Para cendekiawan mengatakan bahwa sekarang semua manusia di seluruh dunia menghadapi 4 (empat) tantangan yaitu:

  • Tantangan Ekonomi.
  • Tantangan Kesehatan.
  • Tantangan Intelektual.
  • Tantangan Kerohanian/Kejiwaan.
  • Tantangan Ekonomi.

Tangtangan Ekonomi

Kebanyakan orang mengeluh mengatakan bahwa situasi ekonomi semakin lama semakin mencekik leher. Hanya sedikit yang tidak mengeluh karena ekonominya sudah mapan.

Diberbagai Negara terjadi gejolak politik dan demonstrasi anarkis karena dipicu oleh kesulitan ekonomi. Hal ini terjadi karena para penguasa besar kelas Dunia terlalu rakus menarik keuntungan dan liar. Mereka menarik keuntungan  setinggi-tingginya tanpa ada timbal balik kepada para konsumennya. Pemerintah di berbagai Negara belum mampu mengendalikan kerakusan dan keliaran mereka. Di satu sisi kaum buruh hanya berpikiran pendek dengan melakukan kegiatan anarkis. Padahal mereka lupa meningkatkan skill mereka sendiri agar dapat dihargai dengan upah yang lebih baik.

Lahan pertanian dan kawasan hutan semakin menyempit, sedangkan jumlah penduduk semakin banyak berlipat ganda yang memerlukan makanan, pakaian, perumahan dan sarana lainnya juga  berlipat ganda. Hal itulah menyebabkan harga barang semakin mahal. Bahkan ada yang mengatakan harga manusia lebih murah dibandingkan dengan harga barang. Salah satu contohnya sebagai berikut: Si Anu kepingin punya sepeda motor, tetapi tidak mampu membelinya. Karena keinginannya terus menuntut agar dia bisa mengendarai sepeda motor, maka dia menempuh jalan pintas yaitu dengan menghadang pengendara sepeda motor di ruas jalan yang sepi. Pemiliknya dibunuh, sepeda motornya dilarikan. Dalam contoh kasus ini harga nyawa manusia lebih murah dari harga sebuah sepeda motor. Masih ada kasus-kasus lainnya yang mencerminkan harga nyawa manusia lebih murah dari harga barang, seperti pencuri TV. Yang kepergok lalu membunuh pemiliknya. Gara-gara berebutan tanah pekarangan  hanya beberapa meter, tega membunuh adik kandungnya. Gara-gara seekor ayam jantan yang lepas mengganggu tetangga memicu perkelahian yang sengit sampai membunuh tetangga. Ada yang karena amat susah tidak mampu melunasi hutang di Bank lalu minum racun dan sebagainya.

Tantangan Kesehatan

Penyimpangan atau anomaly iklim akibat berbagai ulah pencemaran yang dilakukan manusia berdampak buruk terhadap produksi  pertanian dan juga terhadap kesehatan manusia. Berbagai virus  baru bermunculan seperti virus penyakit sapi gila, virus flu burung, flu babi, demam berdarah, AIDS/HIV, dan sebagainya. Virus yang sudah lama tidur (laten) sekarang muncul lagi seperti virus Rabies (anjing gila) menyerang manusia. Semua penyakit itu mematikan jika telat menanganinya karena tidak ada obatnya.

Berbagai makanan dan minuman yang dicampuri bahan kimia berbahaya ikut mengancam kesehatan manusia. Belum lagi yang dicampuri melamin, minyak goring dicampuri oli atau solar, gula dicampuri sari manis, makanan anak-anak diberi zat pewarna yang beracun, daging yang diwarnai zat beracun tampak merah segar. Sapi potong dan ayam potong (broiler) dipacu pertumbuhannya dengan menyuntikkan hormon, antibiotika dan vaksin. Dagingnya yang dimakan oleh manusia masih mengandung zat-zat itu yang membahayakan kesehatan manusia. Itulah makanya orang yang gemar makan daging mengalami sakit degenerative seperti:  asam urat, kencing manis (diabetes), kolesterol, jantung koroner, gagal ginjal, tekanan darah tinggi (hypertensi) dan ada yang setruk terus lumpuh.

Biaya perawatan juga mahal. Sewa kamar saja Rp 500.000,-/hari belum lagi harga obat dan jasa dokter yang juga mahal. Untuk mengobati sakit demam berdarah saja bisa merogoh kocek antara 5-8 juta.

Tantangan Intelektual

Tuhan memberikan manusia kecerdasan semestinya dipergunakan untuk menolong selalu dan tidak pernah menyakiti. Tetapi kenyataanya malah orang-orang yang pandai kebanyakan loba mengeruk keuntungan yang sebanyak-banyaknya untuk dirinya atau golongannya. Bahkan ada yang dipakai menipu, memanipulasi hukum, korupsi dan sebagainya. Termasuk dalam kegiatan beragama juga ada praktik manipulasi. Misalnya upacara yang cukup dengan ukuran madya, dibesar-besarkan menjadi utama yang biayanya dibebankan kepada Krama Desa dipikul secara sama rata sehingga memberatkan umat golongan miskin. Untuk makan hari ini saja mereka pas-pasan, lagi harus membayar iuran (paturunan) jutaan rupiah tentu amat menyusahkan mereka. Umat yang miskin berusaha berhutang kesana kemari  agar bisa membayar iuran, sebab jika tidak mampu melunasinya sampai batas waktu yang ditetapkan oleh Prajuru Desa, akan dikenai sanksi. Agama diturunkan  oleh Tuhan sebenarnya untuk mengentaskan kemiskinan. Bukan salahnya agama, tetapi  karena ulah oknum-oknum yang “rajasik” ingin menampilkan upacara yang “Wah meriah” di mata turis dengan dalih “ajeg Bali”.

Biaya pendidikan semakin lama semakin mahal. Keluarga yang ekonominya lemah tidak mampu meneruskan pendidikan anak-anaknya sampai Perguruan Tinggi. Paling banter sampai di SMU saja, itu pun dengan usaha amat keras mengencangkan ikat pinggang.

Anak-anak yang pendidikannya tanggung dan tidak memiliki ketrampilan yang dibutuhkan oleh pasar tenaga kerja, sulit mendapatkan pekerjaan. Akibatnya terpaksa menjadi buruh apa saja agar bisa makan. Sebagian dari mereka menjadi pengangguran terselubung dan malah ada yang terjerumus menjadi preman jalanan. Mereka sangat  memerlukan uluran tangan dari para cerdik pandai, tetapi tidak ada yang peduli menjadi orang tua asuh untuk mengangkat derajat mereka.

Tantangan Kerohanian/Kejiwaan

Arus globalisasi keduniawian melanda umat manusia di seluruh dunia. Kebanyakan orang berlomba mengejar isi dunia dan mengabaikan kerohanian. Ada yang menumpuk kekayaan, ada yang memburu kedudukan, jabatan, pangkat dan ketenaran. Keinginan mereka terus berkembang seperti langit tidak pernah puas dengan isi dunia.

Di bidang agama juga kena imbas. Yang diutamakan adalah penampilan luarnya berupa upacara yang megah meriah berhura-hura. Sedangkan kegiatan untuk pengisian rohani (filsafat) diabaikan. Walaupun sering ada dharma wecana di layar TV, isi dharma wacananya kebanyakan berkutat  tentang upacara dan berbagai jenis banten. Ketimpangan antara kegiatan upacara, susila dan filsafat  dapat kita amati pada waktu menyambut hari odalan di Pura Desa. Tiga hari sebelum odalan, Krama Desa laki perempuan sibuk bergotong-royong (ngayah) untuk mengerjakan berbagai perlengkapan upacara. Selama 3 hari terus sibuk hanya kerja fisik, sama sekali tidak ada waktu untuk pengisian rohani.

Pas pada hari odalan, mulai dari jam 04.00 – 09.00 pagi juga sibuk “mebat” membuat “ben banten”. Dari jam 09.00 – 16.00 waktu jeda. Pas jam 16.00 kentongan dibunyikan pertanda semua Krama Desa laki perempuan dan anak-anak harus hadir di Pura untuk mengikuti proses upacara odalan. Setelah Sang Sulinggih selesai “mapuja menghaturkan banten piodalan”, dilakukan sembahyang bersama. Setelah selesai sembahyang, “nunas wangsuh pada +  bija” lalu bubar. Besoknya selama 3 hari “nyejer” juga dilakukan persembahyangan. Biasanya disertai dengan pertunjukkan tari-tarian atau wayang kulit. Pada hari ketiga setelah odalan barulah “nyineb/nyimpen”. Begitulah praktek agama Hindu di Desa Pakraman dari dulu sampai sekarang. Upacara odalan yang diselenggarakan setiap 6 bulan sekali selama 6 hari di dominasi oleh kegiatan fisik, tidak diimbangi dengan pengisian rohani (filsafat). Semua rangkaian upacara itu hanya menyentuh panca indra. Jadi hanya panca indra yang kenyang atau senang, sedangkan rohaninya kelaparan karena tidak diberi santapan rohani. Itulah makanya pada umumnya rohani umat Hindu lemah karena kelaparan. Rohani yang lemah menyebabkan moral runtuh.

Seandainya hati kecil Anda membantah hal ini, cobalah iseng merenungkan cerita singkat para orang Suci yang dikisahkan sedang duduk di bawah pohon mangga yang buahnya lebat. Alkisah sebagian buahnya ada yang sudah masak dan jatuh ke tanah jatuh di sebelah dua orang (si A dan si B) yang sedang duduk latihan meditasi.

Si A bertanya kepada si B: “apa yang menyebabkan buah mangga itu jatuh?”

Si B menjawab: “karena digetarkan oleh tiupan angin”.

Si A menyangkal: “ bukan angin melainkan karena sudah masak”.

Si B menyangkal: “bukan karena masak, melainkan karena ditarik oleh daya tarik bumi (hukum gravitasi)”. Begitulah perdebatan itu berkepanjangan karena saling mempertahankan pendapat. Kemudian si C datang memungut buah mangga itu lalu dimakannya. Si A dan si B asyik berdebat sedangkan si C asyik menikmati buah mangga yang manis.

Kurang lebih seperti itulah nasib orang Bali yang suka berdebat antar sesamanya. Misalnya antara orang yang suka dengan penampilan upacara yang megah meriah berhura-hura dengan orang yang berupacara sederhana, rasional sesuai dengan petunjuk sastra agama. Antara parisadha A dengan parisadha B, antara kulit A dengan kulit D. Yang berkulit A merasa lebih tinggi derajatnya dibandingkan dengan si kulit D. Si kulit D tidak mau direndahkan martabatnya lalu memasang merk kulit Ratu Bagus, Ratu Ngurah, Ratu Bhagavan. Pada pintu gerbang rumahnya juga dipasangin plakat Gerya Ratu Bagus, Gerya Ratu Bhagavan dan sebagainya. Hanya masalah merk dari “Si” menjadi “Gusti” sampai menyeret Krama Banjar untuk saling kroyok. Orang yang terlalu fanatic dengan kulit disebut orang berpenyakit kulit atau disebut “Krpana” artinya orang yang rohaninya lemah dan miskin. Rsi Astavakra menamakan orang itu seperti tukang sepatu. Sebab tukang sepatu sangat menghargai kulit untuk dijadikan sepatu yang laku dijual dengan harga mahal. Jadi jika ada orang yang masih mengagung-agungkan kulitnya dan menganggap kulit orang lain rendah, orang itu adalah sederajat dengan tukang sepatu.

Seperti si A dan si B yang melihat ada buah mangga jatuh di depannya duduk semestinya mereka mengambil buah mangga itu untuk dimakan bersama, tetapi karena asyik memperdebatkan penyebab jatuhnya buah mangga makanya si C lah yang mengambilnya. Orang Bali yang tinggal di pusat-pusat perekonomian kebanyakan si A dan si B. mereka tidak segera mengambil keuntungan (rejeki) dari pusat-pusat perekonomian itu karena suka berdebat dan berdalih, sehingga sumber-sumber rejekinya diserobot dan dinikmati oleh kaum pendatang.

Mereka akhirnya mendapat rejeki kelas picisan seperti jasa parker, satpam, pengamanan café, ngecer togel, menjual ceper atau canang sari dan yang sejenis kecil-kecilan lainnya.

Jadi ke-4 tekanan tersebut di atas yaitu tekanan ekonomi, kesehatan, intelektual dan tekanan rohani menyebabkan rohaninya lemah. Rohani yang lemah menyebabkan tidak percaya diri, pesimis dan kemerosotan moral. Cirinya moralnya merosot dapat dilihat dari beberapa kejadian sebagai berikut:

Sabungan ayam diadakan di Jaba Pura atau di dekat Pura dengan dalih “ tabuh rah”. Hal ini merusak mental anak-anak, menganggu keuangan rumah tangga dan mencemari kesucian upacara. Sebab agama melarang umatnya berjudi, karena judi itu tergolong dosa besar (M. D. IV. 74 dan IX. 221-224). Mabuk, berjudi dan selingkuh adalah tiga dosa besar. Ketiga dosa itu disebut tiga jurang mengangga yang menyebabkan manusia jatuh sengsara. Orang yang berani melakukan dosa besar ini dipersamakan dengan orang yang tidak beragama (atheis) karena tidak percaya dengan perintah agama. Perintah agama sama dengan perintah Tuhan. Orang yang melawan Tuhan adalah orang atheis. Walaupun dia melakukan upacara dengan megah meriah, tidak berpahala karena upacaranya merupakan pameran bakti untuk tontonan agar dikagumi oleh orang banyak.

Keributan saling kroyok. Tidak hanya di café terjadi saling kroyok, di berbagai tempat di luar café pun terjadi saling kroyok. Celakanya lagi justru pada hari-hari suci seperti pada “Pangerupukan Nyepi” dan pada hari Galungan terjadi saling kroyok. Pihak yang kalah masuk UGD  bahkan ada yang sampai mati, sedangkan pihak yang menang masuk penjara. Kalah menjadi abu, menang menjadi arang.

Café semakin menyebar sampai ke pelosok  desa yang menyebabkan banyak suami istri bercekcokan karena suaminya jarang di rumah, uangnya terkuras bahkan ada yang sampai menjual tanah untuk biaya ini itu di café. Risikonya akan ketularan penyakit AIDS/HIV. Café ini juga merusak moral para remaja, merupakan pemicu pergaulan sex bebas. Menurut survey Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) thn. 2010 bahwa 51 % remaja perempuan umur 13-18 tahun tidak perawan dan 17% hamil di luar nikah yang paa akhirnya digugurkan. Sebagian dari mereka bahkan ada yang melahirkan di kamar mandi, ada di parit sawah, ditempat pembuangan sampah dan rumah dukun.

Menurut berita di Koran bahwa hampir setiap hari terjadi kekerasan di rumah tangga (KDRT). Sungguh kasihan nasib kaum perempuan yang menjadi korban segala-galanya. Dimana kaum perempuan tidak dihormati maka keluarga itu akan cepat hancur. Upacara apa pun yang dilaksanakan di keluarga itu tidak berpahala (M. D. III. 57). Sebaliknya di mana kaum perempuan disayangi, disitu para dewa senang.

Pencabulan anak perempuan di bawah umur. Perbuatan ini tergolong dosa maha besar atau Maha Pataka (Slokantara 77 hal. 121). Yang lebih menyayat hati lagi ada di antaranya diperkosa oleh ayah kandung dan oleh pekaknya sendiri. Kalau sudah begini kejadiannya, siapa yang mesti bertanggung jawab untuk pengisian rohani umat Hindu? Bolehkah menuntut kepada tokoh yang menggebu-gebu mendorong umat Hindu agar melakukan upacara yang megah meriah berhura-hura? Di mana pahala upacara yang mengorbankan 26 ekor kerbau dengan biaya 2,6 milyar? Adakah cara berupacara seperti itu akan membuat umat Hindu yang polos dan lugu menjadi “katak rebus”?

Sengketa tanah, kuburan, perbatasan, sumber air, jalan, gang, jabatan semakin meluas. Sengketa itu tidak hanya antara orang-orang antara orang perorang, tetapi sampai antar Banjar dengan Banjar. Hal ini merupakan salah satu cirri bahwa orang Bali sudah terdesak oleh kaum pendatang yang menguasai sumber-sumber rejeki di Bali kemudian menguasai tanah-tanah yang strategis di Bali. Bukti keterdesakan orang Bali dapat diukur dari hunian dalam satu pekarangan rumah. Pada Thn. 1965 satu pekarangan dihuni oleh 1 KK, tetapi sekarang dihuni oleh 3 KK. Mengapa begitu? Karena tidak mampu membeli pekarangan. Orang Bali Hindu menjadi seperti sekelompok ayam yang ditempatkan di kandang yang sempit sehingga saling cakar (kanibal). Ayam yang kalah akhirnya dimakan beramai-ramai oleh yang menang. Walaupun sudah begitu kondisinya, tetapi Guru Raksasa Yoni terus saja mengebu-gebu mendorong umat Hindu berhura-hura dengan dalih “mayadnya”. Kekacauan di rumah tangga disomya dengan Caru Resigana yang biayanya belasan juta rupiah. Umat yang lugu manut-manut saja walaupun dia mengalami kerugian 2 X lipat yaitu kekacauannya tidak mereda dan uangnya terkuras untuk upacara ini dan upacara itu.

Sakit yang disebabkan oleh virus Rabies (anjing gila) tidak bisa disembuhkan dengan boreh. Tetapi karena Guru Raksasa Yoni tahunya hanya boreh, maka penderita Rabies pun diobati dengan boreh. Kekacauan rumah tangga yang disebabkan oleh terpuruknya perekonomian tidak bisa disomya dengan caru sebesar apapun. Bom di Kuta yang dipicu oleh teroris tidak bisa ditolak dengan Caru Karipu Baya yang menelan biaya Rp 700 juta.

Angka kematian dengan jalan gantung diri dan minum racun semakin meningkat. Hal ini pun disomya dengan banten caru. Umat yang rohaninya lemah amat mudah ditipu oleh iblis agar dia gantung diri atau minum racun. Sebab setelah umat mati akan diadakan upacara pacaruan menjamu iblis. Umat yang tidak pernah mendapat pencerahan tentang akibat dari perbuatan bunuh diri (ngulah pati), mengira bahwa setelah mati habisa perkara. Padahal rohnya akan menderita sekian kali lipat di alam roh. Nyonya Aikogibo yang memiliki kemampuan melihat roh dan berkomunikasi dengan roh mengatakan bahwa orang yang bunuh diri rohnya mengalami penderitaan sampai 100 X lipat dibandingkan dengan penderitaan pada waktu dia masih hidup. Itulah makanya semua agama di dunia melarang umatnya bunuh diri.

Akhir-akhir ini kejadian yang paling memalukan di Bali adalah pencurian benda-benda sakral yang ternyata pelaku utamanya adalah umat Hindu sendiri. Kenapa hal ini dapat terjadi? Apakah ajaran hukum karma sudah luntur? Ataukah perut mereka sudah terlalu keroncongan karena tidak mampu berebut rejeki dengan pendatang akibat sibuk ngayah dan akhirnya karena terpesona dengan “duwe” pura malah tertarik mencurinya?

Contoh kejadian-kejadian tersebut di atas adalah pertanda rohani uamt Hindu lemah sehingga mudah ditipu oleh Maya. Kalau saja rohaninya kuat maka hal itu bisa dicegah. Mengapa rohaninya lemah? Karena jarang sekali mendapat santapan rohani. Kalau badan tidak diberi makan dan minum atu hari saja menyebabkan badan itu lemah. Begitu pula jika rohani tidak diberi santapan rohani sama saja menjadi lemah. Badan yang lemah tidak mampu menolak penyakit. Rohani yang lemah tidak mampu menolak bisikan setan yang menyesatkan dan membahayakan. Caru ini dan caru itu hanya menguntungkan setan an Guru Raksasa Yoni mendapat daksina penuh. Buktinya sudah amat sering di seluruh Bali diadakan caru ini an caru itu mulai dari caru eka sata sampai yang amat besar dengan mengorbankan banyak binatang, nyatanya kemerosotan moral terus meningkat. Jika caru itu berpahala, semestinya kehidupan umat Hindu semakin makmur, semakin rukun, tentram dan damai. Semestinya kehidupan umat Hindu semakin makmur, semakin rukun, tentram dan damai. Semestinya tidak terdesak oleh kaum pendatang. Kaum pendatang mendirikan usaha besar di Bali, orang Bali mendirikan café. Jika ada tokoh yang membantah pernyataan ini suruh dia membuat proyek di daerah miskin, agar umat yang miskin menjadi makmur. Jika tidak mampu membuat proyek mengentaskan kemiskinan, itu namanya seperti subatah (ulat penggerek kayu yang mulutnya besar). Umat yang miskin tidak memerlukan teori muluk-muluk, yang diperlukan tindakan nyata.

Oleh: Jero Mangku Wayan Swena

Translate »