“Apakah memang setiap orang yang mencapai moksa itu raganya harus hilang lenyap saat dia mati? Lalu, bagaimana kegiatan sang roh setelah menyatu dengan Tuhan? Bukankah tadi Anda katakan bahwa salah satu sifat roh itu adalah aktif, giat, dan tidak bisa diam? Apakah penyatuan Atman dengan Brahman itu tidak bertentangan dengan sifat sang roh itu sendiri?”

Begitulah pertanyaan yang disampaikan oleh salah seorang peserta dalam sesi diskusi sebuah seminar nasional di Jakarta. Seminar yang diselenggarakan di Auditorium Perpustakaan Nasional RI, Jl. Salemba Raya Jakarta itu bertema “Panteisme – Manunggaling Kawulo lan Gusti dalam Naskah Nusantara”. Berlangsung selama dua hari, tanggal 5-6 September 2007, seminar itu menghadirkan 12 orang pembicara dari dalam dan luar negeri. Tema yang diangkat memang cukup menarik. Tak heran bila selama dua hari itu, peserta seminar membludak, bahkan harus dibatasi. Mereka yang hadir adalah para tokoh agama, pemerhati budaya dan filsafat, serta wakil dari berbagai organisasi ‘penghayat kepercayaan’.
Selain menghadirkan pembicara yang mewakili kelima agama, dihadirkan pula para pakar nasional yang dianggap mumpuni dalam bidangnya. Sedianya, Gus Dur menjadi keynote speaker. Kanjeng Gusti Tejo Wulan, salah seorang raja dari Kraton Solo juga menjadi pembicara kehormatan dalam kesempatan itu. Kebetulan saya mendapat ‘jatah’ untuk menyampaikan topik “Panteisme dalam Hindu, Contoh dalam Naskah Kuno Hindu.”
Mengapa tema itu begitu menarik? Karena memang paham panteis dan manunggaling kawulo lan Gusti itu adalah tema yang kontroversial bagi banyak kalangan. Selama ini Hindu dianggap mempraktekkan panteisme, dan mengajarkan paham manunggaling kawulo lan Gusti itu. Padahal, bagi sebagian kalangan, paham Manunggaling Kawulo lan Gusti itu dianggap ajaran yang menyesatkan.

Bagi umat Islam di Indonesia, misalnya, ajaran Manunggaling Kawulo lan Gusti itu masih dihubung-hubungkan dengan ajaran yang diperkenalkan oleh Syekh Siti Jenar, salah satu wali yang dianggap sebagai pembangkang dan dijatuhi hukuman mati oleh para Wali Songo (Sembilan Wali) pada masa itu. Ajaran itu dianggap bertentangan dengan keimanan Islam, dan pernah disebut sebagai ajaran menyesatkan. Begitu pula, ajaran panteisme secara tegas ditolak dalam keimanan Kristen. Celakanya, ada kecurigaan, ajaran Syekh Siti Jenar itu dipengaruhi oleh ajaran Hindu. Apa itu panteisme? Lalu, apa yang dianggap salah dari paham manunggaling kawulo lan Gusti itu?

Pengertian Panteisme

Umumnya, orang sudah terbiasa dengan istilah monoteisme, politeisme, animisme, dan dinamisme. Istilah-istilah itu digunakan untuk menyebut berbagai jenis paham ketuhanan yang diyakini oleh manusia. Paham ketuhanan yang lain adalah panteisme. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi III (2005 : 826) kata ’panteisme’ diartikan sebagai: 1) ajaran yang menyamakan Tuhan dengan kekuatan-kekuatan dan hukum-hukum alam semesta; 2) penyembahan (pemujaan) kepada semua dewa dari berbagai kepercayaan.

Sedangkan Lorens Bagus dalam bukunya Kamus Filsafat (2005 : 774) memberikan beberapa pengertian panteisme sebagai berikut :

  1. ajaran filosofis yang mengemukakan bahwa Allah merupakan suatu prinsip impersonal, yang berada di luar alam, tetapi identik denganNya. Panteisme meleburkan Allah ke dalam alam, seraya menolak unsur adikodratiNya.
  2. Pandangan yang mengajarkan bahwa terdapat hanya satu substansi atau hakekat, yaitu eksistensi impersonal, mutlak, abadi, tak terbatas.
  3. Menurut panteisme, segala sesuatu (dan manusia) tidak merupakan substansi yang independen, tetapi hanya determinasi atau cerminan (refleksi) dari Yang Mutlak. Dengan demikian, tatkala seseorang mengenal dirinya sendiri, maka ia sungguh-sungguh mengenal Allah. Dalam pandangan ini, secara empiris hal-hal atau barang-barang memang berbeda satu sama lain; tetapi pada hakekatnya sungguh-sungguh identik satu sama lain – bahkan juga dengan Allah.

Selanjutnya, Bagus juga menyatakan bahwa dalam kitab-kitab Hindu, baik dalam Weda maupun Upanisad diri manusia dan yang ilahi dianggap identik. Atman sama dengan Brahman. Begitu pula Adi Shankara – salah satu tokoh terkemuka Hindu yang memandang dunia sebagai bayangan mimpi, sementara yang nyata hanyalah Brahman yang tidak berwujud – memeluk pandangan panteisme.

Setelah menyimak dan memahami definisi atau pengertian panteisme di atas, kiranya dapat kita mengerti, mengapa paham panteis menjadi sesuatu yang kontroversial dalam pandangan agama-agama Abrahamis (Yahudi, Kristen, dan Islam). Sebab, sebagaimana kita ketahui, dalam ajaran ketiga agama itu ditegaskan bahwa Tuhan tidak boleh dipersamakan atau disekutukan dengan apapun. Tidak ada sesuatupun di seluruh alam semesta ini yang menyamai Tuhan. Karenanya, paham panteis yang memandang Tuhan berada dalam benda-benda alam dipandang sebagai sebuah kesesatan.

Paham Manunggaling Kawulo-Gusti sebagai Cita-Cita Spiritual

Sebagian manusia merasa tidak puas dengan sekedar menjalankan ibadat yang formal dalam menjalin hubungan dengan Tuhan. Oleh karena itu mereka berupaya menyempurnakannya dengan cara-cara yang mereka anggap lebih mendekatkan diri kepada Tuhan. Dalam setiap agama, selalu terdapat sekelompok orang yang mempraktekkan ajaran atau cara-cara untuk mengenal dan mendekatkan diri kepada Tuhan sehingga memperoleh hubungan langsung secara sadar denganNya. Dalam Islam, misalnya, ada ajaran yang tasawuf. Orang-orang yang mempelajari dan mempraktekkan tasawuf disebut seorang sufi.

Menurut Prof. Dr. Mohammad Ardani (2007) dalam sejarah mulanya tasawuf diartikan sebagai sikap hidup sederhana dan menjauhi kemewahan duniawi untuk mendekatkan diri kepada Tuhan. Tasawuf juga digunakan untuk memperhalus budi pekerti dan sopan santun ketika manusia mengadakan hubungan dengan Tuhan dan hubungan dengan sesama manusia.

Dalam perkembangan selanjutnya, ada tasawuf yang benar-benar bersifat filsafati bertujuan bukan saja untuk mendekatkan diri kepada Tuhan sedekat-dekatnya, tetapi juga untuk bersatu kepada Tuhan. Jenis tasawuf seperti ini pernah berkembang di Indonesia setidaknya sejak abad ke-16, mulai dari Aceh hingga meluas ke wilayah Jawa. Ajaran tasawuf tersebut berkembang pesat di Jawa pada jaman kerajaan Demak hingga Mataram. Menurut Dr. Simuh, dalam bukunya Sufisme Jawa – Transformasi Tasawuf Islam ke Mistik Jawa (2002) ajaran tasawuf yang mencita-citakan bersatunya manusia dengan Tuhan itu terinspirasi oleh adanya konsep manusia sempurna (insan kamil) dalam Islam. Dari sini lahirlah konsep Manunggaling Kawulo-Gusti (Bersatunya Manusia dengan Tuhan) dalam mistik Kejawen.

Budya Pradipto (2007) menyatakan bahwa dalam dunia ilmu kebatinan (spiritual), Manunggaling Kawulo-Gusti adalah istilah budaya spiritual Jawa yang amat digemari dan menjadi idola hidup seorang Jawa. Istilah ini menggambarkan bukan hanya keinginan seseorang untuk sekedar mendekatkan diri kepada Tuhan, akan tetapi lebih dari itu ingin manunggal dengan Tuhan. Apabila seseorang sudah mulai dapat menjalankan hidup Manunggaling Kawulo Gusti, maka orang itu sudah dengan sendirinya telah mampu melepaskan diri dari ikatan-ikatan hidup duniawi.

Sebagian orang meyakini bahwa penyatuan dengan Tuhan itu dapat dialami secara empiris, nyata atau secara sadar semasa manusia masih hidup di dunia ini. Sebagian lain lagi berpendapat bahwa penyatuan dengan Tuhan itu hanya dimungkinkan setelah manusia meninggal dunia. Dalam sejarah tercatat, ajaran bahwa manusia bisa menyatu dengan Tuhan semasa masih hidup ini telah menjadi perdebatan teologis dalam Islam yang berakibat pada dijatuhkannya hukuman mati kepada tokoh-tokoh yang mengajarkan paham tersebut. Di Timur Tengah, ada tokoh bernama Al-Hallaj, sedangkan di Indonesia, Syekh Siti Jenar dijatuhi hukuman mati oleh para Wali Songo karena dianggap mengajarkan paham yang menyesatkan itu.

Ajaran Panteisme dalam Hindu

Sebagai umat Hindu, tentu saja kita tidak merasa asing dengan paham panteisme dan manunggaling kawulo-gusti seperti yang telah dipaparkan di atas. Ajaran panteisme dan penyatuan manusia dengan Tuhan adalah dasar keyakinan Hindu. Mengapa demikian?

Bertolak belakang dengan larangan dalam agama-agama Abrahamis, Hindu justru secara terang-terangan mengajarkan bahwa Tuhan berada atau bersemayam dalam segala sesuatu. Tuhan tidak hanya “berdiam di langit”. Dalam kitab Upanisad ditegaskan, bahwa Tuhan memang berada di luar segala ciptaanNya, tetapi pada saat yang sama Tuhan juga berada dalam segala ciptaanNya. Tuhan berada di mana-mana, termasuk bersemayam dalam diri manusia. Bukankah sejatinya, diri kita adalah roh (atman) dan Tuhan yang bersemayam dalam diri kita disebut Roh Yang Utama (Paramaatman)?

Penegasan bahwa Tuhan bukan hanya ‘berdiam dilangit’ atau menyisih dari ciptaanNya, melainkan berada di mana-mana diseluruh alam semesta, serta bersemayam dalam diri manusia tersebut dapat kita jumpai dalam kitab-kitab Purana dan Upanisad. Dalam kitab Bhagavad-gita, Sri Krishna berulangkali menyatakan kenyataan tersebut.

mayä tatam idaà sarvaà
jagad avyakta-mürtinä
mat-sthäni sarva-bhütäni
na cähaà teñv avasthitaù

Aku berada di mana-mana di seluruh alam semesta dalam bentuk-Ku yang tidak berwujud. Semua makhluk hidup berada dalam Diri-Ku, tetapi Aku tidak berada di dalam mereka (Bhagavad-gita 9.4)

sarvasya cähaà hådi sanniviñöo
mattaù småtir jïänam apohanaà ca
vedaiç ca sarvair aham eva vedyo
vedänta-kåd veda-vid eva cäham

Aku bersemayam di dalam hati setiap makhluk. Ingatan, pengetahuan, dan pelupaan berasal dari-Ku. Akulah yang harus diketahui dari segala Weda; memang Akulah yang menyusun Wedänta, dan Akulah yang mengetahui Weda (Bhagavad-gita 15.15).

upadrañöänumantä ca
bhartä bhoktä maheçvaraù
paramätmeti cäpy ukto
dehe ’smin puruñaù paraù

Namun di dalam badan ini ada kepribadian yang lain, kepribadian rohani yang menikmati, yaitu Tuhan Yang Mahaesa, Pemilik segala sesuatu. Beliau berada sebagai Pengawas dan Yang mengijinkan, dan Beliau dikenal sebagai Roh Yang Utama
(Bhagavad-gita 13.23)

raso ’ham apsu kaunteya
prabhäsmi çaçi-süryayoù
praëavaù sarva-vedeñu
çabdaù khe pauruñaà nåñu

Wahai Putra Kunti (Arjuna), Aku adalah rasa air, cahaya matahari dan bulan, suku kata om dalam mantra-mantra Weda; Aku adalah suara di angkasa dan kesanggupan dalam diri manusia (Bhagavad Gita 7.8)

Selain dalam kitab Bhagavad-gita, ajaran tentang kesatuan Tuhan dengan alam semesta juga dapat dijumpai dalam kitab-kitab Upanisad lainnya. Menurut Dr. S. Radhakrishnan (1989: 72), dalam kitab Chandogya Upanisad misalnya, dikatakan bahwa atman tidak berbeda dengan Brahman. “Sesungguhnya semua alam semesta ini adalah Brahman, dan jiwaku ini yang terdapat di dalam jantung, inilah Brahman”. “Tuhan adalah segala sesuatu yang berbeda dari manusia dan berada di luar alam semesta, tetapi dia masuk ke dalam manusia dan hidup di dalamnya dan menjadi isi yang paling dalam dari keberadaan manusia”.

Selain itu, orang lain sering menganggap umat Hindu mempunyai lebih dari satu Tuhan, atau setidaknya menyembah banyak dewa. Itulah sebabnya, Hindu dituding sebagai penyebar ajaran panteis.

Pertanyaan Kritis terhadap Konsep Moksa

Bagi umat Hindu, konsep penyatuan antara manusia dengan Tuhan atau manunggaling kawulo-gusti itu bukanlah hal yang baru. Pencapaian moksa atau pembebasan adalah salah satu keyakinan di antara lima keyakinan Hindu. Moksa diyakini sebagai suatu keadaan di mana sang roh (atman) terlepas dari belenggu perputaran kelahiran dan kematian yang dialami berulang kali. Di sinilah kemudian muncul sebuah konsep yang menyatakan bahwa moksa adalah penyatuan atman dengan Brahman. Moksa berarti penyatuan antara Atman dengan Brahman. Penyatuan ini dimungkinkan, karena pada dasarnya Atman adalah percikan dari Brahman.

Demikianlah kurang lebih apa yang saya paparkan dalam makalah saya pada seminar tentang panteisme di Jakarta saat itu. Pemaparan itu yang kemudian memancing timbulnya tanggapan dan pertanyaan dari peserta seminar saat sesi tanya jawab berlangsung. Diluar dugaan saya, penanya yang menyebut dirinya adalah dosen fakultas filsafat UGM itu rupanya sedikit banyak telah membaca kitab Mahabharata dan Bhagavad-gita.

Pertanyaan pertamanya adalah, bukankah tujuan hidup semua orang Hindu adalah mencapai moksa? Apakah setiap orang yang mencapai moksa itu harus ditandai dengan lenyapnya raga, atau jasadnya saat meninggal dunia? Dia bertanya demikian, karena dalam Mahabharata diceritakan bahwa para Pandawa mencapai moksa, dan tubuh mereka hilang lenyap, tidak berbekas, tanpa meninggalkan jasad. Lalu, kalau memang manusia biasa seperti kita bisa moksa – kalau benar bisa – apakah nanti badan jasmani atau raga kita juga pasti akan lenyap? Apakah harus sedemikian sulitnya untuk mencapai moksa?

Pertanyaan keduanya cukup filosofis, berkaitan dengan sifat sang roh yang diuraikan dalam Bhagavad-gita yang menurut dia justru bertentangan atau bertolak belakang dengan konsep moksa yang selama ini diyakini oleh umat Hindu. Sambil bertanya, dia mengutip sifat-sifat sang roh seperti yang diuraikan dalam kitab Bhagavad-gita 2.23 -24 sebagai berikut : “Sang roh tidak pernah dapat dipotong menjadi bagian-bagian oleh senjata manapun, tidak terbakar oleh api, tak terbasahi oleh air, atau dikeringkan oleh angin. Roh individual tidak dapat dipatahkan, tidak dapat dilarutkan, dibakar, ataupun dikeringkan. Ia hidup untuk selamanya, berada di mana-mana, tidak dapat diubah, tidak dapat dipindahkan dan tetap sama untuk selamanya”. Karena itulah dia lalu mempertanyakan konsep moksa menurut Hindu yang menyatakan bahwa moksa itu tercapai bila Atman telah lenyap, bersatu dengan Brahman. Menurutnya, orang Hindu sering mencontohkan bahwa penyatuan Atman dengan Brahman itu dapat dipahami seperti penyatuan air sungai yang mengalir menuju ke laut, dan kemudian bersatu dengan air laut. Setelah air sungai bertemu dengan air laut, maka kita tidak bisa membedakan lagi mana yang air sungai dan mana yang air laut. Begitulah, Atman tidak dapat lagi dibedakan dari Brahman, setelah terjadi penyatuan itu.

Pertanyaan dosen itu adalah, tidakkah konsep itu justru bertentangan dengan prinsip kekekalan roh yang diuraikan dalam kitab Bhagavad-gita tersebut? Bukankah dalam Bhagavad-gita 2.12, Sri Krishna juga bersabda :

na tv evähaà jätu näsaà
na tvaà neme janädhipäù
na caiva na bhaviñyämaù
sarve vayam ataù param

Pada masa lampau tidak pernah ada suatu saat pun dimana Aku, engkau maupun semua raja ini tidak ada; dan pada masa yang akan datang tidak ada satu pun di antara kita semua akan lenyap.

Mengapa dalam Hindu ada ajaran-ajaran yang seolah-olah saling bertentangan dan bertolak belakang seperti itu? Lalu, apa yang terjadi pada sang roh setelah berhasil bersatu dengan Brahman?

***

Marilah kita mengkaji dan mencari jawaban terhadap pertanyaan yang diajukan oleh dosen filsafat tersebut. Benar bahwa umat Hindu selalu menyatakan bahwa tujuan hidupnya adalah untuk mencapai moksa. Tapi, apakah orang yang mencapai moksa, raganya pasti ikut lenyap? Pertanyaan demikian itu dapat dimaklumi, mengingat dalam masyarakat, khususnya masyarakat Jawa, ada berbagai pendapat tentang moksa. Menurut Dr. Budya Pradipta (2007), yang dimaksud dengan moksa adalah meninggal menghadap Tuhan Sang Maha Pencipta berikut raganya. Contoh tokoh-tokoh pada jaman dahulu yang mencapai moksa adalah Yesus Kristus, Raja Jayabaya, Syekh Siti Jenar, dan lain-lain. Berdasarkan cerita yang berkembang di masyarakat, moksa itu ada bermacam-macam. Ada yang moksa dengan kesadaran penuh, disaksikan oleh orang lain. Contohnya, seperti yang dikemukakan oleh dosen yang bertanya tersebut, bahwa Krishna beserta para Pandawa mencapai moksa berikut raganya lenyap, dan disaksikan oleh Wyasadewa atau Rsi Wyasa. Hal ini dapat dijumpai dalam pewayangan Jawa dengan lakon Pandawa Mukswa. Sumbernya tentu saja adalah dari kitab Mahabharata.

Pradipta melanjutkan, ada pula moksa yang terjadi ketika jenasah sedang diletakkan di liang lahat, lalu terdengar seperti bunyi ledakan dimana semua orang menyaksikan dan ternyata jenasah yang hendak dikubur hilang dari penglihatan, yang tinggal hanyalah tikar dan pembungkus jenasah. Ada versi moksa yang lain, yaitu yang terjadi setelah jenasah beberapa lama dimakamkan. Ini dibuktikan dengan ketika jenasah digali setelah sekian lama, ternyata jenasah itu hilang lenyap. Ada yang meyakini, bahwa lenyapnya jenasah itu adalah pertanda orang yang bersangkutan mencapai moksa.

Lalu, jenis moksa yang mana yang diyakini oleh umat Hindu? Memang tidak mudah untuk menjawab pertanyaan ini. Kalau kita mempelajari secara mendalam filsafat Hindu yang bersumber pada kitab-kitab Upanisad, khususnya, akan terlihat bahwa ada banyak penafsiran terhadap pengertian moksa. Pada umumnya, dalam pengertian Hindu, moksa berarti terbebas dari punarbhawa, bebas dari perputaran kelahiran dan kematian. Bebas dari siklus reinkarnasi.

Sri Krishna menyatakan :

janma karma ca me divyam
evaà yo vetti tattvataù
tyaktvä dehaà punar janma
naiti mäm eti so ’rjuna

Orang yang mengenal sifat rohani kelahiran dan kegiatanKu tidak dilahirkan lagi di dunia material ini setelah meninggalkan badannya, melainkan ia mencapai tempat tinggalKu yang kekal, wahai Arjuna.

Menurut Sastrawan (2007), moksa adalah kembalinya kesadaran makhluk hidup ke kesadaran yang paling tinggi, yaitu kembali ke Yang Maha Kuasa. Brahman Atman Aikyam, yaitu manunggalnya (aikyam) jiwa individual (Atman) Kepada Yang Maha Pencipta (Brahman). Secara sederhana, moksa adalah leburnya “Sang Diri” ke dalam “Sang Diri Yang Maha Agung.” Hal ini dapat diumpamakan sebagai ‘sadarnya setetes air dalam samudra yang luas.” Bukan terhapusnya sang diri. Kata kuncinya adalah ‘lebur’ atau ‘larut’.

Untuk lebih memahami konsepsi tersebut, diberikan contoh berikut. Zat-zat material dapat larut dengan baik dalam air, apabila zat-zat tersebut memiliki kesamaan sifat dengan air sebagai pelarutnya. Gula mudah larut dalam air, tetapi tetap memiliki keterbatasan. Sedangkan alkohol memiliki sifat yang lebih mirip dengan air, karenanya alkohol dapat larut dengan lebih mudah dalam air. Jadi, semakin mirip atau semakin besar persamaan sifatnya, akan semakin mudah terjadinya proses larut tersebut.

Oleh: Suryanto, M.Pd

Translate »