Pada abad ke 9 Bali diperintah oleh sepasang raja suami istri, yang bergelar Sri Gunapriya Dharmapatni dan Dharmodayana Warmadewa. Sebagai sebuah kerajaan yang menaungi orang-orang Bali keturunan Majapahit dan orang-orang Bali asli yang saat ini dikenal dengan sebutan Bali Aga, raja mengalami sedikit kesulitan menyatukan visi dan misi rakyatnya. Ditambah lagi dengan adanya ragam masab dan adat istiadat yang menyebabkan masyarakat cenderung pada jalannya masing-masing dan akibatnya sulit dikendalikan. Menghadapi kemelut seperti ini, sebagai ratu keturunan Jawa, Gunapriya Dharmapatni mengundang Sang Catur Sanak dari Panca Tirta (empat dari lima pandita/Mpu bersaudara putra Mpu Lampita) di Jawa timur yang telah terkenal keahliannya dalam berbagai bidang kehidupan. Mereka adalah para Mpu yang datang secara bertahap, kemudian mendampingi pemerintahan raja dan ratu ini di Bali. Para Mpu ini antara lain :

  1. Mpu Semeru atau Mpu Mahameru, tiba di Bali thun 999 M.
  2. Mpu Ghana tiba di Bali tahun 1000 M.
  3. Mpu Rajakretha atau Mpu Kuturan tiba di Bali tahun 1001 M.
  4. Mpu Genijaya tiba di Bali tahun 1006 M.

Sedangkan yang paling bungsu bernama Mpu Bharada tidak ikut ke Bali. Beliau tetap tinggal di Lemah Tulis, Pajarakan, Jawa Timur dan kemudian menjadi purohito kerajaan Daha pada masa pemerintahan Raja Sri Airlangga.

Kedatangan empat Mpu ini ke Bali membawa perubahan besar bagi pulau ini. Sebab empat Rohaniawan ini bukan saja ahli di bidang Agama, namun juga menguasai berbagai hal dan keahlian yang berkaitan dengan politik dan pemerintahan. Diantara keempat Mpu ini, yang paling menonjol adalah Mpu Kuturan yang akhirnya menyebabkan selain beliau diangkat menjadi Purohito di Kerajaan Bali, beliau juga memegang beberapa jabatan penting, antara lain :

  1. Senapati Kerajaan yang bergelar Senapati Kuturan.
  2. Ketua majelis Pakira-kira Ijro Makabehan yang beranggotakan seluruh senapati, Pandita Dangacarya dan Dangupadhyaya dimana majelis ini bertugas sebagai lembaga tinggi kerajaan yang berfungsi untuk memberikan nasehat dan pertimbangan kepada Raja, serta melakukan pembinaan di segala bidang, untuk menciptakan keamanan dan ketertiban di masyarakat.

Pada saat itu, atas persetujuan Raja Udayana Warmadewa dan Ratu Gunapriya Dharmapatni, Mpu Kuturan mengadakan penelitian untuk mencari akar permasalahan yang sedang melanda kerajaan. Dari sini Mpu Kuturan banyak mendapat informasi, data, dan fakta yang sangat bermanfaat tuntuk mengatasi kemelut yang terjadi di masyarakat. Mpu Kuturan menyampaikan akar permasalahan yang terjadi di kerajaan adalah karena kehidupan sosial dan religius masyarakat yang sangat beragam. Sehingga untuk mengatasinya diperlukan revolusi tatanan kemasyarakatan secara mendasar.

Akhirnya atas restu dari raja dan ratu, Mpu Kuturan melakukan Pesamuan Agung (rapat akbar) dengan mengambil tempat di Bataanyar (kini Gianyar) dan menghadirkan tidak kurang dari 1370 wakil masing-masing desa di seluruh Bali. Pesamuan Agung inilah yang melahirkan cikal bakal konsepsi Desa Pekraman seperti yang kita saksikan saat ini. Secara sangat brilian, Mpu Kuturan menciptakan konsep Khayangan Tiga yang meletakkan Pura Puseh, Pura Bale Agung dan Pura Dalem dalam suatu tatanan Tri Mandala. Beliau juga mengusulkan agar disetiap rumah dibuatkan Merajan atau pura keluarga yang didalamnya diwajibkan dibangun Rong Tiga. Dan banyak lagi kesepakatan-kesepakatan lainnya yang terwujud sehingga pada akhirnya bisa merombak dan menyatukan seluruh desa yang ada sehingga memiliki visi dan misi yang sinergis sehingga memudahkan pemerintahan kerajaan.

Namun dari sekian banyak kesepakatan dan ide-ide jenius Mpu Kuturan pada waktu itu, sepertinya 2 ide besar yang saat ini mulai terlupakan adalah bhisama bahwasanya seluruh tanah yang berada di lingkungan Desa Pekraman kepemilikannya bukanlah milik pribadi, tetapi milik Desa Pekraman itu sendiri sehingga wajib hukumnya bagi semua orang yang bertempat tinggal di Desa Pekraman tersebut mengikuti aturan dan peraturan konsepsi Desa Pekraman, baik itu membangun Merajan maupun nyungsung Khayangan Tiga. Desa Pekraman juga didesain mengikuti sistem pendidikan tradisional Veda dimana dalam satu Desa Pekraman wajib ada seorang guru yang disebut Surya yang saat ini lebih dikenal dengan sebutan Pedanda yang tinggal di sebuah Grya. Secara de yure, seluruh tanah Bali sebenarnya adalah bagian dari Desa Pekraman. Sehingga dengan demikian seluruh masyarakat Bali pada dasarnya diharuskan melaksanakan ajaran Hindu dan mengikuti sistem perguruan (Surya-Sisya)-nya.

Namun seiring berjalannya waktu, sistem Desa Pekraman yang berjalan apik ini sedikit demi sedikit mengalami perubahan. Apa lagi setelah runtuhnya dinasti kerajaan-kerajaan Hindu di nusantara, Bali bagaikan anak ayam kehilangan induknya. Bali berusaha keras dengan berbagai cara menaham gempuran invasi raja-raja Islam yang ingin menaklukkannya. Sebagai keturunan prajurit-prajurit tangguh, rakyat Bali berhasil mempertahankan diri dari gempuran tentara-tentara muslim sehingga praktis Bali bisa tetap mempertahankan kehinduannya. Namun tentu saja para raja-raja Islam waktu itu tidak mau menyerah begitu saja menaklukkan Bali. Mereka akhirnya berusaha menyusup lewat jalur politis. Salah satu cara ampuh yang pernah mereka terapkan terhadap kerajaan besar Majapahit yaitu dengan mengirim putri cantiknya untuk dipersunting oleh raja atau mengirimkan pangeran untuk dipersunting oleh sang putri kembali diterapkan.

Seperti proses penyebaran Islam di sekitar Puri Pemecutan terjadi dengan dipersuntingnya Putri Raja Gusti Made Rai oleh Pangeran Cakraningrat IV dari Bangkalan, Madura. Sang Putri sendiri akhirnya memeluk Islam dengan gelar Raden Ayu Pemecutan alias Raden Ayu Siti Khotijah. Namun entah kenapa dari awal kisah ini akhirnya muncul berbagai hal yang mengagung-agungkan Islam. Salah satunya adalah mitos bahwa Raden Ayu Siti Khotijah dibunuh oleh patih kerajaan Pemecutan akhibat dia melakukan sholat di merajan kerajaan. Dan karena permintaan Raden Ayu, akhirnya kuburannya sekarang malahan dijadikan tempat suci dengan mitos-mitos tertentu yang intinya mengharumkan nama Islam. Entah bagaimana kisah sebenarnya, kaum Muslim yang sudah berhasil masuk ke Bali juga secara politis minta beberapa bidang tanah untuk ditempati dan dijadikan komunitas di sekitar Puri seperti di desa Kepaon dan juga yang ada di pulau Serangan saat ini.

Dari segi budaya, mereka juga berusaha mengelabui masyarakat Bali dengan trik-trik tertentu. Seperti misalnya pembangunan Langgar, atau sejenis Mushola yang ditempatkan di dalam area Pura seperti yang dapat kita jumpai di Pura Penataran Agung Dalem Jawa saat ini. Langgar di Pura Penataran Agung Dalem Jawa diceritakan dibuat saat putra mahkota Kerajaan Belambangan yaitu Pangeran Mas Sepuh dan saudara kembarnya Wong Agung Wilis melakukan perjalanan pulang dari kerajaan Gelgel. Dikatakan bahwa pada saat mencapai Desa Seseh, Badung, mereka diserang oleh Laskar Kerajaan Mengwi yang jumlahnya sangat banyak sehingga menyebabkan Pangeran Mas Sepuh tewas. Sementara itu adik kembarnya, Wong Agung Wilis diceritakan berhasil melarikan diri dan menceritakan penyerangan Laskar Mengwi kepada Raja Dalem Watu Renggong yang saat itu memerintah kerajaan Gelgel. Namun sampai di Desa Bunutin, Bangli dikisahkan perjalanan mereka dihadang oleh warga desa. Setelah penduduk desa mendengarkan cerita asal-muasal dan kisah mereka, akhirnya warga desa menjadi iba. Bahkan karena Wong Agung Wilis adalah keturunan raja, dikatakan masyarakat desa akhirnya menobatkan mereka menjadi raja dengan gelar I Dewa Mas Wilis dan berkedudukan di Puri Agung Bunutin. Sebagai raja akhirnya dia membangun Pura Agung Bunutin untuk pusat kegiatan spiritual masyarakat kerajaannya. Singkat cerita, Raja I Dewa Mas Wilis akhirnya wafat dan meninggalkan beberapa orang putra. Putranya yang bernama I Dewa Mas Belambangan akhirnya diangkat menjadi raja. Namun dikatakan baru beberapa lama menjadi raja, I Dewa Mas Belambangan jatuh sakit yang aneh dan tidak kunjung bisa disembuhkan. Dan menurut pewisik yang diterima oleh adiknya, I Dewa Mas Bunutin menyebutkan bahwa saat dia melakukan meditasi, dia bertemu dengan sosok pria berpakaian serba putih dan berkata; “Wahai Mas Blembangan, Mas Bunutin dan semua anggota keluarga yang berada di tempat ini. Aku Dewaning Selam yang bernama Tuhan Allah. Aku minta supaya dibuatkan Langgar sebagai tempat sembahyang kepadaKu. Jika tidak membuat sebagaimana permintaanKu, maka secara terus menerus dan turun menurun semua anggota keluarga akan menderita sakit berat tetapi tidak mati. Yang menolak permintaanKu sudah pasti tidak akan tanah menghadapi siksaan lahir batin bahkan sampai jatuh kawangsan (keluar dari puri). Sebaliknya, jika mau membuat Langgar, maka sudah pasti sembuh dengan sendirinya tanpa pengobatan dan akan terus berbahagia serta penuh kewibawaan”. Jika kita cermati kisah ini, apakah kisah ini sebenarnya fakta atau hanya dongeng? Apakah motif cerita pembangunan Mushola di dalam pura ini murni karena Tuhan marah atau karena ada motif politik agama di dalamnya? Bagaimanapun juga, mencari benang merah dan menggali fakta sejarah kisah ini bukan perkara mudah. Yang pasti, fakta sudah memperlihatkan bahwa di Pura Penataran Agung Dalem Jawa terdapat sebuah Langgar atau Mushola, yang artinya telah terjadi infiltrasi Islam secara halus terhadap Hindu.

Sayangnya usaha mereka ini tidak membuahkan hasil maksimal sehingga kerajaan Bali belum bisa ditaklukkan sebagaimana mereka menaklukkan Majapahit. Entah apakah hal ini akibat inner power dari Bali itu sendiri atau karena keberuntungan akibat usaha raja-raja Islam melakukan islamisasi Bali terhenti akibat masuknya penjajah Belanda. Intinya, pada saat infiltrasi Islamisasi di Bali, pada dasarnya sistem Desa Pekraman yang digagas Mpu Kuturan berhasil menyelamatkan rakyat kecil dari proses Islamisasi, tetapi “lacur”, pihak kerajaan sebagai sisi lemahnya malahan dijadikan sasaran tembak.

Kemudian ketika masuknya Belanda ke Bali ternyata juga didompleng oleh Misionaris Kristen yang bertujuan melakukan Kristenisasi masyarakat Bali. Celakanya pada waktu itu, pihak kerajaan ternyata juga lemah menghadapi infiltrasi ini. Beberapa kerajaan malah menawarkan para misionaris masuk dan menyebarkan ajarannya. Dibawah hemoglobi antara tradisi kerajaan dan masuknya era Barat, masyarakat kalangan bawah pun mulai tidak berkutik. Hal ini terbukti dengan masuknya seorang kepada desa bernama Pan Luting menjadi Kristen dan akhirnya membatu Misionaris melakukan perekrutan lebih lanjut. Namun untunglah masih ada beberapa tokoh Belanda yang peduli karena melihat uniknya budaya Bali sehingga mereka menuntut pemerintah kolonial menerapkan Balinesering, atau pelestarian budaya Bali dan melarang para Misionaris menyebarkan agamanya melalui sebuah undang-undang. Andaikan pihak eksternal ini tidak turun tangan, bisakah Bali tetap mempertahankan kehinduannya secara mandiri?

Pada era setelah kemerdekaan disaat aturan Balinesering dan juga pemerintah pusat yang tidak lagi melindungi Bali, untunglah ada beberapa tokoh-tokoh Bali dengan gigih mempertahankan budaya dan agamanya. Beberapa diantara mereka bahkan belajar agama jauh-jauh ke India dan pulang kembali dengan menerapkan ilmu yang mereka miliki. Namun entah apa yang terjadi, wajah Bali seperti yang diperjuangkan pada awal kemerdekaan sepertinya mulai bergeser.

Era demokrasi tidak lagi meletakkan kerajaan atau suatu simbol kekuasaan sebagai mercusuar yang mampu mengatur sosioreligius masyarakat Bali. Sehingga tentu saja metode-metode lama pengalihagamaan masyarakat Bali tidak bisa lagi dilakukan seperti kasus-kasus di masa lampau. Masyarakat Bali saat ini bebas berdiri sendiri dan hanya mencoba berlindung pada sistem terkecil buah karya cerdas Mpu Kuturan, yaitu Desa Pekramannya.

Tetapi “lacur”, entah apa yang terjadi, benteng-benteng terkecil ini pun mulai rapuh. Desa Pekraman yang harusnya melindungi masyarakatnya, saat ini mulai menjadi senjata makan tuan. Banyak kasus orang Bali harus menderita bahkan harus pindah agama hanya karena aturan tidak jelas di desanya. Seperti dapat kita tengok kejadian pada hari Kamis, tanggal 5 Januari lalu di Banjar Adat Bunutan, Desa Kedewatan, Kecamatan Ubud, Gianyar. Adat dengan teganya menyita harta benda seorang pemangku hanya karena kontroversi menjadikan sebuah Barong bernilai seni menjadi “tapakan” yang akan “didewakan” di desa tersebut. Ada lagi kasus diusirnya 5 kepala keluarga di daerah Sulang, Dawan, kelungkung karena mereka mengganti nama depan mereka menjadi Gusti. Padahal, apa sih ruginya masyarakat sekitar dengan penggantian nama tersebut? Kalau meraka iri, kenapa tidak ikutan mengganti nama saja? Belum lagi masalah-masalah sosial yang lain seperti menghalalkan judi, sambung ayam dan tindakan-tindakan lainnya dengan alibi untuk penggalian dana upacara atau pembangunan tempat suci yang jika dicerminkan pada kitab suci Hindu sangat bertentangan. Sungguh, sangat-sangat memprihatinkan kondisi benteng Hindu di Bali dewasa ini.

Desa Pekraman dan Adat tidak lagi memiliki visi dan misi seperti apa yang dikehendaki Mpu Kuturan. Desa Pekraman hanya dijadikan basis perlindungan tindakan Adharma. Desa Pekraman tidak lagi dijadikan basis “aguron-guron”, tetapi sudah beralih menjadi praktik bisnis berkedok agama dan budaya. Konsep dasar bahwasanya seluruh wilayah yang ada di Desa Pekraman bukanlah milik pribadi, tetapi merupakan bagian dari Tri Mandala dan semua penduduknya wajib menyungsung Tri Khayangan sudah tidak dilaksanakan lagi. Siapa saja boleh membeli dan menjual tanahnya. Yang lebih mengecewakannya lagi, aturan hanya diterapkan secara parsial yang malahan hanya menerapkan masyarakat desa pekraman yang Hindu. Bagi mereka yang bukan Hindu atau sudah pindah dari Hindu tidak terkena aturan lagi. Bukankah ini membuka celah yang tidak ubahnya seperti selaput selektif permiabel yang hanya akan mengkerdilkan Hindu? Kalau di lingkungan terkecil ini saja kita tidak mau mengikuti aturan-aturan leluhur yang adiluhur, sastra Veda lagi dan tidak mau berpegang teguh pada Dharma demi “ajeg”-nya Hindu, lalu mau dibawa kemana adat, budaya dan agama Hindu kita ini? Haruskah dia terkubur bersama benteng desa pekraman yang sudah mulai runtuh?

Om Tat Sat.

Translate »