Kejadian itu sudah berlalu lebih dari 1 tahun, namun terdapat satu momen yang belum bisa saya lupakan. Saat itu adalah sebuah seminar biasa yang hanya selevel kampus. Namun demikian, karena merupakan kelas Internasional, maka sudah barang tentu pesertanya berasal dari berbagai negara. Seminar tersebut sebenarnya tidak ada kaitannya dengan agama, tetapi entah kenapa agama malah menjadi salah satu topik yang sangat menarik. Topik utama dari seminar tersebut adalah bagaimana teknologi dapat mendorong kemajuan ekonomi suatu bangsa.

Seorang teman dari Bhutan menjabarkan bawah negaranya adalah negara yang kecil dan miskin yang tidak dapat dibandingkan dengan negara-negara maju. Namun di sisi lain dia menjelaskan bahwa dia merasa lebih bahagia tinggal di Bhutan jika dibandingkan dengan tinggal di Jepang. Salah satu poin penting yang dia sampaikan adalah bahwasanya Bhutan tidak menjadikan Gross Domestic Product (GDP) sebagai acuan dalam pembangunan negaranya. Bhutan memilih Gross National Happiness Index, atau indeks kebahagiaan nasional sebagai tolok ukur yang dijadikan pondasi pembangunannya. Hal tersebut membuat pola pembangunan di Bhutan tidak terpaku pada seberapa besar kemajuan teknologi dan ekonomi di negaranya, melainkan bagaimana negara harus memberi jaminan bahwa semua warganya hidup dalam kebahagiaan meskipun hidup dalam keadaan ekonomi rata-rata.

Setelah itu tibalah saatnya saya menjabarkan bagaimana kondisi Indonesia dalam mendukung pertumbuhan teknologi dan ekonominya. Diskusi saya buka dengan menjabarkan bagaimana postur pos anggaran negara yang didominasi oleh anggaran untuk pertahanan. Hal ini wajar mengingat isu pertahanan dan keamanan masih menjadi isu krusial. Namun forum menjadi ramai setelah saya mengatakan bahwa pos pengeluaran terbesar ada pada kementerian agama. Hampir semua peserta menjadi penasaran apa output dari pos anggaran yang begitu besar untuk agama di Indonesia. Sebagai negara teokrasi, teman dari Bhutan mempertanyakan apakah Indonesia menerapkan Gross National Happiness Index seperti negaranya sehingga menjadikan agama sebagai prioritas utama? Teman dari negara sekuler dari Jepang dan termasuk Vietnam malah berkomentar, apakah pengeluaran yang begitu besar tersebut bisa menjamin masyarakat Indonesia akan masuk surga setelah meninggal? Itulah titik awal diskusi yang awalnya bermaksud menjabarkan mengenai teknologi dan ekonomi malah menjurus pada agama.

Jujur, saya tidak dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan peserta seminar mengenai mengapa Indonesia menganggarkan pos pengeluarannya yang begitu besar pada kementerian agama. Pos anggaran yang bahkan jauh lebih besar dari pada kepentingan penelitian dan pengembangan teknologi. Jika pola pembangunan Indonesia seperti halnya Bhutan yang mengutamakan kebahagiaan hidup penduduknya dari pada pertumbuhan ekonomi, mungkin hal tersebut wajar. Namun dalam hal ini, Indonesia menerapkan pertumbuhan sebagai tolok ukur. Padahal di sisi lain, pertumbuhan ekonomi memiliki korelasi yang sangat erat dengan pendidikan dan perkembangan teknologi. Namun apa pun itu, mari akhiri kisah tersebut sampai di sini dan biarlah menjadi pertanyaan di dalam hati.

Dengan besarnya perhatian pemerintah pada agama di Indonesia, menjadikan Indonesia sebagai salah satu negara yang dapat dikatakan paling religius di dunia. Agama menjadi identitas yang begitu penting. Saking pentingnya, jangankan untuk urusan politik, bahkan saat ingin berbelanja online pun tidak segan calon pembeli mempertanyakan apa agama si penjual. Mungkin bagi sebagian pembeli menjadi suatu yang haram untuk berbelanja dari orang yang berbeda agama. Entah lah… tapi itulah fenomena yang sedang terjadi di Indonesia. Identitas agama menjadi suatu yang krusial dan fundamental yang seolah-oleh lebih penting dari sandang, pangan dan papan.

Ada sebuah pernyataan yang menarik yang entah siapa yang pertama kali mencetuskannya. Dalam pernyataan tersebut dikatakan bahwa agama itu bagaikan alat kelamin. Agama memang adalah sesuatu yang sangat penting, namun di sisi lain, agama sebenarnya bukan sesuatu yang harus dipamerkan ke khalayak umum, apa lagi memaksa seseorang untuk memeluk alat kelamin tersebut. Pernyataan yang sangat menggelitik dan masuk akal bukan? Pernyataan yang sudah diterapkan dengan sangat baik di negara sekuler seperti Jepang, tetapi hampir tidak berlaku di negara religius seperti Indonesia.

Kemudahan akses terhadap teknologi informasi, terutama media sosial saat ini membuat hampir semua orang bisa memberitakan tentang dirinya sendiri. Melalui status pribadinya tersebut, kita dapat membaca bagaimana kondisi psikologinya, bagaimana haluan politiknya, bagaimana keyakinannya, apa yang dia suka dan tidak suka, dan bahkan tingkat kegalauannya. Banyak orang yang tampak taat pada agamanya, tetapi selalu menunjukkan rasa benci pada penganut agama yang lain. Dia tidak suka dengan penganut Yahudi sehingga mengatakan bahwa Yahudi keturunan Babi. Dia tidak suka dengan penganut Kristen sehingga merasa anti pati pada semua yang berbau salib. Dia tidak suka dengan Islam yang sudah lengket dengan label teroris. Dia sangat membenci Hindu dan Buddha, lebih-lebih penganut kepercayaan karena dicap sebagai pemuja berhala. Ketidaksukaannya tersebut bagaikan mendarah daging dalam sanubarinya sehingga dalam setiap kesempatan mereka sampaikan lewat hujatan dan kecaman di media sosial. Sekarang pertanyaannya adalah, apakah dengan sikap benci dan hujatan tersebut membuat mereka bahagia? Apa iya kebahagiaan sejati dapat diperoleh dari hujatan dan kebencian? 100% saya berani mengatakan tidak mungkin. Orang yang menanam rasa benci di dalam dirinya tidak akan pernah tenang dalam menjalani kehidupan. Rasa benci bagaikan duri dalam daging yang akan selalu mengusik dirinya. Dengan pikiran yang dipenuhi dengan kebencian, akan membuat hidup mereka juga tidak bahagian.

Pikiran memang menjadi salah satu komponen terpenting dalam kebahagiaan. Tetapi di sisi lain adat dan kebiasaan ternyata juga memberi sumbangsih tambahan dalam pencapaian kebahagiaan itu sendiri. Ibu saya pernah berkeluh kesah dan merasa stress saat harus membuat banyak Banten untuk rainan. Sedangkan di sisi lain dia sedang sibuk dengan banyak pekerjaan lain. Akibatnya membeli canang adalah pilihan yang tidak terelakkan.

Permasalahannya adalah, Banten merupakan perwujudan bhakti generasi masa lalu yang diwujudkan dalam bentuk seni mejejahitan. Melalui seni itu mereka memfokuskan pikiran kepada Tuhan. Sehingga dengan demikian, kegiatan membuat Banten adalah wujud meditasi mereka. Kegiatan membuat Banten yang dilakukan secara bergotong royong juga menjadi media sosialisasi yang sangat efektif bagi masyarakat agraris pada masa itu. Meditasi membuat banten dan kegiatan sosialisasi gotong royong membawa kebahagiaan bagi mereka. Tapi bagaimana dengan kondisi saat ini dimana kehidupan agraris sudah bergeser menuju kehidupan industri? Pilihan untuk meninggalkan kehidupan agraris di desa dan terjun pada dunia industri membuat ritme kehidupan menjadi berubah. Libur cuti hanya dijatah 2 minggu dalam 1 tahun. Padahal jumlah rerainan dan upacara adat di desa jauh melebihi jumlah itu. Kondisi tersebut membuat sebagian orang merasa stress karena tidak bisa membuat banten, tidak ada waktu ikut ngayah di desa, dan seterusnya. Akibatnya muncullah istilah “mayah ayahan” sebagai wujud ketidakhadiran dalam pelaksanaan suatu gotong royong di desa adat. Bisnis jual beli Banten juga semakin menjamur di mana-mana. Jika orang yang membeli ayahan dan Banten itu adalah orang yang kaya, mungkin tidak menjadi masalah. Tetapi jika hanya seorang karyawan hotel rendahan dengan gaji pas-pasan per bulannya? Hidup mereka akan semakin stress dan bukannya tidak mungkin mereka akan menjual harta warisan sedikit demi sedikit demi memenuhi kebutuhan beragama. Dalam kondisi seperti itu sudah dapat dipastikan bahwa agama akan membuat mereka tidak bahagia bukan?

Jika hal-hal di atas juga Anda alami, maka ada baiknya merenungkan ungkapan yang menyatakan; “Tujuan agama adalah untuk mencapai kebahagiaan duniawi dan rohani (Jagathita ya ca iti dharma), jika dengan beragama Anda tidak merasakan kebahagiaan, maka ada yang salah dengan cara Anda beragama, atau agama Anda itu sendiri”. Jika ajaran agama membuat Anda mengembangkan rasa benci pada makhluk hidup lain, maka ajaran agama Anda itulah yang salah, dan sudah sepatutnya anda tinggalkan. Jika adat istiadat dan kebiasaan yang membuat anda stress, maka itu berarti ada yang salah dengan cara anda beragama. Bukannya tidak mungkin adat istiadat yang sedang anda ikuti saat ini sudah tidak cocok dengan kondisi perkembangan jaman. Hukum seleksi alam berlaku tidak hanya untuk binatang, tetapi juga untuk manusia. Barang siapa yang tidak dapat menyesuaikan diri dengan perubahan jaman, maka sang jaman akan menggerus dan memusnahkan mereka. Karena itu Krishna pada Bhagavad Gita mengatakan bahwa tata nilai yang berlaku pada saat itu akan terus berubah mengikuti sang waktu dan akan digantikan oleh tata nilai yang baru.

Sekali lagi, jika ada di antara anda yang merasa tidak bahagia dengan beragama, maka bertanyalah pada diri anda sendiri, pasti ada yang salah entah itu pada ajaran agama anda, atau pada bagaimana anda menjalankan ajaran agama tersebut.

 

Om tat sat,-

 

Translate »