Karya: Bhagirata Dasa
Teori tanpa praktek tidak bisa diangap suatu yang lengkap dan bahkan bisa dikatakan hal yang tidak berguna. Pernyataan ini bisa diterima di dalam segala hal. Secara umum, di masa sekarang ini, kebanyakan orang, khususnya para atheis, bependapat bahwa kitab suci yang dipakai sebagai dasar agama hanya sekedar teory yang dipakai untuk menakut nakuti umatnya supaya bisa dikontrol. Kadang kadang mereka berpendapat, apa gunanya hanya sekedar philosofy yang banyak sedangkan itu tidak berguna di dalam kehidupan kita sehari hari? Lebih baik kita lupakan semua kitab suci tersebut yang hanya sekedar filasafat dan kita tidak akan hidup dengan filasat tapi dengan pekerjaan keras kita. Teory yang sangat masuk akal dan karena teory seperti ini banyak terjadi perpindahan agama dan bahkan orang meningalkan agama sepenuhnya karena mereka tidak melihat manfaat atau mereka tidak menyadari manfaat dari kitab suci di dalam kehidupan sehari hari. Namun kalau kita gali sedikit lebih mendalam dan mengadakan diskusi dan research di dalam kitab suci khususnya kitab suci Veda, kita akan menemukan bahwa itu bukan hanya sekedar filsafat belaka tetapi juga mengandung banyak tuntunan tuntunan untuk hidup di dunia material ini.
Di dalam sastra Veda yang menyangkut suplemetnya seperti upanisad, purana, kavya, dharma sastra dll, kita mengenal ada dua jenis pengetahuan ( Vidya) yang kedua duanya sangat berhubungan erat dengan kelangsungan hidup kita di dunia ini maupun di dunia sana ( alam tuhan ). Kedua Vidya tersebut adalah Para Vidya dan yang kedua di sebut dengan apara Vidya. Para vidya adalah pengetahuan yang berhubungan dengan sang roh, tuhan dan hubungan sang roh ( semua makhluk hidup ) dengan tuhan. Ini secara umum diuraikan di dalam empat Veda dan upanisad serta beberapa bagian purana. Kemudian apara Vidya adalah pengetahun yang mengajarkan bagaimana kita hidup di dunia ini dan bagaimana kita hendaknya berhubungan dengan alam beserta isisnya. Para Vidya dan apara Vidya selalu berhubungan satu sama lain dan tidak dapat dipisahkan.
Para-Vidya tanpa apara Vidya merupakan suatu yang sangat sulit untuk dilaksanakan oleh makhluk hidup secara umum yang berada di dunia material ini sedangnkan apara Vidya tanpa para vidya adalah tidak berbeda dengan avidya (kebodohan ). Karena para Vidya adalah pengetahuan yang memberitahu kita tentang siapa diri kita, siapa tuhan dan apa hubungan kita dengan tuhan, maka kalau ini kita kesampingkan maka sama halnya kita tidak akan tahu siapa diri kita dan apa tujuan kita alias gila atau orang bodoh. Apa gunanya kekayaan material seperti berjuta juta uang dan segunung emas jika kita tidak tahu siapa diri kita dan kemana kita akan pergi? Jadi, hal yang yang paling dikemukakan adalah para Vidya , pengetahuanyang akan memberikan kita pengetahuan tentang diri kita terlebih dahulu. Karena kita merupakan ciptaan tuhan atau bagian percikan terkecil dari tuhan, maka kita harus berusaha untuk kembali kepada tuhan yaitu dengan mencapai moksa. Namun sebelum itu, untuk mencapai moksa (kembali ke alam tuhan), karena kita berada di dunia material ini, maka mau tidak mau kita harus berhubungan dengan alam material ini, paling tidak dengan badan kita ini. Dengan demikian, untuk memelihara kehidupan kita di dunia material ini, kita memerlukan suatu pengetahuan yang bisa memberikan kita tuntunan untuk menjalani kehidupan ini. Dengan demikian, Tuhan yang maha kuasa, yang mengetahui segala sesuatu dan sudah pasti mengerti keperluan para makhluk hidup di dunia material ini, beliau sudah sangat berkarunia memeberikan kita bagian dari sastra veda yang berisi tuntunan hidup di dunia ini.
• Prose untuk menerima vidya
Di dalam tradisi Veda, masyarakat di bagi menjadi empat bagian yaitu brahmana ksatria , vaisya dan sudra. Pembagian ini merupakan pembagian yang diciptakan oleh tuhan sendiri dan secara natural akan selalu ada di dalam masyarakat. Namun harus dimengerti bahwa pembagian ini mestinya tidak dilihat dari kelahiran namun dari kemampuan seseorang. Srimad Bhagavada Gita menyampaikan
cätur-varnyam mayä srstam
guna-karma-vibhägasah
“ berdasarkan tiga sifat alam material ( satva rajas dan tamas ) dan pekerjaan yang dilakukan oleh mereka ( oleh masing masing masyarakat ) empat divisi di dalam masyarakat diciptakan oleh Aku sendiri.
Disini kata guna dan karma berperan sangat penting. Sri Krsna Bersabda’ berdasarkan guna ( sifat ) dan karma ( pekerjaan ) bukan berdasarkan janma ( kelahiran ). Jadi ini pertama tama seseorang harus mengerti hal ini sebelum seseorang menginjak untuk belajar sastra lebih lanjut.
Bagaimana kita bisa mengenali kempat kelompok tersebut? Di jaman tradisi Veda, orang dikenali berdasarkan beberapa hal:
1. Dari sifat dan watak orang tuanya atau dari keluarga secara umum
2. Dari hari kelahiranya berdasarkan ilmu perbintangan di dalam jyoti sastra.
3. Berdasarkan sifat yang dikembangkan yang dilihat oleh pendidik
Dari ketiga cara ini, proses ketiga memegang peranan yang paling penting.
Biasanya di dalam tradisi veda, seseorang akan mulai belajar dari umur lima tahun. Mereka akan dikirim ke sekolah yang disebut dengan Gurukula ( pesraman ). Di sini seorang guru akan menilai anak didik nya berdasarkan 3 hal di atas dan memberikan pengajaran yang sesuai kepada mereka. ini merupakan suatu keharusan bagi seorang murid untuk tingal bersama guru di pesraman ( gurukula ) dan menerima pengetahuan dari guru mereka. selain itu, dengan tingal di dalam sekolah selama masa belajar, banyak keuntungan yang akan didapatkan oleh siswa.
1. siswa akan punya waktu lebih banyak untuk belajar dan tidak membuang waktu berjam jam untuk datang dan pergi ke sekolah.
2. siswa akan mendapat kesempatan untuk belajar dari seorang guru dengan lebih dekat dan bisa meluangkan waktu lebih banyak berama guru.
3. di jaman Veda, tidak ada istila membayar iuran sekolah namun diperlukan rasa pelayanan kepada seorang guru degan demikian ada hubungan cinta kasih antara guru dan murid.
4. guru bisa mengawasi tingkah laku dari murid secara langsung.
5. dengan tingal di persaraman atau di sekolah seperti itu, siswa tidak akan terlalu tergangu oleh hal hal yang lain yang merugikan proses belajar mereka seperti pergaulan yang tidak diinginkan di masyarakat umum.
6. dengan tingal di dalam sekolah selama masa belajar, siswa akan mendapat semangat belajar ketika melihat teman temannya yang sedang belajar. Dan banyak keuntungan lain lagi yang kita bisa dapatkan dari system tersebut.
Setelah beberapa bulan bergaul dengan siswa siwa yang mereka ajar, seorang guru akan dengan mudah mengenali siapa yang berwatak ksatria, siapa yang berwatak brahmana dan lain lain. Untuk mereka yang berwatak brahmana, yang mempunyai kualifikasi dan mempunyai kecerdasan untuk mempelajari sastra veda yag lebih mendalam, maka seorang guru akan memberikan mereka didikan lebih mendalam lagi. Kemudian ketika mereka mapan, nantinya mereka akan melayani masyarakat dengan bertindak sebagai penasehat di dalam masyarakat dengan mengunakan kebijaksanan dan pengetahuan yang mereka pelajari dari sastra Veda. Bagi mereka yang berwatak Ksatria, mereka hanya akan belajar tentang ilmu administrasi seperti niti sastra, dharma sastra, dhanurveda/ilmu militer dll. Biasanya ksatria tidak akan belajar lama seprti brahmana karena materi pelajaran mereka jauh lebih mudah dan lebih sedikit. Untuk mereka yang berwatak vaisya, mereka aka belajar sedikit kurang dari kstaria, misalnya arta sastra, perekonomian dll. Untuk kalangan sudra, biasanya orang yang secara alami tidak mempunyai kualifikasi untuk belajar pengetahuan seperti yang dipelajari oleh ketiga kelompok di atas, mereka hanya akan belajar pekerjaan fisik. Dengan demikian ini akan menguntungkan mereka dan yang lain juga.
Dengan tidak mengijinkan mereka untuk melanjutkan pelajaran di gurukula, itu tidak akan menghabiskan waktu mereka sehinga bisa belajar ketrampilan yang praktis dari orang tua atau saudara terdekat mereka. Tugas dari sudra di dalam varnasram dharma adalah untuk membantu masing masing dari ketiga varna yang lainnya. Ini tidak berarti bahwa sudra tidak berperan penting di dalam masyarakat. Mereka adalah bagian dari badan di masyarakat dan berperan sepenting ketiga kelompok lainnya. Meskipun ada otak yang mengontrol ( brahmana ), ada lengan yang mengorganize dan melindungi ( ksatria 0 dan ada badanyang menyediakan keperluan pekerjaan ( vaisya ) tetapi kalau tidak ada pekerja yang akan melakukan pekerjaan ( sudra ) maka pekerjaan di dalam masyarakat tidak akan pernah kelar aatu jika itu kelar, maka tidak akan berlangsung dengan baik. Seperti halnya kaki, badan, lengan dan kepala mempunyai peranan yang sama sama penting di dalam badan, saperti itu pula peranan keempat kelompok di dalam masyarakat.
Namun sayangnya di jaman sekarang ini pengelompokan seperti itu menjadi suatu kasta yang sama sekali tidak berdasarkan ajaran Veda yang kemudian di kritik oleh berbagai golongan masyarakat di seluruh dunia. Namun itu tidak berarti kita harus meningalkan system tersebut. Kalau kita megikuti system ini yang sebenarnya, maka sangat di pastikan keberadaan masyarakat akan sangat tentram. Contohnya seperti kerajaan di jaman pemerintahan maharaja Yudhistira dan Sri Ramacandra. Mereka semua menerima dan memakai system Varnasrama dharma tetapi sesuai dengan system yang sejati bukan system kasta seperti sekarang ini. Saat itu, bisa dikatakan seluruh penduduk di bawah mereka berada di dalam keadaan tentram dan sejahtra.
Pertanyaan akan muncul, kenapa kita tidak berikan kesempatan kepada semua orang untuk belajar hal yang sama, mislanya kenapa sudra tidak diijinkan untuk belajar? Tradisi gurukula akan memberikan kesempatan kepada setiap orang, tetapi kalau mereka sudah tidak akan mampu meskipun sudah berusaha, apa gunanya untuk melanjutkan belajar bertahun tahun dan akhirnya kembali seperti semula? Tradisi veda tidak mengenal sertifikat yang tidak berguna. Sebuah kertas yang menyatakan seorang berqualifikasi meskipun mereka sama sekali tidak tahu tentang apa yang seharusnya mereka ketahui. Contoh yang sangat nyata kita lihat di dalam pendidikan sekarang secara umum. Kita paksa setiap orang untuk belajar pelajaran yang sama di sekolah selama bertahun tahun dan bahkan 12 tahun atau mungkin lebih dan pada akhirnya setengah dan bahkan lebih dari setengah dari pengetahun yang mereka pelajari tidak pernah dipakai di dalam kehidupan mereka. Sastra veda merupakan sastra yaang berusaha untuk membuat hidup kita prakctis, karena itu terdapat pengelompokan ini di dalam tradisi Veda sehinga setiap orang mengambil pekerjaan sesuai dengan abilitas mereka. dengan demikian, setiap orang akan menikmati pekerjaan mereka. jadi, gurukula atau proses belajar di dalam pesraman adalah salah satu poroses untuk mengenali abilitas seseorang dan memberikan training sesuai dengan abilitas mereka bukan berdasarkan kelahiran.
Kemudian pertanyaan akan muncul lagi, bagaimana dengan mereka yang tidak mendapat traning di gurukula? Bagaimana seseorang bisa mengenali abilitas mereka? mengenali abilitas tidak merupakan hal yang begitu sulit karena itu berada di dalam masing masing diri seseorang. Tetapi kalau seseorang mengalami kesulitan, sastra juga memberikan jalan yaitu tetaplah berada di dalam posisi seperti sekarang, apakah pekerja di sawah, atau tukang ukir, atau kalau saat ini pekerja di Kantor dll, namun pada saat yang sama kita yang menyadari pentingnya traning sesuai dengan bakat, maka kita berikan kesempatan kepada generasi penerus kita untuk mengikuti system yang kita tidak dapatkan. Pada saat yang sama, sambil kita tetap berada di dalam posisi kita, kita hendaknya berusaha mengunakan hasil dari kegiatan kita di dalam kegiatan berdana punia atau persembahkan itu kepada tuhan di dalam berbagai bentuk. Seperti misalnya ke tempat tempat persembahyangan, di pesraman pesaraman di mana pendidikan di laksanakan dll. Dengan demikian seseorag akan terlindung dari reaksi karma di dunia mateial ini.
Seperti yang kita uraikan tadi, bahwa sastra veda merupakan suatu sastra yang selain mengajarkan kehidupan rohani tetapi juga meberikan tuntunan kepada kita untuk hidup di dunia material ini. Tetapi sekarang untuk mendapat hasil dari itu semua, ini tergantung kepada kita, apakah kita mengikuti atau tidak. Permasalahan yang sering muncul karena kita tidak mengikuti system tersebut sesuai dengan yang dianjurkan. Kalau seseorang mengidap penyakit dan ingin sembuh dari penyakit tersebut, maka dia mesti mengikuti dengan setrick semua larangan dan anjuran. Tanpa mengikuti semua itu, maka tidak akan ada istilah sembuh bagi si penderita. Sama halnya sastra Veda memberikan kita semuanya, tetapi ini tergantung kepada kita.
Misalnya, kita mempunyai masalah perekonomian di keluarga. Sastra menganjurkan bahwa keuangan hendaknya di atur sebagai berikut, 25 persen untuk keperluan kita dan keluarga sekarang, 25 persen di simpan untuk hal hal yang emergency di hari esok, dan 50 pesen untuk kepentingan punia atau yajna. Dengan demikian, seseorang dipastikan akan sejahtra. Pertayaan sekarang adalah, kenapa 50persen untuk Yajna, apakah ini tidak terlalu banyak? Sastra menjawab, dengan melakukan yajna dengan hasil kegiatan kita, maka itu aka membawakan kesejahtraan kita yang kedepan.
annäd bhavanti bhütäni
parjanyäd anna-sambhavah
yajnäd bhavati parjanyo
yajnah karma-samudbhavah
“ semua makhluk hidup yang yang membadan hidup dengan biji bijian yang dihasilkan dari hujan. Hujan dihasilkan dari melakukan yajna dan yajna dilahirkan dari tugas kewajiban yang ditetapkan.”
Dengan kata lain, yajna sama saja dengan menabung pada alam untuk kehidupan kita dan masyarakat secara umum di masa kedepan. Ketika para deva yang mengontrol alam puas dengan yajna, maka mereka tidak akan membiarkan seseorang kelaparan atau mengalami permasalah ekonomi. Di jaman sekarang ini seluruh dunia mengalami permasalahn ekonomi karena mereka melupakan kurban suci.
Kemudian berhubungan dengan keturunan atau proses mendapatkan anak. Di dalam kitab veda yang membicarakan proses samskara ( upacara ), diuraikan bahwa pernikahan sebenarnya bukan untk kenikmatan indria. Pernikahan bukan hanya untuk menikmati bersama lawan jenis di dalam hubungan kelamin tetapi untuk mendapatkan anak yang suputra. Kata putra berarti “ pum-nama narakam trayate” dia yang membebaskan orang tua dari neraka. Dengan demikian, hanya anak yang suputra yang bisa memberikan kebebasan pada leluhur dari Neraka. Anak yang asu putra ( atau di dalam veda disebutkan “ mutra “ air kencing,) mereka tidak akan bisa membebaskan leluhur dari kehidupan neraka tapi malahan sebaliknya, mereka hanya akan menjerumuskan diri mereka ke neraka. Putra dan Mutra berasal dari sumber yang sama, kalau putra tidak menjadi su-putra maka mreka tidak berbeda dengan Mutra. Jadi ada uraian waktu dimana seseorang mestinya berhubungan kelamin antara suami istri. Tidak di setiap waktu dan dimana mana semau mereka seperti binatang di jalanan. Manusia mempunyai kecerdasan lebih dari binatang karena itu mereka mestinya mengikuti aturan sastra. Misalnya kalau ingin mendapap putra yang baik, hendaknya purnama dan tilem, empat hari sebelum purnama tilem, sandi kala, pagi hari ,siang hari hendaknya dihindari untuk hubungan kelamin. Selain itu, ketika sang istri datang bulan, ketika mengandung, selama enam bulan setelah melahirkan atau di hari hari suci seperti sivaratri dan lain lain juga hendaknya dihindari kalau seseorang ingin mendapatkan anak yang suputra. Jika sseorang ingin mendapatkan keturunan laki laki atau perempuan, prosedur juga diuraikan di dalam samskara sastra.
Sebelum membuahi kandungan, pasangan suami istri mesti mengikuti upacara garbhadana samskara sesuai uraian samskara. Di beberapa tempat di daerah India selatan, masih ada beberapa golongan brahmana yang melakukan yajna unutk mendapatkan putra yang merupakan anugrah sri Visnu dengan melakukan satu bulan yajna dan vrata. Banyak dari mereka yang berhasil dan mendapatkan putra yang memiliki lambang cakra atau gada dan padma secara alami pada bagian tubuh anak mereka. ini merupakan bukti dari kekuatan samskara yajna. kemudian samskara sastra juga menguraikan proses yajna dan beberapa vrata untuk mulai memperkenalkan kesadaran ketuhan kepada anak anak. Bukan hanya kepada bayi tetapi bahkan kepada anak yang masih ada di dalam kandungan sekalipun. Prahlada maharaj, penyembah agung Sri Narasimha mendapat ajaran ketuhanan sejak berada di dalam kandungan. Srima Bhagavatam menguraikan
kaumära äcaret präjïo
dharmän bhägavatän iha
durlabhaà mänuñaà janma
tad apy adhruvam arthadam
“Orang yang cukup cerdas, hendaknya mengunakan bentuk badan manusya sejak awal dari kehidupannya, dengan kata lain sejak masa kanak kanak, untuk mempraktiskan proses pengabdian suci kepada tuhan dan meningalkan kegiatan lain yang material. Hidup manusya sangat jarang sekali dicapai. Meskipun badan ini bersifat sementara seperti badan badan di dalam makhluk lain, namun ini sangat berguna karena di dalam badan manusya seseorang mampu melakuakn pengabdian kepada tuhan. Meskipun hanya sedikit keinginan yang tulus untuk melakukan pengabdian suci, itu akan memberikan kesempurnaan kepada seseorang.”
Karena itu, ketika seorang ibu mengandung, sastra menganjurkan supaya mereka mendengarkan ajaran ajaran yang suci sehinga kesadaran anak nanti juga akan di sucikan sehinga akan mudah untuk mencerna filasafat ketuhanan dan keberadaanNya. Sangat dianjurkan supaya seorang ibu yag mengandung untuk menghindari mendengar hal hal buruk seperti saat ini menonton film film yang kriminal dan seram seram yang berhubungan dengan kejahatan karena itu akan mempengaruhi kesadaran si bayi.
Setelah anak lahir, ada upacara yang disebut dengan nama karana, yaitu upacara pemberian nama kepada si bayi. Berdasarkan samskara sastra, pemberian nama kepada bayi sangat penting karena nama berpengaruh besar pada orang bersangkutan dan disekitarnya. Misalnya karena nama sesoarng bisa berbudi luhur atau sebaliknya. Karena itu nama hendaknya diberikan berdasarkan pengaruh naksatra ( bintang yang mempengaruhi). Ada dua puluh delapan naksatra. Nama depan anak tersebut hendaknya diberikan sesuai dengan kecocokan hurup yang dianjurkan di dalam setiap naksatra. Misalnya naksatra Asvini, silable yang mendukung adalah, cu-ce co-la, maka nama anak hendakya berawal dengan salah satu dari kata tersebut. Jika pemberian nama diberikan berdasarkan naksatra tersebut, maka paling tidak akan mengurangi pengaruh buruk dari dari beberapa planet yang tidak mujur yang mempengaruhi kelahiran si anak. Sudah tentu, ini tidak akan terjamin seratus persen akan terbebas dari hal buruk tetapi paling tidak beberapa persen.
Oh, ini sangat sulit untuk kita lakukan. Seseorang mungkin akan berargument seperti itu. Ok, kalau sulit dan tidak bisa melakukan, maka jangan salahkan sastra Veda tidak memberikan kita tuntunan yang bisa dipraktekan. Untuk mencapai sesuatu yang mulia perlu usaha yang keras. Prinsip dasar ekonomi yaitu mendapatkan barang berkualitas bagus dan berharga dengan usaha seminimum dan harga semurah mungkin sama sekali tidak berlaku paling tidak di dalam kehidupan rohani. Pernyataa barang berqulitas denga harga murah ini baru kita bisa bilang hanya teory tetapi di dalam prakrek merupakan hal yang mustahil.
Kemudian memilih tempat tingal, Veda memberikan kita sastra berupa Vastu sastra yang memberikan kita tuntunan dimana kita harus membangun bangunan tertentu. Misalnya dapur harus terletak di bagian tengara pekarangan, kolam, sumur dan tempat suci di bagian timur laut, tempat mandi atau toilet di bagian barat daya dan tempat tingal di bagian barat dan lain lain. Di dalam ruangan, hendaknya jangan meneruh benda berat seperti almari, meja dan lain lain di bagian timur laut dan barat daya karena itu bisa menyababkan sakit kepala yang berlanjutan atau bisa stress. Di tengah tengah pekarangan hendaknya kebun atau paling tidak kosong. Dan masih banyak lagi mengenai pembangunan yang diuraikan di dalam vastu sastra.
Pengobataan, didalam sastra Veda kita punya Ayur Veda dan yoga asana untuk menjaga kesehatan. Para kaviraj ( ahli ayur Veda ) mampu mengenali penyakit hanya dengan mendeteksi gerakan pembuluh di tangan tanpa melakukan extra sinar laser untuk mendeteksi. Penyebab dari penyakit adalah ketidak seimbangan antara tiga unsur utama di dalam badan ( vata, kapha pita ). Dengan mendeteksi ketidak semibangan dari ketiga unsur ini dan menetrealkannya maka tanpa operasi seseorang bisa disembuhkan dari berbagai penyakit. Hanya perlu bahan bahan obat yang alami untu menetralisir ketidak seimbangan 3 unsur tersebut atau dengan gerakan gerakan asana tertentu dan beberpa larangan khususnya makanan yang mesti diikuti.
Mengenai Pernikahan yang cocok, kita punya jyoti sastra yang akan meberikan study banding apakah lelaki ini sesuai dengan wanita yang akan dikawini atau tidak. Paling tidak tidak akan ada perceraain. Itu yang paling penting di dalam tradisi Veda. Karena itu, karena secara umum di dalam tradisi veda menikah berdasarkan kesesuaain pengaruh kelahiran, maka kita tidak pernah mendengar adanya perceraain di dalam kisa kisah di dalam purana maupun di dalam itihasa. Bahkan sampai sekarang, di India, khususnya di daerah pedalaman yang masih kuat mengikuti tradisi Veda, tidak ada istilah perceraain diantara suami dan istri. Ini karena mereka menikah dengan orang yang sejalan berdasarkan hari lahir mereka yang berdasarkan pengecekan para ahly jyoti sastra.
Untuk ketrampilan, veda juga menyajikan kita Silva sastra di mana seseorang bisa mengenali bahan bahan yang cocok untuk patung dll. Khususnya untuk bahan arca ( pratima ) yang akan di puja di dalam pura atau kuil, para ahli silva sastra mengetahui batu yang mana yang bisa dipakai dan yang mana hendaknya tidak dipakai. Ilmu pertanian semuanya tercantum di dalam Kresisastra ( ilmu pertanian ). Kapan dan jenis tanaman apa yang cocok di tanam sesuai dengan jenis tanah.
Semua apara Vidya yang kita bicarakan hanya sekedar kata pengantar yang sangat sederhana tentang keluasan dan keluesan Veda. Ada 64 jenis apara vidya dimana setiap vidya membicarakan berbagai hal berhubungan dengan kehidupan seseorag yang seseuai dengan posisi seseorang di dalam masyarakat. Kami di dalam Varnasrama research team ( VRT ) yang saat ini base di India selataan baru memulai research di dalam berbagai hal di berbagai tempat di India dan di Indonesia dan beberapa tempat di Kamboja sejak kurang lebih 2 tahun yang lalu dan sampai saat ini masih aktiv. Dan kita berharap akan ada bermunculan orang orang atau kelompok untuk bekerjasama di dalam hal ini. Untuk ini, paling tidak doa dan restu serta dukungan saudara saudara kita dari umat pengikut veda yang bisa menyemangatkan kegiatan ini.
Setelah berbicara berbagai penetahuan apara vidya, kita hendaknya Tidak terlalalu masuk kedalam apara vidya dan melupakan para Vidya. Tujuan utama para Vidya adalah Moksa atau pembebasan dari kesengsaraan di dunia material ini dan menccapi alam tuhan yang oenuh dengan pengetahuan, kekal dan penuh kebahagian. Tujuan hidup beragama ( dharma ) adalah moksa bukan uttuk tingal di dunia ini karena dunia ini sendiri tidak kekal adanya. Sastra Veda menguraikan di dalam setiap jaman memiliki proses tersendiri untuk mencapai kesempurnaan hidup, Moksa. Di jaman kali yuga ini, proses mengucapkan nama nama suci tuhan sangat di anjurkan.
Om äsya jänanto näma cid vivaktana mahas te visno su-matim bhajämahe ta
“ kalian semua hendaknya mengerti bahwa nama suci Visnu adalah bersifat rohani karena itu engkau hendaknya mengucapkan nama suci tersebut bersama sama. Oh Visnu! Kami memuja doa ini kepada annda yang agung. ( Rg Veda, _01.156.03.2{26})
Di dalam kali santrana upanisad juga diurakan,
iti sodasakam nämnäm
kali-kalmasa-näsanam
nätah parataropäyah
sarva-vedesu drsyate
“ setelah menelusuri di berbagai bagian di dalam kitab suci Veda, seseorang tidak akan menemukan kegiatan yang lebih mulia yang mampu menghancurkan pengaruh buruk jaman kali selain dari pengucapan nama suci.
Dan yang paling jelas adalah pernyataan di dalam bhagavata purana sebagai berikut:
kaler dosa-nidhe räjann
asti hy eko mahän gunah
kirtanäd eva krsnasya
mukta-sangah param vrajet
Jaman kali adalah lautan dosa tetapi ada satu sifat baik hanya dengan mengucapkan nama suci Sri Krsna ( Sri Visnu ), seseorang akan mencapai moksa ( mukta-sangah param vrajet). Ada berbagai prose untuk mencapai pembebasan tetapi di jaman kali yuga ini, sat satunya jalan yang dianjurkan oleh saastra adalah pengucapan nama suci Sri Visnu. ( Srimad Bhgavata Purana 12.3.51 )
Jadi berdasarkan beberapa uraian di atas, kita tidak perlu meragukan lagi bahwa veda merupakan ilmu yang membumi yang memberi tuntunan apa yang harus dilakukan dan bagaimana melakukan dan benar beanar mengahrapkan kesejahtraan makhluk khususnya umat manusya, baik di bumi ini maupun di dunia sana. Veda tidak hanya memberikan filasat untuk diperdebatkan tetapi memberikan teori untuk dipraktekkan. Setelah mendapatkan teory dari Veda, sekarang tersrah kepada kita. Apakah kita bisa dan mau melakukan atau tidak. Ketika seseoang terkena tengorokan kering, dokter menganjurkan jangan makan makanan yang di goreng dan harus minum air banyak. Tetapi kalau kita tidak bisa menghindari gorengan dan tidak suka minum air banyak banyak, jangan salahkan dokter dan bilang diketer ii tidak tahu apa apa makanya saya tidak pernah sembuh. Kalau karena kita tidak mampu melakukan anjuran veda, maka jengan salahkan veda dan menklaim Veda yang tidak lengkap.
Om Tat Sat
Om Namo Bhagavate Väsudeväya
Have you read this?
1.1 The Deva Civilization (or the Indus Valley Civilization)
Archaeological excavations have revealed that a very high civilization developed and flourished in India until about 1000 B.C. The Hindus classify this period of high civilization from 10000 B.C. till 1000 B.C. into three periods viz. Satyug (4000 yrs), Dwapar (3000 yrs.) and Treta (2000 yrs)
Archaeologists have so far classified the period from 7000 B.C. to 1300 B.C. as follows:
Pre- (7000-5000), mature- (5000-1900) and post- (1900-1300) Harappan civilization.
It is known as the Indus Valley Civilization because it was first discovered in Harappa and Mohenjodaro in the Indus valley. In fact this civilization covered the greater part of the Indian subcontinent and it is appropriate to call it the Deva Civilization. This civilization gave birth to three great intellectuals viz. Brahma, Shiva and Vishnu, the contributions of these are described in detail in the book The Rise of Aryan Power[1]. Brahma is so called because of his theory that Brahm is the building element of the universe. The word brahm means “motion”. Shiva among other things discovered the Zero. The sculpture showing this is known as “Shivalingam” which means “the unique virtuous deed of Shiva”. Those ignorant of reading a sculpture interpret this as phallus worship. Shesh = zero
shesh=0
Shivalingam
(The unique virtuous deed of Shiva)
Vishnu, who lived sometime between 2000-1500 B.C., devised the three-step-method for calculating the age of the earth and the age of the universe. He also calculated the Kalpa or the life of our solar system. Furthermore, he developed the theory of evolution (1.154, 1.155) which became known as Darwin’s theory four thousands years later.
[ For explaination of the symbols see http://www.swedix.org/ ]
Sculpture of Vishnu showing the salient features of his theory of evolution
(Courtesy Dr. Mats Nigam[2] )
The emerging historical information indicates that after the great war of Mahabharat[3] around 3000 B.C., there was probably the exodus of people from this country to the countries in the middle-east. Many ruling classes sought adventures as far west as Turkey and Greece. These dynasties, with the help of the native warlords built up strongholds, periodically overpowered the Asur empire and threatened Egypt. They are now known to historians as Narmar, Mithani, Kassites, Hittites etc. Many Asuras and Greeks (Ahi and Danu), who came to learn technology and astronomy, settled down in India. The Asur Varuna, a great cosmologist who had the knowledge of wind cycles, of fast approaching storms (1.25.9) and of the space above the atmosphere, served as a tax collector in the government of Suryadeva[4]. The Asur Mitra another tax-collector, was a very good warrior with his highly superior battle art. Many Asuras were given the title of “Deva” because of their intelligence and moral behaviour.
1.2 The Rigveda :
The work on the Vedas or the advancement of knowledge in six fields viz. Jyotish (Astronomy), Chhandas (Literature), Vyakaran (Analysis), Nirukta (History), Shiksha (Script) and Kalpa (Inventions) was started by Bramha, the great cosmologist born in Rajasthan about 10000 B.C. The work in many of these fields of knowledge viz. script and grammar continued until 1000 B.C. and the old Brmhilipi assumed the refined form of the Devanagri script with the joint effort of the Devas and the Nagas. Later the Kharoshthi script was developed for fast writing but was found unsuitable for Sanskrit. This script was later used by Persians and it is now known as the Persian script. Great advancements in Sanskrit literature have been made after Panini revised the rules of grammar.
The Rigveda mentions a library with thousands of documents (sahsra akshare parame vyomen—) kept under the protection of Suryadeva, the last Deva king. It is this library, which has never been found, that the Hindus refer to as the Vedas. The Kalpa branch of the Vedas viz the knowledge in science and technology has completely disappeared. One branch of the Vedas -. Jyotish (Astronomy) has only partly survived. The last Deva king, Suryadeva (1500 B.C.) was a great astronomer of his time. Vishnu the Great had recently developed his three-step-method to calculate the age of the earth (4.32 billion years), the age of the universe (14.5 billion years) and the life of our solar system (8.64 billion years). Suryadeva accordingly revised the earlier astronomical methods of calculations of the motion of the earth and the planets by assuming that all planets and the sun were at the same position 4.32 billion years ago. This work of Surydeva noted down by his Asur student Maya in brief is known as Surya-Siddhant. It consists of fourteen chapters. Unfortunately, the Pundits have not left it untouched but most of it has escaped their destructive additions.
The priests maintain that the four books viz. Rigveda, Samveda, Yajurveda and Atharvaveda are the Vedas and contain all the knowledge of the universe, impossible for the common man to understand. The last two books, written by the Brahmins, have been used to justify malpractices of the rituals and have been the source of their livelihood for over three thousand years. Misled by the priests, the Hindu intellectuals at present have started looking for all sorts of knowledge in the Rigveda, the oldest of these four books. All translators, without exception, have taken it for granted that the word Deva means god and that the book deals with rituals of sacrifices to the gods. The Rigveda is in fact largely a collection of songs in praise of the war heroes Agni, Indra, Mitra, Varuna, the Ashvins and the Maruts who liberated the country from the Asuras.
The Rigveda consists of ten books. Each is called a mandal. While the first book (mandal) of the Rigveda is a collection of songs of several singers (rishis), mandals 2 to 9 are each the songs of one rishi only. The authors of the verses of the tenth mandal are not known. Judging from the language of the tenth mandal, it is clear that it is not the work of the rishis of the Rigvedic period. In the first nine mandals of the Rigveda, there is no mention of God or the soul. This depicts a very high level of intelligence of the Devas and a rational thinking of people in general.
1.3 The Rigveda Period
The verses of the Rigveda have been written by rishis contemporary to Indra. In (2.11.18), the rishi Gritsamudas tells us that Vritrasur was the son of Arnuwadha. From the Hittite history we know that Asur Arnuwanda I, ruled the kingdom of Assur from 1420-1400 B.C. Further, Indra, Varuna, Mitra and the Ashvins were present to witness the treaty between Suppiluliuma and Shattiwatsa in 1380 B.C. The verses of the Rigveda therefore could not have been composed earlier than 1450 B.C. Most of the verses of the Rigveda are eyewitness accounts of the battles between the Devas and the Asuras. The verses were written down and carefully preserved (1.164.41, 1.170.1). Because of the climate conditions in India, the documents were written and rewritten every few years in the refined script until such time when the methods for preserving old documents developed. Besides, it was natural for the family members of a rishi to learn the poems by heart and be proud of their forefathers’ compositions, which they narrated to others. These compositions are therefore also known as shruti i.e. narrated.
The Rigveda is considered the basis of the Hindu religion. In fact, various beliefs in the Hindu religion are the results of gross misinterpretations and incorrect translations of the Rigveda. The introduction of the irrational idea of a God in India in the post Rigvedic period aroused protests from many intellectuals. Noted among them are Vrahaspati (Charvak), Mahabir (jain) and Buddha.
2. The Rigvedic Social System:
The society, consisting of the intelligentsia (the Devas) and the others (manusyas), was divided into five classes:
Brahmins: learned
Vishah: businessmen and traders
Kristi: farmers,
Ribhus: craftsmen
Nishad: unskilled
These were called the Panch janah[5] (the five subjects).
The Devas[6], the intelligentsia of the society, had made advancements in all fields of knowledge. A child showing signs of intelligence (2.3.9) was taken to the Devas who kept the child for observation and measured his intelligence. If the child was found to have an intelligence above a certain level, he was brought up by the Devas where he studied and developed his intellect in his field of interest. The Devas were brought up to be very kind and helpful to the fellow Manusyas. They never even dreamt of breaking the law or indulge in activities harmful to the fellow men (2.27.9). The Devas and Manusyas worked together in all professions. A Deva, of course, was always the headman.
The Ashvin brothers flew (1.139.4) everyday in their flying craft to the hills of the Himalayas to collect honey and delivered it to the Soma houses where an alcoholic beverage was prepared for the pleasure of the well-to-do people (2.19.1). Their flying machine (1.118.1-118.4) was powered by solar energy (1.47.9). A light tower (1.55.6) in front of a Deva house collected sufficient solar energy for the illumination of the building. The verse (1.161.10) describes the principle of a steam engine.
In the field of medicine, great advancements were made. The use of artificial limbs (1.116.15), eye operations (1.116.16), operation to give birth to a child (2.29.1), the use of herbal hormones to make an old person young (1.116.10) and to enhance the production of milk in a cow and many other medical advancements are mentioned in the Rigveda.
The Devas prospered in all walks of life as traders, as farmers, as craftsmen and as shippers, and in general, became much more wealthier than common people. Although the Devas were extremely good and kind-hearted people, always ready to help others, yet more and more people started envying them for their wealth and luxurious life. The Asuras in the middle-east sensed the disunity (2.31.2) and hatred among the rulers and also among the people. The waves of invaders from the middle-east ransacked and completely crushed the land of the Devas. An earthquake disaster around 1500 B.C. and the following draught fuelled further lawlessness and turmoil.
2.1 The Geography of India During the Rigvedic Period:
The Himalayan region was called Swarg.
The region of the plains of north India was known as Prithivi.
The region between Swarg and Prithivi was called Antriksh and
The region south of Vindhya hills was called Patal.
The region between the rivers Ganga and Jamuna was called Dvip (jambu).
The region comprising of Punjab, Sindh and Afganistan was called Sapta sindhu
The present region of Rajasthan and Gujrat was known as Brahmavarta.
After the devastation of the northern regions by the Asuras, the region consisting of Swarg and Prithivi was called Rodasi . The hilly regions (Swarg), the Terai belt (Antriksh), the plains (Prithivi) and the region of Brahmavarta all together were divided into seven states viz.
Bhu, Bhuvah, Svah, Mahah, Janah, Tapah and Satyam
The region occupied by the Asuras was called Diti and the governors of the provinces were called the Daityas.The country was called Aditi.
2.2 The Rigvedic Adminitrative System (see diagram below):
The region under the control of the Devas was called Aditi and the governors of these provinces were called the Adityas. The district collectors who collected tax or Dakshina from the people were called the Dakshas. The head of the Dakshas was called Dakshpati. The ministers were called Vasus, the Prime minister Purohit, and the head of the state was called Prajapati.
The commander-in-chief was called Rudrapati, the commanders Rudras and the soldiers Virahs. The mercenaries were called Maruts. Pushan represented the government at the village level.
The administration was strictly in accordance with the laws laid down in the law-book Dharmshastra. The editors of the laws were called Manus.
The administrators were all Devas. The system worked well as long as there was a lot of wealth in the country, and all were well looked after and had everything in plenty to enjoy life.
The life-philosophy was purely materialistic. This philosophy in the post Rigvedic-period became known as the Lokayat which was preached later by Vrahaspati (Charvak)..
The Administrative System of the Rigvedic Period
3. Mandal 2: The songs of Gritsamdas:
Gritsamdas is the author of Mandal 2. The songs are arranged into 43 chapters. Eleven of which are in praise of Agni and twelve in praise of Indra. He was not an eyewitness to any of the battles he describes in his songs. He had gathered details of the battles from other rishis. In his songs, Gritsamdas describes the rebuilding of the country after several years of destruction due to wars between the Devas and the Asuras. He describes the settlement of the Aryans in different parts of the country and distribution of land to the Aryans and to those who had lost everything in the war.
3.1 The Asur Invasion:
The singer describes the Asur invasion in his songs based on the information gathered from eyewitnesses and others. Below is a resume of the description of the battle given in his songs:
The Asur invader from the middle-east who hailed from the (Hittite-) family of Arnuwandha I[7] (2.11.18) entered Aditi (north India about 1450 B.C.) with his Dasyu (black slaves) soldiers under the command of danu[8]-generals from Ahhiyawa[9] and massacered mercilessly the subjects of the Deva king, Surya deva. The Asur vassals Shambar, Rohin, Dribhiskan, Arbud, Pipru, Vala, Namuchi, Virchin and many others set up bastions in the Himalayan hills (the swarg), in the Terai belt (the Antriksh) and in the plains (Prithivi) and established a firm hold over different provinces of north India. Indians gave the (Hittite-) ruler the nickname Vritrasur. (Another Asur ruler had occupied south India and was called Mahisasur by the Indians). The Deva king, Suryadeva, fled and made his capital in the hills of the Himalayas (probably in present Nepal). To save the wealth of great knowledge, developed over centuries by the Devas, he carried the library of documents (the Vedas) with him, and preserved[10] and protected them well. The Rigveda mentions this library twice.
During the Rigveda period, the rains failed for a number of years causing great shortage of food and water. Vritrasur, who had built his fort in the hills, well hidden and protected, diverted the water of the tributaries which earlier fed the big rivers. These rivulets now carried water to a well-hidden dam built inside one of his forts. The people living in Aditi suffered greatly due to the shortage of water. Food could not be grown without the rains. The Asuras confiscated the food and wealth of the people and thus caused starvation among the subjects of the Devas.
Gritsamudas describes the situation as follows [2.31.2]
“The might of the Devas was crushed because of the disunity among them. The fast moving soldiers trampled down Prithivi-lok and Swarg-lok slaying people with their hand-held weapons”.
Vritrasur settled the black dasa people on the fertile land between the rivers where they grew food for him and for the subjects of the Asur rulers.
4. The Treaty with Indra:
The Asuras also sowed seeds of hatred and disunity, both among the Devas and between the Manusyas and the Devas. The (Purohit) Prime minister Agnideva who hailed from the dynasty of Bharatas (1.96.3) arranged meetings (yagnas ) of the Devas to bring unity among them and appealed to rise against the Asuras. However, he soon realized that they were too weak to overthrow the Asur-rule (2.31.2).
As the ambassador of the Devas (2.6.7), the Prime minister Agnideva then sailed (1.44.12) for the land of Kush (1.10.11) and entered into a treaty with Indra, a warlord who was probably fleeing from the Egyptians and who was looking for a refuge for himself and his people. According to the treaty, if Indra helped the Devas to overthrow the Asur-rule in India, he would be granted refuge with his people in the country. In the treaty Indra promised to follow the laws of India (the dharmshastra). Indra recruited soldiers for his army from the land of Prishni (1.23.10) and sailed for India together with his mercenary soldiers (1.19.8) and with their Prishti horses. Indians called the mercenary soldiers of Indra, maruts. An advanced weapon Vajra was designed by a very skilled engineer (or Tvastri) in order to gain superiority in the battle against the Asuras. The weapon Vajra could burn down everything over an area of several square kilometers (2.11.10). Indra and Agni both practiced to handle and use this weapon effectively.
4.1 The Battle of Trikadrukesh (2.11):
The Deva soldiers under the command of Agnideva and the maruts under the command of Indra set out to launch an attack on Vritrasur. They came under fire of a chemical weapon shot by an Asur soldier. It created a poisonous mist ( 1.52.5) in the sky just above the Deva army. To escape death, the soldiers fled and took refuge in the hills. They retreated and camped on the hill at Trikadrukesh.
Early next morning when, under the cover of a mist, Indra launched a new attack, the Deva cavalry (2.11.16) and also a few maruts revolted and refused to proceed for battle. Indra pacified them and promised to protect them in the battle. He drank a lot of Soma before launching the attack and the alcohol made him like a wild animal. Using his Vajra as the measuring rod, Indra dug several holes for his archers (2.15.3). The attack took Vritrasur by surprise. Half asleep, Vritrasur battled, driving his chariot at high speed. Indra shot with his Vajra at the yoke, which broke into two, and the chariot overturned. Vritrasur had to fight on foot. Indra cut off his limbs one by one. Wounded he ran away from the battlefield and hid in the palace of his concubines. Indra followed him and killed him, his son and his wife. He seized the treasury and got hold of an enormous amount of gold and other wealth.
Indra and Agni then looked for the hidden water-dam. They immediately ordered to start the work to break open the dam and release the water into the rivers. Indra burnt alive all those who bore arms. He confiscated the cattle, horses and cars from the people and let them go.
4.2 Indra Ruled Over All:
Indra and Agni, together with the skilful warriors Mitra and Varuna, waged war against the Asur vassals and those rulers who were friendly with Vritrasur, and killed them one by one. Indra then subjugated Suryadeva, the king of the Devas, and forced him to part with his enormous wealth. He marched into Swarg almost without resistance and confiscated the wealth of the Devas. He assumed the title of Devaraj, king of the Devas. He also killed Narmar, a peaceful Indian king, just for his wealth.
Indra secured the western boundary by killing the Asur general Shambar. After four years he paved the way for his people to enter the country and gave them land and money to settle down in Rajasthan (Brahmavart) and Antriksh. The Indians called his people the Aryah (the homeless wanderers). They changed the name of the region to Aryavarta, and later Hastinapur (Delhi) became Indraprastha. Indra, through persuasion, got people to agree to clear some of the forests in order to acquire more farmland for the new settlers, the Aryah. He destroyed the villages where the black dasyu people had settled and were growing food for the Asur rulers and their people. Even the peaceful and learned black people were expelled.
Indra and Agni collected plenty of gold and food from the spoils of the wars and they stored it in several stations at secret places to prevent starvation. The singer Gritsamdas narrates that they distributed food and wealth among the people regularly and thereby won the heart of the common man. The rishis sang the glory of Agni and Indra in Soma houses, for which they were paid richly. Indra himself organised the distribution of food and wealth to the people.
4.3 Agnideva:
Agnideva distributed land to the newly settled people. He went to the troubled regions to enforce law and order (2.5). He explained to people how to grow food in areas too arid for cultivation (2.10.4). The singer warns Agnideva against the enemies of the Devas who came to him disguised as horse-breeders. “They should be expelled to save the learned and the innocent from their treachery. Agni brought prosperity to the country. He will always be remembered as the hero who saved the country from devastation.”
4.4 The Adityas ( The governors) :
The governors Varuna and Mitra managed the digging of water reservoirs and the construction of houses in various parts of the country. They made payments to the workers on an accord basis. Greedy workers who worked fast to earn more money did not get paid for the badly done work made in a hurry. The houses were built so that people of the same profession could live together in the same area. Provision was made even for the wild animals to have sufficient drinking water (2.38.7). Loans were given to people to start their own business or farming etc. The governors and tax collectors were extremely kind and good-natured people. They looked deeply into the eyes of a person to assess whether he was honest or crooked and they did what was best for their subjects. As more and more Aryans arrived to settle down deep into Aditi, the people started getting angry and unfriendly. The ruler of Mah-lok allotted one part of the region to the Aryans. The singer requests Varuna not to expel the learned of foreign origin.
One who paid his taxes on time got a good reputation and commanded respect in society. Those who helped the governors in their work got land and pasture on the bank of the river with clean water (2.27). All lived in great comfort in the region ruled by the governor Varuna. He had dug channels, through which the water was constrained to flow to all regions.
4.5 The Rudras and the Maruts:
The army commanders (Rudras) went round picking up criminals and law-breakers and punish them. Savitar deva, who was responsible for the security of the country, had issued strict orders to his soldiers to thoroughly search the boats of the Asuras and Ahi, which touched the Indian ports (2.38.3).
The singer describes: “ The commander of the Maruts, who has come to visit, is sitting in his chariot like a wild beast (2.33). He is aggressive and violent. He beats up people cruelly. He is strongly built and wears golden decorations on his brown uniform. He carries medicines with him for the wounded soldiers and even for others who are in need. Mitra has built cantonments for the Maruts in different parts of the country. They get very nourishing food, which makes them strong. They are armed with spears and incendiary missiles, which tear apart the body violently. People are informed that they are our allies. Still some people insult them and harass them.” The singer informs the commander that a Deva is never insulted or punished by death.
4.6 The Ashvins:
The singer, Gritsamdas, in his songs (2.39) describes the flying craft of the Ashvins as follows:
“–come to us in the craft which when coming hitherwards looks as if having a pair of horns. While flying at fast speed, it looks like a big fish swimming in a sea of air. Its wheels make awful sound when you bring the strong and powerful craft to a halt and also at daybreak when you pass this way on your outward trip”.
He describes many historical events, which have been narrated by other singers in Mandal I. He gives a more detailed description of the battles compared to the earlier singers. He describes a good deal of weapon technology but says nothing about cosmology and other technical subjects.
——————————————————————————–
[1] Rigveda,The Rise of Aryan Power, Brij Nigam, D.Sc., http://www.rigveda.net
[2] Dr. Mats Nigam had done the proofreading of chapter 151 of the book “The Rise of Aryan Power” and when he visited the British museum in London, he furnished the above explanation of the sculpture.
[3] The great war which was the beginning of the end of the Indus Valley Civilization
[4] Suryadeva was the last Deva king. He is also the author of Surya Siddhant, the Hindu Astronomy.
[5] Most translators have explained panch janah as the five ruling dynasties of the past viz. yadu, puru, Anu, Druhyu, and Turvasas. This is incorrect.
[6] ivÖan! Saea ih deva>,z0 ka0 3 A0 7,
[7] Arnuwanda I was Hittite king who ruled the Asur empire from 1420-1400 B.C. He was ethnically a Ahhi i.e. from the group of greek islands then called Ahhiyawa. One of the islands in this group was Dannan In Rigveda he has been referred to as Ahi as well as Danu. His Indian nickname was Vritrasur.,
[8] The danus or the danavas had been visiting India for quite some time before the Asur invasion. Most danu people came to India for studying Astronomy. Maya Danava was the disciple of Surya deva whom Suryadeva had requested to write down the formulae of Astronomy and preserve it. This work is known as Surya Siddhant.
[9] Ahhiyawa was the region consisting of a number of Greek islands.
[10] See I.164.34
The present book unravels to her readers the exciting historical events which took place 2000 B.C. on the Indian sub-continent and tells about the great Deva-civilisation which once existed on this earth.
Rigveda is the most ancient literature available to us. It dates back to about 2000 B.C. The book is central to the understanding of the early history of the Aryans and the original home of the Indo-European languages. Indian priests have misled most of the translators to believe that it describes the methods of performance of the Sacrifices. Translations, based on this assumption, have never made any sense to the readers nor even to the translators. The wrong translations continue misleading both the archaeologists in their interpretations of their findings and the historians in writing the early history of the Aryans and about their original home.
“The Indo-Aryan civilization is an extraordinary pristine civilization which we Europeans have never yet surpassed. It is a civilization without a parallel that India has given to the world,” says Zenaide A. Rangozine.
Greatings,
Thanks for article. Everytime like to read you.
Thanks
GlenStef
Hi,
narayanasmrti.com – da best. Keep it going!
Thanks
Elcorin