Ciri khas dalam pemujaan kepada dewa Siva adalah  adanya Lingam dan Yoni. Lalu kenapa dalam catatan sejarah pulau Bali hampir tidak satupun lingam dan yoni yang ditemukan? Benarkah penduduk pulau Bali merupakan penganut aliran Siva Siddhanta dan menempatkan dewa Siva sebagai yang tertinggi?

Kata “Siddhanta” dapat diterjemahkan sebagai “kesimpulan akhir”, sehingga secara harfiah arti kata Siva Siddhanta adalah Siva sebagai kesimpulan akhir. Atau dengan kata lain menempatkan Siva sebagai kesimpulan dan tujuan tertinggi. Paham Siva Siddhanta berkembang subur di daerah suku Tamil di India Selatan dan juga di kawasan Kasmir. Menurut teologi Siva Siddhanta, Tuhan, Jiva dan benda-benda di alam semesta ini adalah nyata. Secara terminologis mereka menyebut Tuhan sebagai “Pati”, sedangkan Jiva disebut “Pasu” dan benda-benda di alam material disebut “Pasa”. Dari ketiga ini mereka beranggapan bahwa Pati-lah yang paling tinggi dan dipuja dengan sebutan Siva atau Hara. Siva dianggap sebagai sumber dari Trimurti (Brahma, Visnu dan Rudra). Disamping itu Siva juga disebut sebagai Iswara dan Maheswara. Dalam ritual keagamaannya mereka senantiasa melakukan persembahan kepada Siva yang terkonsentasi pada Siva Lingam.

Lalu bagaimana halnya dengan Bali yang disebut-sebut sebagai penganut paham Siva Siddhanta dalam berbagai buku agama dewasa ini? Jika mau jujur, pada dasarnya konsep teologi Hindu di Bali sangat jauh berbeda dengan konsep Siva Siddhanta aslinya. Hindu di Bali tidak memusatkan pemujaan kepada Dewa Siva, tidak juga melakukan pemujaan kepada Linga Yoni. Melainkan Hindu di Bali meletakkan kesamaan posisi antara Brahma, Visnu dan Siva/Ludra dan menyebutkan bahwa ketiga-tiganya adalah Sang Hyang Widhi, Tuhan Yang Maha Esa yang sama. Trimurti ini senantiasa dipahami dengan analogi seperti satu orang yang sama tetapi melakukan pekerjaan yang berbeda maka dia akan dipanggil dengan sebutan yang berbeda. Pada waktu dia mencangkul di sawah dia disebut petani, pada saat dia mengajar di sekolah dia disebut guru dan saat dia bergaul dengan keluarganya dia disebut bapak. Konsep ini tertuang dalam beberapa lontar seperti lontar Bhuwana kosa, Wrhspati Tattva, Ganapati Tattva, Sanghyang Mahajnana, Tattvajnana dan Jnanasiddhanta yang kesemuanya adalah lontar-lontar lokal yang hanya ada dan berkembang di Bali. Karena perbedaan konsep inilah beberapa peneliti sejarah agama Hindu yang mendasarkan teorinya pada teori Max Muller menggolongkan Siva Siddhanta kedalam dua bagian, yaitu Siva Siddhanta India Selatan dan Siva Siddhanta Indonesia (Bali).

Pada dasarnya, konsep Hindu yang berkembang di Bali tidaklah sama dengan paham Siva Siddhanta di India. Bahkan dapat dikatakan Hindu di Bali tidak ada kaitannya sama sekali dengan paham Siva Siddhanta aslinya karena konsep yang diadopsi saat ini merupakan buah dari sinkritisme dan akulturasi budaya yang dihasilkan oleh Mpu Kuturan. Pada waktu itu di Bali setidaknya berkembang sembilan paksa/keyakinan yang berbeda, yaitu : Siwa, Khala, Brahma, Wisnu, Bayu, Iswara, Bhairawa, Ghanapatya, dan Sogotha (Budha) yang didalam pelaksanaannya sering menimbulkan keresahan karena mereka berjalan sendiri-sendiri sehingga raja sangat sulit mengontrolnya. Atas restu dari raja dan ratu, Mpu Kuturan melakukan Pesamuan Agung (rapat akbar) dengan mengambil tempat di Bataanyar (kini Gianyar) yang dihadiri setidaknya oleh perwakilan 1370 desa di seluruh Bali. Dari Pesamuan Agung inilah akhirnya terwujud suatu sistem yang bisa diterima oleh seluruh komunitas sehingga terbentuklah satu konsep homogen yang seolah-oleh menyerupai konsep Siva Siddhanta di India yang bisa diterapkan hampir di seluruh desa adat.

Meski Mpu Kuturan memberikan solusi dengan seolah-olah melahirkan sebuah konsep Siva Siddhanta baru yang bisa menaungi semua lapisan masyarakat Bali, namun apakah benar konsep yang beliau telurkan berpaham Siva?

Dari segi karya sastra lontar, kekawin dan pewayangan yang meresap dalam sanubari masyarakat, ternyata hampir semuanya dijiwai oleh kitab Itihasa (Ramayana dan Mahabharata). Dalam setiap gubahan lontar yang diturunkan dari kitab Ramayana, semua penulis menitik beratkan kepada Rama sebagai yang tertinggi. Demikian juga untuk lontar yang digubah dari kitab Mahabharata selalu menempatkan Krishna sebagai yang tertinggi. Tanpa Rama, maka Hanuman, Sugriwa dan Subali tidak akan ada artinya. Tanpa Krishna, apa yang dapat dilakukan oleh Panca Pandawa? Pemujaan kepada Sri Narayana juga ternyata menjadi objek yang tertinggi. Hal ini dibuktikan dengan dijadikannya Narayana Upanisad sebagai pondasi dasar keyakinan Hindu di Bali. Bahkan tidak tanggung-tanggung gubahan Narayana Upanisad disebut sebagai Catur Veda Sirah (kepala/inti sari Catur Veda). Hal ini diterangkan dengan kalimat: etad Rg Veda siro ‘dhite (demikianlah inti sari dari Rg. Veda); etad Sama Veda siro ‘dhite (demikianlah inti sari dari Sama Veda) etad Yajur Veda siro ‘dhite (demikianlah inti sari dari Yajur Veda); etad Atharva Veda siro ‘dhite (demikianlah inti sari dari Atharva Veda). Dalam kitab Catur Veda Sirah ini dijelaskan bahwa segala sesuatu berasal dari Narayana. Bahkan pemimpin para dewa seperti Brahma, Siva dan Rudra-pun lahir dari Narayana. Narayana sendiri menurut Visnusahasranama (1000 nama suci Sri Visnu) sebagaiman tercantum dalam kitab Padma Purana dan juga Mahabharata Anushāsanaparva 149 adalah nama lain dari Sri Visnu, Krishna, Rama yang merupakan sebutan Tuhan dalam konsep Vaisnava. Dengan demikian, bagaimana masyarakat Bali bisa mengatakan dirinya adalah pemuja Siva sementara pemuka agama dan orang-orang sucinya menjadikan Catur Veda Sirah yang nyata-nyata memuja Narayana sebagai mantra rahasia pokok yang tidak boleh absen dalam setiap pemujaan?

Dipandang dari konsep tata letak parahyangan (tempat suci), pawongan (pemukiman) dan palemahan (lingkungan sekitar) ternyata masyarakat Bali diarahkan oleh Mpu Kuturan untuk mengikuti konsep Varnasrama dan Vaisnava Dharma. Secara konsep Varnasrama, desa pekraman dibentuk dengan mengadopsi konsep Guru Kula (sistem pengajaran Veda). Dalam setiap desa pekraman harus ada seorang Brahmana yang tinggal di sebuah Griya dan bertindak sebagai surya (pencerah dalam spiritual) kepada sisya (murid/masyarakatnya). Konsep Vaisnava juga diperlihatkan dari tata letak tempat suci. Bangunan untuk pemujaan kepaa Visnu selalu ditempatkan pada Utama Mandala dan barulah pemujaan untuk dewa Brahma diletakkan di Madya Mandala. Sedangkan pura Dalem sebagai tempat pemujaan kepada Siva yang digambarkan selalu berpenampilan nyentrik dengan melumuri badannya dengan abu mayat dan berhiaskan ular dan pernak-pernik menakutkan ditempatkan di dekat kuburan. Demikian juga Padmasana yang merupakan penggambaran pengadukan lautan Garbha yang disangga oleh Sri Visnu sebagai Kurma Avatara selalu menjadi objek pemujaan yang utama dalam setiap pura umum di Bali. Jenis-jenis ukiran dan arsitekturnyapun hampir selalu menggambarkan kisah-kisah yang berhubungan dengan Ramayana, Mahabharata dan juga lila-lila Sri Visnu yang lain. Berbagai macam rerontek dan kober (sejenis bendera) yang menghiasi pura pada saat adanya upacara tidak pernah absen dari gambar Garuda Visnu, Naga Basuki, Cakra dan lambang-lambang kevaisnavaan lainnya.

Dari segi tradisi juga disebutkan bahwa seorang Vaisnava memiliki kewenangan tertinggi. “Rsi Vaisnava wenang ngamertanin kala bhuta, apan ida Rsi Vaisnava guruning guru. Ida wenang guru maguru, dening ida anak bhatara guru wenang maguru-guru nga, Ika ta don nira tan tekeng cuntaka dening wang kuwu kabeh”. Meskipun dalam berbagai upacara pecaruan besar diselenggarakan oleh Sang Trini Tri Sadhaka (Brahmana, Bodha dan Rsi Vaisnava), namun hanya Rsi Vaisnava-lah yang berhak bertindak muput upacara ke atas maupun ke bawah. Mpu Kuturan juga mengatakan kepada masyarakat Bali bahwa yang berhak melakukan pembersihan jika bumi ini kotor dan kacau hanyalah seorang Bhujangga Vaisnava (yan tan Sang Bhujangga amahayu, anglukat letuh-letuhing jagat, pahumahan, pategalan saprakara, tan sidha karya).

Dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Bali juga ternyata sudah sangat dekat dengan prinsip-prinsip kevaisnavaan. Orang tua-orang tua Bali jika mandi di sungai akan mengucapkan mantra “malukat ring cokor Sang Hyang Wishnu, Menyucikan diri di kaki padma Sri Visnu”. Pada saat mempersembahkan canang di pancuran atau sumber air lainnya orang tua di Bali juga biasanya mengucapkan; “Om Sang Hyang Hari Murti, meungwa kita sareng, ingsung adyusa suciknawak ingsun dena sudha paripurna”. Pada saat mengikat rambut diucapkan mantra; “Om greto rupini sarwa sri olahku ya we namah swaha”. Pada saat menyisir rambut diucapkan mantra; “Sang hyang haru garu-garu gunung, angelangaken mala papa pataka, segeleh-gelehhing raga sarira, Om Sri Dewi Maharapini ya namah swaha”. Pada saat menggunakan sabuk diucapkan mantra; “Om Um Wisnuya namah” dan “Om Um Wisnu-Antaratmane namah”. Kadang-kadang juga diikuti dengan pengucapan; “Om Dewadisthanaya, sarwawyapine Siwaya, padmasana eko pratisthaya Ardhanareswariya namo namah, Am Um Mam Sri Dewaya Janardanaya namah”.

Salah satu hal terpenting pada setiap persembahan tradisi Vaisnava dan menjadi cirri khas pengikut ajaran Vaisnava adalah tidak pernah absennya daun tulasi. Daun tulasi selalu disertakan pada setiap makanan, minuman atau apapun yang dipersembahkan kepada Sri Visnu. Meskipun sebagian daerah di Bali masih menyebut dengan sebutan tulasi, namun di sebagaian besar daerah Tulasi lebih dikenal dengan sebutan Sulasih atau Kecarum/Carum. Uniknya ternyata daun Selasih atau Kecarum ini juga tidak pernah absen pada setiap sesajen yang dibuat. Inilah salah satu bukti kuat masyarakat Bali secara tidak sadar sudah menerapkan prinsip dasar Vaisnava.

Melihat dari beberapa bukti yang menunjukkan bahwa masyarakat Bali yang kesehariannya ternyata jauh lebih akrab dengan konsep Vaisnava, maka pernyataan sebagian orang yang menyatakan bahwa pulau Bali adalah penganut paham Siva Siddhanta sepertinya perlu di tinjau ulang kembali.

Bibliografi:

  1. M. Dharma. 1984. Vaisnava Dharma – Warisan Leluhir Kita. Denpasar: Jaya
  2. Sara Sastra, Gde. 2008. Bhujangga Waisnawa dan Sang Trini, Bagian Dari Konsep Saiwa Siddhanta Indonesia. Denpasar: Offset
Translate »