Dalam Padma Purana – Uttara Kanda 25.7 Dewa Siva berkata;
“mayavadam asac chastram pracchannam baudham ucyate
mayaiva kalpitam devi kalau Brahmana rupena”
Artinya;
“Wahai Devi istriku, pada jaman Kali aku akan lahir sebagai seorang Brahmana dan menjelaskan Veda dengan filsafat palsu mayavada yang mirip dengan filsafat Buddha”
Sloka Padma Purana ini merupakan dasar akan turunnya Acharya Agung yang tidak lain adalah Dewa Siva sendiri dengan mengambil wujud Acharya Sankarya atau dikenal dengan nama Sankaryacarya. Tujuan kemunculan Dewa Siva sebagai Sankaryacarya tidak lain adalah meneruskan misi Buddha Gautama dalam meluruskan penyimpangan penerapan ajaran-ajaran Veda. Yaitu dengan cara menyusun filsafat baru yang mirip dengan filsafat Buddha tetapi juga tidak sama dengan penafsiran Veda sesungguhnya. Dengan demikian penganut Buddha kembali menjadi penganut Veda dan tentunya tidak melupakan misi yang sebelumnya, yaitu agar penganut Veda tidak menyalahkan artikan korban suci untuk kepentingan nafsu, membunuh binatang dan juga mengembalikan prinsip catur varna. Hal ini dapat kita lihat dalam pernyataan Dewa Siva dalam sloka Padma Purana yang lain;
“Istriku Parvati, dengarlah penjelasan bagaimana aku menyebarkan kebodohan melalui filsafat Mayavada. Hanya dengan mendengarnya saja, bahkan seorang yang sangat maju sekalipun akan jatuh. Dalam filsafat ini, yang sebenarnya sangat menyesatkan bagi orang awam. Aku akan menafsirkan secara keliru makna sejati ajaran-ajaran Weda, dan menganjurkan seseorang untuk meninggalkan segala jenis kegiatan untuk mencapai pembebasan dari karma. Dalam filsafat mayavada itu, aku menyatakan bahwa jivatma (sang roh) dan Paramatma (Tuhan) adalah tunggal dan memiliki sifat-sifat yang sama”
Mayavada berasal dari kata Maya (tenaga material yang mengkhayalkan) dan Vada (paham pemikiran atau filsafat). Jadi mayavada berarti filsafat tentang maya, tenaga yang mengkhayalkan atau filsafat tentang khayalan.
Sesuai dengan ajaran Sankaryacharya, pondasi ajaran Mayavada adalah sebagai berikut;
- Brahma Satyam (hanya Brahman yang sejati)
- Jagan Mithya (Alam material beserta isinya tidak nyata / palsu)
- Jivo Brahmaiva na aparah (Atman/Jiva identik dan sama dengan Brahman/Tuhan
Ketiga pernyataan filosofis tersebut tercantum dalam kitab Sariraka Bhasya yang ditulis oleh Sankaracarya sendiri dan merupakan penjelasan/komentar atas kitab Vedanta Sutra (yang juga disebut Sariraka Sutra) karya sang penyusun Veda yaitu Rishi Dvaipayana Vyasa. Dan Vyasa sendiri, atas nasehat Dewarishi Narada, sebelumnya telah menulis kitab Bhagavata Purana / Srimad Bhagavatam sebagai penjelasan/komentar Vedanta Sutra yang telah ditulisnya.
Menurut filsafat mayavada, Brahman adalah Tuhan tanpa wujud (nirakara), tanpa sifat apapun (nirguna) dan tanpa ciri apapun (nirvisesa). Sebab, kata Sankara, jika Tuhan berwujud,maka Ia tidak mungkin menjadi sumber segala sesuatu. Bila sesuatu itu telah menjadi banyak beraneka-ragam, wujudnya itu akan berubah dan tidak ada lagi. Hal ini tidak sesuai dengan pernyataan Veda bahwa Tuhan (Brahman) kekal-abadi, satu tiada dua, tidak terbagi-bagi dan tidak pernah berobah. Contoh, sebatang kayu tidak akan ada lagi karena telah berobah menjadi rak, meja dan korsi. Berdasarkan logika dan argumen materialistik ini Sankara berani menyatakan bahwa Rishi Vyasa telah secara keliru menjelaskan tentang Tuhan seraya berkesimpulan bahwa Brahman impersonal (tanpa wujud, sifat dan ciri) inilah yang satyam, sungguh benar, nyata, sejati sebagai sumber segala sesuatu.
Menurut Sankara, jagat (alam dunia) yang terwujud ini adalah sesungguhnya mithya, tidak nyata, tidak sejati alias palsu,sebab ia adalah produk maya, ilusi/khayalan. Menganggap dunia sebagai nyata atau sejati adalah sama saja dengan menganggap seutas tali sebagai seekor ular. Atau menganggap kulit kerang yang berkilauan (diterpa cahaya matahari) sebagai sekeping perak.
Menurut filsafat mayavada, sang jiva (makhluk hidup) adalah sama dan identik dengan Brahman (Tuhan). Fakta ini sesuai dengan pernyataan sloka-sloka Veda sebagai berikut. “Aham brahmasmi”, Aku adalah Brahman (Brhad Aranyaka Upanisad 1.4.10). “Ayam atma Brahman”, sang Atma adalah Brahman itu juga (Mandukya Upanisad sloka 2). “So’ ham asmi”, diriku adalah Ia (Brahman) itu (Isa Upanisad sloka 16). Berdasarkan sloka-sloka tersebut,”Atman braman aikya”m, atman adalah sama dengan Brahman. Atau sang makhluk hidup (jiva) adalah sama dengan Tuhan (Brahman).
Oleh karena menganggap sang makhluk hidup (jiva) yang kecil, remeh dan tidak berdaya sama dengan Tuhan (Brahman) yang maha kuasa, maka filsafat mayavada ini disebut Advaita-Vada, filsafat non dualistik, yakni filsafat yang tidak mengakui adanya perbedaan antara jiva (makhluk hidup) dengan Tuhan (Brahman).
Dengan menganggap Brahman (Tuhan) bisa ditutupi (=dikhayalkan) oleh maya, dan segala wujud material di dunia fana sebagai illusi/khayalan yaitu penampakan Brahman yang ditutupi maya, maka filsafat mayavada ini disebut pula Vivarta-Vada, filsafat tentang illusi/khayalan.
Untuk menjelaskan hakekat Tuhan yang turun ke dunia fana dan disebut Avatara, Sankara mengemukakan teori adanya dua Brahman, yaitu;
- Nirguna Brahman, yaitu Brahman transendental, tanpa wujud, sifat dan ciri, mutlak, spiritual, tidak ditutupi/dikhayalkan maya dan bukan produk maya
- Saguna Brahman, yaitu Brahman immanent dengan wujud sifat dan ciri material, relatif, ditutupi/dikhayalkan oleh maya dan merupakan produk maya.
Para Avatara Tuhan adalah Saguna Brahman yang terwujud dari sifat alam sattvam (kebaikan). Para makhluk hidup (jiva) adalah Saguna Brahman yang terwujud dari sifat alam alam rajas (kenafsuan) dan tamas (kegelapan/kebodohan). Oleh karena sifat sattvam, rajas dan tamas adalah unsur-unsur maya, maka baik para Avatara Tuhan maupun para jiva di dunia fana adalah produk maya.
Menurut orang-orang Mayavadi (penganut filsafat mayavada), konsep Tuhan berpribadi (Personal God) yang berada dimana-mana pada tingkat visuddha-sattvam (kebaiikan murni/spiritual) adalah kebodohan. Sebab, kata mereka, visuddha-sattvam adalah transformasi sifat alam sattvam yang tetap merupakan unsur maya.
Para filsuf mayavadi tidak bisa menjelaskan apa sebenarnya maya itu yang mampu menutupi/mengkhayalkan Tuhan (Brahman) sehingga menjadi berwujud Avatara, para makhluk hidup dan bermacam-macam wujud material lain. Mereka mengatakan bahwa maya adalah semacam tenaga misterius yang dimengerti dengan analogi berikut.
Mereka menafsirkan langsung sloka-sloka Veda Sruti dan Vedanta Sutra tanpa memperdulikan perintah Veda bahwa untuk mengerti Veda Sruti dan Vedanta, seseorang harus menerima penjelasan Veda Smrti (yaitu Itihasa dan kitab-kitab Purana). Contoh, sloka Rig Veda 1.1164.46, “Indram mitram varunam agnim ahuh atha divyah … ekam sad vipra bahudha vadanti”, orang-orang bijaksana menyebut Ia (Brahman) dengan banyak nama seperti Indra, Mitra, Varuna dan Agni… Dengan langsung membaca sloka ini tanpa perduli pada penjelasan Veda Smrti, para filosof mayavadi membuktikan kebenaran filsafatnya bahwa dewa-dewa itu adalah Brahman (Tuhan) pula.
Mereka memahami sloka-sloka Veda Smrti secara gauna-vrtti, pengertian tidak langsung atau secara metaporik (kiasan). Contoh, medan perang Kuruksetra adalah lambang badan jasmani. Pihak Kaurava adalah lambang kejahatan dan pihak Pandava adalah lambang kebajikan.
Mereka hanya mau mengutip sloka-sloka Veda yang dianggap membenarkan filsafatnya. Contoh, mereka senang mengutip sloka Bhagavad Gita 6.29, ”Sarva bhuta-stham atmanam sarva bhutani catmani … sarvatra sama darsanah”, Yogi sejati melihat sang Atma ada dalam badan jasmani segala makhluk dan juga melihat segala makhluk dalam Atma. Sungguh, ia yang telah insyaf diri melihat Atma dimana-mana. Tetapi mereka tidak mau perduli pada sloka Bhagavad Gita 18.66 ,”Sarva dharman parityajya mam ekam saranam vraja”, tinggalkan segala kegiatan lain dan berserah diri saja kepadaku, kata Sri Krishna kepada bhakta-Nya Arjuna. Sebagaimana telah dikutip dimuka, Padma Purana Uttara Kanda 25.7 menyatakan,”Mayavadam asac chastram”, mayavada adalah filsafat rohani palsu, dan ini terkait dengan sloka 62.31 dalam Purana yang sama. Dikatakan demikian karena filsafat mayavada ini berlawanan dari filsafat Vedanta.
Berikut diuraikan secara ringkas 10 kepalsuan filsafat mayavada.
- Tuhan sejati adalah Brahman impersonal (Brahma satyam)
- Dunia fana/alam material adalah palsu (jagan mithya)
- Makhluk hidup identik dengan Tuhan (jivo brahmaiva na aparah)
- Nirguna Brahman menjadi Saguna Brahman
- Mukti berarti lebur bersatu dengan Brahman impersonal
- Dunia rohani/alam spiritual adalah ketiadaan/kehampaan/kekosongan (sunya)
- Jiva dan Brahman sebagai satu substansi spiritual sama non individual adalah konsep spiritual sejati
- Tat tvam asi adalah maha-vakya paling utama
- Tuhan (Brahman) hanya bisa diinsyafi dan dicapai dengan jnana (pengetahuan spiritual)
- Mayavada adalah filsafat paling tinggi.
Menurut filsafat Vedanta karya Rishi Vyasa, Brahman adalah Tuhan berwujud spiritual dengan sifat, ciri dan tenaga (energi) tak terbatas dan disebut Sri Bhagavan, Kepribadian Tuhan Yang Maha Esa.
Tuhan (Brahman) didefinisikan sebagai,“Janmady asya yatah”, Ia dari mana segala sesuatu berasal. (Vedanta Sutra.1.1.1). Segala sesuatu mencakup wujud, sifat, ciri, kepribadian dan beraneka-macam fenomena lain. Itu berarti Tuhan pasti memiliki wujud, sifat dan ciri spiritual. Atau Tuhan pasti memiliki personalitas/kepribadian. Dan Veda menyebut Tuhan pribadi Sri Bhagavan.
Tuhan berpribadi/Kepribadian Tuhan Yang Maha Esa adalah Ia yang maha kuat/perkasa, maha terkenal/termasyur, maha kaya, maha mengetahui/berpengetahuan, maha indah/tampan dan maha bebas/merdeka (Visnu Purana 6.5.47). Dan sebagai yang maha kuat/perkasa, Tuhan memiliki energi (sakti) yang tak terbatas.
Dikatakan dalam Visnu Purana 6.7.61 bahwa tenaga (sakti) Tuhan yang tak terbatas itu dikelompokkan menjadi 3 macam yaitu:
- Tenaga spiritual (para sakti)
- Tenaga marginal (ksetrajna-sakti)
- Tenaga material (avidya-sakti)
Apabila seorang manusia mampu menciptakan berbagai ragam fasilitas kehidupan dengan tenaga yang dimilikinya dan tetap sebagai manusia setelah menciptakan semua itu, lalu mengapa Tuhan Pribadi (Bhagavan) harus dinyatakan tidak mampu menciptakan dunia fana ini dengan berkata, ”Brahman impersonal-lah yang menciptakan dunia fana ini melalui maya yang misterius?”
Isa Upanisad mantra pembukaan dan Brhad Aranyaka Upanisad 5.5.1, menyatakan;
”Purnasya purnam adaya purnam eva vasisyate”, oleh karena Tuhan adalah mutlak maha sempurna, meskipun segala sesuatu berasal dari diri-Nya, namun Beliau sendiri tetap lengkap sempurna”
Jadi Tuhan mencipta dan memperbanyak diri dengan tenaga (sakti)-Nya. Tidak mungkin segala sesuatu dengan keanekaragaman wujud, sifat-sifat dan ciri berasal dari Tuhan (Brahman) tanpa wujud, sifat dan ciri apapun. Veda menyatakan bahwa Brahman adalah salah satu aspek Tuhan disamping Paramatma dan Bhagavan.
Dengan menyatakan bahwa Tuhan adalah Brahman impersonal, para filsuf mayavadi meniadakan ke-agungan, kebesaran, keperkasaan, kehebatan dan kemahakuasaan Tuhan.
Veda dalam Chandogya Upanisad 6.8.4 menyatakaan bahwa filsafat mayavadalah yang palsu (mayavadam asac chastram), bukan alam material/dunia fana ini. Alam material terwujud dari tenaga material (avidya-sakti) Tuhan (Bhagavan) yang nyata (satyam), sehingga ia tidak bisa dikatakan palsu (mithya). “San mulah sammyenah prajah sadayatanah sat pratisthah”, dunia fana beserta para makhluk hidupnya adalah perwujudan yang terpisah dari Tuhan dan semuanya berhakekat nyata selamanya dan bukan palsu.
Jika alam material ini dianggap palsu, mengapa Veda menyatakan bahwa orang yang berbuat bajik selama hidupnya kelak lahir di alam sorgawi, dan orang yang berbuat jahat selama hidupnya kelak jatuh ke neraka? Jika dunia fana ini palsu, maka semua prinsip-prinsip dharma sebagai aturan moral menjadi tidak berguna.
Kendi berasal dari tanah dan kelak akan kembali jadi tanah. Tetapi selama tanah itu berwujud kendi, ia adalah nyata karena dapat digunakan mengangkut air. Begitu pula, badan jasmani dan alam material ini yang berasal dari prakrti akan kembali jadi prakrti. Tetapi selama berwujud badan jasmani dan alam dunia, keduanya bisa dimanfaatkan sebagai sarana dan tempat melakukan pelayanan bhakti kepada Tuhan (Bhagavan).
Analogi tali dan ular (yang tercantum dalam Manduka Upanisad) sebenarnya untuk menunjukkan khayalan (maya) yang menyelimuti setiap orang, sehinga tiap orang berpikir bahwa badan jasmaninya yang dipanggil si A atau si B adalah dirinya sendiri yang sejati.
Orang dapat mengetahui suatu benda secara benar dengan memahami wujud, sifat dan cirinya. Khayalan timbul karena dia tidak mengerti dengan benar wujud, sifat dan ciri bendanya, sehingga ketika melihat seutas tali atau sekeping kulit kerang, dia menganggap benda itu sebagai ular atau perak.
Begitu pula, orang-orang mayavadi menganggap dunia fana ini palsu (mithya), sebab mereka sendiri tidak mau tahu tentang wujud, sifat dan ciri spiritual Tuhan beserta tenaga material (avidya-sakti) dan tenaga marginal (ksetrajna-sakti)-Nya yang mewujudkan dunia fana beserta segala makhluk penghuninya.
Sloka-sloka Veda yaitu,“Aham brahmasmi, ayam atma brahma, so’ham, sarva khalu idam Brahman, tat tvam asi” yang dikutip oleh para filsuf mayavadi, bukan berarti bahwa sang makhluk hidup (jiva) sama/identik dengan Tuhan (Brahman) dalam segala hal dan aspek. Sloka-sloka tersebut hanya menunjukkan kesamaan jiva dan Brahman secara kuantitatif.
Banyak sekali sloka-sloka Veda yang menyatakan bahwa sang makhluk hidup (jiva) bukan Tuhan (Brahman), melainkan bawahan atau pelayan kekal Tuhan. Perhatikan Svetasvatara Upanisad 6.7,” tam isvaram paramam mahesvaram… “, Mundaka Upanisad 3.1.1-2, “dvasuparna sayujya sakhaya samanam vrksah ….. Katha”, Upanisad 2.2.13, “nityo nityanam cetanas cetananam eko bahunam yo vidadhati kaman”, dan sebagainya.
Perbedaan secara kuantitatif karena berbeda potensi adalah sebagai berikut.
(Kata Atma, Purusa, Brahman dan Isvara bisa menunjuk makhluk hidup (jiva) atau Tuhan karena kesamaan mereka yang berhakekat spiritual).
Dalam Bhagavad-Gita 15.16-17 dijelaskan tentang makhluk ksara dan aksara dan Paramatma. Sedangkan dalam Bhagavad Gita 13.23, dinyatakan Tuhan sebagai Paramatma bertindak sebagai saksi (upadrsta) dan pengatur (anumanta) kegiatan para makhluk hidup (jiva). Bhagavad Gita 15.15, Tuhan sebagai sumber pengetahuan dan kelupaan bagi para makhluk hidup. Bhagavad Gita 7.5 dan 9.10, sang jiva tergolong para-prakrti (tenaga marginal Tuhan) yang dikendalikan oleh Tuhan sendiri. Bhagavad Gita 4.14, 9.9 dan 13.22, Tuhan tidak tunduk pada hukum karma, tetapi makhluk hidup harus tunduk. Bhagavad Gita 7.12, 7.14, 13.15 dan 14.9, Tuhan tidak diikat/dicengram oleh maya dengan jerat halusnya tri guna). Dan pada Bhagavad Gita 3.27, 3.29, 14.15, 18.40, dinyatakan bahwa makhluk hidup (jiva) tidak berdaya diikat/dicengkram maya, dan sebagainya.
Apa penyebab Nirguna Brahman (Tuhan spiritual) bisa ditutupi (di khayalkan) oleh maya dan menjadi Saguna Brahman (Tuhan material) dan jatuh ke dunia fana? Mengapa Tuhan yang maha kuasa bisa dikhayalkan oleh maya lalu hidup sengsara di dunia fana? Para filsuf mayavadi tidak bisa memberikan jawaban logis dan rasional terhadap pertanyaan ini!
Sri Krishna yang merupakan salah satu Avatara dikatakan sama dengan makhluk hidup (jiva) biasa yaitu tergolong Saguna Brahman, Tuhan berhakekat material. Hal ini berlawanan dari pernyataan Beliau dalam Bhagavad Gita 4.6; ”Sambhavamy atma mayaya”, Aku menjelma ke dunia fana ini dalam wujud rohani-Ku yang asli. Dalam Bhagavad Gita 4.9 juga disebutkan; “Janma karma ca me divyam”, kelahiran dan kegiatan-Ku semuanya bersifat rohani. “Evam yo vetti tattvatah tyaktva deham”, siapapun yang memahami/ingat akan fakta ini pada saat ajal, “punar janma naiti”, dia tidak akan lahir lagi di dunia fana tetapi “mam eti”, mencapai alam rohani tempat tinggal-Ku”.
Dalam Bhagavad Gita 7.24, Sri Krishna dengan tegas mengatakan;
avyaktaà vyaktim äpannaà manyante mäm abuddhayaù
paraà bhävam ajänanto mamävyayam anuttamam
Artinya:
“Orang yang kurang cerdas, tidak mengenal diri-Ku secara sempurna, menganggap bahwa dulu Aku, Kepribadian Tuhan Yang Maha Esa, Krishna, tidak bersifat pribadi dan sekarang Aku berwujud dalam kepribadian ini. Oleh karena pengetahuan mereka sangat kurang, mereka tidak mengenal sifat-Ku yang lebih tinggi, yang tidak dapat dimusnahkan dan bersifat Maha Kuasa”
Orang-orang mayavadi yang menyatakan bahwa Sri Krishna adalah manusia biasa, disebut mudha, manusia bodoh. Hal ini tercantum dalam Bhagavad Gita 9.11; “Avajananti mam mudha manusim tanum asritam param bhavam ajananto mama bhuta mahesvaram”, orang-orang bodoh menghina diri-Ku ketika Aku turun ke dunia fana dalam wujud manusia. Mereka tidak mengetahui hakekat-Ku yang rohani dan kemahakuasaan-Ku atas segala sesuatu”.
Sebutan Saguna Brahman adalah ciptaan Sankara sendiri untuk membenarkan filsafat monistik Advaita-Vada-nya bahwa “jivo brahmaive na aparah”, sang makhluk hidup (jiva) sama/identik dengan Tuhan (Brahman).
Kesamaan si makhluk hidup (jiva) dengan Tuhan (Brahman) berdasarkan logika udara di dalam kendi dan udara di luar kendi, dan makna mukti adalah lebur dan bersatunya jiva dengan Brahman berdasarkan logika air sungai bersatu dengan samudra; bukanlah argumen dan analogi tepat untuk menggambarkan kedudukan dan hakekat sang makhluk hidup dan Tuhan yang berkesadaran dan bersifat spiritual.
Menurut Veda, sang makhluk hidup (jiva) dan Tuhan (Brahman) adalah pribadi-pribadi spiritual yang sadar (abhijnah) dan memiliki kebebasan (svarat) dan kekal abadi (sanatanah). Mereka tidak bisa disamakan dengan unsur-unsur materi alam fana yaitu udara dan air yang tidak sadar dan tidak hidup. Perhatikan Bhagavad Gita 2.12, “na tu evaham jatu nasam na tvam neme janadhipah … “, dan Bhagavad Gita 2.16, “na sato vidyate bhavo na bhavo vidyate satah”,
Menurut Veda, Brahman impersonal itu adalah sesungguhnya cahaya (energy) Kepribadiann Tuhan Yang Maha Esa (Bhagavan)dan disebut Brahmajyoti. Sang jiva yang dikatakan bersatu dengan Brahman adalah sesungguhnya masuk ke dalam Brahmajyoti itu. Disana ia tidak bisa melakukan kegiatan apapun,sebab disana tidak ada apa-apa kecuali cahaya berkilauan di segala penjuru.
Sang jiva adalah individu rohani yang hidup dan hidup berarti harus punya kegiatan yang dilakukan. Oleh karena dalam Brahmajyoti tidak bisa melakukan kegiatan apapun, maka sang jiva dapat saja bosan tinggal disana dan jatuh lagi ke dunia fana. Karena itu dalam Bhagavata Purana 10.2.32 dikatakan,”Aruhya krcchrena param padam tatah patanty adho’ nadrta yusmad anghrayah”, meskipun para rohaniawan itu (yang tidak mengakui adanya wujud pribadi rohani Tuhan) telah melakukan pertapaan ketat dan keras sehingga mencapai mukti (dengan bersatu ke dalam Brahman impersonal), namun pada akhirnya mereka jatuh lagi ke dunia fana karena tidak mau memuja kaki padma Kepribadian Tuhan Yang Maha Esa”.
Dengan menyatakan bahwa Brahman impersonal adalah kesunyataan (satyam) satu-satunya dan alam material adalah palsu (mithya), para filsuf mayavadi menyimpulkan bahwa alam spiritual (dunia rohani) adalah sunya, ketiadaan/kehampaan/kekosongan. Sebab, kara mereka, ia (alam rohani) adalah Brahman itu sendiri.
Penjelasan Veda Smrti (Itihasa dan Purana) tentang alam spiritual yang penuh dengan keanekaragaman, dianggap oleh orang-orang mayavadi masih berhakekat material. Sebab, kata mereka, alam rohani itu adalah perwujudan sifat alam sattvam (kebaikan), salah satu unsur maya yang mewujudkan dunia material. Dan uraian kitab-kitab Veda Smrti tentang dunia rohani, katanya, harus dianggap bersifat metaporik (kiasan).
Dengan menganggap penjelasan Veda Smrti sebagai kiasan, orang-orang mayavadi menafsirkan setiap nama pribadi, tempat kegiatan, hubungan, sifat dan fenomena yang oleh Veda dikatakan ada di alam spiritual berdasarkan silat lidah, permainan kata-kata dan olah otak yang semuanya bermuara pada kesimpulan bahwa Brahman-lah realita spiritual ter tinggi sejati, bukan Bhagavan (Kepribadian Tuhan Yang Maha Esa) dan alam rohani Vaikuntha loka tempat tinggal-Nya.
Dalam Bhagavad Gita 15.1-2, dikatakan bahwa alam material adalah bagaikan pohon terbalik yang akar dan batangnya mengarah ke atas, sedangkan cabang, ranting dan daunnya mengarah kebawah. Dikatakan demikian karena alam fana adalah refleksi (pantulan/bayangan) alam rohani tempat tinggal Kepribadian Tuhan Yang maha Esa (Bhagavan).
Pernyataan bahwa sang makhluk hidup (jiva) identik dengan Tuhan (“jivo brahmaiva na aparah atau Brahman atman aikyam”) dianggap kebenaran tertinggi ketiga oleh para filsuf mayavadi setelah Brahma satyam (hanya Brahman yang nyata/sejati) dan jagan mithya (alam dunia ini palsu). Bahwa Brahman/Jiva adalah nirguna (tanpa sifat), nirvisesa (tanpa ciri), nirakara (tanpa wujud) dan anirvacaniyam (tak teruraikan dengan kata-kata),begitu kata mereka, di benarkan oleh Brhad-Aranyaka Upanisad 3.9.26 bahwa Brahman adalah neti-neti, bukan ini dan bukan pula itu.
Selanjutnya, dengan mengutip sloka Vedanta Sutra 1.1.12 bahwa Brahman adalah anandamayo’ bhyasat, senantiasa berbahagia atau penuh kebahagiaan, orang-orang mayavadi berkata bahwa hanya dengan kembali menjadi Brahman impersonal sajalah, yaitu dengan bersatu lebur kepada-Nya sang roh mendapatkan kebahagiaan sejati. Selama anda berwujud, bersifat dan juga berciri tertentu, selama itu anda tetap menderita, kata mereka. Jadi menurut orang-orang mayavadi, berwujud berarti menderita dan tanpa wujud berarti bahagia.
Pendapat-pendapat orang mayavadi tersebut diatas adalah kepalsuan belaka. Sebab, ketiga pondasi filosofisnya yaitu Brahman satyam, Jagan mithya dan jivo brahmaiva na aparah telah dinyatakan sebagai kepalsuan oleh Veda (Padma Purana Uttara Kanda 25.7).
Orang-orang mayavadi tidak perduli pada penjelasan Veda Smrti bahwa:
- Jiva dan Brahman berwujud spiritual (Bhagavan) adalah individu-individu spiritual kekal abadi
- Adanya hubungan cinta-kasih (bhakti) timbal balik antara jiva dengan Bhagavan dalam keanekaragaman suasana spiritual dan
- Hubungan timbal-balik dan keanekaragaman adalah pondasi kebahagiaan.
Pendapat bahwa berbahagia dengan menjadi tidak ada, tiada, hampa atau kosong sebagai Brahman impersonal adalah paham filsafat keliru dan palsu.
Maha-vakya adalah kata/mantra utama yang menunjukkan/melambangkan Tuhan. Menurut Veda, OM atau Pranava Omkara adalah maha-vakya paling utama, bukan Tat Tvam Asi. Pranavah sarva vedesu, Saya adalah suku kata OM dalam semua mantra Veda (Bhagavad Gita 7.8). “Vedyam pavitram omkara”, Saya adalah suku kata OM dalam pustaka suci Veda yang mensucikan hati (Bhagavad Gita 9.17) Demikian Sri Krishna menjelaskan.
Tetapi tanpa alasan jelas Sankara menyatakan bahwa ada banyak mahavakya dan yang paling utama adalah Tat Tvam Asi. Menurut Sankara,Tat = Brahman, Tvam = anda dan Asi = adalah. Jadi Tat Tvam Asi berarti “Anda adalah Brahman (yang meskipun istilah kerennya diartikan “Aku adalah kamu”). Dengan pengertian demikian, para filsuf mayavadi memakai ungkapan Tat Tvam Asi sebagai bukti kebenaran filsafat mayavada-nya, yaitu “jivo brahmaiva na aparah” atau ”atman Brahman aikyam”) disamping sloka-sloka Veda Sruti, “Aham brahmasmi, So’ham, Ayam atma brahma”.
Sebenarnya Tat Tvam Asi bukan maha-vakya, melainkan satu pernyataan Veda yang mengungkapkan sedikit pengetahuan rohani tentang kebenaran paling pokok. Ia adalah peringatan kepada setiap orang,”Anda masing-masing adalah sang jiva rohani-abadi”. Disini kata Tat = jiva atau atman. Pernyataan, “So’ham dan Aham brahmasmi” yang juga dianggap maha-vakya oleh orang-orang mayavadi, sesungguhnya mengandung makna sama, “Diriku adalah sang atma (roh) kekal-abadi (yang tidak punya hubungan apapun dengan badan jasmani ini)”.
Menurut para filsuf mayavadi, maya (khayalan) berupa badan jasmani) yang memisahkan sang jiva dari Brahman (Tuhan) dapat ditiadakan dengan menekuni jnana-yoga. Karena itu, mereka menyibukkan diri mempelajari Vedanta Sutra berdasarkan Sariraka Bhasya untuk mengerti dan mencapai Brahman. Brahman vid apnoti param, orang yang mengetahui Brahman mencapai tujuan tertinggi (yaitu bersatu dengan-Nya) (Taittiriya Upanisad 2.11). Begitu mereka membenarkan pendapatnya.
Orang-orang mayavadi berkata bahwa mengerti Brahman adalah sesulit mencari jejak burung terbang di langit biru. Secara praktis, ini adalah suatu hal yang tidak mungkin bisa dilakukan. Dan oleh karena secara teoritis dan rasionalitas tidak mungkin mengerti Brahman yang tanpa wujud, sifat dan ciri, lalu mereka berkata bahwa untuk mengerti Brahman, orang harus berpikir diluar logika dan rasionalitas. Mereka tidak perduli bahwa pengetahuan tanpa logika dan rasionalitas adalah tidak lain dari pada khayalan belaka.
Mengenai kesimpulan Veda (Brhad Aranyaka Upanisad 3.9.26) bahwa Brahman adalah neti-neti, bukan ini dan bukan itu (karena tidak terpikirkan), orang-orang mayavadi berkata bahwa Brahman dapat dipahami dengan jnana absolut yaitu pengetahuan Veda yang dimengerti melalui perenungan (meditasi) yang melahirkan ilham mistik gaib (mysterious mystical inspiration). Tetapi pada kenyataannya, ilham mistik gaib ini dalam proses jnana hanyalah berupa silat lidah, permainan kata-kata dan olah otak (angan-angan pikiran) belaka dalam menjelaskan tentang hakekat Brahman.
Menurut orang-orang mayavadi, Brahman bukanlah ketiadaan/kehampaan/kekosongan. Tetapi Ia adalah substansi berhakekat sempurna yang mengandung segala sesuatu yang benar-benar membahagiakan, namun Ia tidak teruraikan dengan kata-kata dan dibayangkan dengan pikiran. Jika demikian, lalu apa gunanya berdiskusi tentang Brahman?
Selanjutnya orang-orang mayavadi berkata bahwa jnana absosolut mereka yang disebut para-vidya bebas dari logika dan rasionalitas. Tetapi mereka selalu berusaha membenarkan teori filosofisnya dengan berbagai logika, rasionalitas dan argumen. Ini adalah kemunafikan.
Dengan berteori bahwa Brahman (Tuhan) hanya bisa dicapai dengan proses jnana, para filsuf mayavadi mencampakkan kata-kata Sri Krishna dalam Bhagavad Gita 15.15,”Vedais ca sarvair aham eva vedyah”, tujuan seluruh pengetahuan Veda adalah untuk mengerti tentang diri-Ku. Bhagavad Gita 7.7; “Mattah parataram nanyat kincid asti”, tidak ada suatu apapun yang kedudukannya lebih tinggi dari-Ku. Bhagavad Gita 14.29; “Brahmano hi pratisth ham”, Saya adalah pondasi Brahman impersonal. Bhagavad Gita 10.8; “Aham sarvasya prabhavo matah sarvam pravartate”, Saya adalah sumber segala sesusuatu dan segala sesuatu berasal dari-Ku. Bhagavad Gita 18.55; “Bhaktya mam abhijana ti yavan yas casmi tattvatah”, orang dapat mengerti Aku dengan sebenarnya hanya dengan proses bhakti . Bhagavad Gita 7.9; “Jnanavan mam prapadyante”, orang yang sungguh-sungguh berpengetahuan berserah diri kepada-Ku. Dan lain sebagainya.
Mayavada yang juga disebut Advaita Vada bukan filsafat paling tinggi, tetapi filsafat palsu tentang Tuhan. Hanya mereka yang berwatak atheistik dan materialistik menyatakan bahwa mayavada adalah filsafat paling tinggi karena ia cocok dengan pandangan empiris mereka bahwa Tuhan berwujud pribadi (Bhagavan) tidak ada karena tidak bisa dilihat dan dibuktikan ada.
Dengan menyatakan bahwa hanya Brahman saja yang sejati (satyam) dan alam material adalah palsu (mithya), manusia diajarkan mencari kebenaran, bukan kepalsuan. Dan dengan menyatakan bahwa makhluk hidup (jiva) = Tuhan (Brahman), manusia diajarkan untuk meng-insyafi hakekat sejati dirinya yang spiritual amat luhur dan mulia. Begitu kata para filsuf mayavadi. Tetapi semua pernyataan mereka ini adalah kepalsuan belaka.
Dengan menyatakan bahwa Brahman adalah neti-neti, kata orang – orang mayavadi, filsafat mayavada bebas dari paham lokal, sekste, agama, kelompok, negeri, golongan dan aliran kekepercayaan beraneka-ragam, dan menjadi ajaran yang cocok untuk mempersatukan umat manusia. Selama ini, kata mereka, manusia tidak hidup tentram dan damai karena filsafat hidup mereka berada pada tingkat dvaita, filsafat materialistik dualistik dengan beraneka-macam pandangan, nama, watak, sifat, ciri, hubungan dan penomena. Keanekaragam inilah sumber pertentangan dan perpecahan.
Dengan berkata begitu, para filsuf mayavadi tidak perduli pada rumus perdamaian yang diberikan oleh Sri Krishna dalam Bhagavad-Gita,”Bhoktaram yajna tapasam sarve loka mahesvaram suhrdam sarva bhutanam jnatva mam santim rcchati”, mereka yang mengerti bahwa Saya adalah tujuan utama segala yajna (kurban suci) dan pertapaan, penguasa tertinggi atas segala planet beserta para dewa pengendali nya dan sahabat terbaik segala makhluk, mencapai kedamaian dalam hidupnya (Bhagavad Gita 5.29).
Menurut orang-orang mayavadi, perbedaan antara Brahman (Impersonal God) dengan Bhagavan (Personal God) adalah sebagaimana tercantum dalam tabel dibawah ini. Kesimpulan mereka adalah Brahman hanya bisa dipahami oleh mereka yang cerdas,sedangkan Bhagavan adalah konsep ketuhanan bagi mereka yang bodoh.
Pernyataan Veda bahwa Brahman (Tuhan) adalah tidak berwujud (nirakara), tanpa sifat (nirguna) dan tanpa ciri (nirvisesa) apapun, sesungguhnya berarti bahwa Tuhan tidak berwujud, bersifat dan berciri material, melainkan spiritual.
Kata amurtah dalam Mundaka Upanisad 2.1.2 yang berarti tidak berwujud dan kata arupam (dalam Svetasvatara Upanisad 3.10) yang berarti tanpa bentuk, sesungguhnya berarti bahwa Brahman (Tuhan) tidak berwujud dan berbentuk material tetapi spiritual. Begitu pula, pernyataan Kena Upanisad 1.5.8, “Tuhan tidak terungkapkan dengan kata-kata, tidak terpahami oleh pikiran, tidak terdengar oleh telinga dan tidak terlihat oleh mata”, sesungguhnya berarti:
- Tuhan tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata yang keluar dari silat-lidah dan angan-angan pikiran orang-orang mayavadi
- Tuhan tidak terpahami oleh pikiran orang-orang mayavadi yang penuh khayalan, dan
- Tuhan tidak bisa dilihat dan didengar dengan mata dan telinga badan jasmani yang terbatas, tidak sempurna, kotor nafsu dan didikte oleh pola pikir filsafat mayavada.
Katha Upanisad 1.2.23 menyatakan, “Nayam atma pravacanena labhyo na medhaya na bahu na srutena”, Tuhan dapat dipahami bukan dengan banyak berdiskusi tentang Beliau, bukan dengan kecerdasan hebat dan bukan pula dengan banyak belajar kitab suci. “Yam evaisa vrnute tena labhyas tasyaiva atma vivrnute tanum svam”, tetapi Beliau terpahami oleh orang yang dipilih olehnya. Disini kata atma menunjuk Tuhan.
Selanjutnya dalam Svetasvatara Upanisad 3.19 dikatakan, “Apani pado javano grahita”, Ia (Tuhan) tidak punya tangan atau kaki, namun Beliau bisa bergerak dan menerima persembahan yang dihaturkan kepada-Nya. Lebih lanjut dalam Brhad Aranyaka Upanisad 7.2.3 disebutkan; Ia (Tuhan) adalah adrstah, tidak punya mata, tetapi Beliau drstah, bisa melihat. Ia adalah asrutah, tidak bertelinga, tapi Beliau srutah, bisa mendengar. Ia (Tuhan) adalah amanta, tidak punya pikiran, tetapi Beliau mantah, berpikir. Dan Ia (Tuhan) adalah avijnatah, tidak berpengetahuan, tetapi Beliau vijnatah, maha mengetahui. Semua pernyataan paradok ini menunjukkan bahwa Tuhan tidak berwujud material, melainkan berwujud spiritual.
Dengan menyatakan bahwa Brahman impersonal adalah Kebenaran Mutlak (Tuhan), filsafat mayavada mencampakkan kehebatan, keagungan dan kemahakuasaan Tuhan dan dengan demikian secara rasional dapat dikatakan menghina Tuhan.
Dengan menyamakan Tuhan (Brahman berwujud spiritual yaitu Bhagavan) yang maha perkasa dan maha kuasa dengan potensi (sakti) tak terbatas, dengan makhluk hidup (jiva) kecil, remeh dan tidak berdaya, orang-orang mayavadi secara bodoh menghina Tuhan.
Dengan menyatakan bahwa Tuhan (Bhagavan)ditutupi atau dikhayalkan oleh maya sehingga Ia jatuh kedunia fana dan menjadi berhakekat material, sama dengan makhluk hidup (jiva) biasa maka orang-orang mayavadi secara tolol menghina Tuhan.
Selanjutnya, dengan menyatakan bahwa Tuhan (Bhagavan) adalah transformasi sifat alam sattvam (kebaikan) yang merupakan unsur maya sehingga Beliau adalah produk maya, orang-orang mayavadi secara sesat menghina Tuhan.
Menganggap Brahman (Tuhan) adalah tidak berwujud, tidak bersifat dan berciri apapun adalah sama saja dengan secara tidak langsung menolak adanya Tuhan.
Tuhan tidak berwujud, bersifat dan berciri apapun = Tuhan tidak punya mata, telinga, mulut, tangan dan kaki, sehingga Tuhan tidak bisa melihat, tidak bisa mendengar, tidak bisa bicara, dan Tuhan tidak bisa bergerak dan bekerja. Dengan kata lain, Tuhan itu buta, tuli, bisu, lumpuh dan tidak berdaya. Sungguh ini merupakan penghinaan yang amat jahat kepada Tuhan.
Demikianlah filsafat mayavada yang oleh Veda disebut asac-chastra, filsafat rohani palsu. Dan sebagai penutup, menjelang mengakhiri lilanya dalam menyebarkan filsafat mayavada ini, Dewa Siva sebagai Sankaryacharya menuliskan syair yang sangat terkenal berjudul Bhaja Govindam yang ditujukan untuk para pengikutnya sendiri.
bhaja govindam bhaja govindam
govindam bhaja mudha mate
sampraapte sannihite kaale
na hi na hi rakshati dukrinya-karane
“Nyanyikanlah nama Govinda (Krishna), sebut nama Govinda, bodoh! Pengetahuan lain yang kau kejar tak akan membantumu saat ajalmu tiba”
so, apakah filsafat mayavada adalah filsafat palsu, ato hanya filsafat yang tidak tinggi yang diperuntukkan bagi orang-orang jaman kali yang berpengetahuan terbatas???
Filsafat itu ditujukan untuk mengembalikan ajaran Hindu yang tenggelam oleh Buddha. Tentunya tidak dapat langsung dialihkan secara radikal, tetapi masih mengikuti filsafat Buddha dan membelokkannya sedikit.
Setelah Sankaryacharya, muncul avatara berikutnya, Sri Chaitanya;
suvarna varno hemangovarangas candanangadi
sannyasa-krc chamah santonistha-santi-parayanah
“Dalam kegiatan-Nya pada usia muda Beliau muncul sebagai orang yang berumah tangga yang berwajah kuning emas. Anggota-anggota badanNya tampan sekali. BadanNya diolesi dengan tapal terbuat dari kayu cendana. Warna badannya seperti emas cair. Dalam kegiatan berikutnya, Beliau menjadi sannyasi dan Beliau tenang sentosa. Beliaulah tempat kedamaian dan bhakti tertinggi, sebab beliau membuat terdiam orang yang bukan penyembah dan tidak mengakui bentuk pribadi Tuhan.” Mahabharata (Dhana-dharma, Vishnu Sahasranama Stotra)
Sri Caitanya Mahaprabhu dilahirkan di Mayapur di kota Nadia, Benggala, India pada waktu magrib tanggal 23 bulan Phalguna tahun 1407 Sakabda, atau tanggal 18 Februari 1486. Pada saat Sri Caitanya dilahirkan, ada gerhana bulan. Beliaulah yang akhirnya mengembalikan ajaran Veda secara total dan membantah filsafat Sankaryacharya.
Om swastyastu
Saudara ngara, saya ada pertanyaan buat Saudara:
1. Menurut Saudara apakah alam semesta dan siapakah manusia itu?
2. Menurut Saudara pribadi mengapa ada alam semesta, mengapa Tuhan menciptakan alam semesta, dan mengapa ada manusia?
Bhagavad Gita 7.24
avyaktam vyaktim äpannam manyante mäm abuddhayaù
param bhävam ajänanto mamävyayam anuttamam.
Men of no understanding think of Me, the unmanifest, as having manifestation, not knowing My higher nature, changeless and supreme.
Om Swastiastu Bli Putra, saya akan coba menjawab pertanyaan bli, namum bukan “menurut saya” tapi saya coba kutipkan dari sumbernya, karena dalam hal ini saya tidak mau berspekulasi.
1. Apakah alam semesta dan siapa manusia itu?
Alam semesta adalah tenaga Tuhan, yang juga disebut Maya, hal ini diuraikan dalam Bhagavad Gita 7.14, “Daivi hy esa guna mayi mama maya duratyaya, tenaga material (maya)Ku ini yang terdiri dari unsur-unsur triguna, sangat sulit diatasi”
Kenapa sulit diatasi? Karena Maya bersifat mengkhayalkan. Kata “mengkhayalkan” mencakup pengertian menggelapkan,menyebabkan lupa, menyesatkan dan membingungkan. Dengan kata lain, maya adalah tenaga material Tuhan yang menyebabkan illusi, tipuan atau angan-angan hingga sang makhluk hidup (jiva) senantiasa berpikir salah, keliru dan sesat.
Bhagavad Gita 14.5 menyebutkan; ,”Sattvam raja tamah iti gunah prakrti sambhavah nibadhnanti dehe dehinam avyayam, begitu sang makhluk hidup (jiva) berhubungan dengan alam material dengan memperoleh badan jasmani (= lahir ke dunia fana), ia seketika di cengkram oleh (tiga tangan mayanan halus)Tri-Guna yaitu sifat alam sattvam, rajas dan tamas”
Dengan cengkraman Tenaga Tuhan (Maya) ini maka mahluk hidup akan menjadi;
“Prakrteh kriyamanani gunaih karmani sarvasah ahankara vimu dhatma kartaham iti manyate. dikhayalkan oleh (tirai maya yaitu) Tri-Guna, sang makhluk hidup berpikir bahwa dirinyalah yang melakukan segala kegiatan, padahal kegiatannya itu terlaksana oleh alam material” (Bhagavad Gita 3.27)
“Prakrter guna sammudhah sajjante guna karmasu tan akrtsna vido mandan, di-khayalkan oleh (tirai maya yaitu) Tri-Guna, sang makhluk hidup menjadi tidak insyaf diri (bodoh) dan sibuk dalam berbagai kegiatan material pamerih, dan jadi terikat pada hasil kegiatannya itu” (Bhagavad Gita 3.29).
“Tribhir gunamayair bhavair ebhih sarvam idam jagat mohitam na bhijanati mam ebhyah param avyayam, digelapkan (tirai maya yaitu) oleh sifat-sifat material (Tri Guna), seluruh dunia tidak mengenal diriKu yang mengatasi ketiga sifat alam material tersebut dan kekal-abadi” (Bhagavad Gita 7.13).
”Karanam guna sango’sya sad-asad yoni janmasu, karena dicengkram (oleh tangan-tangan maya nan halus yaitu) Tri-Guna, sang makhluk hidup berpindah-pindah dari satu badan jasmani ke badan jasmani lain dan mengalami suka-duka dalam berbagai jenis kehidupan” (Bhagavad Gita 13.22)
“Yajante sattvika devan yaksa raksamsi rajasah pretan bhuta ganams canye yajante tamasa janah, mereka yang diliputi sifat alam sattvam, menyembah para Deva. Mereka yang diliputi sifat alam rajas, menyembah para Yaksa dan Raksasa (yang tergolong Asura atau Demon). Sedangkan mereka yang diliputi sifat alam tamas, menyembah hantu dan roh-roh halus”(Bhagavad Gita 17.4).
Terus, bagaimana proses penciptaan alam material dan isinya ini? Hal ini dapat dijelaskan dengan kutipan dari ayat-ayat Brahma Samhita yang terangkum dalam poster alam semsta pada link ini.
Proses penciptaan berdasarkan Brahmasamhita ini secara singkat adalah sebagai berikut;
Brahma-samhita Sloka 1
Sri Krishna, Govinda, adalah perwujudan keabadian, pengetahuan dan kebahagiaan. Sri Krishna adalah Personalitas tertinggi Tuhan Yang Maha Esa, sang pengendali semua pengendali bawahan lainnya, dan merupakan sumber semua penjelmaan Tuhan. Krishna tidak memiliki asal mula atau sumber, melainkan Krishna adalah sumber segalanya dan sebab dari segala sebab.
Brahma-samhita Sloka 6
Dengan demikian nampak bahwa Bhagavan Gokulesvara adalah sosok bercahaya sendiri yang patut dipuja, Kebenaran mutlak tertinggi dan perwujudan kebahagiaan abadi. Dia sibuk dalam kegiatan percintaan rohani bersama potensi internal-Nya di tempat tinggal kekal-Nya sendiri dan Dia tidak memiliki hubungan langsung dengan alam material yang bersifat mati.
Brahma-samhita Sloka 12
Maha-Visnu ini diagungkan di dunia maya dengan nama Narayana. Air lautan penyebab memancar dari purusa yang abadi ini. Dia adalah Bhagavan, Sang penguasa tertinggi, pemilik ribuan bagian paripurna (berkuasa penuh), walau Dia sendiri adalah satu bagian paripurna dari Sankarsana di alam Paravyoma. Paripurna yang abadi ini berada dalam keadaan tidur gaib dan berbaring di lautan Viraja yang luas.
Brahma-samhita Sloka 13
Benih-benih transendental (anti materi) Sankarsana muncul dari pori-pori kulit Maha-Visnu dalam bentuk telur emas yang tak terhitung jumlahnya sambil Maha-Visnu berbaring di lautan penyebab, semua telur tersebut tetap tertutupi oleh unsur material besar.
Brahma-samhita Sloka 14
Maha-Visnu ini masuk ke dalam setiap satuan alam semesta sebagai bagian paripurna-Nya yang individual, yang mana masing-masing lengkap dengan segala kemewahan gaib-Nya. Dengan kata lain, di dalam masing-masing alam semesta tersebut Maha-Visnu mengambil wujud jiwa semesta yang memiliki ribuan kepala.
Brahma-samhita Sloka 18
Ketika Garbhodakasayi Visnu berkeinginan mencipta, dari pusar-Nya muncul setangkai bunga padma keemasan lengkap dengan tangkainya adalah tempat tinggal dewa Brahma dan dikenal sebagai Brahmaloka atau Satyaloka.
Brahma-samhita Sloka 20
Ketika Sri Bhagavan menggabungkan realitas-realitas esensial yang individual, Dia memanifestasikan alam-alam semesta material yang jumlahnya tiada terbatas. Setelah itu Dia sendiri masuk ke dalam tempat tinggal-Nya yang tersembunyi, yakni wilayah terdalam di masing-masing alam semesta tersebut. Pada saat itu, semua mahluk hidup terbangun dari keadaan tidurnya di mana mereka telah melewati masa peleburan alam semesta.
Brahma-samhita Sloka 21
Para jiwa mahluk hidup bersifat kekal, dan mereka memiliki hubungan yang kekal dengan Bhagavan yang meluas sepanjang waktu, tanpa awal maupun akhir. Menurut kedudukan dasarnya, secara intrinsik para mahluk hidup adalah energi-Nya yang superior.
Brahma-samhita Sloka 22
Bunga padma yang muncul dari bagian pusar Sri Visnu memuat konsep jasmani gabungan dari semua mahluk hidup. Brahma yang bermuka empat yang mengetahu keempat kitab suci Veda, terwujud dari bunga padma tersebut.
Brahma-samhita Sloka 26
Setelah mendengar pesan rohani ini, dewa Brahma tekun dalam pertapaan selama jangka waktu yang sangat panjang untuk memuaskan Givinda, penguasa Svetadvipa, yang berada di Goloka Vrindavana. Meditasi Brahma adalah sebagai berikut; “Di negeri itu, yang terbuat dari permata-permata rohani pengabul keinginan, terdapat setangkai bunga padma dengan ribuan kelopak dan jutaan filamen. Di tengah-tengahnya terdapat sebuah singasana agung, tempat Sri Krishna duduk, wujud kekal pengetahuan dan kebahagiaan yang cemerlang. Dengan bibir padma-Nya Krishna meniup seruling yang suaranya mengandung semua mantra Veda, dan Krishna di kelilingi oleh para Gopi yang sibuk dalam kegiatan-kegiatan kesenangan bersama-Nya. Krishna disertai oleh bagian paripurna-Nya sendiri yang merupakan ekspansi diri-Nya sendiri untuk melaksanakan lila, dan Mereka tekun dalam memanjatkan puji-pujian kepada-Nya. Dari luar tempat tinggal Krishna, Maya yang mengambil wujud berupa tiga sifat alam material yaitu kebodohan, nafsu dan kebaikan juga memuja Dia.
2. Terus kenapa Manusia dan Mahluk hidup yang lainnya diciptakan?
Semua mahluk hidup pada dasarnya sama, yaitu Jiva/Atman. Ia tak termusnahkan (avinasi), abadi (avyayam), kekal (nityam), tak ter-hancur- kan (ana-sinah), tak terukur secara material (aprameyam), tak terlahirkan (ajah) permanen (sasvatah), ada sejak dahulu kala (puranah), tak terlukai senjata apa- pun (na cindanti sastrani), tak terbakar oleh api (na dahati pavakah), tak terba- sahi oleh air ( na kledayanti apah), tak terkeringkan oleh angin (na sosayati ma- rutah), tidak bisa dipotong-potong/dipecah-pecah (acedyah), tidak bisa dibakar (adahyah), tidak larut kedalam air (akledyah), tidak terkeringkan (asosyah), bisa berada dimana saja (sarva-gatah), tidak pernah berobah (sthanuh), tak tergerak- kan (acalah), selamanya sama (sanatanah),tak berwujud material (avyaktah) tak terpahami secara material (acintyah), tidak pernah berubah (avikaryah) dan tak bisa dibunuh (avadyah) – Perhatikan Bhagavad Gita 2.17-25.
Sang jiva tergolong prakrti yaitu para-prakrti, tenaga marginal Sri Krishna sebagaimana disebutkan dalam Bhagavad Gita 7.5, apareyam itas tu anyam prakrtim viddhi me param jiva bhutam, dan selalu berada dibawah pengen dalian-Nya (Bhagavad Gita 9.10, mayadhyaksena prakrtih). Tenaga marginal ini disebut pula tatastha-sakti. Dan dalam Visnu Purana 6.7.61 ia disebut ksetrajna.
Sri Krishna dalam Bhagavad Gita 15.7 berkata,”Mamaivamso jiva loke jiva bhuta sana tanah, para jiva yang jatuh dan terbelenggu di dunia fana adalah bagian/percikan/perbanyakan kecil nan kekal yang terpisah dariKu”.
Sang jiva selamanya merupakan pribadi/individu spiritual kekal abadi baik ketika berada di dunia fana maupun ketika berada di dunia rohani (Bhagavad Gita 2.12, na tu evaham jatu nasam …sarve vayam atah param. Bhagavad Gita 2.16, na sato vidya te bhavo na bhavo vidyate satah …).
Keberadaan sang jiva didalam badan jasmani ditunjukkan oleh kesadaran yakni badan jasmani sadar, bisa merasakan sakit atau nyaman, susah senang, dan sebagainya. Seperti halnya matahari menerangi seluruh jagat, begitu pula sang jiva menerangi seluruh badan jasmani dengan kesadaran (Bhagavad Gita 13.34).
Didalam badan jasmani sang jiva hanya tinggal merasakan kesenangan dan kesusahan yang timbul dari kegiatan badan jasmani yang dihuninya (Bhagavad Gita 13.21, karya karanam kartrtve hetuh prakrtir ucyate purusah sukha duhkhanam).
Didalam badan jasmani sang jiva bersemayan di hati bersama Tuhan dalam aspek-Nya sebagai Paramatma (Bhagavad Gita 13.28, saman sarvesu bhutesu tisthantam paramesvarah. Bhagavad Gita 15.15, sarvasya caham hrdisan nivistah. Bhagavad Gita 13.18, hrdi sarvasya visthitah).
Didalam hati badan jasmani, sang jiva duduk sebagai pemudi kedaraan badan jasmani yang bergerak dibawah kendali Tuhan sesuai dengan reaksi (phala) perbuatan (karma) yang dilakukannya dalam masa penjelmaan sebelumnya dan sekarang (Bhagavad Gita 13.23, upadrastanumanta … paramatmeti capy uktah. Bhagavad Gita 18.61, hrd dese’rjuna tisthati bramayam sarva bhutani yantra rudhani mayaya).
Lembih lanjut tentang jiva, baca disini
Pertanyaan selanjutnya, kenapa mahluk hidup diciptakan?
Karena Jiva sebagai pelayan kekal di alam rohani/vaikunta/moksha punya rasa “iri” dan ingin menikmati dunia sehingga Tuhan menciptakan dunia material untuk para jiva ini dan tuhan menyedikan 8.400.000 jenis kehidupan material untuk para jiva ini. (sebagaimana dijelaskan dalam Bhagavad Gita 2.12, 2.16, 13.34, 13.21, 13.28, 15.7 dan 15.15)
Apa maksud Bhagavad Gita 7.24? Sebagaimana sudah saya jelaskan bahwa aspek Tuhan ada 3; Paramatman, Brahman dan Bhagavan. dalam aspek sebagai Brahman, Beliau bersifat acitya yang tidak termanifestasikan dan tidak terpikirkan. Tapi bukan berarti dengan beliau tidak terpikirkan dan tidak termanifestasikan beliau tidak mampu mewujudkan dan memperlihatkan wujudnya kan? Bukankah beliau maha segalanya? Coba bli perhatikan lagi visnusahasranama (1000 nama suci Tuhan) disana terdapat sifat-sifat yang saling bertolak belakang yang sangat tidak terpikirkan oleh akal sehat kita. Kenapa hal ini bisa terjadi? Itulah kehebatan Tuhan yang tidak akan pernah bisa kita samai.
Astungkara Bli, kurang lebihnya saya minta maaf.
mnurut pemahaman sy pribadi, apakah itu tuhan disebut sbg berpribadi/ personal, impersonal, semi impersonal, nirguna brahman atopun saguna brahman, itu smua sah-sah saja n semuanya benar. segalanya adalah Dia (omni present).
tuhan adl maha segalanya, bagaimana kita yg terbatas ini mau mendefinisikan tuhan yang tidak terbatas? jadi smua itu adl cara/pemahaman yg dipakai oleh masing2 org/kelompok/aliran. makanya muncul berbagai aliran dalam hindu.
Om Swastastu,
Terima kasih saudara/bli ngara atas pencerahannya:
1. Saya setuju dengan pendapat bli bahwa Tuhan itu bersifat transcendent dan immanent.
Bhagavad Gita XII-3
Ye tw aksaram anirdesyam awyaktam paryupasate,
Sarwatra-gam acintyam ca kuta-stham acalam dhruwam.
Tetapi mereka yang memuja Yang Abadi, Yang Tak Terdefinisikan, Yang Tak Berwujud, Yang Maha Ada, Yang Tak terpikirkan, Yang Tak Berubah dan Yang tak tergerakkan, Yang Konstan.
Bhagavad Gita IV-6
Ajo ‘pi sann awyayatma bhutanam iswaro ‘pi sann,
Prakritim swam ahistyaya sambhawamy atma-mayaya.
Walapun Aku tak terlahirkan, abadi dan penguasa segala mahluk, namun dengan menundukkan Prakriti-Ku sendiri, Aku mewujudkan diri-Ku, melalui kekuatan Maya-Ku.
Rgveda X.129 1 – 2
nāsadāsīn no sadāsīt tadānīṃ nāsīd rajo no vyomāparo yat
kimāvarīvaḥ kuha kasya śarmannambhaḥ kimāsīd ghahanaṃ ghabhīram.
na mṛtyurāsīdamṛtaṃ na tarhi na rātryā ahna āsītpraketaḥ.
ānīdavātaṃ svadhayā tadekaṃ tasmāddhānyan na paraḥ kiṃ canāsa.
Pada saat itu tidak ada kenyataan, juga tidak ada ketidaknyataan, tidak ada udara tidak ada langit. Apakah yang menutupi dan dimanakah itu? Dan apakah ada perlindungan disana, adakah disana air yang sangat dalam dan tidak terbatas.
Kematian belum muncul disana demikian pula keabadian, tidak ada tanda-tanda siang atau malam, Yang Maha Esa hidup tanfa nafas yang menjadikannya sendiri, sebagian daripada-Nya tidaklah diketahui apa sebenarnya.
2. Saya setuju dengan pendapat bahwa manusia itu merupakan gabungan dari sang diri yang abadi dan badan jasmani yang bersifat fana, namun saya tidak setuju dengan pendapat bli bahwa sang diri pribadi dalam diri manusia itu bukan Tuhan : Didalam badan jasmani sang jiva bersemayan di hati bersama Tuhan dalam aspek-Nya sebagai Paramatma.
Bhagavad Gita 2-22
wasamsi jirnani yatha wihaya nawani grhnati naro ‘parani,
Tatha sarirani wihaya jirnany anyani samyati nawani dehi.
Bagaikan seseorang yang meninggalkan pakaian using dan mengenakan pakaian lain yang baru, demikianlah roh yang berwujud mencampakkan badan lama yang telah using dan mengenakan badan jasmani yang baru.
Pertanyaannya apakah jiwa itu merupakan Tuhan atau bukan.
Bhagavad Gita 13.28
saman sarvesu bhutesu tisthantam paramesvaram,
winasyatsw awinasyantam yah pasyati sa pasyati
Ia yang melihat Penguasa Tertinggi merata bersemayam pada semua mahluk, yang tak akan pernah musnah walaupun mereka musnah, sesungguhnya ia yang melihat.
Bhagavad Gita 15-15
Sarwasya caham hrdi sanniwisto mattah smrtir jnanam apohanam ca,
Wedais ca sarwair aham ewa wedyowedanta-krd weda-wid ewa caham.
Dan Aku berdiam dalam hati semua mahluk; dari aku lah datangnya ingatan dan pengetahuan, demikian juga hilangnya,. Aku-lah sesungguhnya yang harus diketahui oleh seluruh kitab Weda. Aku-lah sesungguhnya penyusun kitab Wedanta dan Aku juga yang megnetahui kitab-kitab Weda.
Bhagavad Gita 13.23
Upadrastanumanta ca bhrta bhokta maheswarah,
Paramatmeti capy ukto dehe ‘smin purusah parah.
Roh tertinggi dalam badan yang dikatakan sebagai Saksi, Pengawas, Penopang, yang Mengalami, Penguasah Tertinggi dan sang Diri Tertinggi.
Bhagavad Gita 18.61
Iswarah sarwa-bhutanam hrd-dese ‘rjuna tisthati,
Bhramayan sarwa-bhutani yantrarudhani mayaya.
Tuhan bersemayam dalam hati semua mahluk, wahai Arjuna, yang menyebabkan mereka berputar oleh kekuasaan-Nya, seakan-akan mereka terpasang dalam sebuah mesin.
Bukankah dari sloka tersebut di atas justru dijelaskan bahwa manusia itu (Jiwa/roh) merupakan Tuhan.
Roh tertinggi yang bersemayam di dalam badan adalah Tuhan yang bersemayam dalam hati semua mahluk.
Suksma
Maaf kalo saya banyak bertanya.
Om Swastiastu Bli Putra, saya senang dapat berdiskusi dengan anda karena anda juga mencoba mengambil suatu pembenaran dari sloka-sloka yang ada, bukan dari angan-angan filsafat kita sendiri.
Pada argumen anda yang pertama dengan melemparkan sloka Bhagavad Gita 12.3 yang menyatakan pemujaan terhadap yang tidak terdefiniskan (tak berwujud dan diluar jangkauan indria-indria), yang berada di mana-mana atau dengan kata lain Tuhan dalam aspek sebagai Brahman. Memang betul, tetapi sebaiknya anda tidak hanya mencomot satu sloka ini saja, tetapi anda juga harus memperhatikan sloka sebelum dan sesudahnya. Adapun petikan sloka lengkapnya adalah sebagai berikut;
Bhagavad Gita 12.1;
rjuna uväca
evaà satata-yuktä ye
bhaktäs tväà paryupäsate
ye cäpy akñaram avyaktaà
teñäà ke yoga-vittamäù
Artinya;
Arjuna berkata; yang mana dianggap lebih sempurna, orang yang selalu tekun dalam bhakti kepada Anda dengan cara yang benar ataukah orang yang menyembah Brahman, yang tidak bersifat pribadi dan tidak terwujud?
Bhagavad Gita 12.2;
çré-bhagavän uväca
mayy äveçya mano ye mäà
nitya-yuktä upäsate
çraddhayä parayopetäs
te me yuktatamä matäù
Artinya;
Kepribadian Tuhan Yang Maha Esa bersabda; Orang yang memusatkan pikirannya pada bentuk pribadi-Ku dan selalu tekun menyembah-Ku dengan keyakinan besar yang rohani dan melampaui hal-hal duniawi Aku anggap paling sempurna.
Bhagavad Gita 12. 3-4;
ye tv akñaram anirdeçyam
avyaktaà paryupäsate
sarvatra-gam acintyaà ca
küöa-stham acalaà dhruvam
sanniyamyendriya-grämaà
sarvatra sama-buddhayaù
te präpnuvanti mäm eva
sarva-bhüta-hite ratäù
Artinya;
Tetapi orang yang sepenuhnya menyembah yang tidak berwujud, di luar jangkauan indria-indria, yang berada di mana-mana, tidak dapat dipahami, tidak pernah berubah, mantap dan tidak dapat dipindah-pindah – paham tentang kebenaran mutlak yang tidak mengakui bentuk pribadi Tuhan – dengan mengendalikan indria-indria, bersikap yang sama terhadap semua orang, dan sibuk demi kesejahtraan semua orang, akhirnya mencapai kepada-Ku.
Bhagavad Gita 12.5
kleço ‘dhikataras teñäm
avyaktäsakta-cetasäm
avyaktä hi gatir duùkhaà
dehavadbhir aväpyate
Artinya;
Orang yang pikirannya terikat pada aspek yang maha kuasa yang tidak berujud dan tidak bersifat pribadi sulit sekali maju. Kemajuan dalam disiplin itu sulit sekali bagi orang yang mempunyai badan.
Bhagavad Gita 12.6-7
ye tu sarväëi karmäëi
mayi sannyasya mat-paräù
ananyenaiva yogena
mäà dhyäyanta upäsate
teñäm ahaà samuddhartä
måtyu-saàsära-sägarät
bhavämi na cirät pärtha
mayy äveçita-cetasäm
Artinya;
Tetapi orang yang menyembah-Ku, menyerahkan segala kegiatannya kepada-Ku, setia kepada-Ku tanpa menyimpang, tekun dalam pengabdian suci bhakti, selalu bersemadi kepada-Ku, dan sudah memusatkan pikirannya kepada-Ku – cepat Kuselamatkan dari lautan kelahiran dan kematian wahai putra Prtha.
Nah, dari Bhagavad Gita bab 12 ayat 1 sampai 7 ini saja kita sudah dapat menyimpulkan bahwa aspek pemujaan yang tertinggi adalah Bhagavan (Tuhan berwujud pribadi) dan seseorang juga tidak disalahkan memuja aspek Tuhan yang tidak berwujud pribadi (Brahman) hanya saja dikatakan bahwa jalan ini (memuja Tuhan dalam aspek tidak berwujud) sulit untuk manusia yang masih terikat/memiliki badan jasmani ini. Dalam sloka yang lain dikatakan “Sesudah dilahirkan berulang kali, orang bijaksana berlindung dalam Diri-Ku, dengan mengetahui, bahwa Vasudeva adalah segala sesuatu”. Jadi sloka ini dalam kaitannya dengan sloka 12.3 dan 12.4 menjelaskan bahwa mereka yang memuja aspek Brahman pada akhirnya juga akan mencapai pada Tuhan secara bertahap dan berangsur-angsur melalui proses “samsara”.
Pada kutipan anda selanjutnya mengenai Sloka Bhagavad Gita 4.6, saya rasa terdapat kesalahan terjemahan. Anda mengutip dan menterjemahkannya sebagai berikut;
“Walapun Aku tak terlahirkan, abadi dan penguasa segala mahluk, namun dengan menundukkan Prakriti-Ku sendiri, Aku mewujudkan diri-Ku, melalui kekuatan Maya-Ku.”
Padahal Bhagavad Gita 4.6 berbunyi;
ajo ‘pi sann avyayätmä
bhütänäm éçvaro ‘pi san
prakåtià sväm adhiñöhäya
sambhavämy ätma-mäyayä
Dan terjemahan masing-masing suku katanya adalah;
ajaù—tidak dilahirkan; api—walaupun; san—adalah seperti itu; avyaya—tidak merosot; ätmä—badan; bhütänäm—terdapat semua insan yang dilahirkan; éçvaraù—Tuhan Yang Maha Esa; api—walaupun; san—adalah seperti itu; prakåtim—dalam bentuk rohani; sväm—dari Aku sendiri; adhiñöhäya—mempunyai kekuatan seperti itu; sambhavämi—aku menjelma; ätma-mäyayä—oleh tenaga dalam-Ku.
Sehingga artinya adalah;
Walau aku tidak dilahirkan dan badan rohani-Ku tidak pernah merosot dan walaupun Aku penguasa semua mahluk hidup, Aku masih muncul pada setiap jaman [melalui tenaga Maya (tenaga dalam)-Ku] dalam bentuk rohani-Ku yang asli
Jadi, kalau kita perhatikan terjemahan yang anda tuliskan dengan terjemahan dari Srila Prabhupada dalam terjemahan dan ulasan Bhagavad Gita As It Is (Bhagavad Gita Menurut Aslinya) terdapat distorsi arti yang cukup jauh. Sebagaimana pernah saya singgung dalam artikel-artikel sebelumnya, penyimpangan ajaran-ajaran Veda sudah banyak terjadi karena mereka yang mengulasnya masih memiliki ego pribadi atau karena ditunggangi motif-motif tertentu. Seorang yang belum dapat mengendalikan indria-indria-nya sepatutnya tidak berusaha memberi ulasan pada sloka-sloka Veda, melainkan dia harus berusaha bertanya dari orang-orang suci / sanyasi yang tidak terikat akan keduniawian dan nafsu indria lagi. Jadi melalui comment ini saya juga menganjurkan teman-teman untuk berhati-hati membeli terjemahan /ulasan Veda. Ulasan Bhagavad Gita sendiri dibuat dan diterbitkan oleh banyak orang, ada ulasan dari pastur, dari kaum muslim dan ada juga dari umat Hindu yang belum mencapai tingkatan sanyasi. Bagaimana kita bisa mengikuti ulasan mereka ini jika diri mereka sendiri belum bersih dari rasa ego dan keduniawian? Yang menyabdakan Bhagavad Gita adalah Sri Krishna (Sri Bhagavan), sehingga yang dapat mengerti pesan-pesan asli dari apa yang disampaikan dalam Bhagavad Gita hanyalah penyembah Sri Bhagavan itu sendiri. Seorang yang tidak mengakui Krishna sebagai Tuhan, sudah barang tentu tidak dapat memberikan ulasan Bhagavad Gita dengan baik. Coba anda perhatikan setiap awal sloka Bhagavad Gita, anda akan menemukan kata-kata “Bhagavan Uvaca”, Arjuna Uvaca, Sanjaya Uvaca dan Drstaratha Uvaca”. Dari sini sebenarnya sudah sangat jelas. Drstaratha, Sanjaya dan Arjuna saya yakin kita semua sudah paham, tetapi kenapa Krishna yang bersabda dalam Bhagavad Gita ini disebut sebagai “Bhagavan”? Siapakah Bhagavan? Bhagavan adalah Kepribadian Tuhan Yang Maha Esa, Tuhan yang berwujud pribadi, yaitu Krishna.
Kutipan anda selanjutnya, yaitu Rgveda X.129 1 – 2 yang mengatakan;
nāsadāsīn no sadāsīt tadānīṃ nāsīd rajo no vyomāparo yat
kimāvarīvaḥ kuha kasya śarmannambhaḥ kimāsīd ghahanaṃ ghabhīram.
na mṛtyurāsīdamṛtaṃ na tarhi na rātryā ahna āsītpraketaḥ.
ānīdavātaṃ svadhayā tadekaṃ tasmāddhānyan na paraḥ kiṃ canāsa.
Pada saat itu tidak ada kenyataan, juga tidak ada ketidaknyataan, tidak ada udara tidak ada langit. Apakah yang menutupi dan dimanakah itu? Dan apakah ada perlindungan disana, adakah disana air yang sangat dalam dan tidak terbatas.
Kematian belum muncul disana demikian pula keabadian, tidak ada tanda-tanda siang atau malam, Yang Maha Esa hidup tanfa nafas yang menjadikannya sendiri, sebagian daripada-Nya tidaklah diketahui apa sebenarnya.
Sebaiknya anda harus membedakan pengertian fisik dan rohani. Alam material, langit, air, siang dan malam adalah sesuatu perwujudan material yang dapat dirasakan dengan indria-indria badan kita. Tetapi apakah dengan demikian kita bisa mengetahui perwujudan rohani yang diluar jangkauan indria badan jasmani kita ini? Tidak bukan? Sehingga hal ini disebutkan “akñaram” atau di luar jangkauan indria-indria.
Pernyataan anda berikutnya adalah mengenai Jiva/Atman, apakah Atman itu adalah Tuhan? Anda beranggapan bahwa Atman adalah Tuhan yang bersemayam di dalam diri mahluk hidup dan saya mengatakan bahwa di dalam mahluk hidup bersemayam 2 entitas yang berbeda, yaitu Atman/Jiva yang sebagai penikmat dan Paramatman (Tuhan itu sendiri yang terpisah dari Jiva/Atman).
Lalu anda mencari pembenaran melalui Bhagavad Gita 2.22, 13.28, 15.15, 13.23 dan 18.61. Dan sekarang mari kita telusuri satu persatu ayat-ayat tersebut. Apakah benar Jiva adalah Tuhan ataukah Jiva dan Tuhan berbeda?
Dalam Bhagavad Gita 2.22 hanya menceritakan masalah roh /jiva /atman yang mengalami reinkarnasi dan menggantikan badan, sehingga tidak ada akar pembenaran yang dapat kita tarik untuk membuktikan bahwa Jiva/Atman itu adalah Tuhan atau bukan.
Dalam Bhagavad Gita 13.28 menurut versi anda mengatakan;
“Ia yang melihat Penguasa Tertinggi merata bersemayam pada semua mahluk, yang tak akan pernah musnah walaupun mereka musnah, sesungguhnya ia yang melihat.”
Padalah kalau saya sandingkan dengan Bhagavad Gita menurut aslinya ternyata artinya sangat berbeda. Adapun bunyi sloka ini adalah sebagai berikut;
samaà sarveñu bhüteñu
tiñöhantaà parameçvaram
vinaçyatsv avinaçyantaà
yaù paçyati sa paçyati
Arti dari masing-masing suku katanya adalah;
samam—secara sama; sarveñu—di dalam semua; bhüteñu—para mahluk hidup; tiñöhan-tam—tinggal; parama-éçvaram—Roh yang utama; vinaçyatsu—idalam yang dapat dimusnahkan; avinaçyantam—tidak dibinasahkan; yaù—siapapun yang; paçyati—melihat; saù—dia; paçyati—melihat dengan sebenarnya.
Artinya;
Orang yang melihat Roh yang utama (parama-éçvaram) mendampingi roh yang individual (bhüteñu ) di dalam semua badan, dan mengerti bahwa sang roh dan Roh yang paling utama tidak pernah dimusnahkan di dalam badan yang dapat di musnahkan, melihat dengan sebenarnya.
Jadi disini sangat jelas perbedaan pengertian terjemahan yang anda sampaikan dengan terjemahan Bhagavad Gita menurut aslinya. Sekali lagi saya menyarankan kepada teman-teman agar mengutip sumber yang otentik dan dapat dipercaya, bukan sembarang kutip. Kenapa saya menyarankan Bhagavad Gita terbitan BBT (Bhaktivedanta Book Trust)? Karena sudah diakui di dunia akademik di dunia internasional sebagai terjemahan dan pengartian kata perkata yang paling akurat. Untuk membuktikan pernyataan saya ini, silahkan searching di google atau dengan melihat quote dari para pakar dan kalangan akademis sebagai mana yang diperlihatkan dalam program Bhagavad Gita Interactive.
Pada kutipan sloka yang selanjutnya, yaitu Bhagavad Gita 15.15 anda menuliskan;
Sarwasya caham hrdi sanniwisto mattah smrtir jnanam apohanam ca,
Wedais ca sarwair aham ewa wedyowedanta-krd weda-wid ewa caham.
Dan arti menurut versi anda adalah;
“Dan Aku berdiam dalam hati semua mahluk; dari aku lah datangnya ingatan dan pengetahuan, demikian juga hilangnya,. Aku-lah sesungguhnya yang harus diketahui oleh seluruh kitab Weda. Aku-lah sesungguhnya penyusun kitab Wedanta dan Aku juga yang megnetahui kitab-kitab Weda.”
Sedangkan terjemahan dari Prabhupada dalam Bhagavad Gita As It Is adalah sbb;
“Aku bersemayam di dalam hati setiap mahluk hidup, ingatan, pengetahuan dan pelupaan berasal dari-Ku. Akulah yang harus diketahui dari segala Veda; Memang Akulah yang menyusun Vedanta dan Akulah yang mengetahui Veda.”
Saya rasa secara pengertian terjemahan yang anda utarakan dengan apa yang saya tuliskan tidak terdapat perbedaan makna. Hanya saja disini terdapat perbedaan cara pandang dan pemahaman antara saya dan anda.
Pertanyaan pertama, kata Aku disini merujuk ke siapa? Tuhan kan? Padahal yang bersabda dalam Bhagavad Gita seperti ini adalah Krishna. Tidakkah itu berarti bahwa Krishna adalah Tuhan? Jadi untuk mengerti sloka-sloka Bhagavad Gita, anda harus mengerti dan menerima kenyataan bahwa yang bersabda adalah Tuhan sendiri, yaitu Krishna.
Memang benar, Tuhan Maha Kuasa, beliau maha segalanya, beliau dapat mengatur ingatan, kelupaan dan ilmu pengetahuan. Karena itulah mahluk hidup cenderung lupa, tidak ingat pada kehidupan masa lampaunya setelah meninggalkan badan. Tetapi Tuhan selalu ingat akan hal itu, sehingga Krishna dalam Bhagavad Gita bab 4 bersabda sebagai berikut;
Bhagavad Gita 4.1-3 Krishna bersabda; “Aku telah mengajarkan ilmu pengetahuan yoga ini yang tidak dapat dimusnahkan kepada dewa matahari, Vivasvan, kemudian vivasvan mengajarkan ilmu pengetahuan ini kepada Manu, ayah manusia, kemudian Manu mengajarkan ilmu pengetahuan ini kepada iksvaku” “Ilmu pengetahuan yang paling utama ini diterima dengan cara sedemikian rupa melalui rangkaian garis perguruan guru-guru kerohanian. Dan para raja yang suci mengerti ilmu pengetahuan tersebut dengan cara seperti itu. Tetpi sesudah beberapa waktu, garis perguruan itu terputus; karena itu, rupanya ilmu pengetahuan yang asli itu sudah hilang” “Ilmu pengetahuan yang abadi tersebut mengenai hubungan dengan Yang Maha Kuasa hari ini Ku sampaikan kepadamu, sebab engkau adalah penyembah dan kawan-Ku; karena itulah engkau
dapat mengerti rahasia rohani ilmu pengetahuan ini” Lalu Arjuna dengan keheranan berkata dalam Bhagavad Gita 4.4; “Vivasvan, dewa matahari, lebih tua dari pada Anda menurut kelahiran. Bagaimana hamba dapat mengerti bahwa pada awal Anda mengajarkan ilmu pengetahuan ini kepada beliau?” Lalu Krishna menjawab dalam Bhagavad Gita 4.5-8; “Engkau dan Aku sudah terlahir berulang kali. Aku dapat ingat segala kelahiran itu, tetapi engkau tidak dapat ingat, wahai penakluk musuh!” “Walaupun Aku tidak dilahirkan dan badan rohani-Ku tidak pernah merosot, dan walaupun Aku penguasa semua mahluk hidup, Aku masih muncul pada setiap jaman dalam bentuk rohani-Ku yang asli” “Kapanpun dan dimanapun pelaksanaan dharma merosot dan hal-hal yang bertentangan dengan dharma merajalela-pada waktu itulah Aku sendiri menjelma, wahai putra keluarga Bharata” “Untuk menyelamatkan orang-orang saleh, membinasahkan orang jahat dan untuk menegakkan kembali prinsip-prinsip dharma, Aku sendiri muncul pada setiap jaman”
Dari sloka-sloka diatas, sudah sangat jelas kan yang kalau Krishna (Tuhan) tidak pernah lahir, tidak mengalami kelupaan dan diselimuti maya karena Beliau muncul dan dalam keadaan kekal, tetapi mahluk hidup tidak demikian halnya.
Dalam terjemahan kutipan Bhagavad Gita 13.23 anda juga mengalami distorsi makna. Anda mengutipkan sebagai berikut;
“Upadrastanumanta ca bhrta bhokta maheswarah,
Paramatmeti capy ukto dehe ‘smin purusah parah.”
“Roh tertinggi dalam badan yang dikatakan sebagai Saksi, Pengawas, Penopang, yang Mengalami, Penguasah Tertinggi dan sang Diri Tertinggi.”
Padahal arti sebenarnya adalah;
“Namun di dalam badan ini ada kepribadian lain, kepribadian rohani yang menikmati, yaitu Tuhan Yang Maha Esa, pemilik segala sesuatu. Beliau berada sebagai pengawas dan yang mengijinkan dan Beliau dikenal sebagai Roh Yang Utama”
Sedangkan dalam sloka-sloka sebelum sloka ini dijelaskan mengenai hakekat Jiva/Atman/Mahluk Hidup di alam material ini. Jadi dari sloka ini sudah sangat jelas menyatakan bahwa di dalam mahluk hidup terdapat 2 aspek yang berbeda, yaitu Jiva dan Paramatman/Tuhan.
Kutipan terjemahan Bhagavad Gita 18.61 yang anda tulis kurang lebih sama dengan aslinya.
éçvaraù sarva-bhütänäà
håd-deçe ‘rjuna tiñöhati
bhrämayan sarva-bhütäni
yanträrüòhäni mäyayä
Tuhan bersemayam dalam hati semua mahluk, wahai Arjuna, yang menyebabkan mereka berputar oleh kekuasaan-Nya, seakan-akan mereka terpasang dalam sebuah mesin.
Coba anda perhatikan kata “éçvaraù” dan “bhütänäà”. Isvara/ éçvaraù = Tuhan dan bhütänäà = Mahluk hidup. Jadi disini juga sangat jelas bahwa Tuhan berbeda dengan mahluk hidup. Tuhan yang bersemayam di dalam setiap insan mengarahkan mahluk hidup dan selalu menyertainya.
Bli Putra, sekarang saya tanya balik ke Anda. Jika memang benar bahwa Anda pada dasarnya adalah Roh/Atman dan Anda mengatakan bahwa Atman sama dengan Tuhan. Kenapa anda lupa dengan kehidupan masa lampau anda? Kenapa anda tidak memiliki sifat-sifat kemahakuasaan sebagaimana layaknya Tuhan? Dapatkan anda bertindak selayaknya Krishna yang mengangkat bukit govardan dengan satu klingking-Nya, ingat semua kemunculan-Nya, sadar sepenuhnya dan mengehatui segala sesuatu?
Bilamana anda akan menjadi Tuhan? Apakah anda adalah Tuhan yang sedang “lupa”/ “mabuk” karena “Maya” ciptaan anda sendiri? Berarti anda adalah Tuhan yang sedang kalah oleh maya ciptaan anda sendiri?
Dalam Atharva Veda 10.8.32 juga disebutkan;
“Beliau berada, dan telah berada, begitu dekat padamu. Sehingga engkau tak pernah ditinggalkan;”. “Kamu berada dan telah berada begitu dekat dengan Beliau dan masih juga kamu tidak melihat Beliau”. “Mengapa kamu tidak melihat kemuliaan Tuhan yang tidak pernah lenyap atau musnah?”.
Siapa yang yang berdekatan dalam sloka ini? Beliaulah, sayang paramatman yang selalu mendampingi Atman dalam setiap insan.
Maaf bli, kalau cara bicara saya agak keras dan menyinggung. Mari kita sama-sama belajar, saya tidak lebih hebat dari bli, jadi tolong ajari saya juga.
Suksma
Om Swastyastu
1. Bhagavad Gita Chapter 1 -12
a. Saya setuju dengan pendapat anda dari sloka ini dapat disimpulkan bahwa aspek Tuhan itu ada 2 yaitu Tuhan Yang Berwujud Pribadi dan Tuhan Yang Tidak Berwujud Pribadi.
b. Saya juga setuju bahwa mencari Tuhan Yang Tidak Berwujud itu lebih sulit daripada mencari Tuhan Yang Berwujud.
c. Dan aspek manapun yang kita puja kita akan kembali bersatu dengan aspek tersebut.
2. Tapi ada satu hal yang belum saya pahami dari pernyataan Saudara ngara :Jadi sloka ini dalam kaitannya dengan sloka 12.3 dan 12.4 menjelaskan bahwa mereka yang memuja aspek Brahman pada akhirnya juga akan mencapai pada Tuhan secara bertahap dan berangsur-angsur melalui proses “samsara”.
Dari pernyataan ini saya tidak bisa menangkap maksud dari “mereka yang memuja aspek Brahman”, apakah maksudnya mereka yang memuja Tuhan Yang Berpribadi atau Yang Memuja Tuhan Yang Tidak Berpribadi yang akan melalui proses samsara?
3. Acuan Bhagavad Gita yang saya pake adalah saduran oleh I Wayan Maswinara (Sanatana Dharmasrama Surabaya) yang diterbitkan oleh Pramita Surabaya Tahun 1997, buku in merupakan hadiah dari temen saya waktu saya kuliah di STAN dulu (temen saya itu kebetulan ikut aliran Hare Krisna). Disamping itu sebagai perbandingan saya juga baca terjemahan Bhagavad Gita di http://www.bhagavad-gita.org, disini juga terdapat komentar dari orang-orang yang ikut aliran Vaisnawa.
4. Saya setuju dengan pendapat anda bahwa yang dimaksud bhagawan dalam Bhagavad Gita itu adalah Sri Krisna sebagai perwujudan Tuhan yang berpribadi.
5. Saya juga setuju dengan pendapat anda tentang sloka Veda yang saya kutip bahwa kita Sebaiknya memang harus membedakan pengertian fisik dan rohani dan memang ada sesuatu disana yang diluar jangkauan indria-indria kita untuk memahaminya.
6. Atman itu memang bukan Tuhan tapi merupakan percikan Tuhan yang telah terkena pengaruh maya (seperti yang pernah saya tulis tentang ajaran Samkya). Bukankah tujuan agama hindu itu adalah moksha, dimana moksha terdiri dari moha dan ksaya atau pemusnahan moha secara total, penghancuran seluruh kekaburan batin dan keinginan duniawi agar atman kita dapat bersatu kembali dengan Tuhan. Menurut anda apa maksud moksha ini dalam hubungannya dengan atman/jiwa?
7. Saya setuju bahwa dan tidak pernah membantah bahwa yang dimaksud oleh kata “Aku” dalam bhagavad gita sloka 15-5 itu adalah aspek Tuhan Yang Berpribadi yaitu Sri Krisna.
8. Dalam terjemahan kutipan Bhagavad Gita 13.23 anda juga mengalami distorsi makna. Anda mengutipkan sebagai berikut;
“Upadrastanumanta ca bhrta bhokta maheswarah,
Paramatmeti capy ukto dehe ‘smin purusah parah.”
“Roh tertinggi dalam badan yang dikatakan sebagai Saksi, Pengawas, Penopang, yang Mengalami, Penguasah Tertinggi dan sang Diri Tertinggi.”
Padahal arti sebenarnya adalah;
“Namun di dalam badan ini ada kepribadian lain, kepribadian rohani yang menikmati, yaitu Tuhan Yang Maha Esa, pemilik segala sesuatu. Beliau berada sebagai pengawas dan yang mengijinkan dan Beliau dikenal sebagai Roh Yang Utama”
Sedangkan dalam sloka-sloka sebelum sloka ini dijelaskan mengenai hakekat Jiva/Atman/Mahluk Hidup di alam material ini. Jadi dari sloka ini sudah sangat jelas menyatakan bahwa di dalam mahluk hidup terdapat 2 aspek yang berbeda, yaitu Jiva dan Paramatman/Tuhan.
Menurut pendapat saya, dari penjelasan ini dapat diambil kesimpulan bahwa manusia itu terdiri dari 2 aspek yaitu Badan kasar dan Jiwa. Dan kita ini bukan badan melainkan kepribadian rohani yaitu Tuhan Yang Maha Esa
9. Pertanyaan anda kalau memang benar bahwa atman itu adalah Tuhan mengapa kita lupa akan masa lalu kita. Bhagavad Gita 4.6
ajo ‘pi sann avyayätmä
bhütänäm éçvaro ‘pi san
prakåtià sväm adhiñöhäya
sambhavämy ätma-mäyayä
Dan terjemahan masing-masing suku katanya adalah;
ajaù—tidak dilahirkan; api—walaupun; san—adalah seperti itu; avyaya—tidak merosot; ätmä—badan; bhütänäm—terdapat semua insan yang dilahirkan; éçvaraù—Tuhan Yang Maha Esa; api—walaupun; san—adalah seperti itu; prakåtim—dalam bentuk rohani; sväm—dari Aku sendiri; adhiñöhäya—mempunyai kekuatan seperti itu; sambhavämi—aku menjelma; ätma-mäyayä—oleh tenaga dalam-Ku.
Perwujudan mahluk hidup itu bukanlah terjadi secara sukarela. Dikendalikan oleh prakrti melalui ketidaktahuan (acetana dalam ajaran samkya), mereka lahir berkali-kali. Sedangkan Tuhan, mengendalikan prakrti dan mengenakan perwujudan melalui kehendak bebas-Nya. Kelahiran makhluk biasa ditentukan oleh daya kekuatan prakrti (awasam prakrter wasat), sementara Tuhan mengambil perwujudan melaui daya kekuatan (yogamaya)-Nya sendiri sehingga tidak terkena pengaruh hokum karma.
Disini saya tegaskan kembali pendapat saya bahwa manusia itu memang bukan Tuhan melainkan percikan Tuhan yang karena pengaruh kekuatan maya lupa kalau dirinya adalah bagian dari Tuhan, manusia itu menganggap bahwa dirinya adalah badan kasar yang keliatan ini. Coba anda liat lagi Aji Sangkya yang telah saya kutip.
10. Bilamana kita akan menjadi Tuhan kembali, bila kita sudah moksha atau dapat memusnahkan moha secara total, dapat menghancurkan seluruh kekaburan batin dan keinginan duniawi.
11. Pertanyaan anda : Apakah anda adalah Tuhan yang sedang “lupa”/ “mabuk” karena “Maya” ciptaan anda sendiri? Berarti anda adalah Tuhan yang sedang kalah oleh maya ciptaan anda sendiri?
Disini menurut saya kita harus menyamakan persepsi akan arti kata “Maya” terlebih dahulu. Arti maya sendiri menurut saya adalah Acetana.
Pada kutipan sloka yang selanjutnya, yaitu Bhagavad Gita 15.15 anda menuliskan;
Sarwasya caham hrdi sanniwisto mattah smrtir jnanam apohanam ca,
Wedais ca sarwair aham ewa wedyowedanta-krd weda-wid ewa caham.
Terjemahan dari Prabhupada dalam Bhagavad Gita As It Is adalah sbb;
“Aku bersemayam di dalam hati setiap mahluk hidup, ingatan, pengetahuan dan pelupaan berasal dari-Ku. Akulah yang harus diketahui dari segala Veda; Memang Akulah yang menyusun Vedanta dan Akulah yang mengetahui Veda.”
Dari sini menurut saya Tuhan itu bersemayam di dalam hati mahluk hidup, dan melalui kekuatannya juga yang membuat kita lupa bahwa ada Tuhan di dalam diri kita (dalam wujud atman).
12. Dalam Atharva Veda 10.8.32 juga disebutkan;
“Beliau berada, dan telah berada, begitu dekat padamu. Sehingga engkau tak pernah ditinggalkan;”. “Kamu berada dan telah berada begitu dekat dengan Beliau dan masih juga kamu tidak melihat Beliau”. “Mengapa kamu tidak melihat kemuliaan Tuhan yang tidak pernah lenyap atau musnah?”.
Beliau itu adalah Tuhan yang bersemayam dalam dalam diri kita, tetapi karena kita selalu menganggap bahwa kita ini adalah badan kasar ini maka kita tidak tahu bahwa ada Tuhan dalam diri kita.
13. (Maaf bli, kalau cara bicara saya agak keras dan menyinggung. Mari kita sama-sama belajar, saya tidak lebih hebat dari bli, jadi tolong ajari saya juga.)
Tidak apa-apa ngara namanya juga lagi berdiskusi, dalam berdiskusi kita harus menyampaikan pendapat kita disertai dengan argument-argumen. Tidak ada yang sakit hati koq.
Terakhir saya ingin mengutip kata-kata bijaksana dari orang tua-orang tua kita di Bali:
Tunggak kayu dirurunge tongos saru, bisa nyelimet mata.
Kaden tonyo kaden memedi, bisa bingung setondene jati tawang.
Om Swastiastu
Bhagavad Gita 12.3-4 adalah sebagai berikut;
ye tv akñaram anirdeçyam
avyaktaà paryupäsate
sarvatra-gam acintyaà ca
küöa-stham acalaà dhruvam
sanniyamyendriya-grämaà
sarvatra sama-buddhayaù
te präpnuvanti mäm eva
sarva-bhüta-hite ratäù
Artinya;
Tetapi orang yang sepenuhnya menyembah yang tidak berwujud, di luar jangkauan indria-indria, yang berada di mana-mana, tidak dapat dipahami, tidak pernah berubah, mantap dan tidak dapat dipindah-pindah – paham tentang kebenaran mutlak yang tidak mengakui bentuk pribadi Tuhan – dengan mengendalikan indria-indria, bersikap yang sama terhadap semua orang, dan sibuk demi kesejahtraan semua orang, akhirnya mencapai kepada-Ku.
Sebagaimana saya sebutkan sebelumnya, 3 aspek utama Tuhan yang dikenal dalam Veda adalah;
1. Paramatman = Beliau yang ada di mana-mana dan meresapi setiap insan dan atom
2. Brahman = Beliau yang tidak berwujud (avyaktaà) / Nirguna
3. Bhagavan = Beliau yang berwujud pribadi
Pada Sloka sebelumnya (Bg. 12.2) Sri Krishna sudah menyatakan “Orang yang memusatkan pikirannya pada bentuk pribadi-Ku dan selalu tekun menyembah-Ku dengan keyakinan besar yang rohani dan melampaui hal-hal duniawi Aku anggap paling sempurna”
Dan pada sloka 12.3 dan 12.4 ini kita mendapat keterangan bahwa meskipun orang tidak memuja Tuhan dalam wujud pribadi (berwujud), melainkan memuja Tuhan dalam aspeknya sebagai avyaktaà, atau yang tidak berwujud pada akhirnya akan mencapai Tuhan juga. Jadi sloka ini ditujukan untuk menyebutkan mereka yang memuja Tuhan dalam aspeknya sebagai Brahman.
Kenapa saya mengatakan bahwa mereka yang memuja Tuhan dalam aspek Brahman (tidak berwujud) pada akhirnya juga mencapai Tuhan melalui “samsara” adalah karena kaitannya dengan Chandogya Upanisad 5.10.3-5 yang menyatakan “Orang yang bekerja dengan tujuan membuahkan hasil atau pahala untuk dinikmati dan filosof-filosof yang berangan-angan sejak sebelum awal sejarah senantiasa datang dan pergi. Sebenarnya mereka tidak mencapai pembebasan tertinggi, sebab mereka tidak menyerahkan diri kepada Kepribadian Tuhan Yang Maha Esa”.
Pernyataan bahwa pembebasan hanya dapat dicapai melalui penyerahan diri ini juga ditegaskan dalam Bhagavad Gita 8.13; “sesudah seseorang mantap dalam latihan yoga ini, dan mengucapkan suku kata suci Om, gabungan hurup paling utama, kalau dia berpikir tentang Kepribadian Tuhan Yang Maha Esa dan meninggalkan badannya, pasti dia akan mencapai planet-planet rohani. Selanjutnya dalam Bhagavad Gita 8.15; “Sesudah mencapai kepada-Ku, roh-roh yang mulia, yogi-yogi dalam bhakti, tidak pernah kembali ke dunia fana yang penuh kesengsaraan, sebab mereka sudah mencapai kesempurnaan tertinggi”. Jadi sloka ini juga menegaskan bahwa seorang Yogin hanya akan meninggalkan badan dan pergi ke alam rohani (moksha) jika dia telah menyerahkan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Lalu bagaimana dengan mereka yang memusatkan pikirannya pada aspek Brahman yang tidak berwujud? Dalam Bhagavad Gita 8.24 dan 8.25 disebutkan; “Orang yang mengenal Brahman sebagai yang paling utama mencapai kepada Yang Maha Kuasa dengan cara meninggalkan dunia selama pengaruh dewa api, dalam cahaya, pada saat suci pada waktu siang, selama dua minggu menjelang bulan purnama, atau selama enam bulan pada waktu matahari berjalan menuju utara”. “Seorang ahli kebatinan yang meninggal dunia selama masa asap, malam hari, selama dua minggu menjelang bulan mati, atau selama enam bulan pada waktu matahari berjalan menuju selatan akan mencapai planet bulan, tetapi dia akan kembali lagi”. Dari dua sloka ini kita dapat mengerti bahwa orang yang menyembah aspek brahman dapat mencapai Tuhan dalam aspeknya sebagai Brahmajyoti dan bersatu dengan Brahman pada waktu-waktu tertentu sebagaimana yang disebutkan di atas, namun jika dia meninggal pada waktu yang disebutkan dalam sloka 8.25, maka dia hanya akan mencapai planet kenikmatan (bulan) dan akan terlahir lagi di dunia ini.
Mengenai Atman, memang benar bahwasanya Atman adalah percikan dari Tuhan yang bersifat kekal. Hal ini dibenarkan oleh sloka berikut;
Bhagavad Gita 2.12; “Pada masa lampau tidak pernah ada suatu saat pun Aku, engkau maupun semua raja ini tidak ada; dan pada masa yang akan datang tidak satupun di antara kita semua akan lenyap
Bhagavad Gita 2.16; “Orang yang melihat kebenaran sudah menarik keseimpulan bahwa apa yang tidak ada tidak tahan lama [badan material] dan yang kekal tidak berubah [jiva/atman]. Inilah kesimpulan mereka setelah mempelajari sifat kedua-duanya.
Hanya saja kita harus mengerti lebih jelas mengenai Moksha. Arti moksha secara gelobal memang benar adalah pelepasan ikatan dan pencapaian sat cit ananda. Hanya saja kita juga harus faham bahwa Moksa dapat dibagi menjadi beberapa bagian, yaitu;
a. Salokya: Dapat Tinggal dialam rohani yang sama dengan Kepribadian Tuhan Yang Maha Esa
b. Samipya: bisa tinggal di dekat Kepribadian Tuhan Yang Maha Esa.
c. Sarupya: bisa mendapat bentuk yang sama dengan Kepribadian Tuhan Yang Maha Esa.
d. Sayujna: dapat bersatu dengan Brahma jyoti atau sinar dari Kepribadian Tuhan Yang Maha Esa
Jadi bersatunya Atman dengan Brahman dalam Brahmajyoti hanyalah salah satu dari jenis-jenis moksa yang ada. Dan pencapaian jenis moksa disini tentunya sesuai dengan “rasa” dari masing-masing penyembah Tuhan. Mungkin anda tertarik dengan penyatuan Atman dengan Brahman, tapi saya mungkin tertarik dengan menjadi pelayan abadi di Vaikuntaloka.
Badan manusia secara umum memang terdiri dari 3 bagian, Stula Sarira (badan kasar) Suksma Sarira (badan halus) dan Antakarana Sarira (Badan penyebab/Atman). Namun bukan berarti Atman yang ada di sini mengacu pada Tuhan. Atman tetaplah mahluk hidup yang individual yang kedudukannya abadi, yang telah ada dan tetap ada selamanya dan bersifat rohani. Meski Paramatman menyertai Atman setiap saat, tapi Atman tetap bukanlah Tuhan.
Hal ini ditegaskan oleh sloka Bhagavad gita 2.12, 2.16 sebagaimana yang sudah saya kutip di atas dan sloka-sloka berikut;
Bhagavad Gita 9.4; “Aku berada di mana-mana di seluruh alam semesta dalam bentuk-Ku yang tidak berwujud. Semua mahluk hidup berada di dalam-Ku, tetapi Aku tidak berada di dalam mereka”
Bhagavad Gita 9.5:”Namun, segala sesuatu yang diciptakan tidak bersandar di dalam diri-Ku. Lihatlah kehebatan batin-Ku. Walau aku memelihara semua mahluk hidup dan walaupun Aku berada di mana-mana, namun Aku bukan bagian dari manifestasi alam semesta ini, sebab diri-Ku adalah asal mula ciptaan.
Pernyataan anda yang mengatakan; “Disini saya tegaskan kembali pendapat saya bahwa manusia itu memang bukan Tuhan melainkan percikan Tuhan yang karena pengaruh kekuatan maya lupa kalau dirinya adalah bagian dari Tuhan, manusia itu menganggap bahwa dirinya adalah badan kasar yang keliatan ini. Coba anda liat lagi Aji Sangkya yang telah saya kutip.”. Saya sangat sepaham dengan pernyataan ini, tetapi saya tidak dapat menerima premis yang mengatakan bahwa kita sebagai Atman adalah Tuhan Yang Maha Esa Sendiri.
Sebagaimana saya kutipkan sebelumnya, Didalam badan jasmani sang jiva/atman bersemayan di hati bersama Tuhan dalam aspekNya sebagai Paramatma (Bhagavad Gita.13.28, saman sarvesu bhutesu tisthantam paramesvarah. Bhagavad Gita 15.15, sarvasya caham hrdisan nivistah. Bhagavad Gita 13.18, hrdi sarvasya visthitah). Didalam hati badan jasmani, sang jiva duduk sebagai pemudi kedaraan badan jasmani yang ber-gerak dibawah kendali Sri Krishna sesuai dengan reaksi (phala) perbuatan (karma) yang di-lakukannya dalam masa penjelmaan sebelumnya dan sekarang (Bhagavad Gita 13.23, upadrastanumanta … paramatmeti capy uktah. Bhagavad Gita.18.61, hrd dese’rjuna tisthati bramayam sarva bhutani yantra rudhani mayaya). Atman ada bersamaan dengan keberadaan Tuhan. Karena itu, ia adalah anadi, tanpa awal atau permulaan (Bhagavad Gita 13.20, prakrtim purusam caiva vidyanadi ubhau api).
Pertanyaannya, jika Tuhan dan Atman memang kekal sebagai mana dalam Bhagavad Gita 13.20, anadi ananta, tanpa awal dan tanpa akhir, bagaimana Atman bisa menjadi Tuhan? Apa itu berarti akan ada banyak Tuhan?
Anda mengatakan bahwa dalam “Bhagavad Gita 15.15;
“Aku bersemayam di dalam hati setiap mahluk hidup, ingatan, pengetahuan dan pelupaan berasal dari-Ku. Akulah yang harus diketahui dari segala Veda; Memang Akulah yang menyusun Vedanta dan Akulah yang mengetahui Veda.”
Dari sini menurut saya Tuhan itu bersemayam di dalam hati mahluk hidup, dan melalui kekuatannya juga yang membuat kita lupa bahwa ada Tuhan di dalam diri kita (dalam wujud atman).
Atharva Veda 10.8.32 ;
“Beliau berada, dan telah berada, begitu dekat padamu. Sehingga engkau tak pernah ditinggalkan;”. “Kamu berada dan telah berada begitu dekat dengan Beliau dan masih juga kamu tidak melihat Beliau”. “Mengapa kamu tidak melihat kemuliaan Tuhan yang tidak pernah lenyap atau musnah?”.
Beliau itu adalah Tuhan yang bersemayam dalam dalam diri kita, tetapi karena kita selalu menganggap bahwa kita ini adalah badan kasar ini maka kita tidak tahu bahwa ada Tuhan dalam diri kita.”
Pertanyaannya, jika sebelumnya anda mengatakan bahwa Atman adalah Tuhan Yang Maha Esa sendiri, lalu mahluk hidup dan “kita” dalam pernyataan anda ini siapa? Apakah itu tidak mengindikasikan ada 2 hal yang berbeda, kita dan Tuhan?
“Tunggak kayu dirurunge tongos saru, bisa nyelimet mata.
Kaden tonyo kaden memedi, bisa bingung setondene jati tawang.”
Iya, ini memang kata-kata bijak yang harus kita jadikan panutan dalam setiap langkah kita.
Suksema
Om Swastyastu
1. Ngara mengatakan : Kenapa saya mengatakan bahwa mereka yang memuja Tuhan dalam aspek Brahman (tidak berwujud) pada akhirnya juga mencapai Tuhan melalui “samsara” adalah karena kaitannya dengan Chandogya Upanisad 5.10.3-5 yang menyatakan “Orang yang bekerja dengan tujuan membuahkan hasil atau pahala untuk dinikmati dan filosof-filosof yang berangan-angan sejak sebelum awal sejarah senantiasa datang dan pergi. Sebenarnya mereka tidak mencapai pembebasan tertinggi, sebab mereka tidak menyerahkan diri kepada Kepribadian Tuhan Yang Maha Esa”.
Pendapat saya: Bukan karena dia memuja Tuhan Yang Tidak Berwujud yang menyebabkan dia mengalami samsara tetapi karena dia memuja Tuhan Yang Tidak Berwujud dengan tujuan untuk mendapatkan pahalah yang menyebabkan dia samsara.
Pertanyaan saya: apakah orang yang memuja Tuhan Yang Berwujud dengan tujuan membuahkan hasil atau pahala untuk dinikmati tidak akan mengalami samsara?
2. Ngara mengatakan : Dalam Bhagavad Gita 8.24 dan 8.25 disebutkan; “Orang yang mengenal Brahman sebagai yang paling utama mencapai kepada Yang Maha Kuasa dengan cara meninggalkan dunia selama pengaruh dewa api, dalam cahaya, pada saat suci pada waktu siang, selama dua minggu menjelang bulan purnama, atau selama enam bulan pada waktu matahari berjalan menuju utara”. “Seorang ahli kebatinan yang meninggal dunia selama masa asap, malam hari, selama dua minggu menjelang bulan mati, atau selama enam bulan pada waktu matahari berjalan menuju selatan akan mencapai planet bulan, tetapi dia akan kembali lagi”. Dari dua sloka ini kita dapat mengerti bahwa orang yang menyembah aspek brahman dapat mencapai Tuhan dalam aspeknya sebagai Brahmajyoti dan bersatu dengan Brahman pada waktu-waktu tertentu sebagaimana yang disebutkan di atas, namun jika dia meninggal pada waktu yang disebutkan dalam sloka 8.25, maka dia hanya akan mencapai planet kenikmatan (bulan) dan akan terlahir lagi di dunia ini.
a. Pertanyaan saya: Bhagavad Gita 8.13 om ity ekaksaram brahma wyaharam mam anusmaran yah prayati tyajan deham sa yati paramam gatim apakah akan kita artikan mentah-mentah bahwa orang yang mengucapkan suku kata tunggal Aum, yaitu Brahman, dengan mengingat Aku ketika ia berangkat dengan menanggalkan badan jasmaninya mencapai tujuan tertinggi. Artinya dengan Cuma mengingat suku kata Aum kita akan mencapainya meskipun perbuatan kita tidak sesuai dengan kaidah-kaidah agama?
b. Apa maksud Bhagavad Gita 8.9, 8.18, 8.20 dan 8.21?
3. Ngara mengatakan : Paramatman menyertai Atman setiap saat, tapi Atman tetap bukanlah Tuhan.
Hal ini ditegaskan oleh sloka Bhagavad gita 2.12, 2.16 sebagaimana yang sudah saya kutip di atas dan sloka-sloka berikut;
Bhagavad Gita 9.4; “Aku berada di mana-mana di seluruh alam semesta dalam bentuk-Ku yang tidak berwujud. Semua mahluk hidup berada di dalam-Ku, tetapi Aku tidak berada di dalam mereka”
Bhagavad Gita 9.5:”Namun, segala sesuatu yang diciptakan tidak bersandar di dalam diri-Ku. Lihatlah kehebatan batin-Ku. Walau aku memelihara semua mahluk hidup dan walaupun Aku berada di mana-mana, namun Aku bukan bagian dari manifestasi alam semesta ini, sebab diri-Ku adalah asal mula ciptaan.
dan juga
Ngara mengatakan: namun bukan berarti Atman yang ada di sini mengacu pada Tuhan. Atman tetaplah mahluk hidup yang individual yang kedudukannya abadi, yang telah ada dan tetap ada selamanya dan bersifat rohani. Meski Paramatman menyertai Atman setiap saat, tapi Atman tetap bukanlah Tuhan.
Dalam hal ini saya sependapat bahwa ada Atman dan Paramatman, Tuhan itu memang ada di dalam diri sekaligus di luar diri manusia. Dari awal diskusi saya tidak pernah menganggap bahwa Atman itu adalah Tuhan yang memiliki kekuatan berupa Cadu Sakti melainkan percikan Tuhan yang telah diselimuti oleh Cita, Budi, dan Ahengkara. Kalau selimut atman itu dapat kita hilangkan maka atman akan kembali ke asalnya.
4. Ngara : Beliau itu adalah Tuhan yang bersemayam dalam dalam diri kita, tetapi karena kita selalu menganggap bahwa kita ini adalah badan kasar ini maka kita tidak tahu bahwa ada Tuhan dalam diri kita.”
Pertanyaannya, jika sebelumnya anda mengatakan bahwa Atman adalah Tuhan Yang Maha Esa sendiri, lalu mahluk hidup dan “kita” dalam pernyataan anda ini siapa? Apakah itu tidak mengindikasikan ada 2 hal yang berbeda, kita dan Tuhan?
Jawaban saya seperti Jawaban pada nomor 3, di dalam diri kita memang ada dua aspek yaitu Atman dan Tuhan. Kita itu adalah Atman yaitu Tuhan yang diselimuti oleh maya. Pertanyaannya adalah apakah
Om Swastiastu
Pernyataan yang pertama dari bli Putra, saya sangat setuju.
Memang benar bahwasanya aspek apapun yang dia sembah tapi kalau masih memendam rasa keterikatan material, dia tidak akan mencapai Tuhan. Hanya saja, kenapa Krishna meletakkan aspek yang berwujud lebih tinggi dari Brahman (aspek tidak berwujud)? Karena pada kenyataannya memang hampir tidak ada orang yang sanggup sembahyang tanpa memusatkan pikiran pada suatu objek, apakah itu arca, cahaya, Omkara, padmasana, ka’bah, salib atau sejenisnya.
Yang kedua, Mengenai orang yang berdosa yang segera ingat akan Tuhan dan mengucapkan nama suci Tuhan apakah bisa mencapai Tuhan? Bhagavad Gita 4.36 mengatakan “Walaupun engkau dianggap sebagai orang yang paling berdosa diantara semua orang yang berdosa, namun apabila engkau berada didalam kapal pengetahuan rohani, engkau akan dapat menyeberangi lautan kesengsaraan”. Jadi menurut sloka ini, siapapun bisa menyebrangi lautan kehidupan dan kematian setelah dia benar-benar insaf akan Tuhan melalui pengetahuan rohani yang benar. Dan tentunya pada saat kondisi insaf dan dapat mencapai Tuhan ini, dia harus dalam kondisi suci dan melakukan aturan-aturan Dharma.
Saya kurang paham dengan maksud bli melemparkan sloka-sloka Bhagavad Gita 8.9, 8.18, 8.20 dan 8.21, apa ada kaitannya dengan diskusi sebelumnya ya? Tapi akan saya coba kutip dan saya pahami.
Bhagavad Gita 8.9; “Hendaknya seseorang bersemedi kepada Kepribadian Tuhan Yang Maha Esa yang paling utama sebagai yang maha tahu. Yang paling tua, yang mengendalikan, lebih kecil dari pada yang paling kecil, pemelihara segala sesuatu, yang berada di luar segala paham material, yang tidak dapat dibayangkan, dan selalu bersifat kepribadian. Beliau bercahaya seperti matahari, dan berliau bersifat rohani di luar alam material ini”.
Dari sloka ini sudah sangat jelas disebutkan bahwa hendaknya seseorang bersemedi atau bersembahyang kepada Tuhan yang berkepribadian, Tuhan yang berwujud. Kata tidak dapat dibayangkan (acintya) disini bukan berarti Tuhan dalam aspek tidak berwujud. Tetapi mengarah pada pengertian dimana perwujudan Tuhan yang tidak dapat dibayangkan oleh akal pikiran manusia biasa.
Bhagavad Gita 8.18; “Pada awal satu hari bagi Brahma, semua mahluk hidup diwujudkandari keadaan tidak berwujud, sesudah itu, bila malam hari mulai, sekali lagi mereka terlebur ke dalam keadaan tidak berwujud”.
Bhagavad Gita 8.19; “Semua mahluk hidup terwujud berulang kali bila hari sudah siang bagi Brahma, lalu dengan mulainya malam hari bagi brahma, mereka dilebur dalam keadaan tidak berdaya”.
Bhagavad gIta 18.20; “Namun ada alam lain yang tidak terwujud, kekal dan melampaui alam ini yang terwujud dan tidak terwujud. Alam itu bersifat utama dan tidak pernah binasah. Bila seluruh dunia ini lebur, bagian itu tetap dalam kedudukannya.
Bhagavad gita 18.21; “Yang diuraikan sebagai yang tidak terwujud dan tidak pernah gagal oleh para ahli Vedanta, yang dikenal sebagai tujuan tertinggi, dan sesudah mencapai tempat itu, seseorang tidak kembali lagi – itulah tempat tinggal-Ku yang paling tinggi”
Sloka Bhagavad Gita 8.16 – 8.21 membahas tentang tujuan tertinggi, yaitu planet rohani dan dalam sloka-sloka tersebut dijelaskan bagaimana posisi dan perbedaan alam rohani dengan alam material. Dan yang dijelaskan dalam 8.18 adalah bahwasanya alam material beserta semua isinya, yaitu semua mahluk hidup tercipta dalam wujud material dan musnah dari wujud material (tidak berwujud material lagi). Hati-hati dengan kata “tidak terwujud” dalam sloka 18.21 karena artinya bukanlah “tidak berwujud”, tetapi dari kata “avyaktah” yang memiliki kemiripan arti dengan “ananda”, tidak berawal, tidak berakhir, tidak diwujudkan dan tidak akan dimusnahkan.
Mengenai pernyataan yang ke tiga, saya juga sependapat bli.
Mengenai pernyataan yang keempat, sebagian saya setuju, tapi saya tidak sependapat dengan pernyataan bli yang mengatakan; ” Kita itu adalah Atman yaitu Tuhan yang diselimuti oleh maya”.
Lagi-lagi saya mengulang pertanyaan saya, apa benar Tuhan diselimuti oleh Maya ciptaannya sendiri? Apa benar Tuhan tidak berdaya dan lupa sehingga mengant paham badan? Dari beberapa sloka yang sudah pernah saya kutip, saya memahami bahwa Atman/Jiva memiliki kedudukan asli adalah Sat Cit Ananda, tetapi karena diselimuti oleh Maya yang diciptakan oleh Tuhan sebagai tenaga material, maka Atman/Jiva ini terkungkung dalam pengaruh samsara, kenikmatan sesaat di alam material dan keterikatan terhadap suka dan duka. Tapi meskipun Tuhan yang berada di mana-mana, meresapi segalanya dan juga menyertai Atman/Jiva dalam aspek-Nya sebagai Paramatman, Tuhan tetaplah tidak tertutupi dan dipengaruhi oleh Maya ciptaan Beliau sendiri.
Nah, jadi saat ini kita masih memiliki satu perbedaan pandangan lagi bli, yaitu tentang posisi dan kedudukan Atman dan Paramatman. Untuk memperkuat argumen bli, mohon sekiranya bli mencoba mengutip sloka yang dapat membenarkan pendapat bli bahwa “Atman adalah Tuhan yang diselimuti maya”.
Om Swastyastu ngara
1. Maksud saya mengutip Bhagavad Gita sloka 8.9, 8.18, 8.20 dan 8.21 adalah sehubungan dengan pernyataan ngara bahwa : Bhagavad Gita 8.24 dan 8.25 disebutkan; “Orang yang mengenal Brahman sebagai yang paling utama mencapai kepada Yang Maha Kuasa dengan cara meninggalkan dunia selama pengaruh dewa api, dalam cahaya, pada saat suci pada waktu siang, selama dua minggu menjelang bulan purnama, atau selama enam bulan pada waktu matahari berjalan menuju utara”. “Seorang ahli kebatinan yang meninggal dunia selama masa asap, malam hari, selama dua minggu menjelang bulan mati, atau selama enam bulan pada waktu matahari berjalan menuju selatan akan mencapai planet bulan, tetapi dia akan kembali lagi”. Dari dua sloka ini kita dapat mengerti bahwa orang yang menyembah aspek brahman dapat mencapai Tuhan dalam aspeknya sebagai Brahmajyoti dan bersatu dengan Brahman pada waktu-waktu tertentu sebagaimana yang disebutkan di atas, namun jika dia meninggal pada waktu yang disebutkan dalam sloka 8.25, maka dia hanya akan mencapai planet kenikmatan (bulan) dan akan terlahir lagi di dunia ini.
Sebelumnya ngara hanya melihat arti dari sloka 8.24 dan 8.25 secara sendiri-sendiri tanpa mengkaitkannya dengan sloka sebelumnya. Tetapi disini Ngara sudah mencoba mengkaitkannya dengan sloka-sloka lainnya. Ngara mengatakan bahwa : di Sloka 8.9 Kata tidak dapat dibayangkan (acintya) di sloka disini bukan berarti Tuhan dalam aspek tidak berwujud. Pernyataan ini menurut saya membingungkan karena acintya-rupam itu artinya whose form is inconceivable, apakah sesuatu yang tidak dapat dibayangkan atau digambarkan itu berwujud? Menurut pendapat saya Tuhan itu pada intinya tidak berwujud, tapi beliau dapat mewujudkan dirinya.
Bhagavad Gita 11.3
ewam etad yathattha twam atmanam parameswara,
drastum icchami te rupam aiswaram purusottama.
Bhagavad Gita 10.7
etma wibhutim yogam ca mama yo wetti tattwatah,
so ‘wikampena yogena yujyate natra samsayah.
Ia yang mengetahui kemuliaan dan daya kemampuan-Ku ini, akan disatukan dengan-Ku oleh yoga yang tak tergoyahkan ini; hal ini tak perlu diragukan lagi.
Mereka yang mengetahui proses ini akan sadar tentang kesatuannya dengan Yang Ilahi dan berpartisipasi dalam kegiatan kerja di dunia ini yang merupakan menifestasi daripada-Nya. Pengetahuan tentang Brahman yang imanen adalah jalan untuk menuju pada pengetahuan tentang Brahman yang transendental.
Bhagavad Gita 12.5
kleso ‘dhikataras tesam awyaktasakta cetasam,
awyakta hi gatir duhkham dehawadbhir awapyate.
2. Mengenai Atman dan Paramatman
Seperti pendapat saya sebelumnya Atman dan Paramatman itu memang berbeda. Dari awal kita seharusnya menyamakan persepsi terlebih dahulu tentang pengertian maya, karena dari pernyataan2 ngara kayanya persepsi kita tentang maya itu bertolak belakang. Pengertian maya menurut saya sudah saya jelaskan di atas, sedangkan ngara belum memberikan pengertian tentang apa arti maya menurut ngara.
Namun demikian menurut pendapat saya atman itu adalah paramatman yang diselimuti oleh maya adalah sbb:
Bhagavadgita 14-3.
mama yonir mahad brahma tasmin garbham dadhamy aham,
Sambhawah sarwa-bhutanam tato bhawati bharata.
Brahma agung (prakriti) adalah kandungan-Ku; disanalah Aku menanamkan benih dan dari sanalah munculnya mahluk-mahluk ini, wahai Bharata.
Bhagavadgita 14-4.
sarwa yonisu kaunteya murtayah sambhawanti yah,
tasam brahma mahad yonir aham bija-pradah pita.
Apapun wujudnya semua lahir dari kandungan, wahai Putra Kunti, Brahma yang agung adalah kandungannya dan Aku adalah bapak yang menanamkan benihnya.
Prakriti adalah Ibu dan Tuhan adalah Bapak dari seluruh wujud yang hidup. Karena prakriti juga merupakan hakekat Tuhan, maka Tuhan adalah bapak dan ibu alam semesta.
Bhagavad Gita 14-5
sattwam rajas tama iti gunah prakrtisambhawah,
nibbadhnanti mahabaho dehe dehinam awyayam.
Tiga sifat, sattwam, rajas, tamas berasal dari alam (prakriti) yang membelenggu badan jasmani, wahai mahabaho ,sedangkan yang abadi bersemayam dalam badan.
Bhagavad Gita 2-30
Dehi nityam awadhyo ‘yam dehe sarwasya bharata,
Tasmat sarwani bhutani na twam socium arhasi.
Pertanyaan saya :
1.Sloka mana yang menyebutkan bahwa atman itu bukan merupakan percikan dari paramatman yang terbingungkan oleh unsur maya?
2. Pengertian ksetra dan ksetrajna dan pengertian purusa dan prakriti menurut pemahaman ngara. Menurut saya pertanyaan ini penting karena dari sini mungkin akan bisa menyamakan persepsi kita tentang teori maya dalam ajaran samkya.
Om Swastiastu
Sebelumnya saya ingin mengucapkan selamat Hari Raya Galungan dan Kuningan buat semua pembaca home page ini yang beragama Hindu. Semoga Hyang Widhi, Tuhan Yang Maha Esa senantiasa menganugrahkan perlindungannya kepada kita.
Untuk comment bli Putra, sebagaimana yang bli kutip bahwa “acintya-rupam = whose form is inconceivable (Yang wujudnya tidak terbayangkan) adalah mengacu pada suatu bentuk dimana manusia biasa tidak bisa membayangkan dan memahaminya.
Analogi yang dapat mewakili hal ini mungkin tentang bentuk atom dan susunan sub-atomik. Apakah atom dan susunan partikel sub-atomik ada? Tentu, tetapi manusia tidak akan pernah mampu melihat secara nyata susunan partikel sub-atomik karena partikel sub-atomik akan terpental jika terkena foton (cahaya) ataupun elektron sehingga kondisi atom dan sub-atomik hanya dapat dibayangkan lewat pemodelan dan bentuk-bentuk khayalan dari karakteristik-karakteristiknya. Meski atom tidak pernah dilihat dan tidak akan bisa di lihat, namun atom memiliki wujud dan kita mengerti itu dari fenomena-fenomena yang diperlihatkannya.
Demikian juga dengan perwujudan Tuhan yang sudah barang tentu lebih halus dari fenomena bentuk atom ini. Contohnya wujud Tuhan sebagai visvarupa (wujud semesta) dengan jutaan kepala, tangan dan kaki tidak dapat dipahami dan dilihat oleh manusia biasa sebagaimana di uraikan dalam Bhagavad Gita bab 11.
Bhagavad Gita 11.3; “O Kepribadian yang paling mulia, bentuk yang paling utama, walaupun hamba melihat Anda berdiri di sini di hadapan hamba dalam kedudukan Anda yang sejati, sesuai dengan uraian Anda tentang Diri Anda, hamba ingin melihat bagaimana Anda masuk dalam manifestasi-manifestasi alam semesta ini. Hamba ingin melihat bentuk anda tersebut”.
Bhagavad Gita 11.4; “Kalau anda berpikir hamba sanggup memandang bentuk semesta Anda, sudilah kiranya Anda memperlihatkan bentuk semesta Diri Anda yang tidak terhingga itu kepada hamba, o Tuhan yang hamba muliakan, penguasa segala kekuatan batin”.
Bhagavad Gita 11.5; “Kepribadian Tuhan Yang Maha Esa bersabda; wahai Arjuna yang baik hati, wahai putra Prtha, sekarang lihatlah kehebatan-Ku, beratus-ratus ribu jenis bentuk rohani yang berwarna-wani”.
Bhagavad Gita 11.6; “Wahai yang paling baik di antara para Bharata, lihatlah di sini berbagai perwujudan para Aditya, Vasu, Rudra, Asvini-kumara dan semua dewa lainnya. Lihatlah banyak keajaiban yang belum pernah dilihat atau didengar oleh siapapun sebelumnya”.
Bhagavad Gita 11.7; “Wahai Arjuna, apapun yang ingin engkau lihat, lihatlah dengan segera dalam badan-Ku ini. Bentuk semesta ini dapat memperlihatkan kepadamu apapun yang engkau ingin lihat sekarang dan apapun yang engkau ingin lihat pada masa yang akan datang. Segala sesuatu baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak – berada di sini secara lengkap pada satu tempat”.
Bhagavad Gita 11.8; “Tetapi engkau tidak dapat melihat-Ku dengan mata yang engkau miliki sekarang. Karena itu, Aku memberikan mata rohani kepadamu, Lihatlah kehebatan batin-Ku!”.
Dari sloka-sloka di atas, setidaknya dapat dipetik 2 hal, yaitu; (1) dari sloka 11.3 Arjuna sendiri menyatakan bahwa Krishna adalah perwujudan Tuhan yang asli, (2) Tuhan yang berwujud visvarupa tidak dapat dilihat dan dibayangkan kecuali dengan berkat mata rohani dari Tuhan sendiri. Nah, berdasarkan poin ke-2 inilah saya berargumen bahwa acintya-rupam/bentuk yang tidak terbayangkan tidaklah berarti Tuhan tidak berwujud, tetapi memiliki suatu wujud rohani yang tidak terbayangkan oleh akal sehat manusia secara material.
Dalam Bhagavata Purana 10.12.11 hal ini ditegaskan dengan menyebutkan; “Inilah Kepribadian Tuhan Yang Paling Utama, yang dianggap Brahman yang tidak bersifat pribadi oleh rsi-rsi yang mulia, Kepribdian Tuhan Yang Maha Esa oleh para penyembah(bhakta), dan hasil alam material oleh manusia biasa. Sekarang anak-anak ini, yang sudah melakukan banyak kegiatan saleh dalam penjelmaan-penjelmaannya yang lalu, sedang bermain bersama Kepribadian Tuhan Yang Maha Esa itu”.
Sloka Bhagavata Purana ini mengacu pada lila (kegiatan) Krishna yang muncul sebagai perwujudan Tuhan yang asli sebagaimana dibenarkan juga dalam sloka Bhagavad Gita 11.3. Demikian juga penegasan Bhagavad Gita 4.6 yang mengatakan; “Walaupun Aku tidak dilahirkan dan badan rohani-Ku tidak pernah merosot, dan walaupun Aku penguasa semua mahluk hidup, Aku masih muncul pada setiap jaman dalam bentuk rohani-Ku yang asli”. Jadi tidak benar bahwa perwujudan Avatara dan badan rohani Tuhan yang lain muncul setelah aspek beliau yang tidak berwujud. Sehingga Krishna mengatakan dalam Bhagavad Gita 9.11; “Avajananti mam mudha manusim tanum asritam param bhavam ajananto mama bhuta mahesvaram”, orang-orang bodoh menghina diri-Ku ketika Aku turun ke dunia fana dalam wujud manusia. Mereka tidak mengetahui hakekat-Ku yang rohani dan kemahakuasaan-Ku atas segala sesuatu”.
Bhagavad Gita 10.7 menyebutkan;
etäà vibhütià yogaà ca
mama yo vetti tattvataù
so ‘vikalpena yogena
yujyate nätra saàçayaù
arti masing-masing katanya;
etäm—semua ini; vibhütim—kehebatan; yogam—kekuatan batin; ca—juga; mama—milik-Ku; yaù—siapapun; vetti—mengenal; tattvataù—dengan sebenarnya; saù—dia; avikalpena—tanpa pembagian; yogena—dalam bhakti; yujyate—tekun; na—tidak pernah; atra—di sini; saàçayaù—keragu-raguan.
Jadi, arti dari sloka ini tidaklah sebagaimana yang bli kutipkan, tetapi sebagai berikut;
“Orang yang sungguh-sungguh yakin tentang kehebatan dan kekuatan batin-Ku ini menekuni bhakti yang murni dan tidak dicampur dengan hal-hal lain; kenyataan ini tidak dapat diragukan”
dan dalam
Bhagavad Gita 12.5
kleço ‘dhikataras teñäm
avyaktäsakta-cetasäm
avyaktä hi gatir duùkhaà
dehavadbhir aväpyate
Artinya;
Orang yang pikirannya terikat pada aspek yang maha kuasa yang tidak berujud dan tidak bersifat pribadi sulit sekali maju. Kemajuan dalam disiplin itu sulit sekali bagi orang yang mempunyai badan.
Jadi ketiga sloka yang bli kutip, yaitu Bhagavad Gita 10.7, 11.3 dan 12.5 semuanya membenarkan bahwa Tuhan dalam aspek Pribadi (Bhagavan) adalah aspek yang utama. Bukan begitu bli?
Yang kedua, mengenai Atman dan Paramatman
Mengenai Maya menurut pandangan saya, saya tuliskan dalam artikel baru dengan judul “Maya, Tenaga Material Tuhan Yang Maha Esa“. Mohon tengok dan perdebatkan disana ya bli…
Mengenai sloka-sloka yang bli kutip, ternyata memiliki arti yang lagi-lagi sangat jauh berbeda dari Bhagavad Gita versi aslinya. Berikut akan saya kutipkan ulang sloka-sloka tersebut;
Bhagavad Gita 14.3;
mama yonir mahad brahma
tasmin garbhaà dadhämy aham
sambhavaù sarva-bhütänäà
tato bhavati bhärata
Arti perkata;
mama—milik-Ku; yoniù—sumber kelahiran; mahat—seluruh keberadaan material; brahma—paling uatama; tasmin—dalam itu; garbham—hamil; dadhämi—menciptakan; aham—Aku; sambhavaù—kemungkinan; sarva-bhütänäm—di antara semua mahluk hidup; tataù—sesudah itu; bhavati—menjadi; bhärata—wahai putra Bharata.
Artinya;
“Seluruh bahan material, yang disebut Brahman, adalah sumber kelahiran, dan Aku menyebabkan Brahman itu mengandung, yang memungkinkan kelahiran semua mahluk hidup, wahai putra Bharata”.
Bhagavad Gita 14.4;
sarva-yoniñu kaunteya
mürtayaù sambhavanti yäù
täsäà brahma mahad yonir
ahaà béja-pradaù pitä
Arti perkata;
sarva-yoniñu—di dalam segala jenis kehidupan; kaunteya—Oh putra Kunti; mürtayaù—bentuk-bentuk; sambhavanti—mereka muncul; yäù—yang; täsäm—dari semua; brahma—Yang maha kuasa; mahat yoniù—sumber kelahiran dalam bahan material; aham—Aku; béja-pradaù—yang memberi benih; pitä—ayah.
Artinya;
“Hendaknya dimengerti bahwa segala jenis kehidupan dimungkinkan oleh kelahiran di alam material ini, dan bahwa Akulah ayah yang memberi benih, wahai putra Kunti”.
Bhagavad Gita 14.5;
sattvaà rajas tama iti
guëäù prakåti-sambhaväù
nibadhnanti mahä-bäho
dehe dehinam avyayam
Arti perkata;
sattvam—sifat kebaikan; rajaù—sifat nafsu; tamaù—sifat kebodohan; iti—demikian; guëäù—sifat-sifat; prakåti—alam material; sambhaväù—dihsilkan dari; nibadhnanti—mengikat; mahä-bäho—wahai kepribadian yang berlengan perkasa; dehe—dalam badan ini; dehinam—mahluk hidup; avyayam—kekal.
Artinya;
“Alam material terdiri dari tiga sifat – kebaikan, nafsu dan kebodohan. Bila mahluk hidup yang kekal berhubungan dengan alam, Ia diikat oleh sifat-sifat tersebut, wahai Arjuna yang berlengan perkasa”.
Bhagavad Gita 2.30
dehé nityam avadhyo ‘yaà
dehe sarvasya bhärata
tasmät sarväëi bhütäni
na tvaà çocitum arhasi
Arti perkata;
dehé—pemilik badan jasmani; nityam—untuk selamanya; avadhyaù—tidak dapat di bunuh; ayam—roh ini; dehe—di dalam badan; sarvasya—milik semua orang; bhärata—O putra keluarga Bharata; tasmät—karena itu; sarväëi—semua; bhütäni—mahluk-mahluk hidup (yang dilahirkan); na—tidak pernah; tvam—engkau; çocitum—bersedih hati; arhasi—pantas.
Artinya;
“O putra keluarga Bharata, dia yang tinggal di dalam badan, tidak pernah dapat dibunuh. Karena itu, engkau tidak perlu bersedih hati untuk mahluk manapun”
Jadi dari sloka-sloka ini, sama sekali tidak ada pembenaran yang menyatakan bahwa Atman adalah Tuhan (Paramatman yang diselimuti maya).
Yang terakhir mengenai istilah ksetra dan ksetrajna dapat kita temukan dalam sloka Bhagavad Gita 13.27;
ävat saïjäyate kiïcit
sattvaà sthävara-jaìgamam
ksetra-ksetrajna-saàyogät
tad viddhi bharatarsabha
Arti Ksetra disini adalah “dari badan” dan ksetrajna adalah “dan yang mengetahui badan“.
[CENTER]Mahabharata, Adi Parwa (1.264-266):[/CENTER]
[B][I][CENTER]yataitanitihasanam tatha bharatam ucyate
yascainam sravayecchsraddhe brahmananpadamatatah
aksayyamantrapanam vai pitrnstayopatisthate
itihasa puranambhyam vedam samupbrhayet
bibhetyalpasrutad vedo mamayam praharisyati
karsnam vadamimam vidvancachsravayitvarthamasbute[/CENTER][/I][/B]
Mahabharata adalah sejarah di antara semua sejarah,ia yang menjadikan brahmana berkenan membaca walaupun hanya satu baris pada upacara sraddha, mempersembahkan kepada roh suci leluhur yang telah meninggal dunia, berupa makanan dan minuman, hal itu (pahalanya) tidak pernah habis-habisnya.
Hendaknya Veda dijelaskan melalui sejarah (Itihasa) dan sejarah dewa-dewa serta raja-raja (Purana). Veda merasa takut kalau seorang yang bodoh membacanya. Orang terpelajar yang berkenan membaca kitab suci Veda dan Mahabharata akan memperoleh keberuntungan.
Om swastyastu..
Bli semua@: tiang ingin mendalami hindu lebih jauh….berikan saya suatu pencerahan dari mana saya harus belajar hindu…saya akui..saya kurang dalam agama…saya menyesal menjadi orang hindu yang tak tahu kitab..dan apa isinya..tolong bli..berikan tiang pencerahan..karena tiang berusaha mencari siapa tuhan saya…banyak suara sumbang yang saya dengar tentang hindu..dan itu sempat menggoyahkan hati saya tentang keyakinan saya hindu..tolong bli
Lalu Krishna menjawab dalam Bhagavad Gita 4.5-8; “Engkau dan Aku sudah terlahir berulang kali. Aku dapat ingat segala kelahiran itu, tetapi engkau tidak dapat ingat, wahai penakluk musuh!” “Walaupun Aku tidak dilahirkan dan badan rohani-Ku tidak pernah merosot, dan walaupun Aku penguasa semua mahluk hidup, Aku masih muncul pada setiap jaman dalam bentuk rohani-Ku yang asli”
@ngarayana………… arti sloka-sloka diatas, sudah sangat jelas kan yang kalau Krishna (Tuhan) tidak pernah lahir
Komen : bingung………….bilang sudah terlahir berulang kali kemudian aku tidak dilahirkan.
Adakah penjelasan yang sederhana?
Makin dibaca,makin dianalisa,makin bingung…….
Kalo begitu siapakah Tuhan YME)? Krisna?Brahma? Bisakah ditunjukkan secara jelas seperti Islam bahwa Tuhan YME adalah Allah,atau Kristen yang Tuhan YME adalah Ketuhanan dalam Trinitas atau Budha yang bertuhan pada kebajikan dan nibbana?
Yang sederhana saja bro…….
Oya….sloka-sloka diatas itu dikutip dari hafalan ya?Hebat dong
Piss piss piss
Trims bro
to : mari belajar
memang anda harus lebih banyak belajar seiring, dengan bertambahnya umur anda.
cobalah tanya pada diri sendiri:
– pernahkah aku membaca Quran dari ayat 1 sampai dengan ayat
terakhir
– berapa kalikah aku membaca Quran dari awal sampai akhir ?
– Sudahkah aku menjalankan semua perintah perintah Allah yang ada
di QS.
– sesuaikah ajaran QS. itu dengan sikap, Perbuatan dan
kata-kata-ku.
– Apakah aku akan masuk surga atau neraka
– jika aku mati sekarang kapankah aku masuk neraka/surga
– berapa tahunkah aku didalam kubur sampai Alah menjatuhkan ponis
surga atau neraka.
selamat belajar
Om Swastiastu
dari tadi nyimak doang…………..
trus kesimpulannya gimana dong bro antara atma dan tuhan sama atau beda ? dalam diri mahluk hidup ada 2 entitas yang sejati apa satu aja? nambah-nambah bingung gen mohon pencerahannya dong please!
Matur suksma
@ nak bingung
Tuhan dan Atman itu berbeda. Dalam Mundaka Upanishad 3.1.1 disebutkan; “Seperti dua burung berbulu emas, sahabat tak terpisahkan, Atman dan paramatman yang pribadi dan abadi yang bertengger di dahan-dahan pohon yang sama. Burung pertama (Sang jiva/atman) mencicipi manis dan pahitnya buah dari pohon itu dan yang kedua (paramatman) dengan tenang hanya mengamatinya. Shvetashvatara Upanishad 4.7; “Mereka adalah dua burung, teman dekat, menggenggam pohon yang sama. Dari keduanya, satu makan buah manis, yang lain terlihat tidak makan apa-apa. (Sang Jiva) yang memakan buah tenggelam dan berduka dalam perbudakan, menipu, tetapi paramatman (Tuhan) yang selalu bahagia dan besar, bebas dari kesedihan hanya mengamati. Brihadaranyaka Upanishad 1.4.8; “Yang Maha Kuasa yang bersemayam dalam hati kita adalah sesuatu yang paling berharga, jauh lebih berharga dibandingkan anak-anak kita, kekayaan dan sesuatu yang lain.
Dalam Bhagavad Gita 13.23 dan 13.28, juga menjelaskan bahwa di dalam badan kita ini terdapat 2 hal yang berbeda, yaitu Atman dan Paramatman.
Penjelasan lebih jauh mengenai Atman mungkin juga bisa dilihat dalam artikel “Mahluk Hidup”
Salam,-