Di pojok sebuah pura berkumpullah bapak-bapak yang sedang sibuk membuat segala perlengkapan upacara untuk kegiatan ngaben ngerit. Sebagian dari bapak-bapak itu adalah bapak-bapak muda yang notabene didominasi oleh pekerja kantoran, sedangkan sisanya adalah golongan tua yang sudah hidup mapan dari hasil pertanian. Beberapa bapak-bapak muda memulai berkomentar dengan berkata kepada generasi tua; “ Kakek, ke mana anakmu, kok yang ngayah hanya kakek yang sudah tua renta?”. Gayung bersambut, sang bapak muda menjawab, “aduh si blayun ga dapat libur, setahun hanya dapat jatah cuti 14 hari katanya dan sudah habis buat upacara bulan lalu”. Bapak muda yang lain menyahut: “Yah… saya tahun lalu dipecat dari hotel karena sering bolos kerja. Mau bagaimana lagi, saya sudah tidak punya orang tua buat gantiin ngayah, tetapi ayahan di desa makin banyak. Pilihan saya hanya dipecat dari kantor atau dipecat dari desa. Memang beragama Hindu itu susah ya…”. Diskusi yang sama juga terjadi di sebuah rumah tempat ibu-ibu sedang berkumpul dalam rangka menjejahitan. Sambil bersenda-gurau seorang ibu muda bergumam; “kok ribet begini kita bikin banten ya? Banten ini sudah kita buat 2 minggu lebih, padahal hanya untuk upacara 3 jam dan setelah itu dibuang sebagai sampah”. Pernyataan tersebut disambung oleh ibu tua dengan jawaban; “Ya beginilah kalau mau beragama Bali, sudah menjadi risiko kita”. Agama Hindu susah, ribet, risiko? Inilah fenomena yang sedang terjadi dan bagaikan api dalam sekam di masyarakat Hindu khususnya di Bali. Agama seolah-olah menjadi sumber masalah yang menambah susahnya kehidupan modern yang semakin menjepit.

Saya terlahir dari keluarga Hindu Bali, dari sejak SD mendapat pelajaran agama Hindu. Dari seluruh pelajaran yang saya dapatkan, hal mendasar yang selalu menjadi semboyan dalam agama Hindu adalah “Moksatram Jagadhita Ya Ca iti Dharma”, atau jika diterjemahkan artinya kurang lebih “Tujuan dari Dharma (Agama) adalah mencapai kebahagiaan material (Jagadhita) dan kebahagiaan rohani (Moksa). Sebuah slogan yang sangat ideal bukan? Lalu bagaimana praktiknya di lapangan? Sebagaimana contoh percakapan bapak-bapak dan ibu-ibu di atas, ke mana semakin banyak orang yang beragama Hindu malah merasakan tidak bahagia secara material? Kenapa banyak yang stres karena membuat banten, kenapa banyak yang dipecat karena urusan ngayah? Dan yang lebih memprihatinkan lagi, kenapa banyak yang sampai jual tanah warisan hanya demi melaksanakan sebuah upacara? Bagaimana dengan Anda, sudahkah Anda berbahagia dengan beragama?

Kalau dengan beragama kita merasa tidak bahagia, maka pasti ada yang salah dengan agama kita, atau cara kita beragama. Dalam banyak sloka-sloka yang disampaikan berkali-kali dalam pelajaran formal dan dharma wacana selalu mengatakan bahwa Hindu adalah agama yang paling fleksibel yang dapat diterapkan dalam kondisi apa pun. Hal ini dibuktikan dengan luwesnya penerapan Hindu sehingga dapat muncul dalam berbagai warna dan rupa di banyak tempat di muka bumi. Wajah Hindu India sangat berbeda dengan Bali, Jawa, Kalimantan, Bugis dan bahkan Hindu di Amerika. Itu artinya, seharusnya tidak ada masalah apa pun dalam beragama Hindu bukan? Dengan kata lain, sejatinya tidak ada yang salah dengan agama kita.

Kesalahan kita terletak pada cara kita beragama. Budaya Hindu Bali yang ada saat ini berbasis pada budaya kerajaan dan bersifat agraris. Dengan kehidupan agraris dengan latar kehidupan tradisional, masyarakat memiliki waktu luang yang sangat banyak setelah kegiatan bercocok tanam. Waktu luang yang banyak tersebut mereka gunakan untuk bersosialisasi dengan menjadikan kegiatan keagamaan sebagai wadahnya. Dengan adanya kegiatan upacara, festival keagamaan, termasuk pertunjukkan kesenian merupakan bentuk hiburan yang paling menawan buat masyarakat di kala itu yang membuat kehidupan material mereka semakin berbahagia. Permasalahannya adalah, jaman sekarang kehidupan masyarakat sudah bergeser dari kehidupan agraris menjadi kehidupan industri yang serba cepat dan berkejaran dengan waktu. Bentuk hiburan juga mengalami pergeseran dari hiburan rakyat menuju serba elektronik. Kelompok sosialisasi mulai bergeser dari wadah keagamaan menjadi kelompok profesi, dan bahkan sosial media berbasis dunia maya. Hal ini membuat bentuk nilai-nilai kebahagian masyarakat modern mengalami pergeseran drastis. Sebagai akibatnya, pola-pola keagamaan lama menjadi membosankan dan bahkan memicu stres. Belum lagi ditambah persaingan ekonomi antara masyarakat lokal dengan pendatang yang membuat semuanya semakin tidak menguntungkan. Sehingga dengan kondisi seperti ini, pilihan hanya ada dua, yaitu tinggalkan pola kehidupan modern dan kembali ke kehidupan tradisional sehingga praktik keagamaan tradisional dapat diterapkan, atau lakukan revolusi terhadap praktik keagamaan tradisional agar menyesuaikan dengan perkembangan jaman.

Namun jika kedua usaha tersebut juga gagal, maka masalahnya adalah ada pada agama itu sendiri. Pernah suatu ketika seorang teman curhat dan mengatakan kenapa semakin dia mempelajari agamanya malah membuat dirinya merasa semakin tertekan. Dia merasa bahwa agamanya membuatnya semakin menjauhi kehidupan sosial, mengobarkan kebencian kepada orang lain yang tidak sealiran dengannnya yang membuat terdapat pertentangan batin antara hati kecilnya. Jika hal seperti ini yang menimpa anda, maka lebih berhati-hatilah.

Jadi mari tanyakan pada hati anda yang paling dalam, sudahkah anda berbahagia dengan beragama?

Kalau dengan beragama kita merasa tidak bahagia, maka pasti ada yang salah dengan agama kita, atau cara kita beragama.
Translate »