Istilah lontar mungkin berawal dari penggunaan daun “ntal” atau “ental” (sejenis pohon palem) yang dalam bahasa Sansekerta-nya pohon ini disebut sebagai pohon “tala”, dan dalam bahasa kawi disebut “tal” sebagai media dalam menggoreskan tulisan-tulisan.

Leluhur bangsa Indonesia pada jaman dahulu disamping terbiasa menuliskan suatu catatan penting dalam batu yang selanjutnya disebut prasasti dan media-media berbahan dasar logam, mereka juga telah terbiasa menulis karya-karya sastra dan catatan penting di atas sebuah daun ental. Hampir semua gubahan kitab-kitab terpenting peninggalan bangsa Indonesia ditemukan dalam gulungan lontar yang tersimpan dalam suatu peti yang di Bali disebut sebagai kropak. Kekawin Ramayana, Bharata Yuddha, Bhomantaka, Arjuna Vivaha dan berbagai mantra-mantra pemujaan yang bersifat rahasia adalah sebagian kecil contoh manuskrip kuno yang tersurat dalam lontar dan diwarisi sampai saat ini terutama sekali oleh penerus terah Majapahit di Bali. Lontar inilah sebenarnya dapat dikatakan sebagai harta karun yang tidak ternilai harganya yang kita warisi dan harus dipelihara dengan baik. Karena lewat lontar-lontar inilah sebagain besar sejarah masa lampau leluhur kita dapat diungkap dengan baik.

Di Bali, lontar mendapat tempat terpenting dalam menjelaskan masa lalu dan perkembangan sosial budaya dan dasar kepercayaan masyarakatnya. Berbagai wisatawan mancanegara yang datang ke Bali ternyata tidak semuanya semata-mata tertarik akan keindahan alam dan eloknya seni budaya yang berkembang di pulau dewata ini, melainkan sangat banyak wisatawan yang terpesona dengan misteri yang tersimpan di dalam lontar-lontar. Lontar menyimpan segudang kearifan, cerita-cerita bernilai spiritualitas tinggi, hal-hal yang mendasari budaya yang berkembang dan juga berbagai macam ilmu-ilmu magic yang bersifat rahasia. Menyadari keberadaan lontar adalah asset yang tidak ternilai, banyak wisatawan asing dengan susah payah berburu lontar dan membelinya dengan harga sangat tinggi. Namun sayang sekali, orang Bali sebagai pewaris lontar yang sah malahan sering kali terlena dan melupakan pentingnya warisan leluhur yang satu itu.

Meskipun lontar menduduki peranan yang sangat penting dalam berbagai aspek, namun ternyata lontar memiliki suatu kelemahan dalam hal keotentikan. Prof. Dr. P. J. Zoetmulder, seorang sarjana yang ahli di bidang bahasa dan sastra Jawa Kuno secara terbuka mengakui bahwa teks yang sampai ke tangan beliau adalah salinan yang telah mengalami riwayat sangat panjang dengan berbagai macam perubahan dan penggubahan yang menyertainya. Perubahan dan pengubahan ini bisa terjadi akibat penyalin lontar yang asli belum menguasai betul bahasa lontar yang sedang disalin, salah membaca, baris-baris yang tidak tersalin karena dilewati tanpa sadar, penyalinan lontar yang sebagian sudah rusak dan sebagainya. Tentunya validasi keotentikan suatu lontar tidaklah mudah, karena sebagian besar lontar merupakan dokumen rahasia dan hanya diwariskan secara turun-temurun oleh satu generasi. Jadi bukan merupakan pengetahuan publik yang copy-annya dapat dimiliki oleh siapapun. Jika dirawat dengan baik, lontar bisa bertahan sekitar 100 – 150 tahun. Tentunya waktu 150 tahun adalah waktu yang relatif singkat jika dibandingkan dengan dokumen-dokumen yang tertulis dalam lempengan batu, emas, tembaga, perak atau logam-logam lainnya. Karena itu jugalah para arkeolog dan ahli sejarah akan lebih mengedepankan bukti yang tersirat dalam batu atau lempengan logam dari pada pada sebuah lontar.

Untuk mendapatkan lontar dengan isi yang otentik, penyeleksian terhadap lontar dan isi-isinya sangatlah penting. Kita tidak bisa menerima isi lontar begitu saja agar kita tidak terseret dan tersesat dalam kebingungan mengingat kelemahan lontar sebagaimana sudah dikemukakan pada paragraf di atas. Hal ini juga dibenarkan oleh Drs. Wayan Jendra dalam bukunya “Pengantar Ringkasan Kesusastraan Jawa Kuno dan Linguistik Sebagai Ilmu Bantu” yang mengatakan bahwa sikap kritis, selektif dan kreatif terhadap unsur budaya lama, termasuk kesusastraan Jawa Kuno dan kebudayaan asing sangat diperlukan untuk tidak menjadikan diri goyah dan mabuk”. Oleh Karena itu terdapat tiga jenis standar yang harus diikuti dalam memastikan keotentikan sebuah lontar, yaitu Guru, Sastra dan Sadhu.

Yang pertama, ajaran lontar yang kita terima harus sesuai dengan petunjuk guru spiritual. Di Bali sendiri aguron-guron (proses belajar mengajar dari seorang guru dan murid) sebenarnya sudah terpatri dalam sistem banjar dimana sebuah banjar pasti memiliki sebuah “Surya” atau junjungan orang suci yang bertempat di sebuah “Griya”. Pada Griya tersebut harus terdapat orang suci yang khusus menekuni spiritual, sastra Veda dan lontar yang selanjutnya dijadikan pegangan dalam pelaksanaan dan penyampaian tattva, susila dan upakara kepada para warganya yang disebut “Sisya”. Sistem pembelajaran yang baik dalam memahami kesusastraan lontar di suatu Griya harus melalui pengawasan setidaknya satu orang guru Nabe. Guru Nabe disini haruslah “jnaninas tattva darsinah (Bhagavad Gita 4.34). Jnani bearti ahli Veda, dan tattva darsinah berarti sudah melihat kebenaran. Dan pada waktu yang sama Guru Nabe haruslah seorang Acharya, yaitu beliau melaksanakan apa yang dijarkan dengan sempurna. Sayangnya pada jaman sekarang, posisi sentral Griya yang begitu stategis ini sering kali tidak mampu memerankan fungsinya. Griya yang harusnya memberikan pelajaran tattva dan susila kepada Sisya-nya sudah kehilangan pamor dan hanya tinggal sebagai media dalam muput upacara saja. Kedepannya seharusnya para orang suci dan penerusnya yang ada di Griya bisa melaksanakan kembali proses aguron-guron kepada Sisya-nya yang sudah lama terkubur sehingga Griya bisa kembali menjadi media penyebaran dan pembelajaran spiritual Veda yang efektif dan tempat menjaga keotentikan ajaran leluhur yang adi luhur.

Kedua, isi lontar harus sesuai dengan ajaran para sadhu (orang-orang suci) seperti ajaran Catur Kumara, Rsi Narada, Rsi Kapila, Manu, Bali Maharaj dan lain sebagainya. Salinan lontar tidak boleh menyimpang dari dasar-dasar ajaran yang mereka sampaikan. Jika terdapat penambahan-penambahan tafsir/ulasan yang tidak jelas asal-usulnya, maka lontar tersebut dapat kita tolak.

Dan yang terpenting, lontar harus sesuai dengan Sastra, yaitu Veda. Lontar pada dasarnya disarikan dari sastra Veda, jadi apapun yang merupakan penjabaran, ulasan atau perangkuman Veda yang tertuang dalam lontar haruslah memiliki sifat mampu telusur (traceable) ke sumber aslinya. Keberadaan sastra Veda sendiri sangat berbeda dibandingkan lontar. Sastra Veda lebih terbuka dan copy-annya tersebar ke banyak orang dalam berbagai garis perguruan, sehingga untuk memvalidasi suatu kitab suci Veda, dapat dilakukan dengan membandingkan Veda yang terdapat dalam suatu perguruan dengan perguruan lainnya. Sampai saat ini meskipun ada banyak usaha menyimpangkan isi Veda terutama sekali setelah masuknya kaum Indologis, namun Veda yang otentik tetap masih terpelihara pada setiap garis perguruan Veda yang bona fide. Veda sendiri menyatakan bahwa Veda diturunkan bersamaan dengan diciptakannya alam material ini. Bagaikan tercipta dan dipublikasikannya suatu produk baru, maka idealnya produk tersebut harus memiliki buku panduan yang memuat petunjuk-petunjuk pengoperasian, cara kerja produk dan bagaimana perawatannya agar dalam penggunaan produk bersangkutan tepat guna. Demikian juga keberadaan Veda dengan alam semesta ini. Alam semesta yang diciptakan sebagai sarana bagi sang atman/jiva melakukan pengembaraannya menikmati kehidupan yang terpisah dari Tuhan Yang Maha Esa dilengkapi dengan panduan berupa kitab suci Veda. Veda akan memberikan tuntunan bagi Jiva-Jiva tersebut menikmati dunia materil ini dan/atau keluar dari siklus kelahiran dan kematian (samsara) dan kembali ke dunia rohani. Untuk memudahkan mempelajari Veda oleh orang awam yang tidak pengerti bahasa sansekerta, pada jaman dahulu leluhur kita berusaha menjabarkan ajaran-ajaran Veda kedalam bahasa yang lebih membumi ke dalam sebuah lontar.

Wejangan tentang keberadaan lontar yang mengingatkan kita untuk selalu berhati-hati dan kritis menerima keberadaannya telah tertuang dengan sangat baik dalam pupuh sinom dalam lontar itu sendiri yang liriknya adalah sebagai berikut:

Luih ortane ring lontar

Miwah maring buku sami

Tan puput jag mamarcaya

Tan jeg ngetelebang di hati

Reh bisa ortane sami

Nu madewek dadua pemuput

Bisa linyok lan pesaja

Sada lia

Cakepan gawen sang lobha

Artinya:

Indah berbunga nasehat-nasehat di lontar atau buku-buku, bukanlah orang yang menggunakan buddhi/kecerdasan jika langsung mempercayai, langsung memasukkan ke dalam hati. Oleh karena segala nasehat-nasehat itu bisa benar atau tidak benar/menipu, karena masih berbadan (bermuka) dua, dan lebih-lebih karena Kali Yuga (jaman penuh pertengkaran), terlalu banyak cakepan/lontar buatan orang loba

Bak segelas susu yang sangat menyehatkan, tetapi jika susu tersebut telah tersentuh oleh mulut ular, maka susu itupun akan menjadi berbahaya. Demikian juga karya-karya yang digubah dari sastra suci Veda, jika gubahan/penyalinan lontar tersebut dilakukan oleh orang yang diselimuti oleh sifat kama, lobha dan krodha, maka ia akan mengacaukan isi lontar tersebut. Jangan lupa bahwasanya orang gilapun bisa mengeluarkan tutur-tutur/nasehat indah dan masuk akal, namun belum tentu nasehat tersebut benar adanya.

Jadi dari penjabaran di atas, dapat kita lihat bahwasanya lontar merupakan peninggalan leluhur kita yang sangat penting dan merupakan penjabaran yang membumi dari ajaran Veda. Lontar dapat memudahkan kita dalam mengerti esensi Veda, tetapi karena beberapa kelemahannya, kita juga harus selektif dalam mempelajari lontar. Oleh karena itu dalam menekuni spiritual dan agama Hindu, sudah seharusnyalah kita meletakkan lontar sebagai penunjang, bukan sebaliknya, yaitu lebih mengedepankan apa yang disampaikan lontar secara membabi buta tanpa mau memandang dan memvalidasi hal-hal yang mungkin bertentangan dengan sumbernya, Veda.

Sumber: Buku Vaisnava Dharma

Translate »