Ketika itu waktu baru menunjukkan pukul 1 siang saat HP di saku celana berbunyi. Pesan yang saya terima dari adik hanya mengatakan bahwa kakek telah pergi dan meminta agar ikut mendoakannya. Pesan itu tidak langsung saya respon karena masih sibuk mengawasi tukang yang sedang menyelesaikan proyek renovasi. Apa lagi setahu saya adik saya masih di Jogja karena baru memulai kuliah di sana. Dalam benak saya terblesit pikiran bahwa yang meninggal adalah adiknya kakek saya yang memang pada saat itu memang dalam keadaan sakit keras. Sementara kakek saya sendiri meski sudah tergolong usur, kondisi kesehatannya terlihat cukup bugar. Apa lagi cukup aneh karena saya pikir orang tua saya tidak langsung mengabari, tetapi kenapa harus melalui adik yang sedang ada di Jogja. Namun siapa sangka setelah saya telpon balik, adik saya mengabarkan bahwa dia kebetulan sedang pulang ke Bali dan posisinya sedang ada di rumah. Dia juga meyakinkan bahwa yang meninggal adalah kakek kandung kami. Pada hari itu juga, senin, 17 Oktober 2011 saya bergegas meminta ijin agar diberikan jatah cuti untuk segera ke Bali agar bisa melihat jenasah kakek untuk terakhir kalinya. Sambil mempersiapkan keberangkatan ke Bali, saya menunggu berita dari Bali mengenai kapan kakek akan di-aben.

Siang itu juga hampir semua keluarga dan cucu-cucu kakek segera pulang dan berkumpul di rumah di Tabanan. Dalam suasana kalut mereka tergesa-gesa mengurus jenasah kakek. Sesuai dengan kebiasaan di Bali, pertama-tama mereka melakukan acara “mluasan” atau “nuunan baas” yang diyakini sebagai prosesi menurunkan roh orang yang meninggal melalui “orang pinter” sehingga mampu diajak komunikasi aktif dengan kita yang masih hidup. Pada saat itu dikatakan bahwa mereka berhasil berkomunikasi dengan roh kakek dan kakek mengatakan bahwa dia ingin diupacarai Ngaben secara sederhana dan menunggu seluruh cucunya pulang yang kebetulan pada saat itu beberapa diantaranya termasuk saya tidak sedang berada di Bali. Sesuai dengan adat setempat, bapak saya lalu pergi ke Grya menemui penglingsir untuk meminta pertimbangan prosesi pemakaman sekaligus meminta hari baik kapan seharusnya upacara Ngaben dilakukan. Sementara itu untuk maksud yang serupa, paman juga harus menghubungi kerabat yang lain termasuk kelihan adat setempat agar didapat pertimbangan hari peNgabenan yang tepat.

Namun sangat disayangkan sekali, ternyata keinginan dan aturan atau awig-awig setempat ternyata saling bertentangan. Keluarga dan kerabat kami menginginkan agar upacara dilaksanakan beberapa hari kedepan agar memungkinkan seluruh kerabat termasuk seluruh cucu-cucu kakek dapat berkumpul dan mengikuti prosesi Ngaben tersebut. Tetapi awig-awig desa ternyata mengatakan lain. Awig-awig desa yang baru direvisi sekitar 2 tahun lalu tidak mengijinkan adanya peNgabenan, melainkan harus dikubur terlebih dahulu. Awig-awig hanya mengijinkan adanya upacara “Ngaben Ngerit” yang dilakukan secara masal setiap 5 tahun sekali. Yang lebih menyedihkannya lagi, ternyata karena ada upacara di salah satu pura desa, mengharuskan jenasah kakek harus dikubur pada hari itu juga. Itupun hanya melalui prosesi “mekingsan”, tanpa ada upacara seperti layaknya yang biasa dilakukan di Bali.

2 hari setelah itu, bapak saya menelpon dan mengatakan bahwa setiap kali dia lewat ke kuburan dan melihat kuburan kakek, dia hanya bisa menangis. Dia tersiksa karena tidak bisa memberikan yang terbaik untuk kakek untuk yang terakhir kalinya. Dia sedih karena ingat bagaimana prosesi penguburan kakek yang bahkan dia katakan tidak lebih baik dari mengubur seekor anjing. Bagaimana tidak, anjing kami jika mati biasa dikubur dengan memberikannya sebuah “kuangen” di kuburannya. Dan jenasah kakek pun hanya diperlakukan seperti itu. Hanya dikubur dengan dibungkus kain kafan dan diberi sebuah kuangen.

Uniknya, pada siang hari sehari setelah kematian kakek, ayah saya mengatakan bahwa sangat banyak pemuka adat yang saat itu sedang ngayah di pura dalem dalam rangka pemogaran pura melihat suatu sosok yang menyerupai kakek saya sedang bersandar di salah satu bangunan di jaba pura dalem. Selang beberapa lama, tiba-tiba ada angin besar dan merobohkan bangunan tempat penampakan itu. Kejadian itu membuat sebagian warga adat menjadi heboh. Banyak yang bertanya-tanya tentang kejadian ganjil ini. Ada yang menghubungkan kejadian ini dengan roh kakek yang tidak tenang dan ada juga yang mengatakan bahwa ada yang salah dengan sistem awig-awig adat yang dibuat.

Sebelum melebar ke mana-mana, mari kita kembali ke topik masalah Ngaben. Dalam artikel ini saya tidak bermaksud menjabarkan kronologi bagaimana kakek saya meninggal dan dampak serta kejadian-kejadian aneh yang terjadi di rumah dan di desa kami. Tapi saya ingin mengupas esensi Ngaben itu sendiri.

Jika kita bercermin pada budaya Hindu di India, upacara peNgabenan atau pembakaran mayat di Bali dengan di India memang sangat berbeda.

Hindu di India umumnya berpegang teguh pada filosofi yang mengatakan bahwa manusia sejatinya tersusun atas 3 badan, yaitu badan kasar yang tampak ini (Stula Sarira), badan halus (Suksma Sarira) serta jiva atau roh atau atman yang merupakan esensi hidup yang menyebabkan badan itu hidup (Antakarana Sarira). Pada saat seseorang meninggal dikatakan bahwa yang rusak dan mati itu adalah badan kasarnya, sedangkan badan halusnya yang dikendalikan oleh jiva-nya keluar dari badan kasar tersebut. Dikatakan juga bahwasanya jika seseorang meninggal secara tidak wajar atau dia meninggal tetapi masih sangat terikat pada badan kasar dan kehidupan duniawinya, maka dia tidak akan pernah tenang. Sang meninggal akan tetap ada dan hidup dengan badan halusnya dan pada saat-saat tertentu menampakkan diri sebagai sosok hantu. Badan halus sebagai media beraktivitas sang jiva akan segera hancur bila mana badan kasarnya telah hancur. Hal inilah salah satunya yang menjadi alasan kenapa ajaran Hindu menganjurkan pelaksanaan pembakaran mayat. Diharapkan dengan cepatnya proses penghancuran badan kasar secara otomatis juga akan menghilangkan wahana sang jiva berkeliaran di alam material sebagai sosok hantu, sehinga secara bertahap diharapkan bisa lepas dari ikatan material atau setidaknya sang jiva akan lebih cepat mengembara mencari badan material baru sesuai dengan karmanya semasa hidup dan meninggalkan kenangan kehidupan masa lalunya. Konsep dasar inilah yang mungkin menyebabkan prosesi kematian di India begitu sederhana. Mereka hanya melakukan sedikit doa-doa pujaan, dilanjutkan dengan proses pembakaran mayat secara sederhana dan akhirnya abunya dihanyutkan ke sungai suci Ganga, Yamuna atau langsung ke laut. Namun demikian, perbedaan perlakukan diberikan kepada orang-orang yang dianggap suci. Di India, jenasah orang suci tidak dibakar, tetapi dikubur dan bahkan dibuatkan semacam mandir atau kuil. Orang suci dianggap sudah tidak terikat pada badan materialnya, sehingga hancur tidaknya badan material tersebut tidak akan menyebabkan sang jiva yang suci terikat dengan duniawi. Bahkan diyakini badan material orang suci malahan menyucikan dan bisa menjadi “monumen” penghubung untuk membantu mengingat dan memuja Tuhan Yang Maha Esa.

Sementara itu, Hindu di Bali pada dasarnya juga memegang prinsip-prinsip keyakinan yang sama dengan di India. Unsur-unsur badan kasar yang berasal dari Panca Maha Bhuta dan unsur-unsur badan halus yang berasal dari Panca Tan Matra harus dikembalikan ke asalnya dengan upacara peNgabenan sehingga membantu sang jiva melepaskan keterikatannya. Dalam beberapa lontar-lontar yang tersebar di Bali juga dikatakan bahwa jenasah yang tidak di-aben dapat menimbulkan penyakit yang berbahaya bagi masyarakat. Dalam lontar Tattwa Loka Kreti disebutkan “Yan Wong mati mapedem ring prthiwi salawasnya tan kenenan Wdhi widhana, Byakta matemahan ro gha ning bhuana, haro-haro gering merana ringrat, atemahan gadgad, kalau orang mati ditanam pada tanah selamanya tidak diupacara, diaben, sesungguhnya akan menjadi penyakit bumi, kacau sakit merana di dunia, menjadi gadgad tubuhnya (Tatwa Loka Krtti Lampiran 5a). Namun demikian, lontar-lontar yang menyarankan masalah peNgabenan ini tidak mewajibkan jenasah harus segera dikremasi, tetapi memberikan toleransi untuk dikubur terlebih dahulu sampai jangka waktu tertentu. Batas waktu upacara Ngaben disebutkan dalam Lontar Widhi sastra; “Yan liwat setahun, winastu de Bhatara Yama, Tawulan Wangke ika mawak bhuta, sangsara atma ika, kalau lewat satu tahun, dewa Yama akan menjadikan mayat itu menjadi bhuta sehingga sengsaralah atma (jiva)-nya”. Meskipun pada prinsipnya sama, namun wajah Hindu yang tampak di Bali sangat berbeda dengan di India. Hindu di Bali pada umumnya melakukan upacara peNgabenan dengan melibatkan sekian banyak warga masyarakat, harta dan benda. Jangankan Ngaben dalam tingkat tertinggi “utamaning utama”, Ngaben dalam tingkatan terendah “nistaning nista” saja sering kali harus menelan biaya jutaan rupiah. Faktor globalisasi yang melanda seluruh plosok Bali, tuntutan material yang luar biasa, efisiensi tetapi juga tidak mau meninggalkan kesan “wah..” dan mewah akhirnya memicu beberapa kelompok pemuka Bali membangkitkan sistem upacara Ngaben “ngerit” yang dilakukan secara berkelompok sehingga diharapkan biaya yang akan dikeluarkan bisa lebih murah.

Kenapa wajah Ngaben di Bali begitu berbeda dengan di India? Hal ini tidak lepas dari banyak faktor. Mulai dari faktor local genius masyarakat Bali itu sendiri, akulturasi kebudayaan dengan China, sampai pada modernisasi yang terjadi pada Bali sesaat pasca kemerdekaan. Penggunaan uang kepeng china, dan hiasan kertas berupa ukiran patra cina adalah sebuah fakta yang tidak bisa dipungkiri bahwa upacara Ngaben di Bali juga merupakan hasil perpaduan Hindu Bali dengan budaya China. Bahkan sepertinya beberapa kelompok masyarakat Bali juga ikut mengadopsi keyakinan budaya China mengenai alam setelah kematian. Orang China sangat yakin bahwa di alam kematian masih ada kehidupan seperti di sini. Mereka yakin sang jiva yang sudah meninggal masih memerlukan tempat tinggal, uang, pakaian dan sarana material lainnya. Itu lah sebabnya pada acara kematian baik kremasi maupun penguburan jenasah masyarakat China, mereka biasa memberikan pakaian yang indah, uang kertas, tempat penguburan yang indah dan sebagainya kepada yang sudah meninggal. Kalau kita bandingkan, sedikit banyak, hal seperti ini juga terjadi dengan prosesi kematian masyarakat Bali dewasa ini. Sehingga sebenarnya masyarakat Bali cenderung memegang setidaknya 2 tradisi, yaitu keyakinan Hindu yang menganggap sang jiva harus segera lepas dari ikatan material atau harus segera reinkarnasi, dan di satu sisi yakin bahwa di alam kematian masih ada tempat kehidupan layaknya di dunia ini sehingga sang jiva yang telah meninggal perlu diberikan berbagai macam harta benda sebagai sesajen. Mungkin hasil akulturasi inilah yang membuat budaya Bali menjadi unik. Namun akibat masuknya Bali ke era globalisasi dimana masyarakat semakin materialistik dan individualistik membawa upacara-upacara di Bali termasuk Ngaben ini menjadi mahal. Bagaimana tidak, jika dulu semua bahan dan tenaga yang keluar untuk Ngaben bisa dikerjakan secara gotong royong dan kegiatan Ngaben itu bisa menjadi media pengakraban (silakrama) masyarakat, dewasa ini sudah sulit dilakukan. Tuntutan ekonomi menyebabkan masyarakat semakin tidak punya waktu untuk bergotong-royong secara optimal. Material upacara yang sebelumnya bisa langsung diambil dari hasil alam atau hasil sumbangan warga sekarang sudah sulit dilakukan. Sehingga praktis setiap anggota masyarakat Bali yang melakukan upacara peNgabenan akan selalu mengkerutkan dahi. Pusing memikirkan biaya yang begitu besar.

Ngaben Ngerit yang dilakukan berkala adalah sebuah jawaban yang tepat mengatasi masalah ini. Jika diasumsikan satu kali Ngaben harus menelan biaya 10 juta, maka jika dalam satu desa adat dalam satu tahun terjadi 10 kematian, maka uang yang harus keluar dari masyarakat adalah 100 juta. Bayangkan jika Ngaben untuk 10 jenasah ini hanya dilakukan satu kali lewat prosesi Ngaben Ngerit, sangat lumayan bukan? Pengiritan yang dapat dihasilkan bisa mencapai 90 juta. Pada prinsipnya saya sangat setuju dengan sistem awig-awig Ngaben Ngerit ini. Tetapi saya masih menyayangkan jangka waktu penerapan Ngaben Ngerit di beberapa desa adat termasuk di desa saya yang mencapai jangka waktu 5 tahun. Jangka waktu 5 tahun ini sudah menyalahi apa yang disampaikan dalam Lontar Widhi sastra. Lontar ini sudah sangat tegas mengatakan bahwa mayat yang tidak diaben lebih dari 1 tahun akan menimbulkan penyakit dan mala petaka. Jadi tidakkan pembuat awig-awig mengetahui aturan ini? Kalau kita memang mau mengajegkan Bali, mau mengikuti aturan ajaran Hindu sesuai yang tertuang dalam lontar, maka sudah selayaknya aturan Ngaben Ngerit dengan periode lebih dari 1 tahun direvisi kembali.

Ngaben juga tidak seharusnya dijadikan aset politis dan pariwisata semata. Sering kali upaya Ngaben Ngerit yang awalnya dimaksudkan mengirit biaya malahan tidak mencapai sasarannya. Ngaben Ngerit dilakukan hanya dalam upaya membuat suatu upacara Ngaben yang jauh lebih mewah. Menggunakan puluhan jempana, naga banda dan juga lembu dengan melibatkan penyemblihan ratusan hewan korban jika dikalkulasikan malahan menimbulkan biaya yang sangat membengkak. Memang di satu sisi akan tampak kemeriahannya sehingga menyedot sekian banyak wisatawan, menguntungkan jasa travle dan membuat investor yang bergerak dalam jasa perhotelan dan pariwisata semakin dibanjiri oleh dolar, tetapi bagaimana nasib para warga Hindu Bali yang terlibat dalam upacara itu? Keuntungan ekonomi apa yang mereka dapatkan? Hampir tidak ada subsidi silang diantara mereka. Masyarakat Hindu Bali sering kali hanya menjadi sapi perah dalam mengais aliran dolar para pelaku wisata yang notabene dikuasai oleh orang luar. Sementara itu masyarakat Hindu Bali tetap hanya sebagai “tontonan” yang tidak ubahnya seperti pertunjukan topeng monyet.

Semoga upacara Ngaben Hindu Bali tidak lagi melenceng dari aturan lontar yang ada. Semoga tidak lepas dari pondasi dasar filsafat ajaran Hindu. Semoga Ngaben tidak hanya dijadikan aset wisata kaum penguasa dan semoga Ngaben tidak hanya dijadikan sarana mengais “daksina” kaum tertentu.

Om Tat Sat

Translate »