Apa yang terbayang dalam benak anda setelah membaca judul di atas? Apakah anda berpikir bagaimana caranya melepaskan nyawa dan mengakhiri hidup dengan suatu teknik khas yang berkembang di Bali? Sayangnya bukan itu yang ingin saya sampaikan, tetapi adalah suatu tindakan bunuh diri dalam arti luas. Jadi tindakan bunuh diri yang saya maksudkan disini adalah tindakan menghilangkan roh pulau Bali oleh orang Bali itu sendiri. Apa yang menjadi roh Bali selama ini? Jika kita merenung sejenak, mungkin dalam benak kita akan muncul berbagai macam jawaban. Mulai dari seni budayanya, keramah tamahannya, keindahan alamnya dan juga keeksotisannya. Lalu apa yang melatarbelakangi semua itu? Tidak lain dan tidak bukan adalah spiritualitas dharma yang berakar dari Veda.

Pada jaman Mpu Kuturan melalui pesamuhan tiga, beliau menata kembali tatanan kehidupan spiritual masyarakat Bali dengan mengembalikannya ke tatanan Veda. Hal ini menghasilkan suatu pondasi yang kuat dalam menghadapi guncangan penyebaran Islam di Nusantara pasca runtuhnya kerajaan Majapahit. Seiring perkembangan jaman dan masuknya penjajah Belanda yang membawa kebudayaan materialistik ke Bali, pondasi yang dibangun oleh Mpu Kuturan mulai goyah. Teknik yang digunakan oleh Mpu Kuturan dan juga Dhang Hyang Nirarta untuk membendung penyebaran Islam ke Bali pada masa lampau sudah hampir tidak relevan lagi. Kelemahan Bali ini diperlihatkan oleh dokumen yang mendukung kristenisasi yang tertuang dalam sepucuk surat di atas daun lontar yang ditunjukkan kepada orang-orang portugis di Malaka pada tahun 1635. Dalam surat itu raja Klungkung mewakili raja-raja Bali menulis antara lain: “Saya senang sekali jika mulai sekarang kita bersahabat dan orang dating ke pelabuhan ini untuk berdagang. Saya pun akan senang sekali jika imam-imam datang ke sini agar siapa saja yang menghendaki dapat memeluk agama Kristen”. Undangan Raja Klungkung itu mendapat sambutan dari gereja Katolik Portugis dengan diutusnya 2 orang misionaris Yesuit ke Klungkung Bali. Kedua pastor tersebut adalah P. Mamul Carvalho S.J dan P. Azemado S.J . dari Malaka. Kemudian atas permohonan Vilkaris Apostolik Betawi Gubernur Jendral India Belanda memberi ijin dalam tahun 1891 bagi dua misionaris masuk di Buleleng dalam suratnya yang antara lain berbunyi: “ Dari pihak saya tidak ada keberatan bila satu atau dua misionaris mulai menetap di Buleleng…… dengan maksud mempelajari bahasa Bali dan sesudah itu menetap di Buleleng untuk mulai karya misi diantara penduduk setempat”.  Secara bertahap tetapi pasti akhirnya agama Kristen mulai tumbuh dan berkembang di Bali dengan populasi yang meningkat seperti deret ukur.

Sekitar tahun 1883-1960, berkat jasa seorang dokter Jerman yakni Dr. med. Gregor Krause, yang mempunyai hobi memotret. Terutama memotret gadis-gadis telanjang. Yang sedang mandi di sungai atau pancuran. Foto-foto (erotis) tersebut akhirnya dimuat dalam buku yang berjudul ”BALI” terbit 1920. Kendatipun buku itu dalam bahasa Jerman dan berisi lebih banyak gambar dari pada teks, namun tak sulit di mengerti orang. Dan buku itu laku keras dipasar dunia. Foto-foto buatan Dr. Krause itulah yang membuat image Bali pertama. Artinya image yang eksotik, erotik, tapi disamping itu juga ahistoris serta apolitis. Ini artinya Bali adalah merupakan kelanjutan dari Majapahit. Konon betapa marahnya ketika Walter Spies, seorang warga ekpatriat melihat orang-orang Bali mulai mengenakan pakaian moderen, dan tidak memakai kancut lagi. Kabarnya dia menggerutu dan marah tatkala jalan-jalan mulai diaspal dan begitu juga listrik hendak masuk ke Bali. Pendek kata Walter ingin membuat orang Bali lebih Bali lagi. Sehingga mencuatlah ide membalikan orang Bali (Balinisiring) yang akhirnya ditetapkan dalam undang-undang kolonial pasal 177. Hal ini bukan saja untuk membedakan Bali dengan komunitas-komunitas lainnya, yang ada kepuluan Nusantara. Akan tetapi juga bermaksud melarang komunitas-komunitas lainnya seperti Islam dan Kristen berkembang di Bali. Berbeda dengan penguasa Majapahit, penguasa kolonial Belanda tidak mengijinkan agama mereka sendiri masuk ke Bali. Belanda melarang para misionaris (katolik dan protestan) masuk ke Bali. Andaikan saat itu pemerintah kolonial tidak memberlakukan aturan ini, mungkin Bali yang kita lihat tidaklah seperti saat ini. Pura-pura yang menstanakan Sang Hyang Widhi sudah pasti akan berganti dengan Sang Hyang Yesus.  Jadi berterimakasihlah kepada mereka, orang-orang asing yang sangat peduli dengan Bali. Bali bisa bertahan bukan karena iner power dari orang Bali sendiri, tetapi hanya karena keberuntungan dan belas kasih orang luar.

Orang bilang; “kesempatan tidak akan datang dua kali”, dan saya yakin ini juga berlaku untuk Bali. Keselamatan terselamatkannya budaya Bali oleh pihak ketiga mungkin tidak akan terjadi lagi jika kita sebagai manusia Bali tidak perduli sama sekali akan diri sendiri. Bagaiman orang lain mau menolong kita sementara kita bertindak out of control? Sekarang coba kita perhatikan orang-orang Bali dan lingkungan Bali dengan seksama. Semua tindak-tanduk yang mereka lakukan semuanya mengarah pada sifat-sifat asurik yang bertentangan dengan dharma. Tentunya tindakan-tindakan ini adalah tindakan bunuh diri dimana orang lain tidak akan bisa menolongnya.

Tindakan “nak mulo keto”, tidak pernah ingin tahu akan pondasi ajarannya adalah tindakan bunuh diri yang paling utama. Disetiap kesempatan mereka koar-koar menyatakan diri mereka adalah penganut Hindu, abdi dari dharma. Disaat ada orang yang bertanya kepada mereka apa kitab sucinya, dengan fasihnya mereka menjawab; “Veda”. Lalu jika si penanya bertanya kembali apakah dia pernah membaca Veda, jawaban yang keluar dari mulutnya hanya “tidak”. Veda memang merupakan kitab suci yang sangat luas yang tidak bisa disamakan dengan kitab suci-kitab suci yang baru muncul pada jaman Kali-Yuga. Veda memuat pengetahuan tentang alam material dan spiritual beserta segala aspek kehidupan para mahluk hidup (jiva) yang tinggal di kedua alam yang berbeda itu. Bagi para jiva yang tinggal di alam material, Veda menyajikan pengetahuan tentang Tuhan (Bhagavan, Brahman dan Paramatman) atau Brahma-tattva; pengetahuan tentang mahluk hidup itu sendiri (jiva-tattva), pengetahuan tentang alam material (prakrti), pengetahuan tentang materi (maya-tattva), cara-cara mengendalikan indriya jasmani (indriya-samyamya) untuk menekuni jalan kerohanian (yoga) dan meditasi (samadhi), cara-cara memuaskan indriya jasmani (kama) agar hidup senang di dunia fana, cara-cara memperoleh kekuatan mistik alamiah (siddhi) agar bisa menikmati secara lebih super di alam material beranekamacam kegiatan / perbuatan (karma) beserta akibat-akibat (phala)-nya, pembagian tugas pekerjaan berdasarkan kedudukan sosial (varna) di masyarakat, tahap-tahap kehidupan spiritual (asrama), ilmu tentang ritual (yajna), ilmu pemerintahan (artha-sastra), ilmu arsitektur (sulva), ilmu astronomi dan kosmologi (jyotir-sastra), ilmu kedokteran (ayur-veda), ilmu senjata dan perang (dhanur-veda), seni tari dan musik (gandharva-veda), kesusastraan (siksa, vyakarana, nirukti dan canda), aturan kehidupan sehari-hari (kalpa) dan sebagainya. Lalu apakah dengan alasan luasnya pengetahuan Veda ini dapat kita jadikan alasan untuk tidak pernah bersentuhan dengan Veda? Bukankah kita punya Bhagavad Gita yang memuat ringkasan dari Veda? Dengan masyarakat Bali tidak mau tahu akan apa isi kitab sucinya dan tidak mau tahu apakah upacara-upacara, dan susila yang mereka lakukan sudah tepat sesuai dengan sastra Veda, maka secara tidak langsung sudah merupakan tindakan bunuh diri yang paling mendasar.

Berawal dari ketidak mengertian mereka akan ajaran Veda yang benar, menyebabkan runtuhnya semua pondasi dharma yang seharusnya mereka pegang. Bhagavata Purana 11.17.21 dengan tegas menyebutkan kewajiban setiap orang yang menyatakan dirinya berjalan pada ajaran dharma (Hindu) yaitu tidak melakukan tindak kekerasan (ahimsa), berpegang teguh pada kejujuran (satyam), tidak mencuri dan korupsi (asteyam), selalu berbuat untuk kesejahteraan semua makhluk lain (bhuta priya hitehaca), dan membebaskan diri dari nafsu, kemarahan dan keserakahan (akama krodha lobhasa). Lalu apakah kita sudah menjalankan prinsip-prinsip ini? Andaikan pondasi dasar ini sudah kita terapkan, pulau Bali tidak akan dipenuhi oleh tindakan perjuadian, tindakan prostitusi, pencurian dan kekerasan dan yang paling parah rasa iri pada “nyama pedidi” (saudara sendiri). Dengan tidak mengindahkan prinsip-prinsip dharma ini, orang Hindu dalam hal ini orang Bali sudah melakukan tindakan bunuh diri yang kedua.

Akibat dari ketidakmengertiian mereka akan sastra Veda jualah yang menyebabkan mereka melakukan berbagai macam upacara yang tidak sepatutnya mereka lakukan. Hanya karena prestise mereka membuat upacara yadnya yang sangat mewah agar dihargai di masyarakat walaupun sejatinya mereka tidak mampu secara finansial. Mereka tidak segan-segan menjual tanah warisan beserta turus lumbung mereka kepada pihak asing yang siap membeli dengan harga mahal hanya untuk import bahan-bahan upacara dari pihak luar. Satu persatu sanggah turus lumbung dipugar, satu persatu diuruk dan dijadikan vila, kafe dan hotel. Akhirnya mereka sendiri terpinggirkan dan hanya menjadi penonton. Upacara-upacara megah nan unik yang mereka buat menjadi daya pikat wisatawan dan menjadi keuntungan utama bagi para investor dalam menarik uang jutaan dolar setiap bulannya. Tetapi bagi masyarakat Bali sendiri itu adalah sebuah musibah ekonomi yang membuat mereka miskin. Andaikan mereka mengerti Bhagavad Gita yang dengan jelas menyebutkan bahwa upacara yang dilakukan tanpa dasar kitab suci adalah yajna dalam sifat kebodohan dan itu tidak diperbolehkan, mungkin masyarakat Bali bisa sedikit terselamatkan dari sikap bunuh diri ini.

Turunan level selanjutnya dari sikap acuh tak acuh masyarakat Bali pada prinsip-prinsip dharma menyebabkan mereka melakukan berbagai macam tindakan bodoh. Mereka senang sekali berkelahi dengan saudara, tetapi sangat welcome pada orang lain. Mereka senang sekali dipuji-puji walaupun penuh dengan pujian kosong dan munculnya sikap priyayi yang selalu merasa sebagai orang hebat, merasa sebagai atasan dan tidak pernah mau melayani. Akibatnya semua lini ekonomi yang diangap remeh, tetapi sebenarnya merupakan pelunag sangat bagus ludes disabot orang lain. Sementara mereka dengan bangganya menyatakan diri bekerja di hotel bintang empat dan bintang lima. Dengan bangganya menyatakan bahwa Bali menyumbang pendapatan perkapita paling besar untuk Indonesia. Lalu apakah orang Bali tahu siapa yang memiliki hotel-hotel dan tempat-tempat mereka bekerja? Apakah mereka tahu siapa yang menikmati semua yang mereka sajikan? Semuanya orang luar dan mereka pada dasarnya hanya sebagai pembantu di negeri sendiri. Mereka hanya menjadi “tontonan budaya” yang dijual dengan harga mahal oleh investor asing. Mereka tidak ubahnya seperti wanita penghibur yang dijual dan dibayar dengan upah seadanya. Sungguh tindakan bunuh diri yang sangat menyedihkan.

Tentunya ada sangat banyak tindakan bunuh diri orang Bali yang sedang menjadi tren yang tentunya tidak bisa saya tuliskan semuanya di sini. Namun saya harap bagi anda, putra Bali yang peduli dengan kelangsungan Bali untuk segera menyadari hal ini. Karena tindakan-tindakan bunuh diri ini sejatinya jauh lebih berbahaya dari pada serangan-serangan para misionaris dan kamum dakwah. Jika dianalogikan dengan badan kita, bibit penyakit itu selalu ada, hanya saja kita bisa tetap sehat karena anti body dan stamina kita tetap fit. Tetapi bagaimana jika sistem anti body dan stamina kita menurun? Penyakitpun akan segera menggerogoti dan bahkan bisa mengakhiri riwayat kita. Segera kembalikan spirit dari Bali, yaitu Veda atau relakan Bali hancur dan membiarkan kaum muda Bali memilih kepercayaan-kepercayaan yang lahir pada jaman Kali-Yuga yang memang sesuai dengan watak mereka yang materialistik.

Translate »