30 tahun telah berlalu, kala itu saya masih belum menginjak bangku TK, masih ingat kuat setiap lirik tembang yang dinyanyikan bapak seraya menggiring saya ke peraduan. Salah satu dari sekian banyak tembang-tembang klasik Bali tersebut adalah Pupuh Ginanti dengan lirik sebagai berikut:

“Saking tuhu manah guru

Mituturin cening mangkin

Kaweruhin luir senjata

Ne dadi prabotan sai

Ka anggen ngaruruh merta

Saenun ceninge urip”

Lirik singkat tersebut kurang lebih memiliki makna bagaimana orang tua memberikan wejangan bahwasanya ilmu pengetahuan itu adalah bagaikan senjata. Senjata yang dapat digunakan dalam banyak hal dalam kehidupan selama hayat dikandung badan. Sebuah pesan mendalam yang baru benar-benar saya rasakan manfaatnya saat ini.

Menginjak usia kepala tiga ini, saya belum memiliki rumah mewah dengan lokasi strategis, tidak ada deposito bank yang fantastis dan tidak juga diantar mobil mewah setiap harinya. Di negeri matahari terbit ini, saya hanya ditemani sebuah sepeda butut ke mana pun pergi baik dikala matahari menyengat, maupun saat musim dingin menusuk tulang. Materi yang saya peroleh hanya cukup untuk menjalani moto hidup “Simple Living High Thinking”, sebuah moto kehidupan yang pertama kali saya kenal dari Narayana Smrti Ashram. Sebuah kondisi yang sangat berbeda dengan sahabat karib saya yang kebetulan hanya mengenyam pendidikan sampai bangku SMA. Sehabis SMA dia memutuskan merintih sebuah usaha yang dia geluti dari nol. Dengan kegigihannya, usaha yang telah memiliki omset ratusan juta per bulannya tersebut telah sukses membawa kehidupannya bergeser dari kelompok kelas menengah menjadi kelas atas. Kondisi yang sangat berbeda bukan? Lalu di mana letak kebenaran Pupuh Ginanti di atas kalau ilmu dengan sekolah tinggi-tinggi tidak bisa membawa kita pada kekayaan material?

Tidak hanya satu kali, sudah puluhan kali orang bertanya dan berkomentar mulai dari ibu saya sendiri, sahabat karib yang sudah sukses menjadi pengusaha dan orang-orang dekat lainnya mengenai “hobby” saya bersekolah. Buat apa sih sekolah tinggi-tinggi, membaca banyak buku jika pada akhirnya tidak bisa menghantarkan pada kekayaan? Iya, jika dihitung-hitung semua biaya yang saya gunakan untuk bersekolah diakumulasi termasuk biaya hidupnya mungkin sudah milyaran rupiah. Coba bayangkan jika biaya sebesar itu digunakan sebagai modal usaha, mungkin omsetnya juga akan sama besarnya dengan omset sahabat karib saya yang telah sukses itu bukan? Untungnya sebagian besar dari biaya sekolah tersebut didapat dari beasiswa. Kalau tidak, kantong saya pribadi juga tidak akan sanggup membayarnya.

Sekitar dua tahun lalu tawaran sekolah kembali datang dari Negeri Sakura disertai dengan fasilitas beasiswanya. Namun kali ini bukan kesempatan yang fantastis, tetapi sejatinya sangat sebuah tawaran dilematis. Yang pertama karena tawaran jurusan yang membuat saya harus belajar dasar keilmuwan yang sejatinya bukan hal baru, tetapi sesuatu yang sudah saya peroleh sejak jenjang S1 sekitar 10 tahun lalu. Yang kedua saya harus memulai dari level S2 lagi, yang artinya saya akan memiliki sejumlah gelar S2 tambahan. Yang ketiga, bersiap tinggal sendirian jauh dari keluarga dengan isolasi Bahasa mengingat saya belum mampu berkomunikasi dengan Bahasa Jepang dengan baik. Yang keempat karena saya harus meninggalkan posisi sebagai seorang pejabat Eselon, jabatan yang tidak bisa diperoleh oleh semua orang dan mungkin tidak akan saya peroleh lagi saat kembali aktif bertugas. Dan yang terakhir yang paling penting sebagai konsekuensi meninggalkan jabatan adalah kembali sebagai staff yang artinya terjadi penurunan gaji yang cukup fantastis. Pun demikian, keputusan saya sudah pasti, yaitu kembali ke bangku sekolah dengan meninggalkan semua kenyamanan hidup sebelumnya.

Banyak orang bertanya, kenapa saya mengambil keputusan bersekolah lagi dan meninggalkan kenyamanan fasilitas yang ada? Apakah untuk mengejar karier yang lebih baik? Mengejar jumlah beasiswa yang lebih besar dari gaji bulanan? Tidak, sama sekali bukan. Jika ada orang yang bahagia dengan berselimutkan kekayaan dan bersenggama dengan kekuasaan, namun saya pribadi merasa bahagia dengan bermandikan ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan, terutama yang berbasis ilmu pengetahuan alam sebagaimana yang saya geluti itu sangat indah dan seksi yang sanggup membawa kita pada tingkat ejakulasi yang tiada habisnya.

Lihatlah eloknya deret matematika yang begitu sistematis, perhatikan hukum-hukum fisika yang saling berkaitan tersusun dengan indahnya, rasakan bagaimana sistem biologis dalam tubuh kita bekerja secara sangat sempurna dan cermatilah setiap fenomena alam yang ada. Semua itu bukanlah sesuatu yang kebetulan, pola-pola yang terbentuk tanpa alasan, melainkan ada sesuatu yang luar biasa yang maha besar di balik itu semua, yaitu Tuhan. Para ilmuwan menciptakan pesawat terbang, roket, reaktor nuklir, jaringan internet dan termasuk pernak-pernik kecil yang kita gunakan untuk mempermudah kehidupan. Ilmuwan memang menciptakan sesuatu yang tampak baru, tetapi sejatinya hanya meramu bak seorang istri yang berkreasi dengan masakan menu baru dari bahan-bahan yang sudah tersedia di alam. Ilmuwan hanya dapat membuat pesawat, reaktor nuklir dan sebagainya dengan tunduk pada hukum-hukum alam. Tidak pernah ada peralatan ciptaan manusia apa pun yang dapat melawan hukum alam. Karena itu, tugas dari setiap ilmuwan adalah bagaimana menemukan pola dari hukum-hukum alam tersebut dan meramunya kembali sehingga dapat bermanfaat bagi kehidupan manusia.

Saya bukan seorang ilmuwan, dan tidak punya ambisi menjadi penemu apa lagi memperoleh hadiah Nobel. Kebahagiaan yang saya dapatkan dari ilmu pengetahuan bukan pada hasil akhirnya tersebut, tetapi dari setiap jengkal proses pembelajaran itu sendiri yang membuat saya merasa selalu dapat intim dengan Tuhan. Setiap proses pembelajaran dengan mengamati pola-pola unik yang tiada duanya dari hukum-hukum alam tersebut selalu dapat menggiring saya pada pertanyaan, bagaimana hal ini bisa terjadi, kenapa, untuk apa dan oleh siapa hal tersebut terjadi? Ujung dari setiap pertanyaan tersebut sudah pasti hanya satu, dialah Tuhan yang ada di balik semua itu.

Tentu saja untuk menyadari Tuhan melalui ilmu pengetahuan tidak harus melalui jenjang bangku sekolah formal. Kita bisa merasakan kehadiran Beliau meski tanpa mengenyam pendidikan apapun. Sekolah hanya salah satu proses dari sekian banyak jalan yang ada.

Pandawa menjalani pendidikan Guru Kula jauh dari kemewahan kerajaan selama sekitar 13 tahun. Setelah sesaat menikmati kemewahan Astina Pura, mereka harus kembali mengembara ke hutan Bersama ibu Kunti akibat siasat licik Korawa melalui skenario pembakaran istana kardus. Tidak cukup sampai di sana, sesaat setelah kembali membangun Indraprasta sebagai pecahan Astina Pura, mereka kembali harus mengalami pembuangan selama 12 tahun plus 1 tahun hidup tanpa dikenal. Pada saat masa-masa kehidupan diluar istana tersebut banyak hal yang mereka pelajari terutama yang memebawa mereka semakin dekat dengan Krishna, Yang Maha Kuasa. Seluruh proses tersebut pada akhirnya sangat berguna pada saat perang Bharata berlangsung. Pembelajaran puluhan tahun akhirnya menjadi penentu bagi perang yang hanya berlangsung sekitar 18 hari.

Selamat dan sukses untuk setiap jalan pencarian kita kawan… Jangan hanya fokus pada tujuan akhir, tetapi mari kita nikmati setiap jengkal proses yang ada.

Om Tat Sat.

Translate »