Siapa orang Hindu di Nusantara yang tidak pernah mendengar istilah tiga kerangka agama Hindu yang terdiri dari tattva, susila dan upakara? Saya yakin hampir semua orang Hindu yang pernah mengenyam pendidikan atau setidaknya menduduki posisi sulinggih sudah fasih dengan istilah ini. Tattva atau filsafat, susila atau tingkah laku dan upakara atau ritual, sebuah dasar keagamaan yang terlihat sederhana namun sarat dengan makna. Umat Hindu dituntun untuk mengerti tattva sehingga dengan dasar tattva yang benar dia akan memiliki sradha atau keyakinan yang kuat akan agamanya. Umat Hindu juga harus memiliki dasar susila yang baik, melakukan tapa dan bratha yang merupakan pondasi dasar dalam meniti jalan kerohanian. Dan yang terakhir unsur upakara. Hindu memiliki sekian banyak jenis ritual mulai dari ritual yang paling sederhana sampai yang paling rumit. Ritual-ritual ini diharapkan bisa menjembatani kesadaran manusia dalam menginsyafi Beliau Yang Mutlak. Andaikan ketiga kerangka dasar ini dijalani dengan sinergi, maka seorang pemeluk Hindu sudah pasti mencapai moksatram dan jagathita, kebahagiaan rohani dan juga kebahagiaan material di dunia fana ini.

Tapi apa yang terjadi saat ini? Hanya sebuah ketimpangan. Tiga kerangka dasar agama Hindu hanyalah sebuah jargon belaka. Dengan sangat bangganya kalangan yang mengaku dirinya intelektual Hindu malahan mengingkari tiga kerangka dasar ini. Sebut saja contohnya seperti pada saat acara Dharma Tula di suatu pura besar di dekat ibu kota. Seorang narasumber yang bertindak sebagai salah satu sepuh pemimpin Hindu di Indonesia dengan tegas memisahkan ketiga kerangka dasar ini. Beliau mengatakan bahwa Hindu di India adalah corak Hindu yang kental dengan tattva-nya tetapi kadar susila dan upakara-nya lebih minim. Hindu di Jawa adalah corak Hindu yang sarat dengan susila sehingga mereka cenderung lebih keras dalam melakukan tapa bratha dan kurang dalam hal filsafat dan upacara. Sedangkan Bali adalah Hindu yang “bebalian” (bebantenan) yang kental dengan upakara sehingga segala hal bisa diselesaikan dengan melakukan berbagai macam upacara. Beliau juga mengatakan bahwa karena karakteristik berbeda ini adalah sebuah keunikan, maka Hindu di Bali tidak boleh meniru Hindu di India atau di Jawa. Bali harus tetap dengan ritualnya. Hindu Bali tidak boleh mengikuti tatanan seperti di India yang cukup mempuni dalam filsafat. Sebuah dikotomi yang menurut saya sangat nyeleneh. Bayangkan, bagaimana seseorang bisa melakukan tapa dan vrata serta ritual tanpa ada dasar filsafat sehingga menumbuhkan sradha dalam dirinya? Ketimpangan inikah yang menyebabkan Hindu di Indonesia hancur seperti sekarang ini? Sementara di India yang dikatakan menguasai tattva dengan baik, meski mereka sudah sekian abad dijajah oleh penguasa Muslim dan berikutnya dijajah kembali oleh Inggris, namun fakta mengatakan sampai saat ini mayoritas penduduk India masih tetap bertahan dalam naungan Veda.

Swami Sivananda dalam bukunya All About Hinduism menyatakan; “Agama Hindu menyediakan hidangan spiritual kepada setiap orang sesuai dengan perkembangan diri pribadinya masing-masing”. Hindu dengan kitab sucinya Veda adalah sebuah sistem filsafat yang mencakup spiritual dan material yang komprehensip. Tidak ada konsep keagamaan yang ada di agama lain yang tidak ada dalam ajaran Veda. Sebut saja konsep Tuhan adalah Bapa dalam kekristenan. Dalam Bhagavad Gita 9.17 Tuhan Yang Maha Esa Sri Krishna menyatakan dirinya adalah ayah semua mahluk hidup. Masalah pemujaan Tuhan tanpa sesajen atau sarana apapun, masalah jenis “rasa” dalam mendekati Tuhan, zikir, nyanyian dan apapun yang ada pada agama lain juga ada dalam Hindu. Sungguh ironis jika orang Hindu khususnya di bali yang memiliki semua kekayaan filosofi ini masih kekeringan filosofi bukan? Tentu kekeringan ini disebabkan karena orang Hindu bodoh-bodoh. Mereka dijejali dengan berbagai ritual, tetapi lupa dengan dasar filsafat. Akibatnya mereka tidak menyadari bawha kitab suci mereka sangat-sangat lengkap.

Dewasa ini beredar sangat banyak kitab-kitab baru yang diklaim merupakan bagian dari kitab suci Veda. Sebut saja beberapa diantaranya seperti Akbar Upanisad, Allah Upanisad dan juga Jesus Upanisad. Ketiga Upanisad ini bukanlah bagian dari 108 Upanisad yang diakui secara ortodok sebagaimana tercantum dalam kitab Muktikā Upanisad. Tetapi oleh sebagian orang, Upanisad – Upanisad ini sangat gencar dipropagandakan dan dikatakan sebagai bagian kitab suci Veda yang baru saja ditemukan. Dalam Allah Upanisad berisi ajaran yang berusaha menjabarkan benang merah antara Hindu dengan ajaran Islam, pengagungan Allah dan Muhammad. Sedangkan dalam Jesus Upanisad mengajarkan tentang Yesus sebagai Tuhan. Sangat banyak orang Hindu yang keblinger dan mempercayai apa yang disampaikan oleh kitab suci palsu ini. Ujung-ujungnya tentu sudah bisa anda tebak sendiri. Pelan tapi pasti orang-orang Hindu terkonversi dan meninggalkan ajaran Veda.

Keberadaan kitab suci Veda yang aspal, asli tapi palsu juga sudah membanjiri kita. Bukan hanya di ranah maya, tetapi juga dalam buku-buku yang beredar luas di pasaran. Banyak kalangan dakwah dan juga misionaris mencantumkan kutipan-kutipan sloka yang disebutkan berasal dari kitab-kitab Veda tertentu untuk membenarkan argumennya. Tetapi ternyata setelah ditelusur, sloka yang dimaksud tidak pernah ada dan hanya merupakan karangan mereka sendiri. Penerjemahan sloka Veda secara ngawur dan memplitir sloka aslinya yang menyebabkan penyimpangan dari maksud aslinya untuk membenarkan argumen mereka adalah modus yang paling sering terjadi. Sebut saja tokoh seperti Alexander Duff, William Carey, Max Muller, James Mill, William Jones, Moriz Winternitz, Zakir Naik dan banyak lagi yang lainnya. Mereka semua mencoba mempelajari, menterjemahkan, menafsirkan dan menyebarkan ajaran Veda demi mencapai misi mereka. Namun saking tololnya, ternyata terjemahan-terjemahan dan ulasan yang banyak diacu oleh umat Hindu di Indonesia khususnya adalah hasil-hasil karya mereka ini. Dampak dari semua ini sudah pasti membuat pemahaman sebagian besar orang Hindu menjadi kacau.

Kenapa orang Hindu begitu mudahnya dikibulin? Apa yang salah dengan Hindu? Jika kita flash back sejarah Hindu di Nusantara, tipikal masyarakat kita benar-benar masih menganut prinsip kawulo-gusti. Ada kelompok masyarakat yang dijadikan mercusuar oleh masyarakat pada umumnya. Raja-raja dianggap sebagai titisan para dewa, dan para pemimpin spiritual dianggap wakil Tuhan. Dan sementara itu masyarakat umum hanya mengekor para pemimpin tersebut. Mereka mengikuti aturan tingkah laku dan upacara hanya karena petunjuk pemimpin tanpa tahu dasar filsafatnya seperti apa. Dengan pola ini, prinsip-prinsip “nak mulo keto” pun merasuk ke segenap lapisan mayarakat. Lalu apa jadinya jika mereka yang berkedudukan sebagai pemimpin ini runtuh? Jawabannya dapat kita peroleh dari sejarah runtuhnya kerajaan-kerajaan Hindu Nusantara yang diinvasi oleh Islam. Sesaat setelah kerajaan musnah dan para pemimpin agama lenyap, seketika itu pula masyarakat Nusantara bisa dengan mudah dialihagamakan. Kenapa? Karena secara personal mereka tidak punya dasar filosofi tentang keyakinan mereka sendiri. Mereka yang menguasai filsafat yang merupakan keturunan pemimpin dan pemuka spiritual berbondong-bondong kabur ke plosok-plosok terpencil seperti ke wilayah Bromo, Gunung kidul dan juga ke Bali. Wilayah-wilayah inilah yang menjadi benteng terakhir pertahanan Hindu. Sampai pada awal kemerdekaan RI, Gunung kidul dan Bromo masih bertahan karena benteng alamnya yang menyulitkan kaum dakwah menjangkau mereka. Namun saat kases komunikasi dan transfortasi saat ini telah menjangkau mereka, akhirnya Gunung Kidul juga sukses diislamisasi. Sementara itu wilayah Bromo masih bertahan karena pada waktu awal kemerdekaan ada tokoh karismatik yang bisa mempertahankan mereka. Semetara itu di Bali, kerajaan Hindu bertahan sampai datangnya penjajah bangsa Eropa. Namun setelah kerajaan di Bali takluk dan kehilangan taringnya, para misionaris Kristen mulai bisa menyusup. Sebagaimana surat berupa lontar bertanggal 1935 yang disampaikan raja Kelungkung selaku wakil raja-raja Bali kepada orang-orang Portugis di Malaka dimana dia menyatakan “Saya senang sekali jika mulai sekarang kita bersahabat dan orang datang ke pelabuhan ini untuk berdagang. Saya pun akan senang sekali jika imam-imam datang ke sini agar siapa saja yang menghendaki dapat memeluk agama Kristen”. Namun untungnya pada masa itu penjajahan kolonial Hindia Belanda menetapkan undang-undang yang melarang para misionaris melakukan kristenisasi di Bali sebagai mana yang tercantum dalam pasal 177. Andaikan saja Belanda tidak melindungi Bali pada waktu itu, maka mungkin seluruh masyarakat Bali sudah menjadi Kristen. Pariwisata Budaya di Bali tidak akan berkembang seperti dewasa ini.

Saat ini benteng pertahanan Hindu di Bali sudah hampir musnah. Tidak ada raja-raja Hindu yang bisa melindungi Bali lagi. Tidak ada peraturan pemerintah yang bisa menjegal masuknya kaum misionaris ataupun kaum dakwah lagi. Kebijakan-kebijakan pemerintah Bali sudah tidak lagi ke arah ajeg Hindu ataupun ajeg Bali yang selama ini didengungkan, tetapi sudah ke arah “Dolar”. Semuanya dijual hanya demi aliran uang dari mancanegara. Mereka lupa kalau suatu saat Hindu lepas dari Bali, maka budaya yang mengakar dari Hindu pun akan sirna. Dan itu artinya mesin penyedot uang yang mereka handalkan selama ini juga akan rusak. Tidak akan ada Pulau Dewata lagi, tidak akan ada Pulau Seribu Pura lagi. Tidak ada tarian Mahabharata, Ramayana dan sejenisnya lagi. Tidak akan ada daya tarik yang dapat menyedot wisatawan lagi selain dari pada museum dan cagar budaya yang sudah menjadi cagar mati yang kehilangan rohnya.

Saat ini, meski Bali mulai meredup, namun kita masih punya pertahanan terakhir yang bisa menyelamatkan kita. Masih ada sistem Desa Pakraman yang telah diwariskan oleh Maha Rsi Markandya. Sistem yang kelihatannya sangat remeh ini sebenarnya merupakan kekuatan yang sangat besar jika mau dimanfaatkan secara optimal oleh seluruh umat Hindu di Bali. Leluhur kita telah mewariskan prinsip-prinsip dasar pengajaran Veda secara terselubung melalui Desa Pekraman ini. Prinsip Varnasrama dan Parampara (garis perguruan) terpatri rapi dalam sistem ini. Dalam konsep desa pekraman, disamping pembagian parahyangan (area tempat suci), pawongan (area pemukiman) dan palemahan (area alam sekitar tempat bercocok tanam dan sejenisnya), masyarakat juga dibagi dalam strata sosial sesuai dengan guna (sifat) dan karma (kerja) mereka. Ada orang-orang yang berkarakter suci dan cenderung mudah menguasai kitab suci dan memimpin masyarakat dalam hal spiritual, maka mereka termasuk dalam kelompok “ratu” yang dewasa ini diberi gelar “Ida” pada nama-nama keturunannya. Ada juga kelompok orang yang berjiwa kesatria yang berani mati dalam mempertahankan dharma. Maka orang-orang ini masuk dalam kelompok “gusti”. Kelompok yang pintar dalam bisnis dan perekonomian masuk dalam kelompok vaisya dan terakhir yang memang tidak memiliki kemampuan otak tetapi mampu secara otot masuk dalam kelompok sudra yang menjadi “panjak” pada ketiga golongan ini. Sayangnya dewasa ini strata sosial yang merupakan penerapan sistem catur varna telah terdistorsi menjadi sistem wangsa atau kasta yang malahan menjerat orang-orang yang ada dalam sistem Desa Pekraman itu sendiri. Para “ratu” yang merupakan pemimpin spiritual tidak lagi melakukan transfer ilmu kepada para “sisya” yang terdiri dari seluruh masyarakat di desa pekraman tersebut. Mereka sibuk melakukan bisnis “banten”. Mereka sibuk melanggengkan kekuasanan dan “kehormatan” keluarga mereka. Kalau pihak para “ratu” yang bertempat di griya tidak lagi melakukan transfer ilmu kepada “sisya”-nya, lalu bagaimana mungkin para sisya mengerti pengetahuan spiritual? Jika pengetahuan spiritual mereka kering, dan hanya dijadikan objek bisnis banten. Sudah dapat dipastikan apa yang akan terjadi. Mereka semua akan “kabur” meninggalkan ajarannya. Mereka lebih memilih “diselamatkan” oleh para “pedagang kecap” dari pada mereka dijerat dalam bisnis ritual.

Karena itu, wahai semua masyarakat Hindu di Bali yang masih memiliki sistem Desa Pekraman, segeralah sadar dan bangkit dari tidur. Kembalikan sistem Desa Pekraman seperti sedia kala. Bangunkan sistem varnasrama dan garis perguruan (parampara) yang tertanam dalam sistem yang adiluhur tersebut. Dengan jalannya sistem ini maka kekeringan filsafat tidak akan terjadi. Umat Hindu tidak akan mudah dikibuli dengan berbagai sloka-sloka dan kitab suci palsu. Mereka tidak akan mudah dikonversi dan diselamatkan. Disamping itu, sadarilah bahwasanya semua tanah di Bali pada dasarnya adalah milik adat, semuanya ada di bawah sistem Desa Pekraman. Tidak seorangpun termasuk para investor, warga pribumi maupun pendatang dan pemerintah yang bisa menduduki tanah di arena Desa Pekraman sebagai hak milik pribadi. Semua tanah dan kekayaan alamnya adalah bagian tidak terpisahkan dari Desa Pekraman. Sehingga jika benar-benar sistem ini dijalankan, tidak akan ada lagi berat sebelah terhadap warga pribumi, warga pendatang atau yang keluar dari adat. Selama ini yang berat harus ngayah dan membayar iyuran hanyalah mereka yang tergabung dalam warga Pakraman itu, sementara para warga pendatang dan para mereka yang memutuskan pindah agama dan keluar dari sistem desa Pekraman tidak lagi dibebani ayahan dan iyuran. Akibatnya sudah barang tentu lebih baik keluar dari desa Pekraman bukan?

Mari kita bangun kembali pondasi tattva kita yang salah satunya bisa dengan cara membangkitkan potensi yang sudah ada dalam Bali itu sendiri. Mari kita lebih cerdas sebagai Hindu. Tidak ada orang lain yang bisa menyelamatkan kita lagi kecuali kita membentengi diri kita sendiri. Bangkitlah saudara-saudara Hinduku di Bali….. Masa depan Bali ada di pundak kalian.

Om Tat Sat.

Translate »