sura dan Asura dalam usahanya mendapatkan Amerta. Naga Basuki sendiri memiliki 7 kepala, bukan 2 kepala..
Karena itulah saya berpendapat bahwa Padmasana kita pada awalnya adalah merupakan perwujudan konsep pemutaran Gunung Mandara dan dengan satu naga yang melilitnya. Hanya saja mungkin karena rasa seni dan agar bangunan padmasana tampak simetris dan indah, para seniman akhirnya membuat padmasana dengan 2 buah naga..
Nah itu baru hipotesa saya saja.. kalau temen-temen memiliki informasi lain tentang ini dari sumber Veda, mohon di share agar tidak terjadi silang pendapat berkepanjangan..
Salam,-
ha ha ha, saya hampir selalu tertawa membaca artikel di sini.Prof of Sastra, yang anda maksud sastra itu dari India ya??? ini made in Indonesia man. Jangan picik gitu, semua sastra dari India, anda pakek dasar, apa tatanan bangunan di India lebih baik dari di Bali??? Di Veda ada sungai suci, sungai Gangga, bagai saya, biasa saja, justru lebih suci Tukad Selukat di desa saya. Jangan pindahkan gunung Mahameru ke Bali, nggak bisa man. Jangan pindahkan Sungai Gangga di Bali, nggak muat bro. Anda yang baru lahir kemarin, mengatakan ini menyimpang, itu keliru, anda mau merubah dunia??? rubah dulu diri anda, apa ada yang menyimpang apa tidak??? Sudah benarkah diri anda berdasarkan sastra India??? Jika sudah, hiduplah di sana.
@Nonametruth
Wah, separah inikah perpecahan pengikut Hindu di Indonesia saat ini? Dia mengaku Hindu, tetapi tidak mau menerima sastra Veda. Eh malahan mengedepankan masalah kultur dan asal-muasal. Kalau tidak mau mendasarkan pada sastra Veda, ya buat aja agama baru seperti contoh Kejawen yang tidak mau diakui sebagai Hindu meski dia adalah turunan Hindu. Gitu aja kok repot……
@Ngarayana
Kurang tepat jika dikatakan padmasana mengambil konsep pemutaran gunung mandara giri.
apakah ada kitab yang menyebutkan seperti itu? saya rasa Dhang Hyang Nirartha juga tidak bermagsud mengajarkan umatnya untuk memuja gunung mandara/event pangadukan gunung itu.
yang saya tau padmasana memang berbentuk seperti itu dari dulu. mungkin artistiknya berkembang, tapi maknanya tidak saya rasa. naga di bawah memang naga ananta boga dan basuki, melilit Bedawang nala (bukan kurma avatar).
Bedawang nala (bade-awang-nala) adalah api abadi yang terletak di pusat bumi. ketika gempa atau gunung meletus makanya dikatakan bedawang nala sedang bergerak.
bedawang nala ini dililit(diliputi) oleh dua ular ananta dan basuki. basuki adalah air, ananta boga artinya sumber makanan yang berlimpah. artinya bumi ini diliputi air dan sumber makanan (pohon2, mineral,dll). sedangkan naga taksaka di atas adalah simbol udara (atmosfer) yang ada di atas bumi.
Jadi padmasana itu simbol Bumi ciptaan tuhan tempat manusia bernaung. Memuliakan padmasana adalah wujud penghargaan kita kepada tuhan atas segala yanga telah diberikannya pada kita di dunia ini, berupa makanan berlimpah dan air, udara yang segar, dan tempat bernaung. segala yang ada di bumi adalah ciptaanNya yang patut kita lestarikan.
mohon Bli ngara untuk lebih mendalami dahulu sebelum menyimpulkan untuk membahas sesuatu.
kalau seperti yang saya sebutkan konsepnya kan jelas, dan benar(tidak melenceng) tetapi kalau bli memaksakan menilai padmasana dengan konsep mandara giri ya jelas semua yang ada pada padmasana terlihat salah(sama seperti menilai sepeda gayung dengan konsep pesawat).
malah yang harus dipertanyakan konsep padmasana pada gamba di bawah itu, sesuai tidak dengan konsep padmasana sesungguhnya? kenapa memakai konsep mandara giri? kenapa tidak bharata yuda?
yang jelas padmasana dan mandara giri itu berbeda bli, memang mirip dan orang sering tertipu mengira padmasana itu perwujudan mandara giri. tetapi padmasana(oleh Dang Hyang Nirarta) punya maknanya sendiri, sedangkan mandara giri juga maknanya sendiri, dan sampai kini padmasana masih tetap pada konsep aslinya bli, mohon jangan dirubah2 lagi. tidak pernah ada catatan padmasana itu berubah (kecuali perubahan gaya ornamental). kalau menurut bli seperti itu mohon bli tunjukkan bukti perubahan itu.
@ Nonametruth
Sebagaimana disampaikan saudara tomlos, saya menjadi Hindu karena saya meyakini kitab suci Veda sebagai pegangan. Sama sekali tidak ada pilihan dalam mengerti Tuhan Yang Maha Tidak terbatas kecuali kita mau dengan tunduk hati belajar berdasarkan 3 pondasi dasar, yaitu Sastra (kitab suci Veda itu sendiri), Guru (yaitu para guru-guru kerohanian yang mengajarkan kita pengetahuan tanpa batas secara garis perguruan dengan metode upanisad) dan sadhu, yaitu pergaulan dengan orang-orang suci yang sudah mengerti tentang kebenaran itu. Jika anda mengatakan bahwa anda bisa mengerti ajaran Hindu, tetapi anda menolak semua dasar ini dan juga mereject keberadaan kitab suci Veda, lalu apa layak anda disebut Hindu? Saya rasa memang benar bahwasanya kita tidak layak menyebut diri masih Hindu kalau kita tidak mengakui Veda.
Saya sendiri menyadari bahwasanya kita di Bali memiliki dasar-dasar kepercayaan yang dapat dikatakan sudah sangat mapan sebagai agama sendiri diluar Hindu. Kenapa saya katakan demikian? Hindu di Bali memiliki kitab suci Catur Veda Sirah yang merupakan pegangan dasar dimana leluhur kita tidak mengenal Catur Veda. Mengenai hal ini pernah saya tuliskan di artikel “Agama Hindu atau Agama Bali?”
Sebagai sebuah sistem yang bisa berdiri sendiri, kita tidak harus meniru dan menjiplak semua hal-hal yang berbau India. Tapi harus dipahami bahwasanya esensi dari modifikasi yang kita lakukan haruslah sama. Sama seperti kita mengimport teknologi pesawat dari negara tetangga. Kita tidak harus menjiplak semua teknologi tersebut apa-adanya. Kita bisa mengembangkannya dan bahkan memodifikasinya menjadi lebih baik dan lebih canggih. Tetapi ingat, esensi dari modifikasi itu tetap harus kita jaga. Jangan sampai kita memodifikasi pesawat yang bisa terbang menjadi sebuah mobil yang ternyata dari segi fungsionalitasnya menjadi lebih rendah. Jadi lakukan modifikasi jika itu mengarah kepada kemajuan, tetapi mari lakukan evaluasi jika modifikasi yang kita lakukan malahan semakin membuat mundur.
Sama dengan kasus modifikasi kitab suci Veda. Ada sangat banyak kitab suci yang diturunkan dari Veda yang origin dan itu terbukti bisa meningkatkan pemahaman keagamaan kita di nusantara. Tetapi apakah kita harus menutup mata terhadap suatu modifikasi yang ternyata menyimpang dari apa yang seharusnya? Saya ambil contoh sebuah “Pura tipuan” yang dibangun di beberapa daerah oleh para misionaris katolik di Bali. Mereka secara terselubung menstanakan “Sang Hyang Yesus” di pura tersebut dengan maksud menarik orang-orang Bali agar bisa memuja Yesus secara perlahan. Bukannya tidak mungkin jika suatu saat akan semakin banyak pura-pura di Bali dialihfungsikan dari pemujaan kepada ‘Sang Hyang Widhi” menjadi Sang Hyang Yesus”. Jika sampai kasus itu terjadi dan ada orang yang mengingatkan anda bahwa yang seharusnya (origin) adalah Sang Hyang Widhi, bukan Sang Hyang Yesus, apa yang akan anda lakukan? Apakah anda berusaha melakukan rekonstruksi ajaran menjadi otentik kembali ataukah tetap memuja Sang Hyang Yesus dan mengatakan Sang Hyang Yesus tidak ada bedanya dengan Sang Hyang Widhi?
@ Sutha
Saya tahu dengan mengungkapkan kasus kontroversi seperti ini pasti akan menimbulkan perdebatan yang tidak mudah. Namun bagaimanapun sebagai seorang penganut Hindu yang baik, saya rasa semua tindak-tanduk kita perlu di dasarkan pada sastra kitab suci Hindu, yaitu Veda itu sendiri. Saya menemukan konsep pembangunan padmasana ini pada kitab Bhagavata Purana Skanda 1 Bab 3. Saya juga sudah membaca beberapa macam padasana, padmasari dan padmanabha sebagaimana lontar-lontar yang dipegang leluhur kita. Namun lewat forum ini mohon ijinkan saya mempertanyakan dari mana sumber pembangunan Padmasana ini jika kita cross check lagi ke sumber aslinya? Seharusnya lontar-lontar pasti ditulis berdasarkan ajaran-ajaran sebelumnya dan jika dirunut akan bersumber dari ajaran Veda juga. Ya ga? Sebagai bahan pertimbangan pemikiran saya mengenai kedudukan lontar dengan Veda saya tuliskan di artikel ini.
Mohon koreksinya jika ada yang salah. Sebagai manusia yang penuh kekurangan, saya tidak akan pernah bisa memuaskan semua pihak dengan tulisan-tulisan di blog ini, tetapi saya bersedia dikritik dan diajari oleh setiap orang. Silahkan mengemukakan pendapat dan bukti sanggahan yang membantahkan dan semoga dengan diskusi ini kita bisa lebih mendalami ajaran agama kita.
Salam,-
@ngarayana
Saya kan sudah katakan bahwa penggambaran padmasana itu mengambil filosofi bumi dan isinya. begitu juga penjor yang mengambil filosofi gunung.
saya kira pemahaman padmasana ini lumrah di bali. mungkin jika bli ngara lebih teliti mencari(googling) akan menemukan pemahaman yg sama/mirip dengan konsep saya di atas. terus terang saya tidak tau sloka bhagavata purana yg bli magsud. tetapi saya tidak yakin sloka itu bisa mengarah ke padmasana di bali, lalu kenapa tidak ada di India? mungkin bli salah tafsir lagi.
@ Sutha Adi Hanjaya
Bro, ikut nimbrung ya.
Mengenai konsep gunung, filosofi bumi dan isinya itu benar. Lalu dari mana konsep itu diambil? Apakah hasil karangan leluhur kita tanpa dasar sastra Veda? Dari mana mereka tahu kisah naga Besuki/Anantasesa/Anantaboga, kisah tirta amerta? Apakah kejadiannya hanya lokal di Bali ataukah turunan dari kisah sebelumnya?
itu dulu deh…..he.
Buat Tomblos, memangnya brand Hindu itu dipatenkan oleh anda ya?? Sudah masuk ISO??? Anda pernah menciptakan Agama Hindu??? Jika tidak merasa, anda tidak berhak menyuruh orang buat agama baru, dengan nama berbeda. Ini artinya, pemahaman anda pada sastra, hanya sedikit. Buat apa ini diperdebatkan??? Memang anda Tuhan??? Isi sastra yang dipaparkan diatas itu kan cuma pemahaman anda semata, mungkin jika saya yang baca, pemahamannya mungkin berbeda. Perpecahan???? Hindu di bali tidak akan mengalami perpecahan, kecuali ada kelompok tertentu yang masuk dengan pemahamannya untuk disebarkan di Bali, itu namanya pemecah.
@ nonamertruth
secara pribadi saya senang melihat pandangan anda yang berbeda dari yang lainya. kalo berkenan saya mau kenal pandangan anda lebih jauh tentang Hindu. mudah2an pandangan anda membuat saya lebih baik karena saya punya keyakinan kita dapat belajar untuk menjadi baik dapat dari manapun termasuk orang gila sekalipun.
kalo anda beragama hindu mohon perkenannya untuk berbagi pandangan terhadap ajaran agama hindu yang benar menurut anda?
@ngarayana
”
Jadi apa motif tersembunyi danghyang Nirarta mengeluarkan Bisama agar dalam setiap komplek Pura dibangun Padmasana? Adakah korelasinya dengan pengabungan sekte-sekte di Bali oleh mpu Kuturan dalam Pesamuan Agung yang dilaksanakan di Bataanyar (kini Gianyar) dan menelurkan konsep Tri Murti? Apakah ini sebagai sebuah indikasi bahwa Danghyang Nirarta ingin mengarahkan agar semua umat Hindu di Bali memuja Sri Narayana atau Sri Hari atau Visnu? ”
Ha….ha…..ha….. nice job! well done. is there anythings else ??
@all
masalah judul diatas….. kenapa padmasana hanya ada di Bali?? mari kita tanya langsung kepada danghyang Nirarta. sehingga perdebatan ini ga perlu, dari pada semua keluar spesifikasi yg ga jelas…. makin ngelantur. ha….ha…..ha….
case solved. 😉
Perbedaan tempat, waktu, kondisi politik dan sejenisnya sudah pasti akan menghasilkan keunikan tersendiri terhadap nilai-nilai agama dan budaya. Leluhur-leluhur kita di Bali seperti Dhang Hyang Nirarta dan Mpu Kuturan juga berusaha mempertahankan nilai-nilai dharma berdasarkan kondisi tersebut. Sehingga meskipun mereka berasal dari luar Bali, namun mereka tidak secara saklek membawa budaya-budaya Jawa dan menanamkannya di Bali. Namun mereka mangadopsi nilai-nilai itu dan menyesuaikannya agar cocok dengan Bali. Pada saat Danghyang Nirarti di Lombok dimana lombok sudah menjadi Islam, dia “berkamuflase” dan mengajarkan Islam telu (3). Wajahnya Islam, tetapi nilai dharma tetap terserap ke dalamnya.
demikian juga secara general kitab suci Veda sudah diadopsi dari kitab aslinya dan diserap ke Indonesia dan ke Bali khususnya. Ajaran-ajarannya dipadukan dengan local genius setempat dan menghasilkan budaya Bali yang adiluhur seperti sekarang ini. Menurut pandangan saya, Padmasana didirikan di Bali sebagai hal yang endemik dan local jenius bukan tanpa dasar sastra agama. Tetapi dipetik dari suatu sumber tertentu. Sejauh ini saya mengatakan bahwa Padmasana dipetik dari kisah pengadukan tirtha amrta oleh para sura dan asura dengan dibantu oleh Avatara Tuhan, yaitu Kurma Avatara yang dililit oleh Naga Anantasesa. Hal ini salah satunya disebutkan dalam kitab Bhagavata Purana. Sekarang yang menjadi pertanyaan saya, jika ada versi sumber lain yang mungkin mendasari kisah ini, dari manakah sumber itu? Bagaimanakah konsep awalnya?
Bertanya kepada Mpu Kuturan dan Danghyang Nirarta secara langsung itu sangat tepat, tapi sayang tidak akan pernah bisa kita wujudkan karena kita ada di jaman yang berbeda dengan mereka.
Salam,-
Wah Bagus, jangan bercanda gitu, saya sejujurnya atheis, benar kata Tomblos, trus tentang padmasana, lebih lanjut, klo mau direkonstruksi, kasihan, banyak orang yang sudah keluar biaya untuk membuatnya, dibetulin lagi????dapat uang darimana??? ha ha ha.
Masak sih Tuhan kalian sepicik itu, nggak mau padmasana ini nggak mau padmasana itu, ha ha ha, Tuhan kalian udah kayak manusia ya, ha ha ha. Maaf, saya atheis yang bodoh, nggak ngerti masalah agama orang pintar beragama kayak kalian, terutama Tomblos, ha ha, bubarin aja PHDI, lagian bukan punya emak gua juga, ha ha ha.
Sumber ini memang Dang Hyang Nirartha-lah yang lebih tau. Mungkin ada dalam weda, namun hanya Beliau yang dapat melihatnya.
Bagaimana dengan Sloka Bhagavata Purana itu bli?
hmm….sdikit dr saya..kpada smua ya..maaf sblmnya dgn sgala keterbatasan yg sya miliki,namaun sya mau berfikir scara sederhana,dan berpedoman kpd,saudra ngarayana ucapkan diawal…sblm masuknya ida peranda sakti wawu rauh sdh ada di bali yaitu perjalanan para maha rsi kita,slh satu nya ida maha rsi markandya,pa di zaman it bliau tidak mengajarkan ttg pemahaman padma sana dan alam semesta ini??knapa kita hanya berkutat di perjalanan terkahr pendeta yg datang ke bali(ida perande sakti wawu rauh),setau saya yg terkahr blm ttu yg sempurna,jgn2 yg terkahr itu bsa mengelabui kesempurnaan yg di awal krn adanya kepentingan politik dimasa itu…suksme