Penggunaan militer sebagai kekuatan perang utama dikenal dengan istilah perang konvensional. Pada jaman dahulu, kekuatan militer dengan berbagai alutsistanya adalah hal wajib yang harus dimiliki suatu Negara untuk dapat bertahan. Kekuatan militer menjadi tumpuan utama karena peperangan yang terjadi antar bangsa hanya melibatkan perang-perang konvensional. Pada jaman Mahabharata, peperangan antar negara bahkan diatur dengan sangat ketat. Peperangan hanya boleh dilakukan jika terdapat dua pasukan berlawanan yang saling berbaris siaga di kedua sisi. Peperangan juga hanya boleh dilakukan sesuai dengan kesepakatan aturan perang yang sudah diputuskan bersama oleh kedua panglima perang. Kesepakatan-kesepakatan mengenai peraturan perang ini selanjutnya dikenal dengan istilah hukum humaniter. Setiap peradaban dan bahkan setiap kitab suci telah menuliskan hukum humaniternya tersendiri.

Perubahan menuju peradaban modern dan semakin seringnya konflik antar negara yang bahkan melibatkan hampir seluruh dunia di dunia memicu terbentuknya hukum humaniter yang berlaku secara global. Hukum humaniter internasional setidaknya dimulai sejak abab ke-19 dengan masukan dan usulan klausul-klausul dari sebagian besar pemimpin-pemimpin internasional. Kejahatan perang dan konsekuensi hukumannya pada akhirnya dapat diatur antar negara dengan berlandaskan pada hukum ini.

Seiring dengan perkembangan teknologi, orientasi peperangan sudah mulai mengalami perubahan yang sangat signifikan. Peperangan tidak lagi hanya dalam konteks militer, fisik dan senjata. Medan peperangan mulai merambah ke berbagai aspek kehidupan manusia mulai dari perang cyber, perang ekonomi, perang energi, perang ideologi dan budaya.

Perang cyber muncul akibat perkembangan internet yang menjadi tulang punggung pertukaran informasi dunia. Informasi sebagai bagian yang sangat vital dalam dunia bisnis, rahasia negara dan bahkan hal-hal yang berkaitan langsung dengan teknologi-teknologi alutsista menjadi sangat sexy untuk diperebutkan.

Perang ekonomi, merupakan perang yang fundamental yang sering kali dilakoni oleh setiap negara. Perang ekonomi merupakan bentuk yang lebih halus dari perang konvensional namun memiliki efek yang tidak jauh berbeda. Tujuan dari perang konvensional adalah menguasai dan melumpuhkan kekuatan lawannya. Dan sejalan dengan hal tersebut, perang ekonomi meskipun secara fisik tidak terlihat menguasai dan menghancurkan pihak lawan secara nyata, namun efeknya akan sama dengan efek perang konvensional. Penguasaan terhadap ekonomi suatu wilayah atau negara akan membuat negara tersebut bertekuklutut dan bergantung pada pihak yang menguasainya. Dengan takluknya pihak yang dikuasai secara ekonomi, maka kehidupan mereka juga akan sangat mudah untuk dikendalikan.

Sedangkan perang energi terjadi akibat adanya korelasi erat antara energi dengan peperangan atau pertahanan suatu negara. Korelasi antara energi dan pertahanan dalam arti sempit dapat dilihat dari peran energi dalam mendukung kemampuan operasi militer suatu negara. Dalam pengertian ini, parameter ketahanan dalam bidang energi dilihat dari paradigma seberapa lama cadangan energi suatu negara dapat bertahan pada pelaksanaan operasi peperangan. Dalam pemahaman yang lain, korelasi antara energi dan pertahanan dapat dilihat dari sudut pandang yang lebih makro. Dalam hal ini energi tidak harus dikaitkan langsung dengan militer sebagai komponen utama pertahanan negara. Peran energi dapat dilihat mulai dari fungsinya dalam menggerakkan sektor-sektor lain seperti sektor perekonomian, pariwisata, politik dan juga kebudayaan. Pengaruh nyata energi terhadap perekonomian misalnya dapat dilihat dari rumusan elastisitas energi yang memperlihatkan perbandingan antara pertumbuhan konsumsi energi terhadap pertumbuhan ekonomi Rumusan ini memperlihatkan bahwa pertumbuhan ekonomi pasti dan harus dibarengi dengan pertumbuhan konsumsi energi. Jadi, tidak mungkin terjadi pertumbuhan ekonomi dalam suatu negara jika tidak ada pertumbuhan penyediaan sektor keenergian. Jika terjadi gangguan pada sektor energi yang menyebabkan pasokan energi berkurang drastis, maka berpotensi menyebabkan pertumbuhan ekonomi menjadi negatif dan mengakibatkan terganggunya sistem perekonomian. Kemerosotan sektor ekonomi berikutnya dapat berdampak sistemik pada hal-hal lain yang pada akhirnya mempengaruhi stabilitas pertahanan dan keamanan negara.

Perang cyber, perang ekonomi dan perang energi pada dasarnya lebih mudah dideteksi jika dibandingkan dengan perang ideologi dan budaya. Perang ideologi dan budaya adalah bagaimana upaya suatu negara memasukkan ideologi dan budayanya sehingga dapat diterima oleh pihak lain. Ideologi dan budaya pada dasarnya ada di bawah ranah alam sadar manusia. Karena ideologi berada di bawah alam sadar, maka umumnya ideologi sangat sulit dinalarkan. Oleh karena itu tidaklah mengherankan jika banyak kasus tindakan-tindakan diluar logika yang dilakukan akibat pengaruh ideologi, seperti misalnya bom bunuh diri dan terorisme.

Di dunia ini terdapat beberapa negara yang menerapkan wajib militer terhadap warga negaranya, seperti misalnya Singapura, Korea Selatan, dan juga Israel. Kebijakan wajib militer mengharuskan setiap warga negara yang sudah mencapai batasan umur tertentu harus didoktrinasi dan dididik secara militer. Proses doktrinasi dan pendidikan tersebut akan diarahkan pada semangat bela negara, berkorban apapun, bahkan nyawanya sendiri demi keutuhan negaranya. Para warga negara yang telah mengikuti wajib militer akan dikembalikan lagi ke dalam kehidupan sipil di masyarakat. Hanya saja dengan berbekal strategi perang dan jiwa bela negara, mereka akan terbentuk menjadi para pemimpin sipil, pelaku bisnis dan sebagainya yang berorientasi pada kepentingan negaranya. Lalu bagaimana dengan warga negara yang karena satu dan lain hal tidak bisa mengikuti wajib militer? Mereka-mereka tersebut umumnya akan diberikan tugas yang setara dengan kegiatan wajib militer, misalnya dikirim ke suatu negara sebagai duta kebudayaan. Dengan menjadi duta kebudayaan, maka mereka mendapat kesempatan menjadi agen-agen penyebar ideologi dan kebudayaan negaranya. Sehingga dengan misi tersebut sebenarnya mereka ikut berperan serta dalam misi perang ideologi dan budaya.

Lalu permasalahannya adalah, bagaimana pengaruh ideologi dan budaya dapat memberikan efek yang menguntungkan bagi negara yang berkepentingan tersebut?

Sebagaimana nasehat dari tetua kita, di dunia material ini hanya ada 3 hal yang selalu menjadi rebutan, yaitu “Harta, Tahta dan Wanita”. Dalam hal ini cukup kita sebutkan 2 yang paling awal, yaitu harta dan kekuasaan. Sedangkan yang ketiga pada dasarnya muncul akibat dari budaya patriaki yang pada jaman dulu umumnya memposisikan pria sebagai subjek dan wanita selalu sebagai objek. Harta dan tahta dapat diperoleh dengan perang ideologi. Bentuk-bentuk ideologi yang paling kentara selain ideologi kapitalis, fasisme, komunis dan sejenisnya yang pernah disebarkan pada jaman perang dunia adalah ideologi agama. Contoh negara yang sukses memanfaatkan ideologi agama untuk keuntungan negaranya adalah Saudi Arabia.

Arab Saudi memang merupakan negara tandus yang super kaya. Menurut data dari BP statistic, Arab Saudi menduduki peringkat pertama sebagai negara dengan kekayaan minyak bumi terbesar di dunia. Dengan kekayaan minyaknya yang sangat besar tersebut, Arab Saudi sanggup menghidupi seluruh rakyatnya secara mewah setidaknya sampai dengan 63 tahun ke depan. Arab Saudi juga menyimpan cadangan gas bumi yang sangat berlimpah. Data BP memperlihatkan cadangan gas bumi Arab Saudi mencapai 8, 2 triliun meter kubik. Cadangan ini terhitung sangat besar jika dibandingkan dengan sebagian besar negara-negara lainnya di dunia. Berbekal kekayaan bahan bakar fosil ini, maka diprediksi perekonomian Arab Saudi tidak akan tergoyahkan sampai dengan 1 abad ke depan. Meskipun demikian, Arab Saudi bukanlah negara bodoh yang duduk diam menunggu sumber dayanya habis. Arab Saudi memanfaatkan potensi dan posisinya sebagai tempat munculnya ideologi Islam.

Bagaimana caranya?

Tidak perlu mengamatinya secara global. Fenomena taktik perang ideologi yang dilancarkan Arab Saudi dapat kita baca dari besarnya dana yang mereka gelontorkan untuk pembangunan Masjid, Islamic Center dan sejenisnya di sekitar lingkungan kita. Di daerah Jawa Barat misalnya, setiap masyarakat yang ingin membangun Masjid akan sangat mudah mendapatkan bantuan melalui program sumbangan dari Arab Saudi. Arab Saudi juga dengan senang hati akan mengirimkan duta-duta agamanya untuk memberi ceramah dan mengajarkan agama ke berbagai daerah.

Lalu apa misi dari sumbangan dana besar-besaran ini? Apakah hanya murni menyebarkan agama?

Ingat, tidak ada makan siang yang gratis. Setiap pengelontoran dana selalu menuntut suatu timbal balik. Selalu ada yang diharapkan dari glontongan dana tersebut. Arab Saudi memiliki potensi penghasilan ekonomi yang tidak ada duanya yang akan selalu mampu mengalirkan uang dari luar negeri selama Islam dianut oleh masyarakat di luar Saudi. Meski minyak dan gas bumi telah habis, potensi tersebut akan masih bisa memberikan keuntungan ekonomi. Potensi itu adalah potensi dari kegiatan umroh dan haji. Pada tahun 2012 saja, Arab Saudi berhasil mengumpulkan pendapatan bersih sebesar US$ 16, 5 Milyar hanya dari kegiatan musim haji pada akhir bulan oktober yang dihadiri oleh sekitar 12 juta orang. Penghasilan sebesar ini belum termasuk kegiatan umroh, efek domino perputaran uang di masyarakat bawah dari hasil pembelian makanan, pernak-pernih dan sejenisnya yang juga berlangsung sepanjang tahun diluar musim haji. Menurut data jumlah penduduk dunia tahun 2015, Arab Saudi memiliki jumlah penduduk sebanyak 26,5 juta jiwa yang sekitar 26%-nya adalah warna negara asing. Dengan asumsi penghasilan umroh sepanjang tahun adalah sama dengan penghasilan musim haji pada tahun yang sama, maka dalam 1 tahun Arab Saudi dapat mengumpulkan uang sebanyak US$ 33 Milyar. Jika uang sebanyak ini dibagikan merata pada seluruh warga negaranya, maka masing-masing berpotensi mendapatkan bagian sebesar (US$ 33 Milyar / 19,61 juta) = US$ 1.682,81 per orang per tahun, atau setara dengan sekitar RP. 21,87 juta per orang per tahun (asumsi US$ 1 = Rp. 13.000). Nilai ini hampir menyamai nilai UMR buruh di Indonesia yang berkisar di angka Rp. 24 juta per tahun. Bayangkan bagaimana efek ideologi dapat memakmurkan warga negara Arab Saudi yang dapat hidup setara dengan kehidupan buruh pabrik di Indonesia meskipun mereka sama sekali tidak bekerja.

Indonesia harusnya menyadari upaya-upaya perang ideologi dan budaya seperti ini. Sebagai negara dengan jumlah penduduk terbesar keempat di dunia dan dengan jumlah suku bangsa yang lebih dari 200. Indonesia memiliki potensi besar untuk dapat membangkitkan budaya-budayanya. Kekayaan budaya dan alamnya pada akhirnya juga dapat digunakan untuk menghasilkan devisa negara. Indonesia pada dasarnya juga memiliki lebih dari 200 agama asli. Indonesia juga pernah menjadi pusat peradaban dan ziarah dunia, seperti yang terjadi di Borobudur dan Perambanan. Andaikan Indonesia mampu mengembangkan potensinya, melakukan langkah contra ideological war, yakin, dalam waktu yang tidak lama Indonesia akan bangkit menjadi bangsa yang besar yang gemah ripah loh jinawi. Tetapi selama Indonesia masih dijajah, terutama secara ideologi dan budaya seperti yang terjadi saat ini, maka jangan harap akan menjadi bangsa besar. Bersiaplah menjadi bangsa kacung untuk selamanya.

Mari bangun pertahanan ideologi Nusantara. Kembalikan dharma, kembalikan budayanya dan bangkitlah……….

JAYA JAYA VIJAYANTI

Translate »