Avatara berarti Tuhan yang turun ke dunia fana atau alam material. Dalam hubungan ini Tuhan Krishna berkata, “Yada yada hi dharmasya glanir bhavati bharata abhyuttanam adharmasya tadatmanam srjamyaham, kapanpun dan dimanapun terjadi kemerosotan dharma dan merajalelanya adharma, O Keturunan Bharata, pada waktu itulah Saya turun ke dunia fana (Bhagavad Gita 4.7). Demikianlah, bilamana Tuhan turun dari dunia rohani ke dunia fana dan menjelma dalam suatu wujud makhluk hidup untuk menegakkan prinsip-prinsip dharma dan menghancurkan adharma, maka Beliau disebut Avatara, Tuhan yang turun ke alam material dan tetap berhakekat spiritual.

Meskipun Tuhan turun ke dunia fana, namun pada saat yang sama Beliau tetap berada di tempat tinggalnya dunia rohani Vaikuntha-loka. Mengapa bisa begitu? Sebab, Beliau memiliki acintya guna svarupam, sifat dan kemampuan tak terbatas yang tidak bisa dipahami dengan pikiran dan indriya jasmani kasar dan terbatas (Brahma Samhita 5.38). Dalam hubungan ini Veda menyatakan; “Eko pi’san bahudha yo vabhati aisvaryad rupam ekam ca suryavad bahudheyate, Tuhan adalah satu, tetapi Beliau ada dimana-mana (sehingga Beliau disebut Visnu). Oleh karena kehebatannya tak terpahami pikiran material, meskipun Beliau satu, tetapi Beliau hadir dimana saja bagaikan matahari yang bersinar di langit terlihat ada dimana-mana pada saat yang sama” (Veda-smrti).

Buddha adalah salah satu dari sepuluh Avatara utama Tuhan, Sri Krishna yang muncul pada  masa  Kali yuga. Kemunculan-Nya disebutkan dalam pustaka suci Veda sebagai berikut.

TATAH KALAU SAMPRAVRTTE SAMMOHAYA SURA-DVISAM BUDDHO NAMNANJANA-SUTAH KIKATESU BHAVISYATI

Artinya:

KEMUDIAN PADA MASA AWAL KALI-YUGA, TUHAN TURUN SEBAGAI SANG BUDDHA, PUTRA ANJANA, DI PROPINSI GAYA, DENGAN TUJUAN UNTUK MENIPU ORANG-ORANG YANG TERGOLONG ASURA, MEREKA YANG MEMUSUHI PARA SURA. BHAG.1.3.24.

Sang Buddha lahir sebagai putra Raja Suddhodhana dari permaisuri Mayadevi dengan nama Siddharta. Itu terjadi 560 SM. Tetapi si Ibu meninggal tak lama setelah si Bayi lahir. Kemudian Siddharta diasuh oleh ibu tiri-Nya, Anjana. Sedangkan Gaya adalah tempat dimana Siddharta mendapatkan pencerahan spiritual dan menjadi Buddha, Ia yang bijaksana.

Sebelum sang Buddha muncul, masyarakat India memeluk ajaran Veda, Sanatana dharma. Tetapi pada masa itu kegiatan berdosa menyembelih hewan/binatang untuk makanan semakim dan semakim merajalela. Akibat pengaruh buruk Kali Yuga, orang-orang berpendapat begitu saja bahwa membunuh binatang untuk makanan bukan dosa, karena Veda memperkenankan yajna kurban binatang.

Para pemimpin dan tokoh agama, tanpa perduli pada aturan dan pantangan melakukan yajna kurban binatang sebagaimana tercantum dalam Veda itu sendiri, dan tanpa mengenal belas kasihan kepada  para makhluk yang lebih lemah dan bodoh, menyibukkan umatnya dalam kegiatan memuaskan lidah, perut dan kemaluan dengan membunuh binatang sebagai makanan. Akibatnya, orang-orang menjadi semakim tak perduli dengan prinsip-prinsip hidup suci yang diajarkan Veda. Mereka semakim sibuk dalam kegiatan memuaskan indriya jasmani. Mereka lebih suka makan daging dan makan hidangan rajasik dan tamasik lainnya. Penduduk tidak perduli bahwa perbuatan bengis dan kejam seperti itu yang dilakukan rutin setiap hari, hanya membebani diri mereka dengan reaksi karma-buruk alias dosa.

Telah dikutip sebelumnya bahwa tujuan Sri Krishna turun kedunia fana (Bumi) sebagai sang Buddha adalah untuk sammohaya sura-dvisam, menipu musuh-musuh Sura (Bhag.1.3.24). Musuh Sura disebut Asura. Lalu, siapakah yang tergolong Asura?

Orang-orang Asura adalah mereka yang hidup tidak berdasarkan prinsip-prinsip dharma yaitu:

  1. Saucam (kesucian diri),
  2. Tapasya (hidup sederhana),
  3. Daya (berkasih sayang kepada semua makhluk), dan
  4. Satyam (kejujuran).

Atau, mereka berbuat adharma. Mereka yang tergolong Asura memanfaatkan ajaran Karma-Kanda Veda (pravrtti-marga) dengan menafsirkannya begitu rupa sehingga yajna kurban binatang dapat di jadikan alasan bagus agar mereka bisa secara leluasa membunuh binatang untuk dimakan.

Diliputi oleh watak rajasik (kenafsuan) dan tamasik (kegelapan spiritual), mereka menganggap begitu saja bahwa binatang memang ditakdirkan untuk menjadi makanan sang manusia. Mereka tak perduli pada hukum universal karma-phala yang mengikat segala makhluk di alam semesta material.

Memang benar bahwasanya Veda sarat dengan petunjuk-petunjuk melaksanakan yajna kurban binatang dan supaya orang-orang Asura yang jumlahnya sudah begitu banyak di planet Bumi mau menghentikan kegiatan rutinnya nan bengis dan kejam menyemblih binatang untuk dimakan, maka sang Buddha sammohaya sura-dvisam, secara halus menipu orang-orang Asura dengan menyatakan bahwa Veda tidak benar.

Sang Buddha melakukan taktik menipu secara halus demikian dengan alasan bila adharma yang di-tandai oleh meluasnya himsa-karma terus saja merajalela, maka kemanusiaan akan runtuh. Akibatnya, setiap orang akan patanti narake’sucau, jatuh ke neraka karena kegiatan kotor dan berdosa menyemblih binatang yang rutin dilakukannya (perhatikan Bhagavad Gita 16.16).

Seperti halnya seorang Ayah terpaksa berkata bohong kepada si Anak kecil yang amat nakal agar ia berhenti berbuat gaduh di rumah demi kebaikannya sendiri. Begitu pula, Sang Buddha berpura-pura menolak kebenaran Veda agar mereka yang bertabiat Asurik tidak lagi berbuat jahat di dunia material demi kebaikan dan  keselamatan mereka sendiri. Jadi misi sang Buddha adalah menghentikan himsa-karma, kegiatan bengis dan kejam penyemblihan binatang yang telah begitu merajalela di masyarakat manusia.

Dalam hubungan ini Dasavatara-stotra 9 menyatakan sebagai berikut.

NINDASI YAJNA-VIDHER AHAHA SRUTI-JATAM SADAYA-HRDAYA DARSITA-PASU GHATAM KESAVA DHRTA-BUDDHA-SARIRA JAYA JAGADISA HARE

Artinya:

O KESAVA (KRISHNA), O PENGUASA SELURUH JAGAT, O SRI HARI YANG MENGAMBIL WUJUD SEBAGAI SANG BUDDHA, SEGALA PUJIAN KEPADA ANDA. WAHAI SANG BUDDHS YANG AMAT BERKASIH-SAYANG, ANDA MENCELA PEMBANTAIAN BINATANG-BINATANG YANG DILAKUKAN ATAS NAMA YAJNA VEDA)

Dalam bukunya berjudul ALL ABOUT HINDUISM, Sivananda Svami menyatakan bahwa tujuan Buddha-Avatara adalah melarang pengorbanan binatang dan mengajarkan kesalehan.

Sungguh tidak mudah menyadarkan mereka yang tergolong Asurik (jahat) bahwa ajaran Karma-kanda Veda yaitu jalan kenikmatan indriya terkendali yang disebut pravrtti-marga berupa pelaksanaan yajna kurban binatang, adalah amat  riskan, rumit, mahal dan sulit dilaksanakan. Sedikit saja terjadi kesalahan/kekeliruan dalam pelaksanaannya, yajna demikian tidak akan memberi manfaat apa pun, melainkan membebani si pelaku dengan reaksi dosa. Karena itu, sang Buddha menganggap tidak praktis dan tidak bijaksana jikalau melarang begitu saja praktek yajna Veda yang sudah ada di masyarakat sejak jutaan abad yang lalu dengan lagi mengajarkan prinsip-prinsip Veda sebagaimana tercantum dalam kitab suci itu sendiri.

Sang Buddha juga menganggap tidak praktis mengajarkan pilsafat rohani Veda yang tinggi dan halus kepada orang-orang Asura yang berwatak materialistik dan berkesadaran rendah. Karena itu, sesuai dengan mentalitas mereka yang materialistik, maka sang Buddha memberikan kepada mereka “AJARAN MORALITAS WELAS ASIH” yang berpondasi logika materialistik. Ini dilakukan semata-mata dengan maksud agar mereka yang tergolong Asura menyadari bahwa  ugra-karma (perbuatan jahat membunuh binatang) yang  mereka lakukan adalah sumber mala petaka (penderitaan) hidupnya di dunia fana.

Kepada para murid dan pengikutnya, sang Buddha berkata, “Jangan percaya begitu saja terhadap apa yang Aku katakan hanya karena merasa harus hormat kepada-Ku. Tetapi ujilah ajaran-Ku ini, teliti dengan seksama seperti halnya apabila anda hendak membeli emas”.

Sang Buddha menekankan ajarannya pada masalah penderitaan hidup di dunia fana dan cara melenyapkan penderitaan itu. Karena itu, Beliau minta kepada para pengikut-Nya agar mereka merenung  dan  meneliti  berdasarkan akal-sehat: “Kenapa aku hidup menderita di alam material ini?”

Ajaran MORALITAS WELAS-ASIH yang Sang Buddha ajarkan kemudian dikenal sebagai Buddha-Dharma atau Agama Buddha. Ia berpondasi ahimsa dengan penalaran materialistik. Karena itu, Beliau minta kepada para murid dan pengikut-Nya agar tidak mempercayai cerita takhyul dan keajaiban. Tentu saja yang dimaksud adalah riwayat dan kejadian yang tercantum dalam kitab Veda, Purana dan Itihasa.

Dalam banyak peristiwa menyebarkan ajaran Ahimsa-dharma-Nya, secara tidak langsung sang Buddha mengajak para murid dan pengikut-Nya agar tidak mempercayai Veda dan para penganutnya. Hal ini dapat kita simak dari ucapan-ucapan Beliau berikut.

  1. Kepada kalian, saya hanya mengajarkan tentang hakekat penderitaan (duhkha) saja dan cara melenyapkannya. Jangan percaya kepada sesuatu karena itu tertulis dalam kitab suci, atau  karena dikatakan oleh orang suci.
  2. Tetapi jika hal itu sesuai dengan pengalaman, telah diteliti berdasarkan akal sehat, lalu terbukti membawa kesejahteraan bagi diri sendiri dan semua makhluk, terimalah  itu sebagai kebenaran.

Dalam Buddha-dharma, sang Buddha mengajarkan empat macam kesunyataan (kebenaran) yaitu:

  1. Hidup di dunia fana adalah penderitaan.
  2. Sebab penderitaan adalah keinginan bernafsu (tanha).
  3. Penderitaan sirna bilamana tanha lenyap.
  4. Tanha yang menjadi sumber derita dapat dilenyapkan dengan menuruti jalan berruas delapan.

Jalan berruas delapan dimaksud adalah:

  1. Berpengetahuan yang benar.
  2. Berpikir yang benar.
  3. Berkata yang benar.
  4. Berbuat yang benar.
  5. Berpencaharian yang benar.
  6. Berupaya yang benar.
  7. Memperhatikan/mengamati secara benar.
  8. Berkonsentrasi (memusatkan pikiran) secara benar.

Dengan ajaran dharma welas asih-Nya kepada semua makhluk, berangsur-angsur masyarakat manusia terbimbing kearah kebajikan. Himsa-karma  (perbuatan bengis dan kejam) menyusut dan ahimsa-karma  yang  berlandaskan kasih-sayang kepada semua makhluk, berkembang. Orang-orang meninggalkan kebiasaan hidupnya yang kotor, bengis dan kejam.

Demikianlah keberhasilan sang Buddha dalam misi-Nya untuk sammohaya sura-dvisam, menipu orang-orang yang tergolong Asura sehingga mereka tidak lagi melakukan kegiatan adharma menyemblih binatang untuk dimakan. Orang-orang Asurik yang tidak mengakui kekuasaan Kepribadian Tuhan Yang Maha Esa, Krishna, akhirnya mengakui kekuasaan Beliau dalam wujud Sang Buddha yang penuh kasih. Mereka berkata, “Buddham saranam gachchami, aku berserah diri kepada Sang Buddha yang mulia”.

Sumber: Haladara Prabhu

Bahan bacaan:

  1. Srimad Bhagavata Purana, published by Bhaktivedanta Book Trust  1982.
  2. Riwayat Hidup Buddha Gautama oleh E Swarnasanti,  Penerbit Karaniya Bandung tahun 1994.
  3. Dhammapada, Sabda-Sabda Sang Buddha oleh Ven Narada Mahathera, Penerbit Karaniya Bandung tahun 1994.
  4. Mengenal Buddha Gautama oleh Ven Narada Mahathera, Penerbit Karaniya Bandung tahun 1992.
Translate »