Para pendatang sangat senang merebut sumber-sumber rejekinya Krama Bali karena daya saing Krama Bali lumpuh. Sumber rejeki yang ada di depan hidungnya tidak dihiraukannya sehingga kaum pendatang dengan mudah mengambil alih. Krama Bali selalu sibuk diajak berkorban untuk para Bhuta Kala agar “somya” katanya. Bukannya “somya” (damai) yang didapat, tetapi yang didapat malah berbagai penyimpangan prilaku karena secara tidak sadar mereka “nyungsung” Bhuta Kala dalam pikirannya.
Yang “nyungsung” Kala Wisaya menyebabkan katagihan berjudi. Wisaya artinya racun. Racunnya sang Kala Wisaya lebih paten dari narkoba. Karena itulah sulit menghentikan orang yang ketagihan berjudi. Kaum pendatang yang menjadi bandar togel menjadi amat senang. Krama Bali dengan senang membeli nomor dengan harapan mendapatkan uang banyak secara mudah. Sedangkan kaum pendatang sangat senang menjual nomor karena bisa mendapatkan banyak uang dengan mudah. Jika narkoba menyebabkan badan sang pelaku kurus, maka Kala Wisaya menyebabkan harta bendanya lah yang terkuras habis-habisan. Moralnya runtuh, tanah leluhur pun akhirnya dijual. Mencari uang dengan cara lain sulit, tapi menghabiskan uang hanya untuk sebuah nomor togel gampang. Sementara itu Bandar Togel “kedek ngekek” mendapatkan uang dengan cara mudah yang akhirnya digunakan untuk memborong tanah para Krama Bali.
Yang “nyungsung” Kala Dremba menyebabkan mereka ketagihan makan darah dan daging. Dia kehilangan rasa kasih sayang dan menjadi kejam pada mahluk lain. Pada waktu dia menyemblih binatang sama sekali tidak ada rasa kasihan melihat binatang itu meronta-ronta dan menjerit menangis. Yang terbayang dalam pikirannya hanya rasa enak makan lawar, sate, gorengan, guling dan sejenisnya. Pada waktu binatang itu meregang nyawa menggelepar, malah ditertawakan. Dia tidak sadar badannya dipergunakan Kala Dremba untuk bersenang-senang makan daging. Sama seperti orang kesurupan minta pitik (anak ayam) untuk dimakannya. Orang yang kesurupan matanya terpejam, setelah diberi pitik, dia menari-nari dan memakan pitik itu hidup-hidup bersama-sama dengan kotorannya. Setelah itu malah lagi minta arak (minuman keras). Orang yang badannya terlalu sering dimanfaatkan oleh Kala Dremba tentu cepat rusak, sehingga organ-organ di dalam badannya cepat kropos mengalami degradasi seperti maag, asam urat, diabetes, gagal ginjal, serangan jantung, hipertensi dan struk lalu lumpuh. Dokter tidak mampu menyembuhkan karena penyakit itu merupakan buah karmanya membunuh binatang yang tidak berdosa. Mereka lupa tujuan menjelma ke dunia adalah untuk memperbaiki karma dan ingat kepada Tuhan sehingga bisa mencapai Moksa.
“I Belog Mabet Ririh” tidak percaya dengan Hukum Karma, sehingga dia mencari pembenaran pembunuhan binatang dengan alasan “nyupat” untuk korban suci. Boleh saja mencari alibi seperti itu, tapi Dewa Baruna selaku penegak Hukum Karma di dunia ini tetap saja akan menajatuhkan hukuman yang setimpal dengan penderitaan binatang yang disakiti atau dibunuh. Jika dia keburu mati sementara hukumannya belum selesai diterima, maka di “Tanah Barak” (alam roh) dia akan diadili oleh Dewa Yama. Kalau di alam roh belum lunas juga, maka dia harus menjelma ke dunia ini lagi sebagai mahluk hidup yang mengalami nasib yang sama seperti binatang yang pernah dia sakiti.
Dewa Baruna dan Dewa Yama tidak bisa disogok dengan “Banten Guru Piduka, Banten Pemayuh, Bebangkit, Tebesan, Sayut Pengambean, Caru” dan sebagainya. Mereka tidak seperti Hakim di dunia ini yang bisa dininabobokan hanya dengan sejumlah “amplop”.
Kala Ngadag menyebabkan orang suka melanggar aturan yang bisa membahayakan orang lain. Sang WIL menyebabkan orang doyan ke kafe, minum minuman keras dan bikin onar.
Semua prilaku-prilaku ini merobohkan sendi-sendi Dharma. Karena itu mereka tidak mendapat perlindungan Sang Hyang Dharma. Orang yang tidak dilindungi Dharma nasibnya tidak ubanya seperti tanaman tanpa pagar. Ada saja yang iseng datang mencabik-cabiknya. Atau seperti bola mata yang tidak dilindungi oleh kelopak matanya, ada saja yang menyakitinya, baik debu, pasir, asap, percikan sabun, serangga dan sebagainya.
Dari jaman I Kumpi Krama Bali selalu disuruh berkorban untuk “nyomya” para Bhuta Kala dengan janji akan mendaptkan ketentraman dan kedamaian. Tetapi nyatanya malah keributan, percekcokan, sengketa, kekerasan dan saling kroyok yang semakin menjadi-jadi. Bahkan dewasa ini pembunuhan semakin sering terjadi. Pura dan Kuburan yang seharusnya menjadi alat pemersatu Krama Bali malah disengketakan seperti yang terjadi di Banjar Kemoning dengan Banjar Budaga di Kabupaten Kelungkung.
Karena Krama Bali terperangkap dalam jejaring sengketa, tenaga dan pikirannya terkuras untuk bersengketa, maka sumber-sumber rejekinya yang ada di depan hidungnya diabaikan. Datanglah orang dari luar Bali berduyun-duyun merampas sumber-sumber rejeki yang bertebaran di Bali. Setiap tahunnya tidak kurang dari 350.000 orang datang dan menetap di Bali merebut sumber-sumber rejeki yang ada. Kaum pendatang dengan aman menguasai pusat-pusat perekonomian dan tanah-tanah yang strategis. Krama Bali tersingkir ke pinggiran berdesak-desakan di sudut yang sempit. Krama Bali hanya menjadi pembantu di rumahnya sendiri dengan upah yang sangat rendah. Inikah yang disebut “Ajeg Bali” yang dielu-elukan oleh para oknum tokoh Guru Belog Megandong?
Guru belog megandong tidak ubahnya seperti air keras yang malah menghancurkan benda-benda disekitarnya. Siapapun yang bergaul dengan dirinya pasti akan dimakannya. Guru Belog Megandong hanya bertindak atas dasar kepentingannya sendiri dan tidak pernah mementingkan masa depan “Sisya”-nya. Mereka tidak pernah berusaha memberi bantuan kepada anak-anak yatim piatu, anak terlantar, mereka yang sebatang kara, orang jompo, memprakarsai pendidikan murah untuk mencerdaskan anak-anak Krama Bali yang biskin. Bahkan kewajiban mereka sebagai Guru yang seharusnya memberikan siraman rohani dan memberikan pendidikan spiritual pun tidak mereka jalankan. Mereka hanya sibuk mengejar “Daksina”.
Jangan pernah dekat dengan tokoh Guru Belog Megandong seperti ini. Sebaliknya, kita harus mendekati Guru-Guru spiirtual yang bonafide. Sebut saja salah satunya Guru Nihita, yaitu Guru yang terampil memimpin upacara dan mampu membimbing Sisya-nya agar mampu hidup sejahtera di dunia ini (jagathita) dan juga sadar akan spiritual dan mencapai Moksa secara tepat guna dan tepat sasaran sesuai dengan petunjuk kitab suci Veda.
Sebenarnya Krama Bali saat ini pun sangat taat dalam beragama dan mengikuti aturan Veda. Tetapi sayangnya selama ini mereka salah pemimpin. Guru Belog Megandong terlalu sering menelikung ketulusan mereka dalam beragama. Mereka diajak beragama di kulit luarnya saja dan tidak pernah diberi isinya. Jadi pengorbanannya “nyaplir”. Guru Belog Megandong memang mengatakan korban suci yang dilakukan untuk Sang Hyang Widhi, tetapi prakteknya hanya untuk Bhuta Kala, pamer kekayaan, untuk kepuasan indria dan sebagian untuk “daksina” Guru Belog Megandong.
Kritik ini terkesan lancang? Ya… orang yang belum pernah membaca Lontar dan kitab suci Veda bisa saja menyebut kritikan ini lancang. Tapi mereka yang sudah merenungkan ajaran-ajaran tattva kitab suci secara mendalam akan dapat mengerti makna dibalik kritikan pedas ini. Mereka akan kasihan kepada Krama Bali yang dijadikan budak demi kemakmuran Guru Belog Megandong. Guru Belog Megandong hidup enak, tapi Krama Bali malahan hidupnya susah, tidak tentram karena selalu dibayangi oleh bayang-bayang ketakutan. Guru Belog Megandong enak digendong, tetapi Krama Bali tertatih-tatih, nafasnya terengah-engah karena payah menggendong Gurunya yang gemuk dan berat akan dosa.
Krama Bali yang salah memilih Guru dan terperangkap dalam ajarannya yang keliru selamanya tidak akan pernah menemukan Jagathita secara turun-temurun. Jangan pernah memilih Guru yang menyalahgunakan agama agar kita tidak diperbudak oleh kemiskinan, miskin harta dan miskin spiritual. Agama adalah alat yang sama seperti halnya alat-alat yang lainnya. Jika alat itu digunakan dengan cara yang benar maka akan mendatangkan kebaikan. Namun jika alat itu digunakan secara keliru, maka sudah pasti akan menimbulkan bahaya dan penderitaan. Maka jangan sampai Agama dimanfaatkan oleh Guru Belog Megandong untuk memeras Krama Bali.
Hindu sebenarnya adalah agama yang paling lengkap yang cocok untuk kalangan apapun. Hindu tidak pernah memaksakan umatnya harus melakukan caru, membuat banten atau memberi daksina dalam jumlah tertentu. Hindu mengijinkan umatnya memuja Tuhan bahkan tanpa sarana apapun. Hindu tidak pernah menyalahkan umat yang hanya bersembahyang dengan cara bernyanyi seperti halnya orang Kristen di Gereja (Hari Nama Sankirtana), duduk bersimpuh dan bezikir seperti umat Muslim (Berjapa) atau hanya dengan berusaha memusatkan pikiran kepada Beliau dalam segala tindakan. Sama sekali tidak ada batasan. Bagi mereka yang memang mampu dan ingin membuat yadnya yang besar dengan melibatkan banyak masyarakat dan korban suci juga tidak disalahkan. Apa lagi jika persembahan yadnya itu pada akhirnya dibagikan sebagai lungsuran (prasadam) kepada seluruh masyarakat sekitar. Itu merupakan yadnya yang sangat baik. Kenapa dalam Hindu ada banyak jalan yang sangat fleksibel? Karena Hindu menyadari bahwasanya setiap manusia memiliki Guna dan Karma serta kemampuan material yang berbeda-beda sehingga urusan hubungan kepada Sang Pencipta sama sekali tidak bisa distandarkan secara “plek-keciplek”. Semua yadnya yang penting harus dilakukan dengan prinsip tulus iklas, rasa suka cita, tanpa beban, jujur dan berpondasi pada landasar Dharma.
Jadi pada prinsipnya beragama Hindu itu sangatlah mudah. Yang menyebabkan beragama Hindu menjadi rumit adalah karena politik “Daksina Monopoli” Guru Belog Megandong. Upacara sengaja dibikin ruwet dan transfer pengetahuan tidak dilakukan sehingga masyarakat umum tidak mampu menguasainya sehingga terus-menerus membuat ketergantungan kepada mereka. Agar politik “Daksina” itu kelihatannya indah maka dibungkus dengan jargon “Ajeg Bali, melestarikan seni budaya dan pariwisata”. Memang “Ajeg Bali” itu baik, melestarikan seni budaya penting dan mempertahankan pariwisata itu perlu, tapi bukan begitu caranya. Jika Guru itu jujur maka mestinya upacara diatur sedemikian rupa untuk meningkatkan daya tahan Krama Bali di dalam persaingan yang semakin ketat menghadapi kaum pendatang yang militan. Kalau Krama Bali selalu tunduk dengan Guru Belog Megandong maka Krama Bali akan tersingkir seperti nasib orang Betawi di Jakarta. Bali ini hancur bukannya karena tidak “mecaru”, melainkan karena dihancurkan oleh racun intimidasi yang melemahkan daya tahan Krama Bali dan serbuan dari kaum pendatang yang militan. Tanah-tanah yang strategis dikapling-kapling untuk perumahan, untuk pertokoan, tempat hiburan dan hotel yang ternyata dikuasai oleh kaum pendatang. Kalau tanah sudah dikuasai kaum pendatang, lalu apanya yang mau diajegkan? Banyak Krama Bali yang kesulitan ekonomi bahkan harus menjual tegak rumah dan tegak sanggahnya sendiri. Tegak sanggah yang akhirnya dikuasai oleh non-Hindu akhirnya dirobohkan. Kalau sudah begitu, apa yang bisa dilakukan? Kemana yadnya dan caru di sanggah yang memicu penjualan tanah itu? Tidakkah Bhetara dan Bhuta Kala sanggup mempertahankan tegak sanggah itu tetap berdiri setelah dikuasai non-Hindu? Lalu kemana perhatian Guru Belog Megandong? Kenapa mereka tidak memperjuangan tegak sanggah yang dihancurkan itu? Itulah kenapa kita harus menjauhi tokoh Guru Belog Megandong dan beralih kepada Guru Nihita dalam mencari tuntunan beryadnya jika mau betul-betul mensukseskan “Ajeg Bali, Ajeg Hindu, Ajeg Desa Pekraman dan Ajeg Seni Budaya Bali”. Untuk memuluskan semua ajeg ini diperlukan dukungan biaya. Dan dukungan biaya hanya bisa didapat jika semua Krama Bali bisa maju dalam bidang perekonomian dengan menguasai semua lini perekonomian Bali yang ada. Jangan sampai menghambur-hamburkan modal yang ada hanya untuk upacara. Dalam batas-batas tertentu upacara itu dikalahkan oleh Hukum Ekonomi dan oleh Hukum Alam. Jadi beragama dan berupacara jangan membabi buta, harus didukung dengan perhitungan Hukum Ekonomi dan Hukum Alam juga.
Dalam kaitannya dengan hukum alam bisa kita lihat pada kasus upacara “Pakelem”. Upacara Pakelem menenggelamkan banyak binatang dan berbagai sesaji hasil bumi di laut dengan harapan agar air laut tidak ganas. Sudah banyak binatang dan sesajen dikorbankan dan ditenggelamkan, tapi mengapa abrasi pantai semakin parah? Inilah hukum alam. Hukum alam tidak bisa dijinakkan hanya dengan “banten” sebesar apapun. Walaupun kita menghaturkan “Pakelem” sejuta kerbau di laut”, tidak mungkin abrasi itu berhenti tanpa ada tindakan kongkrit melakukan reboisasi hutan bakau. Jangan mimpi dengan upacara-upacara parsial seperti itu. Ada orang yang melakukan upacara besar dan meriah dengan banten yang sangat banyak, menaruh banyak dupa pada setiap pelinggih dengan sembarangan, kemudian tidak diketahui bara dupa yang ditiup angin mengenai kain hiasan pada palinggih tersebut. Akhirnya apa yang terjadi? Semua palinggih dalam pura itu hangus terbakar. Inilah pertanda bahwa kita harus menaati hukum alam karena kita sebagai manusia yang spiritualnya masih rendah belum bisa lepas total dari alam material ini. Kita bukan orang suci, kita bukan dewarsi dan bukan juga seorang yogi yang sudah hebat. Maka dari itu jangan sekali-sekali menentang hukum alam sebelum yakin bahwa diri kita sudah benar-benar lepas dari alam material.
Contoh lain penentangan hukum ekonomi dalam beryadnya adalah jika umpamanya kita punya lahan pertanian sebanyak 15 are, lalu akan melakukan upacara “Ngaben”. Jika upacaranya mengikuti “Swasta Gni” yang amat sederhana maka kita tidak perlu sampai menjual tanah. Tetapi jika kita mengikuti petunjuk Guru Belog Megandong maka kita harus menjual tanah untuk menutupi biayanya yang sangat besar. Sayangnya kebanyakan umat kita malahan terjerat oleh oknum Guru Belog Megandong ini. Mereka Ngaben dengan menjual atau menggadaikan tanah, meminjam uang di Bank dengan harapan leluhur yang mereka Aben akan menolong memberi rejeki agar mampu lagi membeli tanah atau mengembalikan hutang. Tapi “lacur”, setelah upacara selesai ternyata rejekipun tidak kunjung muncul karena leluhur tidak juga datang memberikannya. Kenapa? Karena urusan rejeki material adalah urusan badan material ini. Badan kasar inilah yang bertindak sebagai pencari rejeki. Mereka yang tidak berbadan kasar apa lagi tidak terikat akan material lagi tidak mungkin mau berurusan dengan rejeki lagi. Karena itu rejeki material harus diperoleh dengan berusaha sesuai petunjuk ilmu ekonomi dan tidak cukup hanya dengan berupacara saja.
Ada sebuah certia fiksi yang bisa menjadi perenungan kita bersama. Dikisahkan ada seorang Raja yang memerintahkan Perdana Mentrinya untuk menjual 3 jenis kepada. 3 kepala itu adalah kepada sapi, kepala kambing dan kepala manusia. Sang Perdana Mentri dengan mudahnya bisa menjual kepala kambing dan kepada sapi, tetapi tidak untuk kepala manusia. Bahkan disaat diberikan dengan harga terendah dan bahkan gratis pun tidak seorangpun di kerajaan itu yang mau menerimanya. Artinya, ternyata kepala manusia memiliki harga yang sangat tidak berharga dibandingkan dengan kepada kambing atau sapi. Jadi buat apa harus melakukan upacara pengabenan yang terlalu mahal, dengan membuat bade dan lembu yang serba wah? Kenyataannya mayat manusia itu jauh lebih menjijikkan dari mayat kambing atau sapi kan? Memang benar, pada dasarnya kepala manusia itu sangat berharga bagi sanak saudara yang empunya. Dia berharga dari segi ikatan emosional. Tetapi apakah hanya karena itu harus dijadikan alasan menghabiskan harta benda hanya untuk yang sudah meninggal? Apakah tindakan mengejar gengsi dan pamer itu yang diharapkan? Kenapa tidak disiapkan untuk yang masih hidup atau yang akan lahir saja? Jika leluhur anda bijak, saya yakin dia tidak akan mau menghabiskan harta warisannya hanya untuk upacara mereka. Mereka pasti akan memilih kesejahtraan anak cucunya. Apa lagi kalau ternyata dia akan “numitis” kembali di keluarga itu. Kasihan kan leluhur anda yang numitis menjadi miskin secara material? Masyarakat pun demikian. Mungkin saja masyarakat akan jijik melihat upacara yang “wah” yang “lebih besar pasak dari pada tiang” tersebut sama seperti contoh rakyat kerajaan yang melihat Sang Perdana Menteri sedang menjajakan kepala manusia. Saya tidak bermaksud menentang upacara ngaben yang meriah. Saya setuju jika upacara ini dilandasi memang dengan sumber ekonomi si empunya yang kuat dan bisa menjadi media sosial dan mensejahterakan masyarakat di sekitarnya dan juga sebagai media pelestarian budaya. Tetapi saya sangat anti dengan upacara pengabenan yang merupakan pemborosan sia-sia oleh keluarga yang pas-pasan. Boleh saja alasannya adalah demi melestarikan budaya, tetapi ingatlah bahwasanya masih ada cara lain yang bisa dilakukan dengan arif dan bijaksana. Jangan mau menjadi topeng monyet di Tanah Bali tercinta ini. Anda asyik ber-show ria… sementara yang menikmati “madu” show anda hanyalah para investor yang notabene bukan Krama Hindu Bali.
Sastra agama kita sudah memberi keleluasaan dan anjuran yang pas. Lakukan yadnya sesuai dengan kemampuan. Yang terpenting adalah ketulusan dan cinta bhakti kita. Bahkan jikapun harus melakukan ngaben hanya dengan Swasta Gni yang hanya dengan sebuah “punjung”, sebenarnya tidak masalah. Yang penting korban suci itu benar-benar kita tujukan pada Sang Hyang Widhi dan panjatan doa kita tulus untuk menghantarkan roh leluhur kita menuju alam yang lebih baik.
Tentunya yang bisa memberikan petunjuk dan mau membimbing kita dalam melakukan upacara seperti ini bukanlah Guru Belog Megandong, tetapi mereka para tokoh Guru Nihita-lah yang sanggup. Carilah sosok Guru-Guru Nihita ini. Mereka memiliki ciri-ciri seperti apa yang tertuang dalam kitab suci. Mereka akan sangat rendah hati, bersedia memberi hormat kepada siapapun dan motif mereka berbagi bukan lagi motif material, tetapi murni spiritual.
Namun tentu saja dalam proses pencarian dan pembelajaran ini kita akan berhadapan dan dipergunjingkan oleh orang-orang “Belog Mabet Ririh”. Mereka ini hanyalah orang-orang apriori dan selalu prejudis. Mereka itu adalah orang-orang yang akal sehatnya mati suri yang akan menuduh tulisan-tulisan ini merusak Agama Hindu serta adat-istiadat di Bali. Kita tidak usah mendengarkan orang-orang seperti ini karena mereka tidak ubahnya seperti Guru Belog Megandong. Mereka tidak akan pernah mampu menolong kita bebas dari kemiskinan dan jeratan dogma. Mereka tidak akan mampu menghantarkan kita pada Jagathita dan Moksa.
Hindu adalah agama yang sangat sempurna. Siapapun orangnya jika melaksanakannya sesuai dengan petunjuk kitab suci maka dijamin hidupnya akan makmur, tentram, damai dan akhirnya mencapai moksa. Pelaksanaan yadnya sesuai kitab suci dalam rangka pencapaian dharma ini hanya bisa dilakukan atas bimbingan Guru Nihita agar tidak melenceng dari tujuannya. Jangan takut dipergunjingkan mereka si “Belog Mabet Ririh”. Kitab suci kita menyatakan bahwa orang yang penakut dan tidak melakukan karma sesuai dengan dharmanya sama saja dengan orang yang sudah mati. Krama Bali yang telah terintimidasi oknum Guru Belog Megandong menjadi penakut sehingga ekonominya terpuruk dan mati. Orang-orang penakut selalu menghadapi masalah dengan cara meneropongnya dari sisi yang negatif dan merugikan sehingga mereka gagal mencapai tujuan. Tetapi orang yang pemberani selalu meneropong masalah dari sudut yang positif sehingga mereka sukses. Kita harus berani mengambil tindakan berasaskan pada kitab suci Veda dan bimbingan Guru Nihita yang memberi energi positif. Jangan menyerap energi negatif dari kata-kata seram yang mengintimidasi dari Guru Belog Megandong dan orang-orang “Belog Mabet Ririh”. Capailah kemerdekaan dalam melaksanakan Dharma. Capailah Jagathita dan akhirnya gapailah kesadaran tertinggi untuk mencapai Moksa.
Dalam “aguron-guron” (belajar spiritual lewat berguru), selain Guru Nihita yang mengajarkan petunjuk seluk-beluk yadnya demi mencapai Jagathita, sebaiknya kita juga harus mengenal guru-guru yang lain. Guru-guru itu antara lain:
- Guru Bodha, mengajarkan kitab suci dan mendorong murid-muridnya berbuat sesuai dengan perintah kitab suci.
- Guru Veda, mengajarkan arti Veda yang sebenarnya. Menuntut sang murid agar stabil berpegang teguh pada kesadaran spiritual dan mengarahkan pikiran murid-muridnya agar selalu tertuju pada Sang Hyang Widhi.
- Guru Kamya, menjadikan orang ikut terlibat dalam pekerjaan jasa untuk menjamin kebahagiaan di dunia dan akhirat (bhukti dan mukti)
- Guru Vancaka, mengajarkan pengetahuan Yoga dan mempersiapkan murid-muridnya menjalani kehidupan spiritual.
- Guru Suchaka, mengajarkan cara mengendalikan panca indriya melalui berbagai jenis disiplin.
- Guru Vihita, menghapus semua keraguan, memurnikan pikiran dan memperagakan bagaimana memperoleh realisasi Diri Sejati.
- Guru Karana, mengajarkan bagaimana mencapai kebahagiaan tertinggi, Moksa.
Dari 8 Guru yang sangat penting ini. Pada akhirnya semua orang harus mengarah pada apa yang diajarkan oleh Guru Karana. Karena sejatinya kita sebagai Atman haruslah kembali kepada Sang Pencipta dan mencapai Moksa untuk dapat lepas dari Samsara dan mencapai kebagaiaan yang sejati.
Jadi akhir kata, mari kita hindari indoktrinisasi dan intimidasi yang dilakukan Guru Belog Megandong. Karena tindakan itu akan membuat pikiran Krama Bali mati rasa dan linglung. Kondisi pikiran yang seperti itu pada akhirnya akan sangat mudah didominasi oleh Sadripu (Enam musuh dalam diri manusia), ahamkara (ego) dan mamakara (kemelekatan). Dari keenam musuh ini, loba, kama dan kroda adalah yang paling berbahaya. Dan avarana dan viksepa sebagai turunan dari ahamkara juga sangat berbahaya. Avarana kerjanya tukang tipu yang menyebabkan seseorang salah lihat dan salah dengar yang ujung-ujungnya menyebabkan seseorang salah mengambil tindakan. Viksepa kerjanya tukang propokator. Orang yang sudah ditipu oleh avarana amat mudah dihasut. Lalu timbullah sang kroda yang meneruskan pekerjaan sehingga membuat amarah sampai mengamuk. Karena Krama Bali kebanyakan beragama hanya dikulit-kulitnya saja, maka bahaya laten tersebut tidak dapat diketahuinya sehingga mereka kebanyakan menjadi budaknya loba, kama, kroda, avarana dan viksepa. Itulah akar masalah yang menyebabkan percekcokan terjadi secara meluas. Kama menyebabkan pemerkosaan dan perselingkuhan, kroda menimbulkan perkelahian dan bahkan pembunuhan dan viksepa menyebabkan saling kroyok dan bunuh diri.
Hal ini tidak bisa di-”somya” dengan “banten caru” sebesar apa pun. Masih ingatkah kita akan usaha “nyomya” untuk menolak bom di Kuta dengan “Caru Karipubaya” yang menelan biaya ratusan juta? Guru Belog Megandong mengatakan kekuatan caru itu dapat menangkal musuh selama 30 tahun. Tetapi apa yang terjadi? Belum genap 2 tahun ternyata sudah ada Bom Bali jilid II. Menyedihkan bukan?
Untuk “nyomya” pikiran orang yang dijajah Sadripu, ahamkara dan mamakara, satu-satunya jalan adalah memberikan pencerahan spiritual oleh Guru Kerohanian yang benar-benar bonafide yang didukung dengan contoh kongkrit. Orang tua, tokoh masyarakat, para pemangku, para sulinggih dan para pejabat sepatutnya menjadi teladan yang bijaksana. Tanpa ada pencerahan, teladan dan transfer ilmu dari para Guru ini kepada para “sisya” seperti sistem yang telah diwariskan Mpu Kuturan kepada masyarakat Bali, maka akan sangat sulit mencapai kedamaian dan kemakmuran (Jagathita) di tanah Bali tercinta ini.
Artikel terkait:
Ditulis ulang berdasarkan hasil karya Jero Mangku Wayan Suwen dalam karya tulisnya berjudul “Gurunya Belog Megandong, Krama Bali Angkih-angkih – Kiat Pan Lagas: XVII”.
Jero Mangku Wayan Suwena dapat dihubungi di alamat beliau: Jl. WR. Supratman Gang Gunung Batur No.2 Kesiman, Denpasar Timur. Telp; 0361-223873
Setelah membaca artikel bagian ke-2 ini, semakin menguatkan saya tentang bagaimana sesungguhnya mindset penulis(jero mangku) dan atau author (karena ngarayana yg memposting dan sedikit mengubah bahasa artikel), saya bisa mengenali karakter anda dari tulisan ini.
satu hal pasti yang dapat saya sampaikan adalah tulisan ini merupakan salah satu bentuk bibit perpecahan antar umat,pemicu konflik dan peperangan. kenapa saya mengatakan demikian ?
bagaimana kalau saya sampaikan dalam bentuk contoh : “kalian yang tinggal di rumah yg nyaman, sejuk, dan dipenuhi oleh fasilitas yg memadai, dan kemudian kalian bertamu di rumah orang yang rumahnya sangat jauh dari layak tidak seperti rumah kalian. kemudian ditempat kalian bertamu dengan enteng (`lagas`) kalian menjelekkan rumah itu dan menawarkan/menceritakan tentang bagaimana layaknya tempat tinggal kalian” silahkan prediksi reaksi orang lain.
tentunya kalian bs tangkap apa maksud saya dari contoh diatas.
dari mana kalian bisa mengukur bhakti umat terhadap suryanya? sesungguhnya artikel ini mengajarkan umat untuk belajar mengurangi kadar suatu Bhakti, dan itu berbahaya bung! anda menjelekkan suatu sisi dan menawarkan kebaikan sisi lain, jangan-jangan anda memiliki motif terselubung dengan mempromosikan diri anda agar mau dijadikan guru. anda mau jadi guru ya ?
dan kalaupun banten kalian gunakan sebagai dasar menghina (tulah) terhadap Pendanda, coba anda pikir lagi dengan tenang, bukankah tata titi upacara banten di Bali secara garis besar di karang oleh Mpu Lutuk ? bukan Pedanda di hari ini. mereka hanya mengikuti tradisi yg telah berjalan selama beribu2 tahun yg sudah disesuaikan dengan essensi Veda.
kalau kita mau berfikir lebih tenang dan damai, tidak didasarkan emosi dan kepentingan, kita dapat memetik unsur pendidikan yg sangat banyak dalam prosesi ini.
pertanyaan saya, ketika dalam proses belajar mengajar, sejujurnya apakah guru yg membuat siswa berhasil/tidak ? kalian menyalahkan seluruh fenomena buruk yg terjadi di Bali dan meletakkan sepenuhnya kesalahan tersebut di pundak Pedanda , “whats wrong with you guys” ??
saya pahami bahwa apa yg kalian paparkan dalam artikel ini merupakan suatu bentuk kritik akan suatu fenomena,namun kritik2 seperti yang jro mangku dan Ngarayana sampaikan dengan membidik para Pedanda di Bali ini sesungguhnya sudah pernah terjadi pada jaman cerita Tantri kurang lebih abad ke 11 (kalau tidak salah). pada jaman itu kritikan amat deras dilakukan oleh para cendikiawan, bedanya dgn kritikan jaman sekarang(kritikan kalian tepatnya) adalah pada jaman dulu orang melakukan kritik dengan tidak mengabaikan ETIKA dan lebih menonjolkan sisi pendidikan pada umatnya dengan bentuk karya sastra yg dibalut sangat halus namun mengena, seperti cerita Pedanda baka, dengan cangak meketunya. bagaimana dengan kalian? kritik yg membuat telinga merah, jantung berdebar, emosi meletup, dll. ternyata kalian tidak lebih bijak dari manusia abad ke 11.
kalau saya ingin belajar dari kritikan orang lain, pastinya saya ingin belajar dari para kritikus yang membuat karya sastra pada jaman cerita Tantri itu, dan bukan dari kalian. karena kalian telah mengabaikan ETIKA dalam mengkritik dengan alasan keterbukaan, demokrasi, transparansi, bla..bla..bla…
bukankah ETIKA sangat penting bagi manusia yang berotak ???
Bhakti dengan Jnana(logika pikiran) sangatlah berbeda kalian mengutamakan pikiran yg materialistis dalam berguru (bisa dibayangkan guru kalian seperti apa dengan melihat tingkah kalian).
teman2 yg lain jgn terprovokasi dengan tulisan2 yg menggoyangkan bhakti kalian, biarlah si penulis dan juga ngarayana bilang saya orang yang `belog mabet ririh`, biarlah si penulis dan ngarayana lah yang jadi si `dueg sing mabet ririh` its ok. paling tidak saya tidak butuh pintar untuk berguru saya masih punya etika dan bhakti dalam berguru, dimulai dari guru rupaka. karena kekuatan Bhakti yg paling tulus akan menyelamatkan kita, meski tidak di dunia ini.
Lalu menurut anda bagaimana sebaiknya memberikan kritik pada para pedanda dan pemimpin Hindu Bali saat ini? Fakta memperlihatkan bagaimana agama sudah dikesampingkan saat ini. Para pemimpin spiritual lupa mengajarkan spiriitual pada masyarakat Bali. Dan tindak-tanduk Bali saat ini sebagian besar hanya mengarahkan Bali pada kemunduran spiritual.
Ayo dong tunjukkan cara mengkritik yang benar menurut versi anda
@ILOVEBALI
u said : “Fakta memperlihatkan bagaimana agama sudah dikesampingkan saat ini. Para pemimpin spiritual lupa mengajarkan spiriitual pada masyarakat Bali. Dan tindak-tanduk Bali saat ini sebagian besar hanya mengarahkan Bali pada kemunduran spiritual”
fakta yg mana bung ? coca paparkan, faktanya (nama tempat dan kejadian) biar saya juga bisa melihat fakta anda untuk dipelajari.
saya sebagai bagian entity masyarakat Bali(dan mungkin yg sepaham dengan saya), dari sekian komentar saya disini apakah anda melihat sebagai bentuk contoh umat yg mengalami kemunduran spiritual ?
u said : “Ayo dong tunjukkan cara mengkritik yang benar menurut versi anda”
coba pelan2 ulangi lagi baca komentar saya diatas, kali ini tolong dengan tenang, damai, rendah hati. pasti anda temukan jawaban pertanyaan anda.
mari belajar bersama.
Om Swastiastu
Thanks comment anda saudara Kidz
Celebingkah batan biu, gumi linggah ajak lio… semuanya punya pola pikir yang berbeda-beda. Dan jika anda tidak setuju dengan tulisan ini itu juga wajar. Memang segala sesuatu pasti akan ada pro dan kontranya. Saya sendiri memang tertarik dan setuju dengan sebagian pemikiran Jero Mangku Wayan Suwena dalam tulisan yang saya edit dan publish ulang di sini. Tentunya pemikiran penulis dan saya sendiri bukanlah kebenaran mutlak dan suatu yang final. Apa lagi dalam tulisan ini tidak ada sumber-sumber sloka Veda yang dikutip secara langsung yang membenarkan pendapatnya. Sehingga kita sama sekali tidak punya standar pembanding. Beda halnya jika kita membahas suatu sloka Veda dimana tafsir yang kita hasilkan masih dapat dicounter dengan sloka-sloka yang lain.
Anda memiliki argumen dan tentu saja saya sendiri juga memiliki argumen. Mari kita bahas dan cari yang pemecahan yang terbaik.
Perumpamaan yang bagus… tapi masalahnya baik saya maupun Jero Mangku Wayan Suwena bukan dalam konteks “Tamu”. Dalam hal ini kami adalah anggota keluarga itu sendiri. Sehingga “teriakan” artikel ini dapat dikatakan sebagai “jeritan” kami sebagai bagian dari sistem itu terhadap anggota sistem yang lain. Teriakan ini bukan untuk mencemoh, tetapi untuk memotivasi sebagai sama-sama anggota keluarga Krama Bali.
Menjawab tuduhan ini, sekarang coba bayangkan diri kita sedang masuk ke dalam lingkungan rumah sakit jiwa. Bayangkan bahwa di lingkungan itu hanya kita satu-satunya yang waras (menurut standar waras masyarakat luar di luar rumah sakit jiwa itu). Dalam bergaul dengan anggota penghuni rumah sakit jiwa tersebut, sebenarnya siapa yang akan dicap “gila”? kita atau mereka? Secara makro dipandang dari sudut pandang masyarakat umum, tentu kita mengatakan kumpulan masyarakat yang tinggal di RSJ itu semuanya gila. Tapi di saat kita seorang diri ada di tengah kerumunan mereka, bukankah kita yang dianggap gila oleh mereka?
Sama dengan sistem “kepatuhan” (baca: bhakti) yang sudah terpatri dalam masyarakat Bali saat ini. Kepatuhan terhadap pedanda atau penguasa tanpa perlu mempertanyakan apa dan bagaimana kebijakan mereka terhadap sisya-nya sudah menjadi harga mati. Hampir semua masyarakat sudah memiliki pandangan jika mengkritik penguasa ini, maka hidupnya pasti “tulah”. Kalau dia berani memberontak terhadap kebijakan yang ditelorkan, maka dia akan dikucilkan masyarakat. Jika ada masyarakat yang mengerti bahwa judi itu salah dan akhirnya tidak setuju dengan judi sambung ayam yang dilakukan masyarakat desa dalam rangka penggalangan dana untuk pembangunan pura, maka dia dibenci. Itulah norma, adat dan kebiasaan yang berjalan di masyarakat. Perlu keberanian ekstra dalam menjebolnya.
Sekarang, mari kita pertanyakan definisi “bhakti” di sini. Apakah bhakti berarti benar-benar patuh tanpa mau mempertanyakan apapun? Ataukah bhakti harus dilandasi tiga pondasi, yaitu Guru, Sastra dan Sadhu?
Saya setuju seperti pernyataan anda sebelumnya bahwa sebagai sisya atau murid, kita perlu memiliki bhakti yang tinggi kepada surya atau guru kita. Dengan bhakti yang tinggi itu suatu mujizat bisa saja terjadi. Saya tidak menampik ini karena fakta sumber kitab suci juga telah membenarkannya. Permasalahannya saat ini kita hidup di jaman Kali, jaman penuh kemunafikan dan kebodohan. Hampir tidak ada orang yang benar-benar memiliki kualifikasi sebagai Brahmana. Bahkan kualifikasi sudra pun tidak. Hampir semua dari kita hanyalah candala yang baru belajar menggapai dharma dan masuk dalam tatanan catur varna tersebut. Sehingga dengan demikian dapat dikatakan, sangat sulit mencari seorang Brahmana atau seorang Guru yang benar-benar bisa dijadikan panutan.
Bhagavata Purana 11.17.13 menyinggung tentang kualifikasi seorang guru/brahmana. Disana kita bisa memetik intisari bahwa seorang guru kerohanian (yang juga seorang Brahmana) adalah beliau yang telah memiliki sifat-sifat; Kedamaian hati (samah), Terkendali diri (damah), Kesederhanaan (tapah), Kesucian (saucam), Toleransi (ksantir), Kejujuran (arjavam), Berpengetahuan rohani (jnanam), Bijaksana. (vijnanam), Agamis (astikyam), Berpuas hati (santosah), Pengampun (ksanthih), Bhakti kepada Tuhan (bhakti), dan Kasih sayang (daya). Dalam Bhagavata Purana 11.17.21 juga disebutkan bahwa guru harus memiliki kualifikasi; tidak melakukan tindak kekerasan (ahimsa), berpegang teguh pada kejujuran (satyam), tidak mencuri dan korupsi (asteyam), selalu berbuat untuk kesejahteraan semua makhluk lain (bhuta priya hitehaca), dan membebaskan diri dari nafsu, kemarahan dan keserakahan (akama krodha lobhasa). Mereka yang memiliki sifat seperti di atas dan juga memenuhi kualifikasi bahwa mereka ada dalam jajaran garis perguruan sebagaimana disinggung dalam Srimad-Bhagavatam 6.3.21 lah yang memenuhi kualifikasi dijadikan guru kerohanian. Veda mengingatkan kita dalam sloka Bhagavata Purana 6.3.21 untuk menolak guru-guru atau garis perguruan yang tidak bonafide.
Bagaimana mengetahuai guru adalah bonafide atau tidak? Jawabannya tentu berpegang pada sastra kembali. Kita kembalikan ke kitab suci Veda dan juga validasi orang-orang suci yang lainnya (sadhu). Bagaimana kita tahu kitab suci (sastra) kita valid? Validasi dengan penjelasan Guru dan Sadhu.
Apa akibatnya kalau kita berguru pada guru yang tidak bonafide? Bhagavata Purana 6.3.21 dan juga ditegaskan dalam Padma Purana menyebutkan, “sampradaya-vihina ye mantras te nisphala matah, jika seseorang tidak berlindung pada sampradaya yang bonafide maka tidak mantra atau inisiasinya tidak akan berguna. Mereka dapat digolongkan ke dalam apasampradaya dan usaha mereka terancam menjadi sia-sia belaka.
Dalam Narada Pancaratra disebutkan; “na ca mantra upajivi syanna capya arco upajirikah na aniredita bhogas ca na ca nirdyah niredika, Jangan pernah menerima inisiasi/guru spiritual dari mereka yang menjadikan guru spiritual sebagai profesi, Jangan memakan makanan yang tidak dipersembahkan pada Tuhan, dan jangan mempersembahkan apa yang tidak direkomendasikan oleh kitab suci”.
jadi dari penjabaran singkat ini, jelas bahwa kita tidak bisa hanya sekedar “bhakti”. Kita harus bhakti secara cerdas dan tepat sasaran agar bhakti kita tidak sia-sia belaka.
Saya rasa artikel ini bukan bermaksud menghapuskan banten. Banten adalah perwujudan seni dan juga bhakti yang sangat tinggi. Sangat perlu dilestarikan. Tapi yang dikritisi di sini adalah jangan sampai membuat banten yang diluar kemampuan sehingga merongrong kemampuan ekonomi umat.
Beberapa minggu yang lalu orang tua saya datang ke sini sambil membawa beberapa banten dalam rangka “mlaspas” rumah yang baru saya renovasi. Mereka hanya membawa tidak lebih dari 1 koper banten dan pemlaspasan juga bisa dilaksanakan. Apakah hanya dengan banten 1 koper ini salah? Tidak kan? kebetulan beberapa minggu sebelumnya, keluarga kami juga melaspas sebuah rumah di Denpasar dan melibatkan 2 tempek di desa kami di Tabanan. banten yang kami bawa ke Denpasar kurang lebih satu truk. Pertanyaannya, apakah “khasiat” banten 1 truk dengan 1 koper ini berbeda? Sejauh ini fine-fine aja tuh….
Jadi yang saya lihat dari penyederhanaan banten ini bukan dari esensi bhakti-nya. Tetapi lebih kepada nilai sosioreligiusnya yang melibatkan banyak anggota masyarakat. Di Serpong saya hanya melaspas dengan orang tua dan 3 orang adik saya. Di Denpasar kami melaspas dengan masyarakat yang jumlahnya lebih dari 100 orang, sehingga pelaksanaannya juga berbeda. Banten 1 truk yang dibuat bersama-sama dalam masyarakat berguna sebagai media bersosialisasi. sambil membuat banten mereka bisa berkumpul bersama dan mengakrabkan diri. Hasil upacara dengan sekian banyak lungsurannya pun akhirnya bisa dinikmati oleh sekian banyak masyarakat.
Sekarang bayangkan jika penerapan banten yang digunakan berkebalikan. Di Denpasar kita pergunakan banten 1 koper dengan jumlah masyarakat yang terlibat ratusan orang. Dan di Serpong kita gunakan banten 1 truk, padahal yang terlibat hanya kami saja 1 keluarga. Apa yang terjadi? Bukannya keharmonisan dalam sosioreligius, tetapi malah berantem hanya karena masalah itu. Di Denpasar berantem karena masyarakat menuduh keluarga yang punya rumah pelit… di Serpong pada ribut masalah banten karena over kapasiti dalam beban kerja. Begitulah…. letakkan banten dalam skala prioritas ekonomi dan sosioreligiusnya dan perhatikan lingkungan sekitar. Jangan cuman bercuap-cuap desa, kala, patra kalau kita belum bisa memposisikan hal ini.
Dalam artikel ini disinggung banten yang salah sasaran, banten yang dipaksa dibesarkan padahal yang empunya upacara tidak mampu. Apakah itu tepat? Itulah yang harus kita kritisi dan kita benahi. Jadi bukan menghapuskan banten sama sekali.
Satu lagi, saat ini sangat banyak bermunculan banten kreasi baru. Ibu saya kemarin sempat mengeluh bahwa model banten yang dibuat berdasarkan edaran adat di desa benar-benar berubah dari banten yang biasanya beliau buat pada tahun-tahun sebelumnya. Nah… banten yang berubah ini apa sudah sesuai dengan banten yang diciptakan Mpu Lutuk? Atau sudah dikreasikan bahkan mungkin menyimpang dari aslinya? kalau menyimpang, maka kembalikan konsep awal banten itu.
Coba baca lagi artikelnya… ada kalimat yang menyatakan oknum dan kalimat dari penulis yang menyatakan bahwa tidak semuanya salah dan sesuai dengan tokoh dengan nama imajinatif “Guru Belog megandong” ini. Masih banyak pedanda yang baik dan bersedia mengajarkan dengan baik. Kita coba tengok salah satunya Ida Pedanda Made Gunung yang secara aktif memberikan Dharma Wacana. Tindakan beliau sudah sangat bagus dalam menegakkan sendi-sendi Hindu yang mulai rapuh di Bali. Bagaimanapun juga, yang salah memang sistem secara keseluruhan. tetapi sadarilah bahwasanya pemimpin adalah ujung tombak dalam perubahan dan mengarahkan krama Bali untuk dibawa kemana. Dan dalam hal ini, para pedanda, kelihan banjar/adat dan pemimpin Bali adalah mereka yang memiliki kekuasaan dengan potensi yang paling besar untuk memajukan atau menjatuhkan Bali itu sendiri.
Kalau dari saya sendiri, tentu saya harus mengakui kualitas saya yang masih sangat rendah yang tidak bisa disamakan dengan para cendikiawan dan para Mpu kita pada jaman dahulu yang bisa memberi kritik yang baik. Mereka memiliki kualifikasi Brahmana. Mereka mampu menulis sastra dengan baik. Sementara saya untuk memiliki kualifikasi sudra saja sepertinya belum mampu. Jadi menyadari kritikan dan hasil tulisan saya penuh dengan kekurangan, maka tentu saja saya mengharapkan anda dan segenap pembaca yang lain bisa memilah-milah tulisan-tulisan ini. Dan kritikan seperti yang disampaikan saudara Kidz sangat saya perlukan untuk menyempurnakan pemahaman dalam tulisan ini yang masih jauh dari sempurna. Semoga artikel-artikel ini dan ditambah dengan kritik, saran dan juga perbaikan dari segenap komentator bisa membawa kita bersama pada jalan dharma. Menuju kebangkitan bersama.
Tentu… sayapun demikian. Semoga apa yang disampaikan dalam tulisan-tulisan yang jauh dari kata baik dan mungkin tidak beretika ini bisa menjadi anak tangga terbawah dalam berpijak bagi generasi muda berikutnya sehingga muncul sastrawan-sastrawan masa depan yang lebih baik dan memiliki kaliber seperti para pembuat cerita tantri masa lalu itu.
Sepertinya kalau ini sudah ditanggapi dengan alasan mengapa kita perlu selektif memilih guru kan? Saya sendiri berpegang teguh pada 3 pondasi dalam mempelajari dharma, yaitu Guru, Sastra dan Sadhu. Sastra mengatakan dengan jelas seperti kutipan di atas bahwa kita harus slektif dalam memilih guru. Kita tidak bisa menerima guru hanya karena dia melabeli dirinya dengan label guru. kita harus melihat kualifikasinya.
Tentu… saya sendiri menegaskan bahkan pada awal pendirian web ini di bagian “About me” atau “Webmaster” bahwa saya bukan orang pinter. Saya hanya berusaha menyampaikan ulang apa yang saya dapatkan. Dan jika ada kekeliruan itu sepenuhnya kesalahan saya sebagai perantara dan silahkan dikoreksi.
Sekarang mari renungkan dan validasi apakah selama ini kita berguru sudah sesuai dengan apa kata sastra?
Salam,-
Thanks tanggapannya anda saudara Ngarayana
dengan dialog seperti ini setidaknya saya bisa lebih mengerti ke ambiguan maksud artkel yang anda posting.
pertama : anda mengomentari contoh saya tentang tamu di sebuah rumah, dengan mengatakan bahwa anda dan jro mangku bukan tamu, melainkan tuan rumah itu sendiri. ok setelah saya baca lg artikelnya, memang terdapat kata OKNUM, sehingga ketika saya cocokkan argumen anda, hal ini menunjukkan bahwa kalian bermasalah dengan guru kalian sendiri a.k.a tokoh fiktif dari cerita ini adalah guru kalian ya?
sebab kita tahu ada sistem surya sisya di Bali dam tidak semua umat Hindu memiliki guru yang sama. apakah seperti itu ?
kedua : tuduhan sesungguhnya lebih awal datang dari tulisan artikel yg cacat ini. contoh mengenai siapa yg gila dan siapa yg tidak saya rasa sangat sulit untuk digunakan disini karena ini sangat sujektif, apakah anda menilai bahwa masyarakat Bali semuanya sekarang gila ? dan anda yg waras ? bisakah seperti itu ? mungkin bisa jg sebaliknya loh
ok bhakti yang cerdas, bisa diterima, namun tetap kecerdasan bhakti kita tunjukkan dengan mengutarakan pendapat dengan etika yang tinggi.
ketiga : masalah quantity banten, sudah diatur nista, madya, utama sesuai kemampuan umat.
keempat : tentang Pedanda, tokoh adat, pemimpin Hindu yang anda paparkan masih bias, anda mengambil sebuah sample untuk dijadikan kesimpulan secara global.
kelima : hendaknya kita menyampaikan pendapat/kritikan/artikel dll lebih mengutamakan unsur pendidikan yang baik,dalam artian bukan pendidikan yang dikemas untuk membangkitkan emosi orang lain agar membara berkobar2 untuk menghadapi suatu permasalahan, apalagi permasalahan yang anda angkat masih sangat bias.
mana yg lebih kita utamakan umat yang cerdas dengan disiplin ilmu, atau umat yang tidak terlalu cerdas namun memiliki bhakti dan etika serta moral yang baik dalam kehidupannya ?
karena anda awali dengan pantun, saya jg ingin memberikan pantun. gunung di seberang lautan tampak, gajah dipelupuk mata tak tampak. untuk direnungkan
Salam,-
He..he… kebetulan sampai saat ini saya belum bermasalah serius dengan surya atau guru saya bli…. Kalaupun surya saya saat ini memang bisa dikatakan mantan berandal, penuh tato, dulu suka mabuk. Tapi setelah menggantikan posisi ayahnya saat ini kebiasaannya sudah membaik. Setidaknya sudah mulai berkualifikasi. Kekurangan surya saya saat ini hanya kurangnya pengajaran pada sisyanya. Jadi seolah-olah ajaran-ajaran luhur yang mereka miliki terbenam hanya di lontar-lontar yang mereka kunci di grya. Kalau bisa saya sih mengharapkan Surya saya suatu saat akan memberikan transfer ilmu kepada sisya-nya. Ya setidaknya seperti apa yang dilakukan Ida Pedanda Made Gunung lah…
Aguron-guron dalam ikatan Surya dan Sisya di Bali memang tidak sama. Masing-masing desa pekraman memiliki surya masing-masing. Bahkan dalam 1 desa dinas bisa terdapat lebih dari 1 surya sehingga masyarakat desanya otomatis juga terpecah menjadi lebih dari 1 kelompok sisya. Hal ini seperti yang terjadi di desa saya. Di desa saya ada 2 surya. Tapi untungnya saya ada di surya yang secara subjektif saya nilai lebih baik dari surya yang satunya. Karena pergunjingan di desa menyebutkan Pedanda dari surya yang satunya itu sangat konsen masalah “daksina” dan jualan banten. Bahkan masih melakukan kegiatan bisnis seperti ngangon bebek dan berdagang.
Adanya masalah seperti ini, tentu bukan semata-mata masalah Pedanda itu yang memang dalam kondisi ekonomi sulit akibat masih harus menanggung anak yang masih kecil dan remaja. Masal itu juga merupakan masalah kita sebagai sisya-nya. Mungkin selama ini sistem yadnya (korban suci) akibat konsekuensi dari rna (hutang) kita kepada Guru kita tidak berjalan dengan baik. Bagaimanapun juga Ida Pedanda juga masih memerlukan dukungan ekonomi, dan sisya-nya lah yang berkewajiban mensuport ekonomi sang Ida Pedanda. Andaikan sistem yadnya dan rna ini berjalan dengan baik, dimana sisya mau mensupport sang pedanda dan pedanda sebagai surya juga melakukan siraman spiritual secara berkala, saya rasa sistem surya-sisya ini akan menjadi basis pertahanan Hindu di Bali yang tidak akan tergoyahkan sama sekali.
Saya sangat berharap konsep Surya-Sisya ini akan dapat semakin berbenah sehingga mendekati konsep ideal “parampara” sebagaimana disampaikan dalam kitab suci Veda.
He..he… untuk menghindari anggapan bahwa artikel ini menegatifkan semua unsur masyarakat Bali, makanya dalam artikel pertama saya menuliskan: “Memang tidak semuanya demikian, masih banyak orang Bali yang baik. Tetapi apa daya, rusak susu sebelanga hanya karena nila setitik. Salut untuk Krama Bali dan para “surya”-nya yang masih bagus. Semoga mereka yang membaca tulisan ini tidak ikut tersinggung”.
Saya harap kondisi Surya-Sisya di lingkungan anda yang merupakan Parampara kuno yang masih hidup di Bali masih tetap asri ya bli sehingga baik guru dan krama desa pekramannya tetap berjalan dalam koridor dharma. Bagaimana artikel ini dapat menuduh masyarakat yang “gila”? Tentunya dari validasi sastra yang kita miliki. Contohnya, sastra sudah nyata-nyata melarang perjudian, eh malahan kita membuat acara sambung ayam sebagai pembenaran penggalian dana pembangunan pura. Kita juga senantiasa mekemit di pura dengan ditemani judi cekian. Kalau kita mau berkata jujur, mereka ini gila bli… tetapi perlu nyali yang besar untuk meluruskan hal ini karena menghadapi suatu habit yang tertanam dalam kerangka budaya bukan hal yang mudah.
Suksma masukannya bli… jangan sungkan-sungkan memberi kritik dalam artikel-artikel di web ini. Kritikan bli akan menjadi semacam cemeti yang bisa mengendalikan saya dan juga commentator yang lain sehingga tetap dalam koridor yang bisa dibenarkan.
Salam,-
beh…… jek gaya gen ngarayana puk, jek misi orang2nge mare ngidang ngai umah di serpong.
rage sing ngidang ngai hotel gen sing orang – orang
wakakkakaakka.
nah salam super gen bli
woi ngarayana, rage dot nganti foto dini pragat ngidang ngubah nama gen,
engken carane pang misi foto?
He..he… bukan maksud sombong bli. Hanya sebagai contoh dalam mengemukakan apa sih yang sebenarnya ada dalam pemikiran saya. Biar ga salah kaprah duluan 😀
Gampang kok, di bagian user profile di bagian bawah kan ada bagian “Your Photo”. terus perhatikan bagian “Upload image file”. Nah pilih “Choose file”. udah deh ter upload dan pilih foto yang mau ditampilkan.
Selamat mencoba bro…
Salam,-
syukurlah anda tidak memiliki masalah dengan Guru, tanggapan anda akhirnya nampak lurus sebanding dengan contoh awal saya yg berkaitan dengan “tamu dan tuan rumah”, dan dalam artikel yg anda posting disini anda menjadi tamu secara spisifik mengriik tuan rumah secara spesifik jg.
dan berkaitan dengan guru anda yg belum maksimal(mengutamakan lontar,dll) sudahkah anda sodorkan tulisan artikel (baca:ketidaksopanan) ini pada guru anda ? katanya bhakti yg cerdas ? sudahkah anda kritik guru anda biar jadi pedanda made gunung yg sering anda sampaikan, atau kenapa anda tidak sekalian `pindah` guru dengan pedanda made gunung saja ?
sejujurnya saya sama sekali tidak menampik adanya permasalahan seperti yg anda paparkan (tajen,ceki,dll), namun bagaimana kalau begini, guru sudah berkali-kali menyampaikan agar tajen tidak perlu dilaksanakan, dan hindari ceki di pura, tetapi sisya ini tetap juga melaksanakan kegiatan itu , agar guru(pedanda) ini tidak disalahkan, menurut anda apa yg harus dilakukan oleh pedanda ini ?
disini saya tegaskan agak kurang relevan seluruh tuduhan anda dalam artikel ini, banyak aspek yg anda tinggalkan terhadap permasalahan ini, karena anda lebih fokus pada (motif?) kekesalan anda oknum pedanda.
saya setuju dengan kalimat anda bahwasanya sisya yg harus mensupport guru secara ekonomi, jgn biarkan guru sampe nganggon bebek untuk tetap menjaga kesuciannya, kenapa tulisan anda tidak dibuat lebih seimbang dengan sedikit membahas sisi ini ? siapa tahu dengan sinergi yg mantap dari sisya, tidak ada lagi `politik daksina` yg anda khawatirkan ?
dari pada mengedarkan tulisan2 kontroversi yg vulgar dan membabi buta (meski memiliki nilai benarnya) yg malah akan menimbulkan efek bias yg tidak sesuai harapan(konflik), lebih baik lakukan tindakan nyata dalam mensinergikan seluruh sistem dengan harmonis, bukan dengan kalimat “JAUHI OKNUM SEPERTI ITU, JGN DIIKUTI, IKUTILAH SEPERTI INI” tidak bijak, tidak cerdas,tidak mendidik, tidak pantas diucapkan oleh seorang Jero Mangku atau Ngarayana. tidak sesuai dengan kalimat akhirnya “DEMI BALI YG KITA CINTAI”.
ok terima kasih Ngarayana sudah berkenan membahas komentar saya, agar kiranya kita semua tahu maksud baik anda dalam tulisan ini, dan mengingatkan bahwa Bhakti sangat amat sulit untuk diterapkan bahkan bagi mereka yg mengerti tentang Bhakti. semakin kita menjunjung Bhakti semakin deras bhakti itu digoyang oleh jnana pun sebaliknya.
setidaknya komentar ada diatas terlihat lebih pantas dibaca dari pada tulisan Jero Mangku yang anda posting ulang.
Salam,-
“Setahun sudah topik ini jadi perdebatan”
pada bagII ini, bahkan pembaca sendiri (spt Kidz) dapat melihat ketidak jelasan yg saya sampaikan pada bag sebelumnya.
Saya tambahkan pendapat sdr kidz.
Tulisan ini membuat sebuah mitos. mitos bahwa segala kekacauan yg terjadi di Bali, baik dlm sosial, agama dan birokrasi, disebabkan oleh tokoh “Guru Belog Megandong”. yang hingga Tahun ke 2 ini gagal kita ketahui siapa dibalik gelar itu, apakah Madara Uchiha apa Naruto.
Kenapa disebut mitos?
tidak ada orang yg mau berjudi itu sebelumnya datang dulu pada guru belog megandong. tidak ada!
ini teori dari mana?
Jadi karena ketidak jelasan itu, ditambah tidak adanya bukti eksistensi seorang mastermind di balik segala keburukan krama Bali yg dibeberkan di tulisan ini dan sebelumnya, BISA DISIMPULKAN….. GURU BELOG MEGANDONG ITU TOKOH FIKTIF. kecuali bisa diklarifikasi lebih lanjut (bag. 3??)
tokoh fiktif yg diekspose jero mangku untuk menutupi kebobrokan yg sebenarnya disebabkan oleh berbagai aspek dan segala sisi kehidupan bali (pemuka agama, adat, masyarakat, pemerintah daerah, oknum luar, ditambah preman2 pasar).
sehingga konsekuensi setelah membaca tulisan ini, masyarakat lari dari membenahi semua sendi itu, dan fokus memberantas tokoh fiktif yg tidak ada. Ini mungkin yg ditakuti sdr. Kidz
apakah dengan meniadakan surya (anggaplah surya, karena kita juga ga jelas maksud jero mangku) maka semua masalah yg timbul akan selesai? pendatang akan berhenti berdatangan?
Ini mirip konsep SATAN dari agama samawi. bahwa SATAN adalah penyebab segala kejahatan yg kita lakukan sendiri.
apakah SATAN itu benar ada atau hanya pelarian dari kesalahan kita sendiri?
@Ngarayana
Sdr. Ngara, mohon maaf sebelumnya. jgn ini disalah tanggapi. kalau sdr mau marah silahkan, tapi saya ingin bertanya (agak lancang) :
Mengangkat tulisan seperti ini yg katanya dari jero mangku dari luar kepercayaan anda,
apakah ini cara baru anda untuk mengkritisi kepercayaan Hindu Bali? karena toh sama saja, isi blog ini juga kebanyakan seperti ini. Hanya saja kalau dulu anda sendiri yg harus berhadapan dgn fakta2 yg membantah anda, kini anda bisa lepas tangan, dan tinggal kasih alamat sama nomor telepon orang lain, padahal ini juga unek2 anda, buktinya anda mengangkat tulisan ini.
Kendatipun tidak, sebagai author/pengedit, sekaligus sebagai pemilik blog, anda bisa saja tidak mengangkat tulisan yg ambigu ini, atau mengklarifikasi, karena anda juga “berguru” (yg berbagi tuduhan “belog megandong” yg sama, dan tidak mungkin anda pisahkan scr sepihak). kecuali, antipati yg sama ada pada diri anda, seperti yg sdr Kidz sampaikan.
He..he..he… selamat tahun baru bro… semoga mendapat resolusi baru dalam jalan dharma… 🙂
Ide awal sebutan “Guru Belog Megandong” mungkin berawal dari salah satu oknum. Mungkin saja oknum pedanda atau oknum pejabat adat atau pejabat daerah yang penulis kenal. Tentunya ini merupakan rahasia yang hanya bisa diungkap sendiri oleh Jero Mangku selaku penulis.
Namun demikian, saya sendiri tidak ingin mengungkap siapa-siapa orang yang dimaksud tersebut. Tentunya ini terkait etika jurnalistik yang melarang menuduh dan menjatuhkan nama seseorang yang mungkin masih abu-abu. Tapi saya ingin mengungkap nama imajinatif Guru Belog Megandong dalam ciri-cirinya. Lewat ciri-ciri yang disampaikan oleh penulis, dapat kita lihat bahwa oknum Guru Belog Megandong disamping bisa merupakan Pedanda, Kelihan adat, pemimpin daerah atau bahkan para pemangku dan sulinggih sendiri seperti posisi yang sedang diduduki sang penulis, bisa saja guru-guru yang lain seperti guru-guru dalam suatu sampradaya, dan juga guru-guru yoga dan meditasi.
Siapa personal yang memiliki ciri-ciri ini? Jawabannya ada di benak pembaca sekalian.
kalau saya melihat korelasi di sini bukan dari korelasi langsung, tetapi korelasi tidak langsungnya. Korelasi yang bukan berada di level 1, tetapi mungkin di level 2, 3 atau bahkan ke sekian.
Guru adalah sosok yang harusnya memberi tauladan dan bimbingan kepada murid-muridnya. Sekarang anggaplah guru di sini adalah Pedanda yang merupakan surya bagi para murid-murid atau sisyanya. Jika para sisyanya sibuk berjudi dan akhirnya jatuh miskin, secara langsung pedanda memang tidak bisa disalahkan. Tetapi bukankah hal ini bisa diminimalisir jika Pendada mau memberikan pendidikan dan transfer ilmu bahwa judi itu salah kepada sisyanya? Karena faktanya, saat ini sangat jarang pedanda yang melakukan dharma wacana kepada sisyanya. Pedanda hanya sibuk muput upacara dan setelah itu pergi meninggalkan tempat upacara. Coba seandainya pedanda bisa lebih dekat dengan sisyanya. Coba pedanda pada saat sebelum atau sesudah muput upacara memberi wejangan dharma kepada sisyanya. Atau kalau memungkinkan diadakan acara khusus setiap satu minggu atau sebulan sekali diskusi dan pendidikan spiritual secara terstruktur di grya. Bukankah itu sebuah tindakan yang mudah-mudahan cukup efektif menekan perjudian dan tindakan melanggar dharma diantara sisyanya?
Eksistensi guru belog megandong hanya bisa dilihat dari ciri-cirinya. Tentu tidak etis jika harus menunjuk hidung langsung sebagai contohnya. (Kalaupun hal ini pernah saya tujukan kepada salah satu pebimas, Dewa K. Suratnaya). Coba perhatikan tulisan saya di artikel “Hindu dalam proses self-degradation”. Ya anggap saja dia adalah salah satu contoh guru belog megandong bro 😀
Tentunya mari kita mulai mengidentifikasi tokoh Guru Belog Megandong ini dari lingkungan diri kita sendiri. Bisa saja malah orang tua kita menjadi tokohnya… atau bisa juga ternyata diri kita sendiri bukan? Dan semoga kita bisa fokus dari aspek terkecil dulu, yaitu diri sendiri dan lingkungan terdekat.
Sepertinya pemahaman ini yang harus diluruskan. Kalau saya sendiri membaca tulisan hasil editan saya, pesan yang disampaikan bukan menghapuskan surya atau grya-grya yang ada. Grya adalah salah satu unsur dalam desa pekraman yang kedudukannya sangat vital. Sedangkan Desa Pekraman adalah benteng terakhir pengajegan Hindu di Bali. Sehingga pendapat saya, kalau Grya sudah disusupi tokoh Guru Belog Megandong, maka sadarkan Guru Belog Megandong ini agar bisa menjadi Guru Nihita seperti istilah jero mangku di artikel ini. Caranya? Mungkin saja dengan edaran kebijakan Bimas Hindu atau Parisada agar Grya diaktifkan kembali sebagai media aguron-guron sehingga Grya wajib memberikan dharma thula dan dharma wacana ke sisyanya sehingga lambat laun Grya akan berbenah. Atau dengan adanya kritik seperti ini dan mungkin desas-desus krama desa dapat menjadi feed back dalam perbaikan diri grya. Siapa tahu berhasil, kenapa tidak dicoba?
Silahkan bro S, kritik yang membangun meski terkesan kasar tapi sejatinya akan mengarahkan ke arah yang lebih baik. Sama seperti yang pernah anda bilang, obat yang pahit bagaimanapun harus diminum demi kesembuhan kita.
Kalau dulu semasih kuliah, beban saya hanya mengikuti kuliah dan menyelesaikan tugas kuliah. Sangat banyak waktu senggang yang bisa saya manfaatkan untuk membaca dan menulis selain materi kuliah. Sekarang saat saya sudah bekerja, saya punya tuntutan lain. Saya harus menyelesaikan beban kerja saya yang tentunya lebih padat dari masa-masa kuliah. Melihat dari unique visitor web ini yang berkisah antara 4000-6000 orang perbulan, saya sendiri tidak ingin mengecewakan pembaca. Saya ingin tetap memuaskan pembaca dengan setidaknya memposting 1 artikel tiap minggunya. Namun permasalahan muncul ketika saat ini saya sangat jarang bisa membaca sumber-sumber dan juga menulis. Sering kali saya sendiri tidak punya ide menulis apa atau pikiran saya terlalu penuh dengan prioritas masalah yang lain sehingga tidak mampu menelurkan tulisan pribadi. Karena itulah saya akhirnya membuka web ini untuk umum dan dengan harapan bisa mewadahi semua pemikiran tentang Hindu. Satu orang yang sudah mulai aktif adalah yang dengan ID Subha_Karma. Saya belum pernah ketemu Subha_Karma secara langsung, tetapi saya lihat tulisan-tulisannya sangat kritis sehingga dengan kemunculannya sedikit mengurangi beban saya. Namun, meski sudah ada yang bantu, tetap saja karena saking begonya, kepala saya masih susah diajak kerja sama sehingga target artikel 1 buah per minggu masih sulit dipenuhi. Karena itu sering kali saya mencuplik tulisan secara utuh dari sumbernya yang saya dapatkan dari teman-teman dekat saya atau dengan cara menggubah tulisan orang lain seperti pada artikel ini. Tapi saya masih menghindari mengutip tulisan dari website atau blog atau majalah/buku secara utuh yang sudah dipublikasikan di tempat lain. Hal ini saya lakukan untuk menjaga keunikan website ini. Nah jika pembaca menemukan kuttipan “Sumber:”, “Disusun dari:” dan sebagainya yang menunjuk nama orang, berarti tulisan itu bukan murni hasil karya saya. Bisa saja cuplikan utuh atau gubahan. Tapi kalau akhir artikel tanpa pesan apapun, hanya “Om Tat sat” atau bibliografi, berarti itu artikel saya yang orisinil. Dan tentunya baik itu cuplikan atau gubahan yang saya posting memiliki warna sebagaimana yang kurang lebih ada di pemikiran saya. Ga mungkin kan saya memposting artikel yang tidak saya setujui?
Jadi sekali lagi bukan untuk lempar tanggung jawab Saudara S… semuanya karena ketidakmampuan saya memenuhi target penulisan artikel. Kalau anda atau temen-teman yang lain ingin menyumbang tulisan di sini, saya persilahkan. Selama berpondasi pada Hindu, apapun aliran dan perguruannya akan saya tampung. Dan saya akan sangat berterimakasih karena secara tidak langsung juga membantu saya memuaskan pembaca yang lain..
Seperti yang sudah saya sampaikan. Tuduhan oknum Guru Belog Megandong ini memang sasarannya sangat luas. Hanya karena disebutkan “Krama Bali” saja yang seolah-olah hanya menyerang oknum di Bali. lalu bagaimana dengan Guru-Guru Sampradaya, katakanlah Hare Krishna yang mengajar di Bali? Mereka juga kena. Tidak semua Guru-Guru Sampradaya itu bonafide. Katakanlah kasus seorang Guru Maharaj dari Hare Krishna yang pernah terjadi di salah satu negara Barat. Di Negara itu penyebaran buku dan pembangunan kuil berlangsung sangat hebat. Kuilnya berdiri megah, buku yang dicetak sangat lux.. Tetapi setelah ditelusuri ternyata Guru yang mengendalikan kuil dan penyebaran di sana melakukan tindakan terlarang. Dia menjual senjata api dan obat-obatan terlarang untuk mensuport kegiatannya. Dharma tidak bisa didirikan diatas kebobrokan. Sehingga otomatis guru ini juga dapat dikatakan sebagai Guru Belog Megandong yang bisa digulingkan.
Begitu kira-kira saudara S.. silahkan dikoreksi kalau ada yang keliru.
Salam,-
Tulisan yang cukup bagus,
Faktanya memang saya rasakan begitu, namun sy mengomentari sedikit tentang objek tulisan tersebut yang lebih mengarah ke sosok “guru”. Guru seharusnya orang yang harus kita hormati, apapun yang menjadi pemikiran nya merupakan sesuatu yang berpegang kepada ajaran Veda.
Sy lebih cenderung harusnya kita menyalahkan diri sendiri dulu dengan apa yang sudah terjadi di Bali. Bali memiliki sisi gelap dan sisi terang.Upakara yang ada di Bali merupakan salah satu ajaran yang harus dilestarikan, namun dalam pelaksanaan jangan sampai memaksakan diri, dan kitalah yg harus menjadi pioner memberikan pengertian dan pemahaman kepada mereka.Sisi terangnya adalah kesakralan upakara tersebut memberikan cahaya bagi bali sehingga bisa disebut pulau dewata, last paradise.
Dengan kondisi sekarang, Bali yang terancam, harusnya bisa kita selamatkan, bukan hanya lewat tulisan,,tapi karya dan kerja nyata,dan generasi muda hindu lah yg harus ada di depan memimpin perubahan dan perbaikan di segala lini,
salam damai
Tulianx Cukup kritis, I love it!
Sya lama merantau dan besar diluar Bali
dari dulu sebenernya ingin skali mmbuat sebuah komunitas org2 yg memang terbuka pikirannya ttg Hindu (misal kritis, dan mampu membedakan tradsi/adat dan Hindu)
fenomena yg trjadi diluar Bali yakni Hindu itu identik dgn org Bali (agama bali, lebarannya org bali, dll) atau ketika ditanya “agamamu Hindu?? oww org Bali ya??” mengapa kita bangga dgn “pengkerdilan” hindu?? nah kenapa slama ini klo org Hindu (bali) pada umumnya jika ditanya “kenapa seperti itu cara beragamamu” yah “nak mulo keto” artinya tidak smua penganut Hindu bisa mmberi jawaban yg realistis atau penuh filosofis.
taukah trnyata, jika org Hindu itu berada di lingkungan yg donminan agama lain, maka org Hindulah yg paling gampang berpindah/ditarik, akibat TIDAK adanya pemahaman Hindu yg sebenarnya sjak dini. apakah bisa dijawab dgn BAnten?(ini yg banyak sya lihat diluar Bali.) ironis bukan??
Hal inipun sy alami di waktu masih SMA, sy hanya ber 2 sendiri org Hindu di satu sekolah, teman saya Hindu(bukan org Bali). Iman kitapun sempat tergoyahkan, sehinga sjak saat Hindu sy ingin mncari Hindu yg lebih Universal. (bukan mncampuradukan dg tradisi) hal ini pastinya banyak diaalami oleh org2 Hindu diluar Bali.
Seorg Guru/ataupun sistem pendidikan saat ini harusnya lebih menerapkan dan pengaplikasian ajarann weda. mngkin paling sderhana dlu Bg.Gita. Sehingga dimanapun generasi kita merantau, ajaran itu bisa dibawa.
Lalu apakah dgn banten kita bsa mnjawab pertanyaan2 yg bgtu kritis olh umat lain?? saya rasa Tidak.
maaf bukan brrti melupakan banten, sy setuju dgn Nragayana, kalo sesuaikan dgn posrsi/maknax/sikon, bukan berlebihan. Perlu diingat bahwa Hindu bukan hanya org bali,dan harusnya jangan diberi embel2 lah (Hindu Bali, Hindu Jawa, Hindu Tolotan(sidrap-sulsesl), Hindu Kaharingan(kalimantan), Kjawen, dll) harusnya kita mnjadi Hindu yg universal, jika kita mngaku Hindu tentunya akan mnjawab WEDA-lah Kitabnya. lalu apa ajaran wedah sdh spenuhnya bisa diterapkan di Bali??
tapi sya yakin jikalo kita mau benar2 mnggunakan Weda sbg acuannya, setidaknya ada dasar yg sama. namun jika kita gunakan adat pastinya akan melenceng dari teori weda. mngingat ADAT itu berarti KEBIASAAN. (jadi kebiasaan di desa A,B,dan C pasti takkan prnah sama)
cintoh kecil:
-ada ajaran Ahimsa
(tapi kenapa uapakra2 masih bnyak mngorbankan binatang?) penyupatan? teori dari WEda yg mana ya?)
– klo waktu SD sy masih ingat kata Guru sy “jikalo memakan binatang, maka kita akan terpengaruh oleh sifat2 binatang itu” Hmm.. tapi knyataannya??
– Tapi di India, mereka tidak makan BABI lho, bukan haram, tapi mereka faham makna jika kita makan binatang.
-contoh lain
jika kita melihat orang Bali/pe-dharmawacana/guru, setiap akhiran “A” dalam sansekerta terbiasa dibaca “e” misal: “DHARMA” dibaca “DHARME”, “SIWA dibaca SIWE” begitu pula dalam mengucapkan mantram2 “TRI SANDYA” jadi “TRI SANDYE”
saya rasa ini akan sangat kedengaran aneh oleh Umat atau di bibir org Hindu non Bali. Misal saja org makassar/tator asli tidak bisa mngucapkan “e” (enam) tetapi mreka mengucapkan “E” (eko). Begitu pula dlam bhawa Tgalong (philipina) jadi kalo hal ini trus bgtu2 saja, gmna donk Hindu itu mnjadi Universal?? yu mari kita perbaiki diri sama2 (walopun ini hal kecil ya..)
Hindu dgn embel2 itulah yg slama ini mengkerdilkan bali, apa lagi sistem Banten, yg kadang bgtu besarnya menelan biaya, hanya untuk sbuah Upakara.
sy pernah temui seorg bapak Tua di perantauan, menawarkan tanah kebunnya kepda sya, karna ingin pulang ke bali untuk UPAKARA. Contoh lain, swaktu sy SD di BAli, paman sya dan bahkan masyarakat disekitar sya, pinjam dana kanan kiri,ketika odalan di pura A tiba, bersalang bbrp bulan odalan pura B tiba, dac C dan seterusnya. apakah umat sudah memaknai Hindu jika begini??
sekedar ide(mungkin dianggap ngawur)
gimana kalo biaya2 banten/upakara slama ini yg begitu besarnya kita sederhanakan, namun bagi yg mau mnyumbang dana lebih(bagi yg mampu), kita jadikan dana tsb untuk menolong umat yg kurang mampu?? apakah Tuhan/Barata/i akan murka karna kkurangan banten?? bukankan jika kita menolong sesama itu sama halnya “bhakti kpada Tuhan??, mengingat didalam jiwa2 umat yg kurang mampu itu juga ada percikan kecil dari Brahman yg disebut Atman??
mengapa harus mengadakan ajeg Bali dgn mengekang umat dgn dana Upakara/pmbuatan banten yg menelan puluhan/ratusan juta? sy rasa itulah makna dari tulisan sodara Ngara.., agar kita lebih mndalami kitab kita, bukan tradisi yg mnyusahkan.
saya setuju sekali jika Tradisi dipertahankan, tapi harusnya dibedakan dgn Hindu yg ssguhnya.
contoh:
mengapa org makassar/bugis/mandar mampu mnjalankan bbrpa tradisi(misal di upacara pernikahan) tetapi agama mereka tetap mreka jalankan tanpa mrasa kbingungan mana Tradisi dan Agama? harusnya org Bali jga bisa.
Masyarakat Bali kadang trlalu mengkait2kan kejadian2 tertentu dgn mitos2 yg bm tentu benar, kurang banten ini lah, itu lah. sekali lagi sya tidak bermaksud mngajak melupakan adat/tradisi, tapi harusnya kita sama2 me-Universalkan Hindu, dan bukan hanya dianut org Bali ataupun dicampuradukan dgn Tradisi Bali. Ingat diluar Bali banyak Hindu Non-Bali.
Mohon jangan dianggap sy mem-Provokasi, tapi kritikan untuk kita semua (termasuk saya)..
intinya sy setuju Tulisan anda Ngarayana..
Teruslah berkarya..
artikel yg menarik. krama bali dlm proses pembelajaran. astungkara semakin hari akan lebih banyak belajar dan menjadi lebih baik.
setelah pasraman di bogor, kini lagi terjadi pembakaran pura di lampung. beginilah kalau generasi muda di bali sukanya mecil cewek kafe saja, malas bekerja sukanya mabok, bodoh tetapi sombongnya luar biasa! kepada pasukan Laskar Bali / Preman guk guk kalian itu sampah bali, memalukan leluhur dan tak berguna mending mati saja! semua lini di bali sekarang sudah diisi wong dauh tukad, mulai dari operator rental ketik sampai investor, orang bali pragat dadi preman gen celokotokne, muak saya dengan generasai metato belog ajum beduda kampret! perlu revolusi spiritual di bali segera!!
ya…itulah penomena yg sedang terjadi di bali yg kita cintai ini…..apapun itu suka tidak suka kita harus benahi bersama-sama minimal dari diri kita sendiri dululah,sebelum membenahi orang lain…..
saya rasa semua orang bali gerah melihat kondisi saat ini.Tapi terkadang mereka tersumbat dan belum terbiasa menyampaikannya.
hendaknya dalam menyampaikan ide/gagasan/pikiran tidak ada menyinggung suatu kelompok/klan/golongan tertentu apalgi menimbulkan ketegangan. apakah kita akan terus “berkutat dgn krama kita sendiri”?. maksud baik jika penyampainnya kurang pas justru tdak akan sampai dan dapat mengaburkan inti yg akan di sampaikan.
marilah kita pikul tanggungjawab bersama dengan hati bersih,sehingga hasil juga bersih….
om swastiastu
rahajeng..semua…nice all comment,tapi pada dasarnya weda tidak mematok sesuatu hal yang baku,perlu teman2 ingat semua rasa,arsa,karsa manusia di dunia tergantung kekuatan pikiran mreka sendiri menterjemahkan sesuatu yang di anggap pembenaran untuk dirinya, adanya sulinggih,dasaran,balian,pemangku,dsb merupakam esensi tuhan, kalau percaya dengan adanya KARMA maka semua jalan akan ditempuh untuk pembenaran dan jalan memperbaiki semua itu. disaat posisi sesorang lagi ada musibah…akan trus mencari kebenaran memperbaiki semua itu, itulah PROSES kehidupan .salah dan tidak salahnya perjalanan orang melakukan YADNYA itu merupakan simbul keseimbangan. semua itu merupakan PROSES KESEIMBANGAN YANG DICIPTAKAN OLEH TUHAN YANG KITA YAKINI.BENAR DAN TIDAK BENAR YANG DILAKUKAN ORANG LAIN DALAM PEMECAHAN MASALAH MEREKA TERGATUNG POSISI ANDA SAAT PERNAH DAN TIDAK PERNAH ANDA MELIHAT,MERSAKAN,MENGALAMI MASALAH ITU.UKURAN MASALAH DAN PENGALAMAN KITA DAN ORANG LAIN AKAN BERBEDA. Dimana yang saya tau orang yang sudah memahami betul WEDA tidak akan pernah menyalahkan apa yang orang lain lakukan…tapi akan memahami proses permasalahan yg mreka alami. maaf bila salah komen cuma buah pikiran secara logika saya yang kemungkinan salah. trims
Anda pintar cerdas…
tpi blum bisa mngthui sejarah anda, dan hindu nusantara…
ghana tantris waisnawa shiva sidhanta yantra…adlah nusantara hindu..
Anda hnya burung yg terbang pergi mencari makan di tmpat lain…
kmudian pulang dan mnganggap ikan ditmpat lain lebih sangat lezat…dan memaksa saudara anda makan ikan yg sama…bhkan mencela…
Cba bca upanishad ttg anak yg bru belajar sedikit dan menggurui orang tuannya…
baca lagi tentang yadnya bhwa itu tanpa mksud untuk atma adalah sia2…
Baca lagi ttg atma widya…dan anda cuma burung yg pintar..dan lupa dri telur mana anda berasal…
Baca lgi ttg maya tri guna bhwgdgita upanishad.,,kalau anda diliputi sattwik, maka anda bisa moksah,.tpi ktika rajas dan malas tamas, shingga anda memaksa, buat apa anda blajar agama??
Smoga damai selalu.,.
anda cerdas, cuma cerdas anda hnya unntuk ahamkara anda…
Terimakasih bro guswar wejangannya. Semoga saya selalu editor tulisan karya Jero Mangku Wayan Swena ini juga dapat belajar dari anda.
Mohon sampaikan pernyataan apa yang keliru dari artikel ini.
Salam,
Tenang…Nanti kalau ada nyamuk yg gigit jangan dibunuh…ntar himsa karma…itu dosa karena sudah membunuh nyamuk…
kalau ada kutu dirambut biarkan saja hidup..kalau dibunuh himsa karma namanya…
jang juga adakan fogging untuk memberantas nyamuk db…karena itu dosa lho…nyar dihukun Bhatara Yama di neraka…ingat jangan membunuh apapun alasannya.