Ketika itu, hari kamis 5 Januari 2011 ratusan orang warga Banjar Adat Bunutan, Desa Kedewatan, Kecamatan Ubud, Gianyar berkumpul di salah satu rumah warga. Mereka tidak sedang “ngayah” seperti kegiatan krama Bali biasanya yang selalu disibukkan oleh kegiatan upacara. Tetapi mereka sedang melakukan eksekusi penyitaan terhadap aset-aset milik pemangku mereka sendiri. Sebagaimana diberitakan oleh harian Bali Post, aset Jro Mangku disita karena tidak membayar urunan perbaikan barong yang kini dijadikan sesuhunan oleh krama setempat. Ada pun harta benda yang dirampas oleh Prajuru dan krama Desa adalah sebuah televisi, tape, meja, kulkas, dan sebuah patung kayu. Harta benda yang dirampas itu adalah sebagai pengganti jumlah uang iuran dan dendanya sebesar Rp 1.995.000. Yang unik dari kasus ini, ternyata bukan karena Jero Mangku ini melalikan kewajibannya sebagai seorang Brahmana yang memiliki hak dan kewajiban muput upacara di Pura Dalem desa setempat, tetapi karena kontroversi “pendewaan” sebuah Barong yang awalnya adalah merupakan Barong kreasi seni kelompok tari setempat.

Jro Mangku bersangkutan bersama ayahnya, Made Suamba mengatakan bahwa mereka bersikukuh tidak mau membayar urunan sepanjang untuk keberadaan barong tersebut. Namun, untuk kewajiban lainnya tetap mengikuti aturan dari desa pakraman. Adapun alasan mereka bersikeras pada pendirinya tidak mau mengeluarkan uang meski hanya sejumlah Rp. 100 ribu tersebut adalah karena ketidakjelasan siapa yang menghendaki agar barong itu dijadikan sesuhunan dan siapa yang berstana di sana belum mendapatkan jawaban dari paruman krama desa. Barong yang dijadikan sesuhunan itu, menurut Jro Mangku, sebelumnya adalah barong komersial yang dimiliki oleh sekelompok sekaa seni tari barong di Banjar Bunutan sekitar tahun 2007. Namun karena ada salah satu warga yang kesurupan, maka barong itu lantas dijadikan sesuhunan di Pura Dalem Gede pada tahun 2008. ”Padahal, untuk menjadikan barong itu sebagai tapakan kiranya perlu dilakukan proses seperti nyanjan. Dirinya saja yang dipilih warga menjadi pemangku melalui proses nyanjan. Mengapa barong yang dijadikan sebagai tapakan malah tidak dilakukan. Lantas, sesuhunan yang mana sebenarnya menginginkan adanya barong itu dijadikan tapakan,” jelasnya.

Meski Prajuru adat beberapa kali menjelaskan kepada media bahwa penyitaan aset pemangku itu lepas dari masalah kontroversi keberadaan barong itu dan murni karena sudah merupakan kesepakatan seluruh krama Desa, namun tentu saja masih menyisakan segudang pertanyaan. Apakah kebenaran akan sesuatu adalah milik mayoritas? Apakah “memberhalakan” (baca: mendewakan) sebuah barong komersial sebagai kesepakatan suara terbanyak sudah sesuai dengan Hindu? Apakah tindakan penyitaan aset seorang Brahmana dibenarkan dalam ajaran Veda? Apakah saat ini Brahmana yang salah satu fungsinya memberi masukan nasehat kepada masyarakatnya terutama dalam kehidupan beragama sudah tidak diperkenankan? Bukankah masyarakat belum mampu menjawab pertanyaan jero mangku tentang siapa yang distanakan dan didewakan dalam barong tersebut? Bukankah pendewaan itu adalah pembenaran bahwa mereka memuja berhala? Dan masih ada segudang teka-teki yang menunggu jawaban dari sebuah kasus “kecil” ini.

Namun demikian, dari satu kasus ini, mari kita coba kaji setidaknya 2 benang merah besar untuk kita sandingkan dengan pondasi keyakinan kita sebagai Hindu.

Yang pertama adalah masalah konsep ketuhanan. Siapa yang ada di dalam barong yang didewakan dan yang dipuja itu? Kenapa dia harus dipuja? Dalam Bhagavad Gita 9.25 dikatakan: “yānti deva-vratā devān pitṝn yānti pitṛ-vratāḥ bhūtāni yānti bhūtejyā yānti mad-yājino ‘pi mām, orang yang menyembah dewa-dewa akan dilahirkan di antara para dewa, orang yang menyembah leluhur akan pergi ke leluhur, orang yang menyembah hantu dan roh halus akan dilahirkan di tengah-tengah makhluk-makhluk seperti itu, dan orang yang menyembah-Ku (Krishna/Tuhan) akan hidup bersama-Ku”. Jadi apakah barong yang dijadikan tapakan itu adalah untuk memuja Tuhan, para dewa, leluhur, mahluk halus atau malah hanya “berhala” kosong? Apa lagi dengan penjelasan jero mangku yang mengatakan bahwa perubahan status barong seni itu menjadi tapakan tanpa melalui proses nyanjan sebagaimana lazim dilakukan. Apakah yakin tapakan itu sudah memiliki “roh” (setidaknya roh mahluk halus) yang layak dijadikan objek pemujaan? Konsepsi siapa yang dipuja dalam kasus ini saja masih simpang siur dan secara otomatis memperlihatkan pondasi ketuhanannya rapuh.

Yang kedua masalah Rsi Rna, korban suci kepada Rsi, orang-orang suci yang masuk dalam kategori Varna Brahmana. Kitab suci kita memberi petunjuk bahwa tugas seorang Brahmana adalah sebagai guru dalam transfer ilmu pengetahuan Veda. Beliau juga berfungsi dalam hal muput atau melaksanakan upacara keagamaan. Dan yang tidak kalah pentingnya, beliau berhak dan wajib memberikan pertimbangan secara spiritual kepada umatnya. Itulah sebabnya sejak jaman dahulu kala sampai jaman kerajaan terakhir di Bali seorang raja selalu didampingi oleh penasehat kerajaan yang diduduki oleh seorang Brahmana. Dalam kasus di atas, jro mangku sudah memberikan tindakan tepat dengan memberikan masukan sesuai dengan pengetahuan spiritualnya kepada segenap krama Desa. Tetapi kenapa masyarakat malah mengesampingkan pertimbangan tersebut dan mengambil tindakan yang hanya atas dasar “suryak siu” (baca: suara terbanyak) tanpa adanya alasan yang tepat yang bersumber dari sastra dan dapat memberikan jawaban pertanyaan yang diajukan oleh jro mangku? Krama Desa harusnya menghormati Jro Mangku sebagai seorang Brahmana yang lebih mengerti risalah spiritual. Bahkan krama Desa harusnya memberikan sumbangan korban suci kepada Jro Mangku baik dalam bentuk materiil maupun non-materiil, bukan malah sebaliknya memberi beban material bahkan menyita harta benda pemangku tersebut. Bagaimanapun juga, tindakan Krama Desa itu bisa dikategorikan sebagai Alpaka Guru.

Setidaknya dari kasus “pelecehan” pemangku ini sudah memperlihatkan pelanggaran pada beberapa poin-poin penting ajaran Hindu bukan? Sekarang mari kita coba kupas lagi kasus-kasus yang lebih umum di Bali yang sudah dijadikan budaya sehingga dianggap sebagai suatu kebenaran.

Judi sambung ayam, permainan kartu cekian dan domino, permainan dadu serta berbagai macam jenis perjudian sudah merupakan hal lumrah dalam kehidupan Krama Bali. Bahkan tidak tanggung-tanggung, judi-judi ini biasa digelar pada setiap hari-hari besar dan piodalam di tempat-tempat suci. Dengan alasan pecaruan “tabuh rah”, sambung ayam atau di Bali disebut tajen akhirnya dilegalkan. Tidak ada aparat yang bisa melarang atau membubarkan acara sambung ayam ini karena telah dilindungi oleh kedok agama dan adat. Begitu juga dengan permainan dadu. Meski dalam Mahabharata sudah dijelaskan bahwa judi dadu dapat mengantarkan seorang dharma yang agung sekelas Yudistira terjungkal, tetapi tetap saja di beberapa piodalam pura-pura besar acap kali bandar-bandar judi dadu ini selalu muncul. Entah tujuan mereka murni meraup untung dari berjudi semata atau juga untuk sembahyang, biasanya mereka selalu mengenakan pakaian adat dan di arena judinya selalu ada persembahan banten lengkap dengan dupanya. “Lacur”-nya, krama Bali yang datang ke pura malah lebih konsen ke judi ini dari pada persembahyangannya.

Yang lebih ironis lagi, acap kali judi sambung ayam, cekian, domino dan sejenisnya sangat dilegalkan untuk dilakukan di area pura dengan dalih penggalian dana pembangunan atau perawatan pura. Dengan metode ini memang kelihatannya mencari dana dengan cara seperti ini sangat mudah. Namun apakah Tuhan benar-benar akan menerima korban yang kita lakukan jika sumber baiayanya adalah dari perjudian? Mana lebih baik membangun pura dan melakukan upacara super mewah dengan dana dari hasil perjudian atau membangun pura dan melakukan upacara sederhana tetapi murni dari hasil hasil kerja keras kita yang kita lakukan berpedoman pada dharma dan dalam semangat bhakti?

Pada hari raya Galungan kemarin kebetulan saya mendapatkan kesempatan pulang ke Bali. Saat itu pesawat yang saya tumpangi mengalami delay yang cukup lama sehingga saya baru sampai Bali hampir tengah malam. Sepanjang perjalanan dari bandara sampai desa kelahiran saya di Tabanan saya melihat begitu banyak kegiatan pemuda-pemudi di masing-masing desa. Mereka membuat bangunan semi permanen atau menghias balai desa untuk dipergunakan sebagai Baazar. Saya rasa konsep awal acara tersebut sangatlah bagus. Lewat acara Baazar, para pemuda-pemudi bisa saling mengakrabkan diri. Dan bahkan lewat media tersebut mereka bisa melakukan penggalian dana untuk kepentingan Karang Taruna dan desa setempat. Namun yang menjadi perhatian saya adalah kenapa semangat hari raya yang disucikan oleh hampir seluruh umat Hindu di Bali harus diwarnai dengan musik rock, disco, dugem dan bahkan mabuk-mabukan yang sampai-sampai meluber ke jalanan dan mengganggu kepentingan umum? Di desa saya sendiri mobil saya harus berhenti sejenak menunggu pemuda setempat memindahkan pemuda-pemudi yang mabuk dan bergelimpangan di tengah jalan. Yang lebih uniknya lagi, beberapa di antara mereka juga meminta sumbangan kepada saya yang katanya untuk membeli minuman keras. Lha kok bisa? Kenapa tidak minta sumbangan untuk kegiatan yang produktif? Kenapa harus untuk mabuk? Mau di bawa ke mana Bali ini jika pemudanya sibuk mabuk-mabukan?

Tidak berhenti sampai di situ, keesokan harinya saya berkunjung ke desa tempat kelahiran ibu saya. Sebuah desa kecil yang tidak lebih dari 50 KK. Sesampai di sana, pemandangan yang saya lihat malahan lebih nyleneh lagi. Jalanannya sepi, kaum prianya ternyata sibuk duduk berkerumun di bale banjar. Apa yang mereka lakukan? Ternyata sibuk berjudi. Saya coba samperin paman saya dan dia berkata: “ya beginilah, namanya juga hari raya, ya kita nyari kesenangan lah sekali-sekali”. Ehm… jawaban menarik. Apa benar hari raya adalah saat yang tepat untuk mengumbar nafsu dan melepaskan penat dengan perjudian? Bukankah hari raya seharusnya dipergunakan sebagai saat yang tepat untuk menyucikan diri dan lebih mendekatkan diri kepada Tuhan?

Kasus-kasus di atas hanyalah sebagian kecil kasus dari sekian banyak kasus adharma yang sudah mencengkram Bali. Yang jelas intinya, kebiasaan-kebiasaan di Bali saat ini yang sudah mengakar dan membentuk Bali masa kini sepertinya sudah menyimpang dari ajaran dan semangat Hindu. Sehingga dapat dikatakan sosioreligius masyarakat Bali tidak lagi mengakar pada Hindu. Tetapi masyarakat Bali sudah mencabut dirinya dari pondasi ajaran Hindu. Oleh karena itu, bagaimana kita bisa menyalahkan saudara kita yang memilih untuk berlindung ke agama tetangga karena memang “habitat” mereka sudah tidak sehat lagi? Cara yang paling urgen dalam menyelamatkan Bali dari kehinduaanya hanyalah melakukan restorasi dan revolusi besar-besaran dengan menegakkan lagi ajaran dharma yang telah rubuh.

Bangkitlah Baliku…

Om Tat Sat

Translate »