Oleh: Suryanto, M.Pd

pg-079.jpg

Umat Hindu umumnya telah akrab dengan konsep penyatuan Atman dengan Brahman (Moksa). Juga terhadap konsep “Tat Tvam Asi” Namun, tidak banyak yang tahu bahwa konsep itu diajarkan oleh Adi Sankaracharya, yang diyakini sebagai penjelmaan Dewa Siwa. Shankara, begitu beliau lebih dikenal secara luas, mengemban misi besar untuk mengembalikan ajaran Weda yang seolah tenggelam karena berkembangnya agama Buddha yang diajarkan oleh Buddha Gautama. Benarkah Atman dapat menyatu dan lenyap ke dalam Brahman?

Apa artinya “moksa”? Kalau pertanyaan itu, diajukan pada orang Hindu, sebagian pasti akan menjawab : “Moksa adalah bersatunya Atman dengan Brahman. Moksa adalah keadaan di mana diri kita kembali bersatu dengan Tuhan“ Bersatu dengan Tuhan? Apanya yang bersatu, diri kita? Artinya, suatu saat “diri” kita akan lenyap dan “merger” dengan Tuhan? Jadi, roh akan berhenti mengalami punarbhawa (reinkarnasi) setelah ia “menjadi” Tuhan?
Sepertinya, tidak banyak di antara kita yang pernah mempertanyakan lagi kebenaran konsep moksa yang satu ini. Kita seolah sudah merasa nyaman dan pede memberikan jawaban yang telah baku dan memang populer itu. Apalagi, logika pemahaman moksa dalam artian penyatuan antara atman dan Brahman itu didukung oleh contoh-contoh rasional yang konkret. Atman diibaratkan sebagai air sungai yang mengalir ke laut, sedangkan Brahman diumpamakan sebagai lautan. Ketika air sungai telah berhasil mencapai lautan, maka terjadilah penyatuan keduanya.

Kita tidak akan bisa lagi membedakan, mana yang air sungai dan mana yang air laut. Begitulah, saat mencapai moksa, sang atman tidak akan dapat dibedakan lagi dengan brahman, …..seperti halnya air sungai yang “merger” dengan air laut itu. Roh akan “lenyap” dan “menyatu” dengan Tuhan.

Sekilas, perumpaan air sungai dan air laut itu memang memadai untuk menggambarkan apa yang dialami oleh roh setelah ia moksa. Tetapi, contoh itu hanya tepat bagi seorang awam, yang tidak memahami seluk beluk atom, molekul dan persenyawaan kimia!

Memang benar, secara kasat mata, air sungai dan air laut itu “kehilangan identitasnya” masing-masing setelah mereka bersatu. Namun, orang yang memahami konsep persenyawaan antara berbagai molekul zat akan melihat kenyataan lain. Ia akan tahu, bahwa molekul air sungai terdiri dari atom-atom Hidrogen dan atom-atom Oksigen. Rumus molekul air adalah H2O. Artinya, satu atom oksigen mengikat dua atom hidrogen untuk membentuk satu molekul air. Begitupun air laut memiliki unsur-unsur penyusun yang sama.
Ketika air sungai bertemu air laut, terjadilah reaksi antara atom-atom hidrogen dan oksigen air sungai, dengan atom-atom hidrogen dan oksigen air laut. Mungkin dua atom hidrogen air sungai akan berikatan dengan satu atom oksigen air laut dan membentuk molekul baru. Bisa pula, satu atom oksigen air sungai mengikat dua atom hidrogen air laut. Dan seterusnya, dan seterusnya. Tetapi, jangan lupa bahwa masing-masing atom itu tidak pernah kehilangan “identitasnya”. Kalau kita tandai masing-masing atom itu, akan tampak atom hidrogen air sungai tidak berubah menjadi atom hidrogen air laut. Begitupun sebaliknya. Mereka hanya berikatan satu sama lain, tapi tidak ada pihak yang kehilangan “jati dirinya.” Artinya, jati diri atom-atom air sungai tetap ada, tidak lenyap, meskipun ia “menyatu” dengan atom-atom air laut.
Begitu pula dengan Atman dan Brahman. Kalau memang benar bahwa Atman dapat “menyatu dan lenyap” ke dalam Brahman, hal itu akan bertentangan dengan sifat-sifat sang roh (atman) yang diuraikan dalam kitab-kitab Weda.
Weda menjelaskan bahwa sang roh adalah energi atau daya hidup yang kekal. Penjelasan seperti itu sangat sesuai dengan Hukum Kekekalan Energi dalam ilmu fisika. Bahwa energi tidak dapat diciptakan dan tidak dapat dimusnahkan, energi hanya dapat berubah dari satu bentuk ke bentuk yang lain. Dengan demikian, roh tidak bisa musnah, tidak bisa lenyap atau kehilangan sifat individualitasnya. Ia hanya berpindah dari satu badan jasmani ke badan jasmani lainnya, sesuai dengan karmanya.
Dalam Kitab Bhagavad-gita 2.23 dan 2.24 Sri Krishna memperkuat penjelasan di atas, dengan menyatakan sebagai berikut:

nainaà chindanti çasträëi
nainaà dahati pävakaù
na cainaà kledayanty äpo
na çoñayati märutaù

acchedyo ’yam adähyo ’yam
akledyo ’çoñya eva ca
nityaù sarva-gataù sthäëur
acalo ’yaà sanätanaù

“Sang roh tidak pernah dapat dipotong menjadi bagian-bagian oleh senjata manapun, terbakar oleh api, dibasahi oleh air, atau dikeringkan oleh angin. Roh yang individual ini tidak dapat dipatahkan dan tidak dapat dilarutkan, dibakar ataupun dikeringkan. Ia hidup untuk selamanya, berada di mana-mana, tidak dapat diubah, tidak dapat dipindahkan dan tetap ada untuk selamanya.”

Jadi, jelaslah bahwa konsep Atman dapat menyatu dengan Brahman, lalu lenyap seperti yang sering dijelaskan itu sebenarnya kurang tepat. Contoh berikut mungkin akan lebih memperjelas kekeliruan konsep kita tentang moksa. Ada seekor burung yang bulu-bulunya berwarna hijau, lalu hinggap pada sebatang pohon yang daunnya rindang berwarna hijau pula. Sudah tentu, burung itu akan seolah-olah lenyap dan tampak “menyatu” dengan pohon itu. Orang yang kurang cerdas akan mengatakan bahwa burung itu telah mencapai “penyatuan” dan kehilangan jati dirinya. Padahal, bagaimana faktanya? Ya, jelas sekali. Burung berbulu hijau itu tidak pernah berubah menjadi pohon, ia tetap ada di ranting pohon itu, tidak kehilangan individualitasnya. Demikian halnya sang pohon. Keduanya tampak seolah-olah menyatu, hanya karena persamaan sifat, bukan karena yang satu menjadi yang lain.
Begitupula dengan sang roh (Atman), ia akan tetap menjadi percikan-percikan Tuhan yang bersifat kekal, dan tidak akan pernah dapat berubah menjadi Tuhan (Brahman).
Sebagaimana dinyatakan oleh Sri Krishna :” mamaivamso jiva-loke jiva-bhutah sanatanah” Para makhluk hidup di dunia yang terikat ini adalah bagian-bagian percikan yang kekal dari Diriku (Bhagavad-gita 15.7).
Lagi pula, air sungai masih akan ada kemungkinan untuk mengalami penguapan. Cahaya matahari akan membuat air laut menguap menjadi awan, lalu akan jatuh lagi ke daratan. Jadi, menyatunya Atman dengan Brahman, kalau memang hal itu terjadi, tidak akan bersifat kekal. Bukankah kita sendiri mengalami bahwa sifat roh adalah selalu giat? Bagaimana mungkin roh yang bersifat aktif dapat tinggal diam dalam kekosongan tanpa ada kegiatan? Dengan sifat aktif seperti itu, suatu saat roh akan jatuh lagi ke dalam lingkaran kelahiran dan kematian.
Bila kita lacak kembali asal usul ajaran penyatuan Atman dengan Brahman, kita akan temukan nama Adi Sankaracarya, salah seorang guru besar dan filosof yang sangat termasyur di India, dikenal sebagai pencipta filsafat Mayavada itu.

Lalu, mengapa Sankaracharya berbuat demikian? Mengapa beliau mengajarkan konsep yang berbeda dengan ajaran Weda yang sesungguhnya? Jawabannya, Sankaracharya memang mengemban tugas melanjutkan misi yang telah dirintis oleh Buddha Gautama.
Menurut Satsvarupa das Gosvami (1996) dalam Padma Purana terdapat uraian mengenai identitas Sankaracarya yang sebenarnya. Dia adalah penjelmaan Dewa Siwa yang mengemban misi khusus :
“Istriku Parvati, dengarlah penjelasan bagaimana aku menyebarkan kebodohan melalui filsafat Mayavada. Hanya dengan mendengarnya saja, bahkan seorang yang sangat maju sekalipun akan jatuh. Dalam filsafat ini, yang sebenarnya sangat menyesatkan bagi orang awam, Aku akan menafsirkan secara keliru makna sejati ajaran-ajaran Weda, dan menganjurkan seseorang untuk meninggalkan segala jenis kegiatan untuk mencapai pembebasan dari karma. Dalam filsafat mayavada itu, Aku menyatakan bahwa jivatma (sang roh) dan Paramatma (Tuhan) adalah tunggal dan memiliki sifat-sifat yang sama.
Istriku, pada jaman Kaliyuga nanti Aku akan menjelma sebagai seorang brahmana dan mengajarkan filsafat Mayavada itu. Untuk menipu para ateis (orang yang tidak percaya kepada Tuhan), aku menguraikan Kepribadian Tuhan Yang Maha Esa sebagai tidak berwujud dan tidak memiliki sifat. Begitu pula, dalam menafsirkan Vedanta, Aku menyatakan bahwa Tuhan tidak memiliki wujud, dan tidak berbentuk.”
Sewajarnya, orang lantas bertanya, mengapa Dewa Siwa berbuat demikian? Dalam Siva Purana, dijelaskan bahwa Dewa Siwa hanya menjalankan perintah. Sebagaimana kita ketahui, Buddha Gautama adalah penjelmaan Sri Wishnu yang telah mengajarkan agama Buddha dan menolak kebenaran kitab-kitab Weda. Para brahmana pada masa itu mengatasnamakan Weda untuk melakukan korban binatang atau mendirikan rumah potong hewan. Mereka juga mulai menyimpangkan ajaran Weda dengan memperkenalkan sistem kasta, yang menganggap bahwa hanya para brahmana yang boleh dan mampu mendekatkan diri kepada Tuhan. Karena itulah, tidak ada pilihan lain bagi Buddha Gautama, untuk menyelamatkan Weda, untuk sementara beliau menolak kebenaran Weda. Buddha Gautama mengajarkan ahimsa dan menghapuskan sistem kasta.
Buddha Gautama juga mengajarkan bahwa kehidupan di dunia ini adalah penderitaan, bahwa penyebab penderitaan itu adalah keinginan-keinginan duniawi kita, dan dengan menghapuskan seluruh keinginan, kita akan dapat mencapai nirwana, yaitu pembebasan dari kelahiran ke dunia ini. Buddha Gautama menolak untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang berhubungan dengan keberadaan Tuhan, tentang atman (roh), kehidupan setelah pembebasan, dan sebagainya. Ketika ditanya mengenai hal-hal seperti itu, Buddha Gautama akan menjawab “Tathagata (Buddha) bebas dari segala teori.” (Ravindrasvarupa, 1991).

Para pengikut Buddha selanjutnya menyebarkan doktrin sunya atau anätma, yang berarti “roh itu tidak ada”, namun semua itu adalah penafsiran yang bersifat duniawi dari “kebisuan” Buddha Gautama terhadap topik-topik spiritual. Fakta sederhananya adalah bahwa Buddha Gautama menolak kebenaran Weda, namun Beliau tetap setia pada ajaran Weda dengan cara menolak menciptakan “teori-teori” sendiri tentang Tuhan, tentang roh, dan sebagainya yang berbeda dari konsep-konsep Weda. Karena itulah Buddha Gautama “diam seribu bahasa” mengenai hal-hal itu.
Kesadaran masyarakat pada masa itu tercemari akibat makan daging, orang telah menjadi ateis. Namun Sang Buddha yang tidak pernah berbicara sepatah katapun mengenai Tuhan, berhasil memenangkan sikap patuh dan tunduk orang-orang itu kepada Beliau. Demikianlah, Sri Wishnu telah mensiasati dan menipu orang-orang yang ateis pada masa itu untuk memuja Tuhan dalam penjelmaannya sebagai Sang Buddha. Misi Buddha Gautama sukses, sebagian besar masyarakat India mengikuti ajaran Beliau dan memeluk agama Buddha.

Namun keberhasilan itu membawa bahaya tersendiri, yaitu hilangnya rasa hormat terhadap Weda, dan berkembangnya filsafat yang menolak keberadaan Tuhan dan keberadaan roh.
Kemunculan Buddha Gautama merupakan langkah awal untuk proses pelurusan kembali ajaran-ajaran Weda yang telah disimpangkan. Langkah berikutnya adalah dengan mengutus awatara Dewa Siwa untuk melakukan pelurusan lebih lanjut. Awatara itu tidak lain adalah Sripada Sankarãcãrya, yang lahir pada tahun 788 Masehi di wilayah bernama Kaladi, di Propinsi Kerala, India Selatan. Sankara, demikian nama pemberian dari kedua orang tuanya, lahir dari pasangan brahmana bernama Sivaguru dan Aryamba.
Pasangan ini telah lama menikah, namun tidak dikaruniai anak. Lalu mereka mengadakan pemujaan kepada Tuhan agar dikaruniai anak. Dikisahkan bahwa Dewa Siwa muncul dalam mimpi mereka. Dewa Siwa memberikan pilihan, apakah mereka ingin memiliki satu anak laki-laki yang berusia pendek namun akan menjadi ahli filsafat yang sangat termashyur di dunia, ataukah memilih dikaruniai banyak anak, namun mereka akan memiliki kemampuan biasa-biasa saja. Tentu pilihan pertama menjadi lebih menarik bagi pasangan brahmana itu. Nama yang diberikan oleh kedua orang tuanya adalah Sankara. Adi Sankaracharya, demikian beliau kemudian dikenal secara luas, adalah nama yang diberikan sebagai tanda kehormatan.
Kata “Adi” di depan nama Sankara dalam bahasa Sanskerta adalah sebuah gelar kehormatan yang berarti “yang mulia”.
Sedangkan kata “acharya” adalah sebutan untuk seorang guru kerohanian yang sudah insaf akan dirinya. Telah menjadi sebuah tradisi Hindu bahwa kata gelar yang berada di belakang nama seseorang yang dihormati, biasanya akan ditulis menyatu dengan nama belakang itu. Demikianlah, Sankara mendapat gelar “acharya”, sehingga namanya menjadi “Adi Sankaracharya”
Ayahnya telah meninggal dunia ketika Sankara baru berusia 3 tahun, sehingga ibunya menyelenggarakan upacara upanayana (upacara yang menandai seorang anak mulai belajar Weda) baginya dengan bantuan saudara-saudaranya. Sankara mampu menguasai segala jenis cabang pengetahuan Weda dalam waktu singkat.
Banyak peristiwa atau kejadian ajaib yang dikisahkan sehubungan dengan masa muda Sankara. Sebagai seorang Brahmana muda, suatu hari ia pernah pergi meminta sedekah makanan dari rumah-rumah keluarga-keluarga yang ada di desanya. Seorang wanita yang sangat miskin, namun tidak ingin membiarkan Sankara pergi dari hadapannya dengan tangan hampa, akhirnya memberikan buah amla yang hampir membusuk, satu-satunya benda yang tersisa di rumahnya. Tersentuh oleh sifat kedermawanan dan melihat kemiskinan dari wanita itu, Sankara menyusun doa pujian kepada Dewi Laksmi, dewi kekayaan di depan pintu rumah wanita itu. Sebagai hasil dari doa tersebut, rumah wanita itu dipenuhi dengan emas.
Sejak masa mudanya Sankara telah memiliki keinginan yang kuat untuk memasuki tahap hidup sannyasa (tahap hidup pelepasan ikatan terhadap hal-hal duniawi). Dalam hidupnya Sankara tidak pernah mencita-citakan untuk menikah dan menjalani kehidupan berumah tangga, meskipun ibunya sangat mendambakan hal itu. Suatu hari, ketika sedang mandi di sebuah sungai, seekor buaya menggigit kakinya. Sankara merasa bahwa ia memang telah ditakdirkan untuk meninggal dunia pada saat itu juga, dan kemudian segera memutuskan untuk memasuki tahap hidup sebagai seorang sannyasa. Ibunya menyaksikan peristiwa itu. Kesempatan itu dimanfaatkan oleh Sankara guna memperoleh ijin dari ibunya untuk menjadi seorang sannyasa. Kalau tidak, maka ia akan mati ditelan buaya itu.
Akhirnya dengan terpaksa ibunya memberikan restu, dan melupakan keinginannya agar Sankara menikah. Sankara berjanji kepada ibunya, bahwa walaupun ia seorang sannyas, kelak bila ibunya meninggal dunia, dia sendiri yang akan datang memakamkan jenasahnya.
Setelah dalam pikirannya Sankara memutuskan untuk memasuki tahap kehidupan pelepasan terhadap ikatan duniawi (sannyasa), tiba-tiba buaya tersebut melepaskan gigitan kakinya. Sejak saat itulah, secara tidak resmi Sankara memasuki tahap hidup sebagai sannyasa, dan memutuskan untuk mencari seorang guru yang akan mampu membimbing dan mengarahkannya.
Dalam pengembaraannya mencari seorang guru, Sankara tiba di tepi Sungai Narmada di India Tengah. Di sana, ia tiba disebuah ashram yang dipimpin oleh Govinda Bhagavatpada, murid dari Gaudapada yang termashyur dengan kitab karangannya, Mandukya Karikas. Kitab Mandukya Karikas dianggap sebagai kitab yang mulai memperkenalkan filsafat Advaita Vedanta. Sankara diterima sebagai murid secara rohani oleh Govinda Bhagavadpada, yang menganugerahinya dengan diksa sebagai sebagai sannyasa dalam tingkatan tertinggi, yaitu tahap paramahamsa.
Menyadari kecerdasan luar biasa yang dimiliki oleh muridnya, Govinda memerintahkan Sankara untuk menguraikan secara terperinci filsafat Vedanta dengan menyusun ulasan atau tafsiran terhadap Upanisad-upanisad terpenting, Brahma Sutra, dan Bhagavad-gita. Sankara memohon ijin gurunya untuk pergi melakukan perziarahan ke berbagai tempat suci di India, sambil menyusun ulasan-ulasannya terhadap kitab-kitab Upanisad.
Sangatlah besar sumbangan pemikiran Sankaracharya terhadap filsafat Vedanta dan kebangkitan kembali budaya India secara keseluruhan.
Secara garis besar, karya-karya Sankaracharya dapat dikelompokkan menjadi 3 kategori, yaitu
(1) Bhasya (ulasan terhadap prasthana trayi). Sankaracharya menulis ulasan terhadap 10 Upanisad, Brahma Sutra, dan Bhagavad-gita. Ketiga jenis kitab ini disebut sebagai tiga karya terpenting dalam filsafat Vedanta (prasthana trayi). Dewasa ini orang yang mempelajari Upanisad dan Brahma Sutra dianggap belum lengkap pengetahuannya, kalau belum membaca ulasan Sankaracharya. Gaya bahasa yang digunakannya juga begitu mudah dipahami, namun memiliki makna yang teramat luas serta mendalam; (2) Prakarana Grantha (ayat-ayat yang berisi uraian pendahuluan dalam mempelajari sebuah kitab); dan (3) Stotra (kumpulan mantra sebagai doa-doa pujian).
Selama 32 tahun usia hidupnya, Sankaracarya mengabdikan seluruh hidupnya untuk merestorasi dan meluruskan kembali ajaran-ajaran Weda. Sumbangan terbesar Sankaracarya adalah keberhasilannya mengalahkan filsafat agama Buddha yang telah membuat agama Hindu tenggelam pada masa itu. Sankaracarya melakukan debat-debat terbuka dengan para pendeta Buddha , dan berhasil membuktikan kebenaran ajaran Weda. Sankaracarya melakukan perjalanan ke seluruh wilayah India, dan mendirikan ashram-ashram besar di empat penjuru India, yaitu di utara di Badrinath, di selatan di Sringeri, di Barat di Dwaraka, dan di timur di Puri.
Sesuai dengan uraian tujuan Dewa Siwa menjelma sebagai Sankaracarya dalam Padma Purana dan Siwa Purana seperti yang dipaparkan di atas, maka dalam melakukan misinya Sankaracarya membuat berbagai penyesuaian.
Misalnya, untuk mengajak kembali para penganut Buddha agar menerima ajaran Weda, Sankaracarya melakukan kompromi dengan menciptakan penafsiran yang berlawanan dengan makna sesungguhnya ayat-ayat Weda. Buddha mengajarkan bahwa tidak ada Tuhan dan tidak ada atman, sedangkan
Weda jelas-jelas mengajarkan bahwa Tuhan itu ada, memiliki sifat personal. Sama halnya kalau kita ingin bertemu dengan presiden Amerika Serikat, mau tidak mau kita harus bertemu dengan “personal” atau “individu” yang menjabat sebagai presiden saat ini, yaitu George W. Bush. Kitab-kitab Purana dan Upanisad menyatakan bahwa Tuhan memiliki aspek personal dan aspek impersonal. Aspek personal Tuhan berarti bahwa Tuhan memiliki “wujud” atau “bentuk” rohani, yang berada diluar jangakuan nalar dan imajinasi manusia.
Bahkan dalam kitab Injil, Al-Quran, dan Taurat, terdapat ayat-ayat yang membuktikan bahwa Tuhan memang memiliki wujud atau bentuk rohani, meskipun ayat-ayat itu sering hanya memberikan keterangan yang samar-samar. Sebaliknya, dalam kitab-kitab Purana dan Upanisad, jelas-jelas disebutkan bahwa aspek tertinggi Tuhan adalah aspek bhagavan (Tuhan yang bersifat personal). Karena Buddha Gautama mengajarkan bahwa Tuhan itu tidak ada, maka Sankaracarya menegaskan bahwa Tuhan itu ada, namun tidak bersifat personal, Tuhan tidak memiliki bentuk atau wujud rohani. Konsep Tuhan yang tidak berwujud inilah yang lebih dikenal sebagai Brahman. Jadi Sankaracarya mengambil jalan tengah atau kompromi antara ajaran Buddha dan ajaran ketuhanan Weda, yaitu Tuhan ada, namun tidak berwujud!
Sankaracarya juga menegaskan bahwa atman itu ada, bahwa diri manusia sesungguhnya adalah “daya hidup” yang berada di dalam badan, yang dalam bahasa sehari-hari kita kenal sebagai roh.
Hal ini berlawanan dengan pandangan Buddha yang menyatakan roh itu tidak ada atau anatma. Untuk memperkuat konsep adanya roh itu, Sankaracarya memperkenalkan ajaran “TAT TVAM ASI” yang sering diartikan dengan “Aku adalah Kamu, Kamu adalah Aku”. Lalu konsep itu dikaitkan dengan salah satu ajaran dasar Weda lainnya yang menyatakan “AHAM BRAHMASMI” yang berarti “AKU ADALAH BRAHMAN”. Nah, penggabungan kedua ajaran ini menghasilkan pemahaman bahwa diri manusia sesungguhnya adalah Brahman, karena Sankaracarya menyebut Tuhan juga dengan kata “Brahman”.
Jadilah berkembang filsafat yang menganggap bahwa sesungguhnya manusia ini adalah Tuhan-Tuhan yang sedang tercemari kesadarannya, hingga jatuh ke dalam kehidupan material ini. Penyebab jatuh itu adalah ilusi atau maya. Jadi filsafat itu menyatakan bahwa manusia sesungguhnya adalah Brahman-Brahman yang sedang tertutupi oleh maya. Bila kita berhasil mencapai pembebasan, kita akan kembali menjadi Brahman, atau menyatu dengan Brahman. Itulah konsep moksa yang sering kita pahami. Karena itulah filsafat ini sering disebut filsafat Mayavada atau filsafat Mayavadi. Para pengikut filsafat ini menganggap semua manusia adalah sama, Tat Tvam Asi. Celakanya, mereka menganggap persamaan itu dalam bentuk “Aham Brahmasmi” sehingga mereka sering menyebut satu sama lain dengan sebutan “daridra narayana”. Narayana adalah nama lain dari Krishna atau Wishnu, Tuhan sesungguhnya. Sedangkan “daridra” artinya “kecil” atau “miskin”. Jadi “daridra narayana” artinya “narayana kecil” atau Tuhan yang sedang hilaf, kesadarannya tertutupi oleh maya, sehingga jatuh ke dunia ini. Nanti kalau sudah mencapai moksa, gelar “daridra” itu akan hilang, hingga tinggal gelar Narayana.
Tentu saja, filsafat itu patut dikritisi, karena menggelikan dan berisi unsur penghinaan. Mengapa? Menggelikan, karena menurut mereka Tuhan bisa lupa, tertutupi kesadarannya oleh maya (tenaga yang menghayalkan) sehingga jatuh ke dunia ini. Padahal maya adalah ciptaan Tuhan sendiri. Jadi, Tuhan macam apa yang bisa terjebak oleh tenaga ciptaan-Nya sendiri?? Lucu bukan? Masak Tuhan bisa kalah oleh maya.
Penghinaan pula, karena menganggap Tuhan sejajar dengan atman. Weda jelas-jelas menyebutkan bahwa atman tidak pernah menjadi Brahman. Jadi, perlu kita kaji ulang pengertian moksa sebagai “penyatuan Atman dengan Brahman.”
Semua itu adalah filsafat yang diajarkan oleh Adi Sankaracarya, dengan mengingat bahwa latar belakang masyarakat yang harus diajarinya adalah orang-orang Buddha yang memang tidak mengenal Tuhan. Sankaracarya mengemban misi tahap kedua untuk meluruskan ajaran Weda yang disimpangkan. Tahap berikutnya, menjelmalah Ramanujacarya, Madhvacarya, dan Caitanya Mahaprabhu yang akan kami bahas pada newsleter ini edisi mendatang.
Namun Sankaracarya sendiri adalah pemuja Narayana atau Krishna, yang terbukti dalam syairnya yang sangat terkenal berjudul Bhaja Govindam yang ditujukan untuk para pengikutnya sendiri.

bhaja govindam bhaja govindam
govindam bhaja mudha mate
sampraapte sannihite kaale
na hi na hi rakshati dukrinya-karane

“Nyanyikanlah nama Govinda (Krishna), sebut nama Govinda, bodoh! Pengetahuan lain yang kau kejar tak akan membantumu saat ajalmu tiba.”

Translate »