Badai ganas mengamuk di tengah kegelapan. Deru angin terus-menerus menerjang, mencabut pohon-pohon besar. Awan tebal menye-limuti langit, dan halilintar menyambar-nyambar seolah tertawa. Ombak-ombak tinggi di samudera meratap seolah dirundung ke-sedihan. Serigala-serigala dan anjing melolong dengan suara sendu, dan burung-burung beterbangan menjerit dari sarangnya. Raksasa kembar Hiranyakasipu dan Hiranyaksatelah lahir.
Hari demi hari, tahun demi tahun, mereka tumbuh menjadi sema-kin tangguh, semakin jahat, dan semakin berkuasa atas semua raksasa lainnya, yang bersekutu dengan mereka. Kemudian, di bawah pimpinan Hiranyaksadan Hiranyakasipu, para Raksasa berangkat untuk menaklukkan para dewa, administrator-administrator alam semesta dan musuh bebuyutan mereka. Dalam perang untuk mem-perebutkan kuasa atas alam semesta, para Raksasa berjaya, tapi pada akhirnya Sri Visnu sendiri membunuh Hiranyaksa. Kematian sauda-ranya membuat Hiranyakasipu diliputi rasa cemas dan amarah. Ia menggigit bibirnya dan memandang ke atas dengan mata meman-carkan cahaya kemarahan yang membuat langit menjadi penuh asap. Ia mengambil trisulanya, memandang ke sekeliling dengan penuh amarah, memperlihatkan gigi-giginya yang mengerikan, dan mulai berkata-kata kepada kawan-kawannya, para Raksasa.
“Wahai kawan-kawanku,” ia berseru, “Sri Visnu semestinya bertin-dak adil terhadap para dewa dan para raksasa, tapi sekarang Dia telah memihak para dewa dan membunuh saudara tercintaku, Hiranyaksa. Atas tindakan ini aku akan memenggal kepala-Nya! Dan dengan cucuran darah-Nya aku akan membuat senang hati Hiranyaksa saudaraku, yang begitu gemar minum darah. Hanya dengan cara demikian aku bisa tenang!”
Pertama-tama, Hiranyakasipu mengirim kawan-kawannya, para raksasa, ke seluruh dunia untuk menciptakan kekacauan di kalang-an orang-orang lugu dan saleh, lalu ia pun bersiap untuk mewujud-kan rencana-rencana jahatnya sendiri. Hiranyakasipu bukan hanya ingin berkuasa atas alam semesta dan menguasai segala kesem-purnaan mistik tapi juga yang terpenting adalah ia ingin menjadi kekal. Untuk meraih tujuan yang terasa tidak mungkin diraih ini, ia pergi ke lembah Bukit Mandara dan mulai menjalani pertapaan yang keras sekali: ia berdiri di atas ujung-ujung jari kakinya dan menjaga tangannya tetap ke atas serta matanya mantap menatap langit.
Sebagai hasil dari usaha keras Hiranyakasipu, rambut-rambut di kepalanya mulai memancarkan cahaya yang secemerlang ledakan bintang. Semua sungai dan samudera bergolak, dan seluruh gunung dan pulau di muka bumi mulai bergetar. Bintang-bintang dan planet-planet berjatuhan dari surga, dan api menjilat-jilat di segala penjuru. Sedemikian lamanya Hiranyakasipu mempertahankan dirinya dalam posisi yang sangat menyakitkan itu hingga rerumputan, semak-semak bambu, dan akhirnya rumah semut yang luas membungkus badan-nya. Semut-semut menggerogoti kulit, lemak, daging, dan darah di badannya, hingga hanya tulang kerangkanya yang tersisa.
Melihat keadaannya yang mengerikan, para dewa berkata, “Hiranyakasipu yang jahat itu telah ditelan dosa-dosanya sendiri, bagai-kan seekor ular yang digerogoti semut-semut.” Merasa di atas angin seperti itu, para dewa, yang dipimpin oleh Indra, melancarkan se-rangan dahsyat ke arah para raksasa. Dengan menunjukkan kekuatan yang tak terduga, para dewa membantai para raksasa, dan untuk menyelamatkan nyawanya, panglima-panglima para raksasa berhamburan ke segala penjuru. Mereka melarikan diri dari kediam-annya dengan sangat tergesa-gesa, lupa akan istri, dan harta-ben-danya. Akhirnya, para dewa yang berjaya itu menguasai istana Hiranyakasipu dan menawan Ratu Kayadhu yang sedang hamil, salah seorang permaisuri Hiranyakasipu.
Ketika Raja Indra, pemimpin para dewa, membawa pergi Kayadhu, resi agung Narada muncul di tempat itu. “Wahai raja para dewa,” Narada berkata, “Anda tidak boleh menyeret dengan kasar seperti itu istri setia orang lain. Segera lepaskanlah dia!
Tapi, Raja Indra menjawab, “Di dalam kandungan perempuan ini ada benih raksasa tangguh Hiranyakasipu. Oleh sebab itu, biar kami tawan dia sampai dia melahirkan anaknya; baru kemudian kami akan membebaskan dia.”
Narada menjawab, “Anak di dalam kandungannya itu, yang akan dikenal dengan nama Prahlada, tidak berdosa sama sekali. Sebe-narnya, ia adalah seorang penyembah agung Tuhan—seorang abdi perkasa Sri Visnu, Personalitas Tuhan Yang Maha Esa. Anda tidak akan mampu membunuhnya.”
Mendengar hal tersebut, Raja Indra menghormati kata-kata insan suci mulia Narada dan membebaskan Ratu Kayadhu. Kemudian, setelah mengalahkan pasukan para Raksasa, para dewa kembali ke kerajaannya.
Narada membawa sang ratu ke tempat pertapaannya. Menjamin segala perlindungan baginya, Narada berkata, “Wahai anakku, ting-galah di sini sampai suamimu kembali.” Kayadhu menginginkan keselamatan putranya yang belum lahir, sehingga ia tinggal di bawah perlindungan Narada, dan mengabdi kepada sang resi dengan rasa bhakti yang besar. Oleh karena secara alami Narada sangat murah hati terhadap roh-roh yang jatuh, Narada memberi sang ratu ajaran-ajaran agama dan pengetahuan spiritual, dan kata-kata Narada bebas dari pecemaran material. Saat sang ratu mendengarkan ajaran-ajaran Narada, sang anak di dalam kandungannya juga mendengarkan de-ngan penuh perhatian ajaran-ajaran spiritual Narada. Demikianlah, bahkan sebelum kelahirannya, Prahlada telah menerima pendidikan spiritual.
Sementara itu, penduduk lain di surga mendatangi Brahma, dewa tertinggi, untuk mengadukan bahwa cahaya terik yang masih me-mancar dari kepala Hiranyakasipu telah membuat planet-planet kediaman mereka menjadi tidak nyaman lagi untuk ditinggali. Men-dengar hal tersebut, Brahma dan dewa-dewa lainnya pergi menemui Hiranyakasipu untuk membujuk dan menghentikan pertapaan keras yang dilakukannya. “Aku kagum melihat ketahananmu!” kata Brahma begitu melihat Hiranyakasipu. “Walau digerogoti oleh cacing dan semut, engkau tetap menjaga udara kehidupanmu berputar di dalam tulang-tulang badanmu. Tentu ini menakjubkan! Atas pertapaan ke-ras ini, engkau berhak mendapat berkah dariku, dan Aku siap memberi berkah apa pun yang engkau inginkan.” Setelah menyam-paikan kata-kata tersebut, Brahma memercikkan air surgawi di atas kerangka badan Hiranyakasipu. Raksasa itu pun berubah wujud mendapatkan badan muda berwarna cemerlang keemasan menya-ingi kecemerlangan sambaran petir-petir.
Hiranyakasipu langsung berkata kepada Brahma. “Berkatilah aku sehingga aku tidak bisa dibunuh oleh makhluk mana pun, tidak mati di dalam ataupun di luar kediaman mana pun, tidak mati saat siang ataupun malam, di tanah maupun di udara, tidak bisa dibunuh oleh makhluk mana pun yang Anda ciptakan, tidak bisa dibunuh oleh senjata apa pun, oleh manusia ataupun binatang—dengan kata lain, tidak bisa dibunuh oleh makhluk mana pun, baik yang hidup maupun tidak hidup, tanpa tandingan, berkuasa atas semua makh-luk hidup dan pemimpin-pemimpin mereka, dan mendapatkan segala kekuatan mistik.”
Setelah Brahma memenuhi semua permintaan itu, Hiranyakasipu berseru, “Akhirnya, sekarang aku kekal dan tak terkalahkan! Seka-rang aku akan menantang Visnu dan membalas dendam atas kema-tian saudaraku!”
Dalam waktu singkat, Hiranyakasipu menaklukkan semua planet di alam semesta, menduduki istana mewah Raja Indra, dan memaksa para dewa untuk bersujud di kakinya. Ia bahkan merampas persem-bahan-persembahan korban suci yang dimaksudkan untuk para dewa. Hiranyakasipu memerintah dengan sangat kejam, dan ia selalu mabuk karena meminum anggur dan minuman-minuman keras lain-nya yang berbau sangat menyengat.
Pada saat yang sama Ratu Kayadhu kembali ke istana suaminya dan melahirkan seorang putra—Prahlada. Prahlada adalah sumber segala sifat rohani sebab Prahlada adalah seorang penyembah-murni Tuhan. Berkemantapan hati untuk mengerti Kebenaran Mutlak, Prahlada mengendalikan sepenuhnya indera dan pikirannya. Ia berbelas kasih terhadap semua makhluk dan menjadi kawan baik semua orang. Terhadap pribadi-pribadi yang terhormat, ia ber-perilaku layaknya seorang abdi rendah, terhadap orang malang ia bagaikan seorang ayah, dan terhadap rekan sederajatnya ia bagai-kan seorang saudara yang penuh rasa simpati. Selalu bersikap rendah hati, ia memandang guru-gurunya, guru spiritual, dan sau-dara-saudara seguru yang berusia lebih tua darinya sebagai sebaik Tuhan sendiri. Memang, ia sama sekali tanpa rasa sombong yang bisa saja muncul akibat pendidikannya yang baik, kekayaan, keru-pawanan, dan kelahiran dalam keluarga bangsawan.
Hiranyakasipu tidak mengetahui bahwa Prahlada telah belajar tentang bhakti saat berada di dalam kandungan ibunya. Sehingga, ketika Prahlada menginjak usia lima tahun, Hiranyakasipu mengirim Prahlada bersekolah untuk mendapatkan pendidikan materialistik. Prahlada menempuh pendidikan bersama putra-putra Raksasa lainnya. Di sekolah, ia mendengarkan pelajaran-pelajaran tentang politik dan ekonomi, tapi ia tidak menyukainya sebab dalam mata pelajaran yang demikian murid diajarkan untuk memandang satu pihak sebagai kawan dan pihak lain sebagai musuh.
Setelah Prahlada menjalani pendidikan selama beberapa waktu, suatu ketika Hiranyakasipu memangku Prahlada dan bertanya de-ngan penuh kasih sayang, “Putraku tercinta, ceritakanlah kepada ayah tentang mata pelajaran yang paling engkau sukai di sekolah.”
Prahlada menjawab, “Wahai raja kaum Raksasa, sejauh mengenai yang saya pelajari dari guru spiritual saya, siapa pun yang mengang-gap bahwa badan dan kehidupan berumah tangganya yang bersifat sementara ini sebagai kesejatian pasti akan dihantui kecemasan, sebab ia telah jatuh ke dalam sumur kering, gelap dan hanya dipenuhi penderitaan. Hendaknya ia segera meninggalkan rumah, pergi ke tengah hutan, dan berlindung kepada Tuhan.”
Tersentak, Hiranyakasipu tertawa sinis lalu berkata, “Seperti inilah kecerdasan seorang anak yang telah tercemari oleh kata-kata musuh!” Hiranyakasipu memerintahkan kepada prajuritnya, “Jaga ketat anak ini di sekolah. Para penyembah Tuhan bisa jadi datang ke sekolah-nya dengan menyamar. Karena itu, jaga jangan sampai kecerdasan anak ini dipengaruhi lebih lanjut oleh mereka.”
Setelah membawa kembali Prahlada ke sekolah, guru-guru Prahlada (berkata kepadanya, “Prahlada yang baik, segala kedamaian dan kemujuran bagimu. Sekarang, kami ingin mengajukan beberapa pertanyaan kepadamu, jadi janganlah berbohong; jawablah dengan jujur. Anak-anak lain di sini tidaklah seperti dirimu; mereka tidaklah berbicara dengan cara yang menyim-pang tentang ‘Tuhan’. Dari mana engkau mendapat ajaran-ajaran seperti itu? Apakah musuh-musuh kita telah mencemari dirimu?”
Prahlada menjawab, “Izinkan hamba menyampaikan sembah sujud penuh hormat kepada Tuhan Yang Maha Esa, yang menyesatkan orang-orang yang berada di dunia sehingga di dalam pikiran mereka tercipta pembedaan-pembedaan seperti ‘kawan’ dan ‘musuh’. Sekarang hamba benar-benar melihat ketersesatan yang demikian, yang sebelumnya telah hamba dengar dari otiritas-otoritas yang terpelajar.
“Oleh karena kita semua adalah abdi-abadi Tuhan, kita tidak berbeda satu sama lain, tapi orang-orang yang tidak menyadari keberadaan Tuhan di dalam dirinya selalu berpikir dalam ranah ‘kawan’ dan ‘musuh’.  Tuhan Yang Maha Esa yang sama yang telah menciptakan keadaan ini telah memberi hamba kecerdasan untuk berpihak pada yang Anda sebut-sebut musuh. Sebagaimana besi ditarik oleh magnet, hamba tertarik kepada Tuhan.”
Guru-guru Prahlada menjadi gusar.
“Ambilkan tongkat!”
“Prahlada telah merusak nama baik kita!”
“Ia harus dihukum!”
Terus mengancam Prahlada, Sanda dan Amarka mulai mengajari Prahlada tentang cara-cara keagamaan palsu yang penuh kedunia-wian, cara menimbun kekayaan, dan kepuasan inderawi. Setelah beberapa waktu, mereka kembali membawa Prahlada ke hadapan ayahnya. Ketika Hiranyakasipu melihat Prahlada bersujud di ha-dapannya, dengan penuh kasih sayang ia memberkati putranya dan dengan riang gembira memeluk sang putra. Hiranyakasipu mendu-dukkan Prahlada di pangkuannya, sementara air mata haru menetes dari matanya ke wajah sang anak yang tersenyum, lalu berkata ke-pada putranya.
“Prahlada putraku tercinta,” ia memulai. “Sudah cukup lama eng-kau mendengarkan begitu banyak hal dari guru-gurumu. Sekarang, sampaikan kepada ayah bagian mana dari pengetahuan tersebut yang engkau anggap paling baik.”
Tanpa rasa takut, Prahlada berkata, “Mendengarkan dan meng-ucapkan tentang nama suci, wujud, sifat, perlengkapan, dan kegiatan Tuhan Yang Maha Esa; mengingat hal-hal tersebut; melayani kaki-padma Tuhan; mempersembahkan pemujaan penuh hormat kepada Tuhan dengan enam belas jenis sarana; memanjatkan doa-doa ke-pada Tuhan; menjadi pelayan Tuhan; menjadikan Tuhan sebagai kawan terbaik; dan berserah-diri kepada Tuhan (dengan kata lain, melayani Tuhan dengan badan, pikiran, dan kata-kata)—sembilan proses ini dikenal sebagai bhakti yang murni, dan hamba meman-dang siapa pun yang mempersembahkan hidupnya bagi pelayanan kepada Tuhan Yang Maha Esa melalui sembilan cara ini sebagai orang yang paling bijaksana, sebab ia telah memperoleh penge-tahuan yang lengkap.”
Bibirnya gemetar karena marah, Hiranyakasipu menoleh ke arah Sanda. “Omong kosong apa ini! Sudah jadi ‘brahmana’ engkau se-karang! Engkau telah mengabaikan perintahku! Engkau telah berlin-dung kepada musuh-musuhku! Engkau telah mengajarkan tentang bhakti kepada anak malang ini!”
Sanda dengan cepat membantah, “Wahai Raja, wahai musuh Indra! Apa pun yang dikatakan putra Anda itu bukanlah kami atau siapa pun yang lain yang mengajarkan. Bhakti-nya berkembang dengan sendirinya. Mohon hentikan amarah Anda. Jangan salahkan kami!”
Hiranyakasipu berpaling kepada putranya dan berkata, “Engkau anak kurang ajar! Anggota paling terkutuk dalam keluarga kita! Jika bukan guru-gurumu yang mengajarimu semua ini, lalu siapa yang mengajarimu?!”
Prahlada menjawab, “Orang-orang yang menerima orang buta yang terikat pada obyek-obyek indera lahiriah sebagai pemimpinnya tidak dapat mengerti bahwa tujuan kehidupan adalah untuk pulang, kembali kepada Tuhan, untuk tekun dalam bhakti kepada Sri Visnu. Hanya jika orang-orang yang demikian berlindung di kaki-padma seorang penyembah Sri Visnumereka bisa terbebas dari pencemaran material.”
Dibutakan oleh amarah, Hiranyakasipu melempar Prahlada dari pangkuannya ke lantai. “Pelayan! Bawa dia pergi dan segera bunuh dia!” ia berteriak. “Dengan menjadi penyembah Visnu, Prahlada telah menjadi pembunuh saudaraku! Dia adalah ancaman, bagian badan yang terjangkit racun di tengah keluarga kita, dan dia harus segera disingkirkan! Bunuh dia! Jangan ditunda lagi!”
Abdi-abdi Hiranyakasipu, Raksasa-Raksasa yang berwajah menge-rikan, dengan gigi-gigi yang tajam, dan janggut kemerahan, lalu mulai menusuk badan lembut Prahlada dengan trisula-trisula mereka. Me-reka berseru, “Tusuk dia! Tusuk dia!”
Akan tetapi, Prahlada duduk tenang dan memusatkan pikiran kepada Personalitas Tuhan Yang Maha Esa, dan senjata-senjata para Raksasa tidak mempan di badannya. Melihat hal ini, Hiranyakasipu menjadi takut lalu menyusun berbagai cara untuk membunuh putra-nya. Ia melempar Prahlada ke bawah kaki gajah; ia melempar Prahlada ke tengah-tengah ular-ular besar yang sangat mengerikan; ia mengutuk Prahlada dengan membacakan mantra-mantra kutukan; ia melempar Prahlada dari puncak bukit; ia menciptakan ilusi-ilusi berupa bayangan-bayangan menakutkan; ia meracun Prahlada; ia tidak memberi makan Prahlada; ia menempatkan Prahlada di tengah-tengah situasi dingin menyengat, angin, api, dan air; ia bahkan melempari Prahlada dengan batu-batu besar untuk meremukkan Prahlada. Tapi, selama berlangsungnya penyiksaan ini, Prahlada hanya memusatkan pikiran kepada Sri Visnu, sehingga Prahlada tetap tak terluka. Hiranyakasipu menjadi sangat penasaran memi-kirkan apa lagi yang harus dilakukannya.
Tapi Sanda dan Amarka masih menyimpan harapan bahwa me-reka akan mampu mengubah sang anak atas kekuatan ajaran-ajaran mereka. Jadi, sekali lagi Hiranyakasipu menyerahkan Prahlada di bawah didikan mereka, dan sekali lagi mereka mengajari Prahlada secara sistematis dan tak kenal lelah tentang keagamaan palsu yang penuh keduniawian, cara mengeruk kekayaan, dan kepuasan in-derawi. Tapi, manakala guru-guru meninggalkan ruang kelas untuk mengurus urusan rumah tangga mereka, Prahlada berceramah ke-pada teman-teman sekelasnya tentang sia-sianya kehidupan mate-rialistik. Kawan-kawannya mencintai dan menghormati Prahlada, dan disebabkan oleh usia mereka yang masih belia, mereka belum begitu dicemari oleh ajaran-ajaran gurunya. Demikianlah, mereka mendengarkan dengan penuh perhatian kata-kata Prahlada.
“Seseorang yang cukup cerdas,” Prahlada menyampaikan kepada mereka, “hendaknya berlatih bhakti sejak awal hidupnya, meninggalkan segala kesibukan lainnya. Badan sebagai manusia ini jarang sekali dicapai, walau badan ini juga bersifat sementara layaknya jenis-jenis badan yang lain. Dengan badan manusia, kita dapat me-laksanakan bhakti kepada Tuhan, dan bahkan sedikit saja bhakti yang tulus dapat memberi kita kesempurnaan yang lengkap.
“Bentuk kehidupan sebagai manusia menyediakan kesempatan kepada kita untuk pulang, kembali kepada Tuhan. Oleh sebab itu, semua makhluk hidup, khususnya umat manusia, harus melayani kaki-padma Sri Visnu. Pelayanan suci ini adalah hal yang alami sebab Sri Visnu, Personalitas Tuhan Yang Maha Esa, adalah kawan tercinta, tuan, dan yang mengharapkan kebaikan semua orang.
“Hendaknya kita tidak berusaha untuk mendapatkan kepuasan inderawi saja, sebab hal itu hanya bermuara pada terbuang-buangnya waktu dan tenaga, tanpa manfaat spiritual yang nyata. Tapi, jika kita berusaha melayani Sri Visnu, maka pasti kita dapat mencapai keinsafan jati diri.”
Semua putra para Raksasa menghargai ajaran-ajaran rohani Prahlada, dan mereka menyikapinya dengan sangat serius. Tapi Sanda dan Amarka menjadi takut. Mereka melihat bahwa dengan bergaul bersama Prahlada, murid-murid mereka menjadi penyembah Sri Visnu. Ketika kedua guru ini menghadap Hiranyakasipu dan meng-uraikan situasi yang berkembang, Hiranyakasipu menjadi marah besar. Badanya gemetar karena marah dan mendesis bagaikan ular yang terinjak, Hiranyakasipu memanggil putranya.
Ketika Prahlada datang di hadapan ayahnya, tangannya diikat, dan Prahlada nampak damai dan tenang. Hiranyakasipu menatap Prahlada dengan bengis dan memarahinya dengan kasar: “Wahai pembuat masalah yang kurang ajar dan dungu! Wahai sampah bumi, engkau telah menantang kekuatanku, karena itu engkau adalah orang bodoh yang keras kepala! Hari ini aku akan mengantarkan kematianmu! Prahlada, kau kurang ajar, kau tahu bahwa jika aku marah maka semua planet di alam semesta bergetar! Katakan ke-padaku—atas kekuatan siapa engkau menjadi begitu lancang dan tanpa rasa takut?”
Dengan tenang Prahlada menjawab, “Wahai Rajaku yang baik, sumber kekuatan hamba adalah sumber kekuatan Anda juga, dan merupakan sumber kekuatan semua orang. Baik makhluk hidup yang dapat berpindah tempat ataupun yang tidak dapat berpindah tempat, berderajat tinggi atau berderajat rendah, semua berada di bawah kendali Personalitas Tuhan Yang Maha Esa yang maha-perkasa.”
“Engkau mengatakan bahwa ada makhluk yang lebih hebat dari-pada diriku,” kata Hiranyakasipu, “tapi di mana Dia? Jika Dia ada di mana-mana, maka mengapa Dia tidak ada di dalam tiang yang engkau lihat di hadapanmu ini? Apakah menurutmu Dia ada di tiang ini?”
“Ya,” Prahlada menjawab, “Dia ada di sana.”
Kemarahan Hiranyakasipu semakin menjadi-jadi. “Karena engkau berbicara omong kosong seperti itu,” ia berkata, “Aku akan memeng-gal kepalamu sekarang! Sekarang coba kita lihat bagaimana Tuhan pujaanmu datang untuk melindungimu!”
Maka kemudian tepat pada saat itu, dari tiang yang sama yang ditunjuk oleh Hiranyakasipu, muncul wujud yang menakjubkan dan mengerikan, wujud yang belum pernah dilihat sebelumnya. Wujud itu setengah manusia setengah singa, dengan mata marah bagai emas cair, rambut wajah yang bersinar meluaskan ukuran wajah-Nya yang menakutkan, dan lidah setajam pisau silet yang bergerak-gerak bagai pedang sedang bertarung. Personalitas Tuhan Yang Maha Esa telah berinkarnasi dalam wujud amarah-Nya sebagai Tuhan Sri Narasimha deva.
Kaget dan bingung, Hiranyakasipu memandang Sri Narasimha, lalu mengambil gadanya dan menyerang Sri Narasimha dengan penuh keberanian. Sri Narasimha mempermainkan Hiranyakasipu persis se-perti seekor elang mempermainkan seekor ular, berkali-kali mem-biarkan dia lolos dari ancaman kuku-kuku tangan padma-Nya. Akhirnya, Tuhan menangkap Hiranyakasipu dan meletakkan Hiranyakasipu di atas pangkuan-Nya. Kemudian, di pintu balairung istana, dengan mudah sekali Sri Narasimha merobek-robek badan Hiranyakasipu.
Dengan kecerdikan rohani-Nya, Sri Narasimha dapat membunuh Hiranyakasipu tanpa melanggar berkah-berkah yang telah dberikan Brahma. Eksekusi itu terjadi bukan di dalam ataupun di luar ruangan, tapi di pintu; bukan di tanah ataupun di udara, tapi di atas pangkuan Sri Narasimha; bukan saat siang hari ataupun malam hari, tapi saat senja; bukan oleh manusia, binatang, atau dewa ataupun makhluk ciptaan mana pun, tapi oleh Personalitas Tuhan Yang Maha Esa; dan bukan oleh senjata apa pun, tapi dengan tangan padma Tuhan sendiri.
Para dewa menaburi Sri Narasimha dengan bunga lalu meman-jatkan doa-doa penuh hormat, mengagungkan Sri Narasimha dan berterimakasih karena telah menyelamatkan alam semesta dari penindasan Hiranyakasipu. Prahlada juga memanjatkan doa-doa yang sangat indah ke hadapan Tuhan, dan hanya meminta kepada-Nya kekuatan untuk melayani dan mencintai Dia. Ketika Narasimha-deva mempersilakan Prahlada untuk meminta berkah, sang anak hanya meminta agar Sri Narasimha menyelamatkan semua orang, termasuk ayahnya yang jahat, dari kelahiran dan kematian yang dialami berulangkali di dunia ini. Atas kekuatan latihan bhakti yang diterimanya dari Narada sang penyembah murni Tuhan, Prahlada menjadikan hidupnya sukses—ia selalu ingat pada Tuhan dan me-muaskan Tuhan dengan cinta kasih bhakti-nya.

Dapatkan eBook-nya pada link di bawah ini.

Download

Translate »